webnovel

SETUJUI KENCAN BUTA ITU

"Apa?" tanya Aleeta yang baru saja mendapatkan kesadarannya.

"Apa?" Rendra mengulang perkataan wanita yang menatapnya dengan wajah penasaran.

"Siapa?" Aleeta kembali bertanya. Namun, Rendra lagi-lagi hanya mengulang pertanyaan yang disebutkan wanita itu. Entah pria itu memang tidak memiliki keinginan untuk menjawab atau memang hanya ingin menggodanya.

"Ehm, kenapa kamu tidak membangunkan aku?" Aleeta mengalihkan pertanyaannya karena yakin pria itu tidak berniat menjawab rasa penasarannya.

"Memangnya kenapa? Sepertinya kamu sangat ingin mengakhiri kesenanganku, ya?" Rendra sengaja menjeda kalimatnya ingin melihat reaksi Aleeta terlebih dahulu. Seperti yang ia harapkan wanita itu tampak kebingungan, "kesenanganku memandangi wajahmu yang tertidur seperti seorang bidadari. Hingga tadi aku kebingungan. Apakah Tuhan telah mencabut nyawaku saat aku tertidur hingga saat terbangun aku melihat bidadari?"

Aleeta tercengang mendengar penuturan Rendra. Padahal sejak tadi dia telah berusaha menekan perasaanya agar tidak terhanyut. Namun, semuanya kini seolah runtuh akibat perkataan pria itu. Lantas, haruskah ia mulai membalasnya?

"Tidak." Aleeta tidak sengaja menggunakan isi hati. Sebelum akhirnya dia turun dari kendaraan itu dengan segera. Lalu, gegas berjalan meninggalkan Rendra yang masih terdiam di tempatnya sambil menatap wanita itu. Ya, pria itu hanya menatapnya, hingga bayangnya benar-benar menghilang di balik tembok-tembok bangunan hotel milik Aleeta.

"Shit! Dasar bodoh! Pelan-pelan kawan, jangan samakan dengan wanita lain yang pernah kau dekati," ucap Rendra merutuki dirinya sendiri.

Kini rasa sesal benar-benar menguasai hatinya. Harusnya dia tidak secepat itu melancarkan kalimat-kalimat rayuan kepada Aleeta. Padahal mereka baru saja menjadi akrab. Namun, perhatian dan keakraban itu justru menjadi bumerang baginya. Membuatnya tidak kuasa menahan rasa di dadanya yang kian hari semakin bergejolak.

Mengingat wajah Aleeta yang meninggalkannya dengan terburu-buru, bisa saja akhirnya wanita itu memutuskan untuk kembali bersikap dingin kepadanya. Padahal Rendra baru saja terbiasa akrab dengannya.

Setelah berdiam diri beberapa waktu di parkiran hotel, Rendra akhirnya memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Ia mengendarai mobil dengan perasaan yang campur aduk, antara kesal, sedih, dan takut. Kesal kepada dirinya yang tidak mampu menekan perasaanya. Sedih karena Aleeta bahkan tidak memberi tanggapan terhadap rayuan-rayuannya. Meski terkesan lancang, tetapi jauh di dalam sudut hatinya, ia berharap wanita itu memberi sedikit tanggapan sebelum meninggalkannya. Takut karena perkataannya, maka wanita itu akan menjauhinya. Lantas, perjalanan untuk menjadikan Aleeta sebagai kekasih akan semakin panjang saja.

Sementara itu, di lain sisi Aleeta telah sampai di kamarnya. Ia menghempaskan tubuh kasat di tempat tidur. Masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Bahkan, detak jantungnya masih sangat tidak karuan sekarang. Wanita itu mencoba memejamkan mata, tetapi sia-sia. Entah karena tadi sudah tidur atau karena perasaanya yang tidak karuan.

"Aku kaget. Apa aku boleh benar-benar berharap sekarang?" gumam Aleeta. Kini dia terbaring memandangi langit-langit kamar yang kini berubah bagai layar televisi yang menampilkan wajah tampan Rendra. Bahkan, menampilkan raut wajah tidur pria itu yang menurutnya terlihat sangat tampan.

***

Matahari bersinar sangat cerah menyambut pagi. Hari masih pagi, tetapi dingin telah beranjak sejak tadi. Suasana hati Rendra telah menjadi lebih baik dari semalam. Ya, pria itu berusaha berpikiran positif saja, daripada terus larut memikirkan hal itu hingga membuat hatinya semakin kacau saja.

"Selamat pagi, Bos," ucap Ryan saat berjalan mendekati Rendra, lalu menyodorkan sebuah map kepadanya. "Roman-romannya ada yang sedang senang, nih. Aku juga mencium bau-bau uang. Apa mungkin ini sebagai pertanda bahwa aku akan mendapat bonus, ya?" imbuhnya seraya melirik ke arah sang atasan. Karena biasanya, jika melakukan hal yang disukai oleh atasannya, tentu saja ia akan mendapatkan pundi-pundi rupiah.

