webnovel

Bara

Apa yang terjadi jika hidupmu berubah dalam semalam. Setidaknya itulah yang dirasakan bara. Ingatan terakhirnya adalah dia sedang dikejar debt collector dan salah satu dari mereka menusuknya hingga dia merasa jika ajalnya sudah dekat. Tapi yang terjadi selanjutnya begitu mengejutkannya. **** Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa untuk menambahkannya ke dalam koleksi dan berikan dukungan kalian dengan memberikan vote, review dan komentarnya. Terima kasih.. ^^ ---- Lanjutan side story tentang Ben bisa dibaca di https://www.webnovel.com/book/off-the-record-ben's-untold-story_22960375506464905

pearl_amethys · Politique et sciences sociales
Pas assez d’évaluations
702 Chs

Uprising

Sudah hampir satu minggu berlalu sejak Bara memutuskan untuk tetap berada di sisi Pak Haryo. Tepat pada hari keenam, Pak Agus menghampiri Bara yang sedang duduk disebelah tempat tidur Pak Haryo. Tiga hari yang lalu, Pak Haryo sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa meskipun masih dalam keadaan koma. Pak Haryo menempati sebuah kamar rawat president suite yang sangat luas. Bara merasa lega tidak perlu menginap di hotel karena di kamar rawat Pak Haryo tersedia ranjang untuk keluarga yang menjaga pasien. Bara bahkan merasa kamar rawat Pak Haryo tidak ubahnya seperti kamar hotel karena fasilitasnya yang super lengkap.

"Besok akan diadakan rapat Direksi, sepertinya Mas Bara harus hadir disana," ujar Pak Agus.

Bara menatap Pak Agus sejenak sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada Pak Haryo, "Saya belum sanggup pergi kemana pun."

Pak Agus menghela napas mendengar perkataan Bara. Sudah beberapa kali Pak Agus mencoba membicarakan tentang rapat Direksi yang akan segera dilaksanakan, namun jawaban Bara masih sama. Bara belum sanggup untuk pergi dari sisi Pak Haryo.

"Mas Bara tidak bisa terus menerus seperti ini, sesuai permintaan Bapak, jika terjadi sesuatu sama Bapak, Mas Bara lah yang ditunjuk sebagai wakil Bapak," terang Pak Agus.

Bara terdiam, "Sebenarnya saya mau hadir di rapat itu, tapi saya takut."

"Apa yang Mas Bara takutkan?"

"Saya takut, Eyang pergi meninggalkan saya ketika saya sedang tidak ada disisinya," Bara menatap Pak Haryo yang masih terbaring koma dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tetapi kita tidak bisa terus berdiam disini, masih banyak pekerjaan Bapak yang harus dilakukan dan itu sekarang menjadi tanggung jawab Mas Bara, Bapak tentu tidak akan suka jika Mas Bara mengabaikan tanggung jawab itu hanya demi menemani Bapak."

Bara kembali terdiam mendengarkan ucapan Pak Agus, Bara menggenggam erat tangan Pak Haryo. Dalam hatinya, Bara juga merasa berat mengabaikan tanggung jawab yang harus diembannya sebagai wakil Pak Haryo. Terlebih Bara juga ingin tetap melanjutkan penyelidikan yang sudah ia mulai, namun Bara juga merasa berat untuk meninggalkan Pak Haryo karena takut Pak Haryo pergi disaat dia tidak ada disisinya.

"Bapak yakin saya bisa menjalankan tanggung jawab itu?" tanya Bara ragu.

Pak Agus menepuk bahu Bara, "Mas Bara tidak perlu khawatir, pengalaman saya bertahun-tahun menemani Bapak akan saya jadikan bekal untuk mendampingi Mas Bara, bapak sendiri yang minta saya menjaga Mas Bara."

"Kalau Pak Agus pergi sama saya, lalu siapa yang akan jaga Eyang?"

"Untuk hal itu sudah saya diskusikan dengan Dokter yang menangani Bapak, Dokter sudah setuju untuk membawa Bapak ke Jakarta."

