Bang Dika mengerang. "Ya, udah. Gampang masalah kado. Hari Minggu kita ke mall, jalan-jalan sekalian beli hadiah buat Zico. Sekarang tidur dulu, gue ngantuk. Capek banget," katanya.
Kulepaskan pelukan Bang Dika, kemudian beringsut menjauh. "Ah, palingan ntar Abang bakalan minta tolong sama Bang Ares buat nganterin Naa. Abang, kan, sekarang sibuk banget," gerutuku. Aku memutar tubuh memunggungi Bang Dika.
Kasur di sisi yang lain terasa bergerak. Sedetik kemudian, bibir Bang Dika menyapu pipiku. "Lo marah sama gue, Naa?" tanyanya dengan nada polos. Aku bergeming-enggan menjawab pertanyaan yang jawabannya sudah pasti. Tidak mungkin, kan, Bang Dika sebodoh itu, sampai-sampai tidak menyadari kesalahannya? Atau dia memang benar-benar tidak peka? Kalau memang iya, aku kasihan kepada perempuan yang kelak menjadi istrinya.
"Naa?" Bang Dika memanggil. "Jangan ngambek, dong. Gue, kan, lakuin semua ini buat lo. Biar gue selalu bisa kasih apa yang lo mau dan lo pengenin," katanya, dengan nada seperti anak kecil yang habis kena marah orang tuanya.
Aku menghela napas panjang, kemudian berbalik menghadap Bang Dika. Hatiku hampir saja luluh ketika melihat ekspresinya yang sendu saat tengah menatapku. Aku harus menyingkirkan jauh-jauh perasaan ingin memeluknya sekarang juga. "Terus, kalo Naa minta Abang supaya nggak terlalu sibuk lagi, Abang bakalan kasih? Yang Abang pikirin sekarang, tuh, cuma kerjaan! Nggak pernah mikirin perasaan Naa! Naa capek gini terus, Bang. Abang cuma dateng pas lagi butuh sama tubuh Naa! Abang egois!"
Sorot matanya meredup. "Lo marah karena gue sibuk ngurus kerjaan?" tanyanya pelan.
Napasku memburu. "Iya!" pekikku.
"Kalo gitu, gue janji bakalan ngurangin kesibukan gue," ujarnya cepat.
"Bang, ih! Jangan becanda! Naa serius!" pekikku sembari memukul-mukul dadanya. Bisa-bisanya dia begitu mudah mengumbar janji?
Bang Dika menahan tanganku, kemudian mencium lembut bibirku. "Nah, sekarang diem dulu. Oke? Dengerin gue-jangan motong dulu. Gue emang udah berniat ngurangin kerjaan. Lo mau tau kenapa lebih dari sebulan ini gue sibuk banget sampai nggak sempet jemput lo di rumah Ibu? Bahkan buat video call aja susah banget?" tanyanya. Aku menggeleng. Dia menyibakkan rambut yang menutupi wajahku. "Karena gue ngurusin sisa kontrak yang ada, biar bisa quallity time lagi sama lo. Gue juga kangen banget sama lo," terangnya dengan suara hampir menyerupai bisikan.
Aku membuka mulut, kemudian menutupnya kembali. Bingung hendak menjawab apa. Bang Dika bekerja keras untukku, tetapi yang kutahu hanya mengeluh dengan kesibukannya. Aku tak pernah memikirkan betapa lelahnya Bang Dika. Aku hanya bisa memeluknya, kemudian menggumamkan terima kasih dan permintaan maaf.
"Sekarang, kita tidur, ya? Besok kan lo mesti sekolah," kata Bang Dika diikuti kuapan. Kemudian Bang Dika menarikku kembali ke dalam pelukannya. Aku balas memeluk Bang Dika dengan erat. Aku ingin bisa menghabiskan waktu bersama Bang Dika, sesering dan selama yang kami mampu. Setidaknya, sampai kami menemukan jalan masing-masing. Mungkin aku ataupun Bang Dika akan menemukan pendamping hidup kami sendiri, tetapi selama kami masih bisa bersama. Maka takkan kusia-siakan waktu yang kami miliki. Kubiarkan kulit kami saling bersentuhan. Aroma tubuh Bang Dika menenangkanku dan dengan cepat membawaku ke alam mimpi.
