"Lepas!"
Jika sebelumnya Clarisa hanya bias diam saja di dalam mobil, sekarang saat Leo menghentikan mobilnya Clarisa kembali meronta. Mengabaikan rasa sakit yang ada di kakinya. Niatnya, Clarisa ingin melarikan diri saat dalam perjalanan. Namun ternyata Leo mengendarai mobil seperti orang gila.
Leo terus menarik tangan Clarisa, sedangkan Clarisa berjalan dengan kesulitan karena kakinya yang terluka. Leo bodoh.
"Jika kamu benar-benar ingin membunuhku, seharusnya kamu menabrakkan mobil tadi ke truk yang besar." Pekik Clarisa karena merasa sangat kesal. Kakinya sakit, tapi Leo terus menariknya.
Clarisa terkejut bukan main saat Leo tiba-tiba berbalik badan dan berjalan ke arahnya. Spontan Clarisa melangkahkan kakinya mundur. Sepersekian detik Clarisa menatap mata Leo, dengan cepat Clarisa langsung mengalihkan pandangannya ke bawah.
Clarisa tidak berani menatap tajam mata itu.
"Kalau aku ingin membunuhmu, maka aku tidak perlu repot-repot mengajak diriku bersama denganmu." Ucap Leo dengan nada yang sangat rendah. Lagi-lagi, Clarisa merasa takut pada orang dihadapannya. Suara yang sedari tadi lantang melawan, tiba-tiba menghilang bagaikan debu ditiup angina.
Leo hendak menarik tangan Clarisa lagi, namun dengan cepat Clarisa menyampingkan tangannya. Sehingga Leo tidak bisa meraihnya.
"Tapi kita mau ke mana?" Tanya Clarisa dengan suara yang bergetar.
"Rumah orang tua sendiri tidak hafal." Ucap Leo sembari terkekeh geli. Sontak Clarisa mengernyit dan rasa sakit di kakinya menghilang begitu saja. Orang seperti Leo, sepertinya punya kelainan emosi tak menentu.
Clarisa langsung memutar seluruh pandangan matanya ke sekitar. Benar, ini lingkungan rumah orang tua kandungnya. Oh, Clarisa hamper saja lupa. Orang tua kandung Jasmine.
"Aku bawa kamu ke sini karena kamu tidak ingin kurawat. Jadi paling tidak kamu harus dirawat oleh kedua orang tuamu." Jelas Leo.
Bodoh!
Bodoh!
Bodoh!
Seharusnya Clarisa kesal, seharusnya Clarisa marah. Tapi karena perhatian kecil yang tidak berguna itu, Clarisa menjadi berdebar. Tidak, Clarisa tidak boleh luluh karena hal kecil itu.
"Ayo." Leo mengulurkan tangannya.
Clarisa menatap tangan yang terulur ke arahnya itu sepersekian detik. Lalu dengan cepat dan langkah yang tertatih-tatih, Clarisa segera berjalan mendahului Leo.
Belum sampai di pintu utama, Clarisa melihat pintu besar itu terbuka perlahan. Wajah pucat dan penuh kekhawatiran terlihat dari seorang wanita paruh baya. Apakah karena Clarisa sudah lama tidak merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu? Clarisa mulai berlari dan meneteskan air matanya.
*
"Kenapa kakimu bisa terluka seperti ini?" Clarisa terdiam tidak berani menatap mata mamanya, pandangan matanya lurus menatap dokter yang sedang membereskan peralatannya usai mengobati lukanya.
"Jasmine, bagaimana kamu bisa dapat luka in…"
"Maaf Nyonya, obatnya sudah saya teruskan ke pihak apotek dan akan dikirim secepatnya." Clarisa menghela nafas lega sang dokter memotong ucapan mamanya yang hendak mengomel padanya.
"Baik dokter, terima kasih. Mari saya antarkan keluar."
Dokter itu mengangguk dan berjalan keluar. Dengan langkah berat wanita paruh baya itu mengikuti sang dokter melangkah keluar. Tapi tepat sebelum Mama Jasmine keluar, ia kembali menatap Clarisa dan menghembuskan nafas dengan pasrah.
Ceklek!
Pintu tertutup.
Kini Clarisa sendirian di kamar besar miliknya ini. Bukan, seharusnya kamar ini bukan miliknya. Clarisa tertawa dengan keras. Mengingat semua hal yang telah dilaluinya sampai sekarang.
Lucu? Tentu saja.
Clarisa membayangkan kedua adiknya jika mengetahui dirinya terluka seperti ini. Pasti mereka akan sangat heboh dan meminta Clarisa untuk tetap diam di rumah daripada bekerja. Clarisa sangat merindukan mereka.
DRRRRT!