"Eyang bisa dibawa ke Jakarta?"

Pak Agus mengangguk, "Tapi tidak bisa langsung, karena ada beberapa prosedur yang harus disiapkan, selama persiapan itu saya sudah meminta orang untuk menjaga Bapak."

"Siapa yang akan menjaga Eyang?"

Pak Agus melihat jam tangannya, harusnya orang yang akan ditugaskan untuk menjaga Pak Haryo sudah datang, tapi orang itu belum juga datang.

"Harusnya orang itu sudah tiba sekarang," ujar Pak Agus.

"Bapak kenal orangnya?" tanya Bara.

"Saya baru kenal dia beberapa hari lalu melalui telpon, tapi katanya dia mantan pegawai dikantor."

"Jadi Pak Agus belum pernah ketemu sama orang yang bakal jagain Eyang?" tanya Bara tak percaya.

Pak Agus menggeleng, "Saya cuma pernah sekali video call sama dia."

"Terus gimana saya bisa percaya kalau dia ngga punya niat apa-apa sama Eyang?"

Seseorang mengetuk pintu ruang rawat Pak Haryo, pintu kamar rawat Pak Haryo terbuka, seorang pemuda melangkah masuk kedalam.

"Lu bisa percaya sama gue," ujarnya.

Bara terkejut melihat pemuda yang baru saja masuk ke kamar rawat Pak Haryo, "Arga?" ujar Bara tidak percaya dengan sosok Arga yang sedang berdiri dihadapannya.

"Kok lu bisa ada disini?" tanyanya.

Pak Agus menghampiri Arga yang berdiri diujung ranjang Pak Haryo.

"Dia yang akan menemani Bapak, kamu kenal sama dia, kan?" Pak Agus merangkul Arga.

"Iya," jawab Bara singkat.

"Ini sebenarnya ada apa? kenapa bisa Arga yang ada disini?" Bara berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Pak Damar yang minta gue buat kesini," jawab Arga.

"Damar yang minta lu kesini? Terus kerjaan lu dikantor gimana?" tanya Bara keheranan.

"Gue sudah re-sign dari kantor."

"Re-sign?"

Arga mengangguk, "Kata Pak Damar, untuk sementara gue harus bersembunyi, tapi gue ngga bisa sembunyi gitu aja, gue tetap harus cari nafkah buat keluarga gue dikampung, jadi Pak Damar diskusi sama Pak Agus buat menempatkan gue disini."

"Kok Damar ngga bilang apa-apa sama gue?"

"Ya, kalau itu, lu tanya aja ke Pak Damar."

"Jadi gimana? Mas Bara setuju kan, kalau Arga yang menjaga Bapak selama kita kembali ke Jakarta?" Pak Agus menyela percakapan Bara dan Arga.

Bara terlihat masih ragu-ragu dengan keputusan Pak Agus dan Damar untuk menempatkan Arga disisi Pak Haryo selama dirinya dan Pak Agus berada di Jakarta.

Arga melihat gelagat Bara yang masih terlihat ragu-ragu menjawab pertanyaan dari Pak Agus, "Lu tenang aja, ngga ada yang tahu kalau gue ada disini, orang-orang tahunya gue sudah pulang kampung," ujar Arga.

"Pak Agus tahu kan kenapa Arga harus sembunyi?" Bara balik bertanya pada Pak Agus.

"Ya, saya sudah tahu dari cerita Mas Damar, dia bersembunyi karena sudah menyelamatkan Mas Bara, itu sudah menjadi alasan yang kuat bagi saya untuk mempercayai Arga," jawab Pak Agus.

Pak Agus melanjutkan, "Kedatangan Arga kesini juga sudah disusun sedemikan rupa oleh Mas Damar, dia sudah memastikan tidak akan ada yang membuntuti Arga."

Arga menghampiri Bara, "Lu harus datang ke rapat besok atau lu akan kehilangan kesempatan untuk menyelidiki orang-orang yang sudah membuat Pak Haryo seperti ini."