***
"Bang, buruan, sih! Nanti kita telat!" Aku mondar-mandir sembari terus mengomel, menggerutu, dan mengumpat di kamar Bang Dika. Aku memelototi pintu kamar mandi yang tak kunjung berayun terbuka, seolah pintu itu turut andil atas keterlambatan kami. Sempat terpikir olehku untuk menerjang masuk, kemudian menyeret Bang Dika keluar.
Sore ini, aku dan Bang Dika seharusnya pergi ke rumah Ibu untuk acara ulang tahun keponakan kami—Zico, anak pertama Mbak Lana dan Bang Nico. Namun, entah kerasukan atau apa, Bang Dika malah tak henti-hentinya minta jatah have fun sejak aku pulang dari sekolah. Setelah setengah jam penantian yang menuntut pengendalian diri tinggi, Bang Dika akhirnya keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggang.
Dia menggosok rambutnya yang masih basah dengan tangan, membuat air yang tersisa di rambutnya menciptrat ke segala arah. Aku harus menelan ludah dengan susah payah, sembari berusaha menahan diri untuk tidak melemparkan diri ke pelukannya. Tidak sekarang, ketika kami sudah sangat terlambat. Tapi nanti, yaah ... bisa lah diatur. Huss!
Bang Dika berjalan malas ke arah lemari, kemudian mengambil kemeja polos berwarna biru laut—sesuai perintah Mbak Lana, kemudian celana jins, sweter berwarna putih, dan seperangkat jeroan tidak ketinggalan tentunya.
Dengan teramat sangat santai, seolah kami memiliki waktu berabad-abad lamanya, dia melemparkan handuk yang menutupi tubuhnya padaku dan berpakaian di hadapanku tanpa mencoba untuk berpura-pura malu walau sedikit. Dada bidangnya yang selalu membuatku nyaman saat tidur, lengannya yang kekar, roti sobeknya, kemudian turun ke bagian segitiga, dan di bawahnya—bagian tubuh yang menjadi kebanggaannya karena telah mampu membuatku selalu mengerang dan ... ehem! (Maaf, harus kupotong sebelum pembicaraan kita semakin melantur ke ranah dewasa dan berbahaya bagi kontenku). Aku menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan pikiran yang sebenarnya sudah sejak lama tercemar, lagi-lagi Bang Dika penyebabnya.
Aku tidak tahu, entah ini hanya perasaan dan khayalanku semata atau memang benar adanya. Semenjak beberapa bulan yang lalu, aku merasa Bang Dika terlihat agak kurang bersemangat dan sepertinya ogah-ogahan setiap diminta datang ke rumah Ibu. Apa Bang Dika sedang ada masalah? Dengan siapa? Mungkinkah Bang Dika sedang bertengkar dengan Ibu? Tapi Ibu tidak bercerita apapun padaku. Dan dari apa yang kulihat, Ibu dan Bang Dika tampaknya baik-baik saja. Lalu, sebenarnya kenapa?
"Iler lo netes," perkataan Bang Dika menarikku kembali dari segala angan dan keruwetan di benakku. Tanpa berpikir, secara reflek aku langsung mengusap mulut, yang membuat Bang Dika tergelak-gelak. Matanya berkilat-kilat. Pendar yang tadi agak meredup mulai kembali. Tiba-tiba, dia sudah berdiri menjulang di hadapanku sembari berkacak pinggang bak model produk jeroan.
"Segitu terpesonanya lo sama bodi gue yang aduhai ini? Sampe melongo gitu, Dek," godanya sambil menggerak-gerakkan alisnya naik-turun, lengkap dengan seringaian menyebalkan yang sudah menjadi ciri khasnya. Kemudian, Bang Dika mulai berpose sembari memamerkan ototnya bak binaragawan salah tempat.
Kulemparkan handuk ke arahnya. "Bang, buruan, ih! Bukannya cepet-cepet, malah main-main mulu dari tadi. Aku berangkat sendiri aja kalo Abang kelamaan, lah!" Aku mulai merajuk. Sepertinya ancamanku berhasil, karena meskipun sambil bersungut-sungut dan tak henti-hentinya menggerutu tentang aku yang katanya makin hari kian bertambah galak dan cerewet, juga komentar-komentar cabulnya tentang bagian-bagian tertentu tubuhku yang tidak akan pernah kuceritakan pada kalian, akhirnya Bang Dika selesai berpakaian.
"Lagian ngapain, sih? Dia masih kecil juga, ulang tahun pake acara dirayain segala. Zico juga nggak bakal inget, kali," gerutunya. Wajahnya memperlihatkan kalau dia tidak senang dengan semua ini dan sekali lagi, terlihat gusar.