Aku terbangun dari tidurku dengan pusing yang mendera kepalaku. Ini bukan hanya pusing biasa, kepalaku rasanya sakit bagai di pukul oleh balok kayu yang tumpul.
Aku berusaha bangkit dari tidurku dan saat tanganku menyentuh tanah aku terkejut. Bukannya terbangun di sebuah kamar, aku terbangun di sebuah ruang sempit yang hanya berukuran lima kali lima meter ini. Beralaskan tanah, membuat separuh tubuhku kotor.
Aku merintih seketika berhasil berdiri. Kedua kakiku kondisinya semakin memprihatinkan. Bisakah aku latihan balet dengan kaki seperti ini? Aku rasa tidak. Tidak mungkin untuk hari ini, karena matahari sudah cukup tinggi.
Aku di mana? Lagi-lagi aku terbangun di tempat yang tidak kukenali. Tempat ini aneh. Kanan dan kirinya adalah tembok kaca yang langsung menembus alam terbuka. Di depan sana ada pagar besi, lebih seperti kerangkeng yang sedang memerangkapku.
Aku mencoba menghampiri pagar itu. Aku harap bisa keluar dari tempat aneh ini. Tapi sejauh aku memandang, yang ada di sana hanya hamparan rumput dan pepohonan yang luas.
Sebuah auman keras membuatku bergidik. Sontak aku memundurkan tubuh dan menabrak tembok belakangku. Tapi aku mengernyit, tembok di belakangku ini ternyata juga terbuat kaca yang tertutup kain dari luar.
Apa ada jalan keluar lain selain kerangkeng itu? Aku mendongak dan melihat ada sebuah kotak, seperti lubang darurat pada lift-lift di dalam gedung mewah.
Tubuhku luruh ke bawah, merasakan rasa sakit dan bercampur pegal. Aku tidak memiliki tenaga. Sebenarnya aku tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini.
Tangan dan kakiku bergetar karena ketakutan. Ingatan terakhirku, aku sedang berada di sebuah klub malam bersama teman Leo yang bernama Dion.
Apa sekarang aku adalah tawanan Dion?
Astaga! Seharusnya aku tidak bermain-main dengan orang itu. Tubuhku semakin bergetar hebat, tapi aku memperingatkan diriku bahwa ini hanya karena aku belum makan.
Kau berani Cla! Kau bukan penakut!
Itu yang kutekankan pada diriku sendiri. Aku terus bergumam dan terus menyebut nama Leo dalam hatiku. Leo pasti akan menyelamatkanku.
Sebuah lampu menyorot dari arah belakangku.
Sontak aku membalik tubuhku dan memastikan kain yang menutup dinding kaca itu telah turun. Menampilkan sebuah ruangan mewah dan banyak orang pengawal.
*
Mata Clarisa membulat melihat Leo duduk di sebuah kursi besar, di antara para pengawalnya. Seakan sedang mendeklarasikan bahwa dirinyalah sang penguasa di antara mereka.
Leo mengangkat sebelah kakinya, meletakkan pergelangan kaki kanannya ke lutut kirinya. Punggungnya bersandar pada kursi itu, dengan tangan yang menyangga kepalanya. Sebuah senyum terukir indah di wajah tampannya.
Sayangnya menurut Clarisa, Leo sangat menakutkan saat ini.
"Leo, aku di mana? Tolong keluarkan aku dari tempat ini." Pinta Clarisa yang tidak yakin apakah Leo mendengarnya.
"Kau harus kuberi hukuman lebih dahulu." Ucap Leo dengan seringai yang sangat menakutkan. Clarisa bodoh, seharusnya tidak mengharap apa pun pada orang sekejam Leo.
"Ta-tapi apa salahku?"
"Kalau kau ingin keluar dari sana, katakan apa yang kau bicarakan dengan Dion tadi malam." Clarisa tersentak, Leo tahu bahwa semalam ia bertemu dengan Dion. Tapi sungguh. Clarisa sama sekali tidak mengingat apa pun dari percakapan semalam.
"Aku-aku tidak mengingatnya."
"Katakan, atau kau tetap berada di dalam sana."
Clarisa terdiam, masih mencoba menyelami memorinya. Tapi apa dayanya? Clarisa masih tidak bisa mengingat apa pun.
"Ta-tapi aku tidak mengingatnya. Kumohon keluarkan aku." Ucap Clarisa dengan suara yang bergetar hebat, menahan tangisnya.
"Kalau begitu tetap di sana dan jadilah santapan binatang kesayanganku."
Leo memberi aba-aba pada bawahannya untuk melakukan sesuatu. Clarisa menatap sekitarnya dengan was-was. Tak lama ada dua ekor singa datang dari kejauhan. Clarisa menjatuhkan tubuhnya dan segera mundur sejauh mungkin dari pagar kerangkeng.
Clarisa meneteskan air matanya.