Mendengar kata-kata yang diucapkan Arga, Bara seperti kembali menemukan sebuah alasan untuk berhadapan dengan musuh yang sudah ada didepan mata.

"Jadi gimana?" Arga mengulurkan tangannya pada Bara.

Bara menatap Arga sejenak untuk melihat kesungguhan Arga sebelum menyambut jabat tangannya, "Oke, gue minta tolong sama lu untuk jagain Eyang selama gue ngga ada disini."

"Lu bisa percaya sama gue," jawab Arga bersungguh-sungguh.

Bara memeluk Arga, "Thanks Ga."

Bara melepaskan pelukannya, "Saya akan datang ke rapat besok, Pak."

Bara menatap Pak Agus sungguh-sungguh.

Pak Agus tersenyum lega dengan keputusan yang Bara buat.

"Kalau begitu, saya permisi dulu untuk mengurus kepulangan Mas Bara ke Jakarta," Pak Agus segera keluar dari ruang rawat Pak Haryo untuk menyiapkan kepulangan Bara ke Jakarta. Pak Agus sangat bersemangat untuk mempersiapkan kepulangan Bara, didalam hatinya Pak Agus sudah tidak sabar untuk melihat ekspresi orang-orang yang sudah berani menikam Pak Haryo dari belakang.

"Ngomong-ngomong gue belum ngucapin terima kasih sama lu karena udah nolongin gue," ujar Bara.

"Kalau bukan karena lu, mungkin sekarang gue ngga ada disini," lanjutnya.

"Gue ngga berharap apa-apa kok waktu gue nolongin lu, tapi karena sekarang gue juga dalam bahaya, gue harap lu bisa secepatnya membongkar kebusukan yang ada dikantor sebelum ada korban yang lain," ujar Arga.

"Gue ngga bisa janji gue bakal cepat membongkar semua ini, tapi gue pastikan lu akan aman selama lu disini."

Arga mengangguk, "Gue percaya lu bisa secepatnya menemukan dalang dibalik semua ini."

"Makasih lu udah percaya sama gue," ujar Bara.

"Terkadang gue iri sama kehidupan orang-orang seperti kalian yang kelihatan serba mudah dan tidak perlu pusing memikirkan soal uang, tapi ternyata gue menyesal sudah iri, gue jadi makin bersyukur sama hidup gue yang biasa-biasa ini," Arga mengungkapkan isi pikirannya.

Bara tertawa pelan menanggapinya, "Apa yang lu lihat itu cuma seperti permukaan air yang berkilauan, kenyataannya, ketika lu masuk kedalamnya, itu sangat gelap sampai-sampai gue sendiri ngga bisa lihat ujungnya."

"Kata-kata lu berat banget," canda Arga.

Bara kembali tertawa mendengar ucapan Arga.

****

Sehari setelah menjenguk Pak Haryo dirumah sakit, Damar segera memikirkan cara yang bisa membuat Bara secara sukarela hadir pada rapat pemilihan CEO. Selain itu, Damar juga harus memikirkan cara untuk menjauhkan Arga dari kantor dan lingkungannya. Ketika sedang berpikir keras, Damar terpikirkan sebuah rencana. Namun untuk membuat rencananya berjalan, Damar harus berkonsultasi dengan Pak Agus dan mendapat persetujuan darinya. Damar pun memberanikan diri untuk mengungkapkan rencananya pada Pak Agus melalui sambungan telepon. Damar mengungkapkan rencananya pada Pak Agus untuk menugaskan seseorang yang telah menolong Bara untuk menjaga Pak Haryo. Damar menjelaskan alasan mengapa ia ingin menugaskan orang tersebut untuk menjaga Pak Haryo. Damar berusaha meyakinkan Pak Agus dengan rencana yang ia buat. Pak Agus tidak langsung menyetujui rencana Damar, Pak Agus bilang akan memikirkannya terlebih dahulu dan akan segera mengabari Damar.