"Dasar mata uang! Memangnya pikiranmu isinya hanya uang?" Rendra berkata sambil membaca isi map yang diberikan oleh asistennya.

"Tentu saja tidak. Sebenarnya hampir seluruh pikiranku dipenuhi dengan Malika. Lalu, sisanya diisi oleh pekerjaan, Bos. Aku hanya bertanya untuk basa-basi saja." Ryan mengelak. Meski sebenarnya tentu dia sangat mengharapkan bonus itu, agar keinginannya untuk membina mahligai rumah tangga bersama sang kekasih segera terwujud.

"Benarkah?" Rendra tampak mengerutkan kening.

"Tentu saja!" seru Ryan dengan membusungkan dada bangga.

Rendra tampak mengerutkan kening mendengar jawaban dari asistennya. Meski sebenarnya ia senang karena pria itu termakan umpan yang dilemparnya.

"Jadi ... maksudmu hampir seluruh pikiranmu dipenuhi oleh adikku?" Ryan mengangguk mengiyakan. "Artinya tidak akan ada yang mampu menggoyahkanmu, bahkan wanita dari kalangan manapun?" Rendra lagi-lagi bertanya.

"I-iya," jawab Ryan ragu-ragu. Entah mengapa perasaanya tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Padahal sebelum menemui sang atasan semua terasa baik-baik saja.

Rendra mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Senyuman manis terulas di wajah tampan itu. Namun, justru membuat sang asisten menjadi merinding. Kali ini Ryan benar-benar yakin bahwa tidak lama lagi, semuanya akan tidak baik-baik saja. Pasalnya jika Rendra tersenyum seperti itu dan ditandai dengan perubahan suasana perasaanya. Maka bisa dipastikan atasan akan memberikan tugas yang berat. Harapannya semoga saja tidak.

"Kalau begitu ...." Rendra tidak melanjutkan ucapannya karena merasa terganggu oleh ekspresi yang dipasang Ryan. "Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya pura-pura tidak tahu.

"Wajahku memang seperti ini sejak lahir, Bos. Jadi, abaikan saja wajahku yang tampan ini dan katakan tugas apa yang harus kukerjakan," ucap Ryan to the point.

"Sialan! Jika wajah seperti itu tampan, lalu aku apa? Bukankah aku lebih tampan darimu?"

"Kalau soal itu aku setuju, Bos. Kamu memang pria tertampan yang pernah kutemui." Ryan menjawab mantap.

"Lalu, kenapa Aleeta bahkan tidak tertarik denganku? Atau standarnya lebih tinggi?" tanya Rendra sembari bercermin pada sebuah kaca kecil yang entah dia ambil dari mana.

Ryan tergelak mendengar penuturan itu. Ternyata sang atasan hanya galau karena wanita yang sedang didekatinya.

"Jangan khawatir, Bos. Sebenarnya aku punya kabar baik untukmu. Aleeta–"

"Jangan sebut namanya! Dasar tidak sopan. Panggil dia Bu Aleeta. Hanya aku yang boleh memnaggil namanya dengan akrab seperti itu," bentak Rendra kesal.

"Baiklah. Bu Aleeta sebenarnya sudah memiliki perasaan kepadamu, Bos. Kemarin saat berbelanja, dia tampak sangat khawatir setelah mendengar kamu sakit. Terlebih lagi saat kubilang kamu seorang diri di rumah. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya. Makanya kuajak dia ke rumahmu, lalu meninggalkan kalian dengan berdalih ada urusan."

"Benarkah? Lalu kenapa dia tidak menanggapi rayuanku?" Baru saja wajah Rendra berbinar. Akan tetapi sekejap saja telah kembali muram.

"Kamu merayunya?" Ryan berdecak mendengar hal itu. "Pelan-pelan, Bos. Biarkan semuanya mengalir seperti air." Ryan mengingatkan.

"Baiklah." Rendra menyodorkan secarik kertas kepada Ryan. Meski heran, asistennya itu tetap meraih kertas itu.

"Hotel Dalton. Anna Maria. Apa maksudnya?" Ryan bertanya keheranan. Sesaat kemudian dia memikirkan pertanyaan Rendra tadi, tentang dia yang tidak akan berpaling kepada wanita lain. Apakah mungkin pria itu menyuruhnya berselingkuh? Jika iya, maka dia lebih baik menyerahkan surat pengunduran dirinya sekarang.

Ryan menyodorkan kembali kertas itu kepada Rendra. "Maaf, lebih baik aku mengundurkan diri. Kamu tidak tahu bagaimana seramnya Malika jika sedang murka."

Namun, Rendra kembali mendorong kertas itu ke arah Ryan. Bahkan, jika asistennya itu menolak, dia akan tetap memaksanya. Jika mang Aleeta telah khawatir kepadanya, maka dia tidak akan pernah mau mengikuti perjodohan lagi.

"Ikuti kencan buta itu. Maka aku akan menambahkan bonus untukmu."

Ryan segera menarik kertas itu lalu merobek-robeknya menjadi potongan yang kecil.