Apakah pada akhirnya Clarisa akan mati di sini? Mati sebagai santapan hewan buas? Mati dengan kebohongan yang tidak akan terungkap? Mati tanpa mengetahui keadaan adiknya saat ini?
Clarisa berbalik dan menggedor-gedor kaca, tempat Leo sedang menatap kesengsaraannya.
"Leo aku takut, aku tidak boleh mati seperti ini! Tolong keluarkan aku." Pinta Clarisa di sela tangisnya.
Grrrrrrr!
Singa itu sudah ada di dekat Clarisa. Memperhatikan Clarisa sebagai santapan lezat dari balik tembok kaca itu.
Clarisa merapatkan tubuhnya yang bergetar, tenggorokannya yang kering dan tenaga yang belum terisi membuatnya pasrah. Wajahnya memucat dan keringatnya terus membasahi keningnya.
Clarisa terisak. "Hiks, maafkan aku."
"AAAAA!" Jerit Clarisa saat singa-singa itu mulai menubrukkan tubuh mereka ke tembok kaca. Hingga suara retak mulai terdengar.
Salah satu singa itu berhasil memasukkan kakinya di celah besi kerangkeng bagian depan. Clarisa menjerit ketakutan bukan main.
"Argh!" Tanpa sadar cakaran itu berhasil mengenai kaki kanannya. Clarisa semakin memojokkan tubuhnya dan memeluk kedua kakinya. Tangisannya pecah, bibirnya tidak lagi mengharap pertolongan dari Leo.
Clarisa ingin pulang. Clarisa ingin kembali ke negara asalnya. Clarisa ingin kembali ke kedua adiknya.
Tolong Tuhan! Clarisa tidak ingin mati sekarang! Jangan sebelum Clarisa memastikan kedua adiknya bisa mandiri.
Greeet! Ctang!
Di saat hati Clarisa sedang berisik, sebuah suara mengusiknya. Pintu kecil, atau pintu darurat yang ada di atasnya terbuka.
Clarisa berdiri dengan cepat dan menerima uluran tangan dari Leo. Clarisa segera melingkarkan tangannya di leher Leo saat pria itu mengangkatnya dari dalam sana.
Rupanya ada sebuah ruangan kecil di atas sana, memiliki ukuran yang sama dengan ruang tembok kaca di bawahnya.
Leo mengangkat Clarisa dengan mudah dan menggendong Clarisa keluar dari sana bagai koala. Nafas Clarisa yang tidak teratur karena tangisannya membuat hati Leo tersentil. Leo sudah terlalu berlebihan pada wanita itu.
"Jasmine, kau.." Ucapan Leo terputus saat Clarisa langsung lompat turun dari gendongannya. Clarisa terjatuh, namun Clarisa tidak peduli lagi.
Leo berlutut di hadapan Jasmine dan menarik kakinya. Memperhatikan luka cakaran dari peliharaannya tadi. Lukanya cukup dalam.
Clarisa yang marah dengan tindakan Leo langsung menarik kakinya, dengan berani menatap garang Leo. Leo yang sudah melembut, kembali menggeram marah mendapat tatapan itu.
"Bawa dia ke rumahku. Kunci dia di kamarku!" Perintah Leo pada Alan.
"Aku mau pulang!" Serobot Clarisa cepat. Clarisa tidak ingin membuka hati ataupun membuka diri lagi pada pria yang menghukum wanita tanpa tahu apa kesalahannya.
"Kalau begitu aku ikut. Kita bicara di apartemenmu."
"Tidak!" Tolak Clarisa mentah-mentah sambil berusaha bangkit dari jatuhnya.
"Jasmine!" Peringat Leo. Tapi Clarisa tidak peduli dengan Leo yang masih mencoba menahan emosinya. Dengan langkah tertatih-tatih, Clarisa berjalan mencari jalan keluar.
"Jasmine!" Leo masih berusaha membujuk Jasmine. Namun gadis itu masih berjalan tanpa arah.
"Jangan panggil aku dengan nama itu!"
Grap!
Tangan Jasmine berhasil Leo tangkap.
"Ayo pulang, aku antar."
"Aku pulang sendiri!"
Leo mendesis terhadap penolakan Jasmine padanya.
"Jangan membantahku, atau kau akan merasakan akibatnya!"
"Apa akibatnya? Ha? Kenapa tidak biarkan aku mati saja di makan singa-singa itu? Kenapa keluarkan aku dari sana? Kau menyebalkan Leo!" Clarisa melepas paksa cekalan tangan Leo padanya, kemudian langsung berjalan menjauh dari sana.
"Aku sudah memperingatkanmu!" Leo berjalan cepat dan langsung mengangkat tubuh kurus Clarisa bagaikan karung beras di pundaknya.
Tidak ada pengawal yang berani mengikuti Leo yang sedang membawa paksa pergi tunangannya. Entah apa yang akan terjadi setelah itu.