Setelah menghubungi Pak Agus, Damar segera memanggil Arga keruangannya. Tidak berapa lama, Arga datang keruangan Damar. Tanpa basa-basi, Damar segera memberitahu Arga bahwa saat ini Arga harus bersembunyi untuk sementara waktu.

"Kenapa saya harus sembunyi, Pak? Saya kan tidak melakukan kesalahan apa-apa."

"Kamu memang tidak melakukan kesalahan apa-apa, tapi nyawa kamu sedang terancam karena kamu sudah menyelamatkan Bara tempo hari," terang Damar.

"Saya masih ngga paham, Pak," Arga masih tidak memahami mengapa pertolongan yang ia berikan pada Bara bisa membuat nyawanya terancam.

"Jadi begini," Damar menarik napas sejenak sebelum memberitahu Arga mengapa nyawanya sedang terancam saat ini. Damar memberitahu Arga bahwa hanya Arga satu-satunya saksi yang tersisa dalam peristiwa penyerangan yang menimpa Bara. Arga melongo mendengar penjelasan Damar.

"Jadi, pelakunya saat ini masih berkeliaran, Pak?" tanya Arga.

Damar mengangguk.

"Dan, ada kemungkinan orang tersebut mau melenyapkan saya karena saya satu-satunya saksi kejadian itu?"

Damar kembali mengangguk menjawab pertanyaan Arga.

Arga menelan ludah. Tidak menyangka bahwa nalurinya untuk menolong Bara pada saat itu bisa membuat nyawanya terancam saat ini.

"Tapi, kalau saya harus sembunyi, pekerjaan saya bagaimana, Pak?" Arga mengkhawatirkan pekerjaannya jika ia harus bersembunyi. Karena jika dirinya tidak mempunyai pekerjaan, bagaimana ia bisa membantu keluarganya di kampung.

"Untuk soal itu, kamu tidak perlu khawatir, saya sudah punya rencana untuk kamu."

"Rencana apa, Pak?"

Damar memberitahu rencananya untuk menempatkan Arga sebagai penjaga Pak Haryo. Damar juga memberitahukan kondisi terkini Pak Haryo pada Arga.

"Bagaimana kalau kamu, saya kenalkan dengan orang kepercayaan Pak Haryo, saya juga perlu persetujuannya untuk menjalankan rencana ini," ujar Damar.

"Terserah Bapak aja," jawab Arga pasrah.

Damar kemudian kembali menghubungi Pak Agus. Kali ini Damar melakukan panggilan video untuk memperkenalkan Arga pada Pak Agus. Damar kembali meyakinkan Pak Agus untuk percaya pada Arga dengan memberitahukan bahwa Arga adalah orang yang tadi ia ceritakan di telpon.

"Jadi, kamu yang sudah menyelamatkan Mas Bara?" tanya Pak Agus ketika bertatap muka dengan Arga melalui panggilan video.

Dengan kikuk Arga menjawab, "Iya, Pak."

"Terima kasih banyak, Nak Arga. Saya sangat menghargai keberanian Nak Arga menyelamatkan Mas Bara," puji Pak Agus.

"Ah, itu bukan apa-apa, Pak. Kalau orang lain yang lihat juga pasti akan bersikap sama seperti saya," Arga tersipu mendengar pujian Pak Agus.

"Tapi saya turut menyesal, Keselamatan Nak Arga jadi ikut terancam karena sudah menolong Mas Bara," Pak Agus terlihat muram.

Arga terdiam, ragu untuk menimpali ucapan Pak Agus. Sesungguhnya terbersit sedikit rasa penyesalan dalam hatinya ketika Damar mengatakan bahwa nyawanya saat ini sedang terancam.

"Jadi, menurut Pak Agus, bagaimana dengan rencana yang tadi sudah saya sampaikan?" Damar menyela pembicaraan Pak Agus dan Arga.

Pak Agus terlihat berpikir sejenak.

"Oke, saya setuju dengan rencana Mas Damar," seru Pak Agus.