Bunyi nada dering ponsel yang tidak santai. Clarisa mengambil ponselnya dengan mudah karena terletak di nakas samping tempat tidurnya.
Clarisa mengernyit dan matanya menajam saat melihat siapa yang menghubunginya.
Leo.
Ada apa dengan orang ini?
Clarisa menolak panggilan itu dan berniat mengembalikan ponselnya ke tempat di mana dia mengambilnya. Namun saat Clarisa hamper menaruhnya, ponsel itu kembali berdering dengan sangat keras.
Dengan emosi Clarisa mengangkat panggilan itu.
"Apa?" Jawab Clarisa dengan nada ketus.
"Bagaimana keadaanmu?" Mendengar pertanyaan bodoh itu sontak membuat Clarisa terkekeh.
"Pikir saja sendiri!"
"Kelihatannya bagus, karena kamu berani berteriak padaku." Clarisa tercengang mendengar itu, kedua bibirnya mengatup dan mengunci suaranya.
Seharusnya Clarisa lebih berhati-hati lagi dan berterimakasih pada Tuhan bahwa dirinya masih selamat dari insiden yang hamper membuat nyawanya melayang.
"Apa kamu mendengarku?" Ucap Leo di seberang sana, yang dengan cepat menarik Clarisa kembali ke kenyataan.
"Eh apa?"
"Hhhhh, lupakan kejadian tadi dan segera tidur." Seketika jaringan otak yang ada pada otak Clarisa berputar dengan sangat lambat. Suara itu terdengar sangat hangat.
"Oke." Jawab Clarisa singkat, tidak ingin mencari masalah baru dengan orang yang hampir mengambil nyawanya. Bodohnya Clarisa, bagaimana dia pernah berpikir bahwa dia menyukai orang kejam ini? Clarisa juga hampir melupakan rencananya untuk memenangkan uang dari kompetisi balet dan kabur dari tempat ini.
"Tenangkan dirimu dan beritahu aku jika membutuhkan sesuatu."
"Oke."
Clarisa terdiam, begitu juga dengan Leo yang ada diseberang sana. Suasana tiba-tiba menjadi sangat hening.
"I miss you Jasmine, apakah aku bisa datang?"
Dengan cepat Clarisa mematikan panggilan secara sepihak.
Jantung Clarisa kembali berdebar dengan kencang. Clarisa tidak boleh lemah, Clarisa tidak boleh kembali luluh. Satu-satunya yang menjadi fokusnya saat ini adalah memenangkan kompetisi balet untuk kabur.
Clarisa terkejut saat melihat mama kandung dari Jasmine itu sudah berdiri di ambang pintu.
"Mama, kenapa hanya berdiri di sana?"
"Mama takut ganggu kamu lagi telfon sama Leo." Ucap wanita paruh baya itu sambal berjalan masuk malu-malu.
"Masuk aja, ini kan rumah mama sama papa."
Clarisa sedikit menggeser duduknya ke tengah karena mamanya mengambil tempat di sampingnya.
"Tapi ini kamar kamu. Dan ya, mama pikir kamu masih belum bisa terbuka pada mama. Termasuk menceritakan kejadian yang membuat kakimu terluka. Mama tidak apa-apa, mungkin kamu hanya membutuhkan waktu."
Hati Clarisa mencelos, tidak tahu bahwa yang dilakukannya membuat orang lain terluka. Clarisa hanya menjaga batasannya saja, karena Clarisa bukan Jasmine yang sesungguhnya. Clarisa juga tidak ingin tinggal dengan nyaman di sini, karena ini bukan dunianya.
Dunia ini, terlampau jauh dari dunia aslinya yang hanya menjadi seorang waiters.
"Maaf Ma, sudah membuat mama berpikir seperti itu."
"Tidak apa-apa sayang. Mama sangat mengerti. Setidaknya mama senang karena kamu memiliki seseorang yang nyaman kamu ajak bicara di sini." Clarisa mengernyit, tidak tahu siapa yang sedang mamanya bicarakan.
"Leo?" Clarisa tertegun mendengar nama itu keluar.
"Selama ini, Leo memberitahu mama banyak soal kamu. Tentang kamu yang punya teman bernama Denise dan juga keseharianmu."
Clarisa berpikir sejenak. Jika Denise, wajar Leo tahu. Tapi untuk kesehariannya? Clarisa tidak pernah mengatakan apapun pada Leo. Tapi Clarisa tahu dari mana Leo mendapatkan sumbernya, tentu saja dari pengawal yang mengikutinya.
Clarisa melirik ke seluruh ruangan. Apakah ada CCTV disini?
Hai semua, apa kabar? Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan bahagia ya
Ingat ya, jangan lupa bahagia
Jangan lupa beri dukungan karya author yang lagi merangkak ini ya, terima kasih