Damar tersenyum lega mendengar Pak Agus menyetujui rencananya.

"Ada satu tambahan dari saya," ujar Pak Agus.

"Apa Pak?" tanya Damar.

"Pastikan tidak ada seorang pun yang mengikuti Nak Arga ketika dia kesini," ucap Pak Agus tegas.

"Baik, Pak," Damar menyanggupi permintaan Pak Agus.

"Kalau begitu, nanti kabari saya lagi tentang rencananya, kalau perlu bantuan, saya akan mengerahkan orang-orang saya."

"Baik, Pak."

"Saya sudahi dulu kalau begitu," Pak Agus segera mematikan panggilan videonya.

Damar kembali beralih pada Arga untuk memastikan apakah Arga mau mengikuti rencananya atau tidak.

"Jadi saya harus bagaimana, Pak?" Arga langsung menyela begitu Damar hendak bertanya padanya.

"Secepatnya kamu bikin surat pengunduran diri."

"Tapi, Pak. Bukannya kalau sesuai prosedur, kita ngga bisa mengajukan pengunduran diri secara mendadak."

"Saya bisa atur itu bersama orang HRD."

"Untuk gajinya gimana?" Arga tidak mau menjadi orang yang naif dengan berpura-pura tidak peduli dengan gaji yang akan ia dapatkan nantinya.

"Urusan gaji juga kamu tidak perlu khawatir, saya akan gaji kamu dua kali lipat dari gaji kamu saat ini."

Mata Arga berbinar mendengar ucapan Damar yang akan menggajinya dua kali lipat dari gajinya sebagai office boy. Arga kembali merasa bahwa keputusannya untuk menolong Bara tempo hari adalah keputusan yang tepat.

"Oke, saya terima tawaran dari bapak," seru Arga yakin.

"Bagus, selanjutnya kamu harus mengikuti arahan dari saya, agar rencana ini berjalan mulus untuk memastikan tidak ada pihak yang berusaha mengikuti kamu."

"Kapan saya berangkat ke Solo, Pak?" tanya Arga bersemangat.

"Kamu tunggu kabar dari saya."

"Baik, Pak."

"Sekarang, kamu kembali bekerja seperti biasa dan segera buat surat pengunduran diri kamu."

"Baik, Pak. Saya permisi dulu kalau begitu."

Damar menganggukkan kepalanya. Ternyata membujuk Arga tidak sesulit yang ia bayangkan. Arga segera keluar dari Damar. Baru kali ini Arga merasa senang untuk membuat surat pengunduran diri.

Menjelang hari H keberangkatan Arga ke Solo, Damar menyewa beberapa orang penjaga untuk mengawasi keberangkatan Arga. Damar juga meminta Pak Agus untuk menugaskan salah satu orangnya untuk memastikan tidak ada yang mengikuti Arga. Pak Agus berkoordinasi dengan Dirga dan anak buahnya. Mereka yang akan bertugas sebagai lapisan kedua untuk memastikan Arga aman sampai tiba di rumah sakit tempat Pak Haryo dirawat. Sementara Arga merasa dirinya seperti sedang berada di film-film aksi spionase. Arga mendengarkan dengan seksama perintah yang diberikan Damar. Rencananya adalah, Arga akan menaiki bus yang biasa ia tumpangi ketika pulang ke kampung. Didalam bus tersebut akan ada satu orang yang bertugas untuk menyamar sebagai Arga. Nantinya didalam bus, Arga dan orang tersebut akan bertukar pakaian. Arga akan ikut turun ketika bus itu tiba di kampungnya di Semarang. Kemudian orang yang menggantikan Arga akan pergi seolah-olah menuju rumah Arga, untuk menjebak orang yang mungkin mengikuti Arga. Sedangkan Arga sendiri, akan melanjutkan perjalanan menuju kota Solo. Mulai dari sini, yang menjaga Arga adalah Dirga dan anak buahnya.

Sepanjang perjalanan, Arga terus merasa cemas. Cemas jika benar apa yang dikatakan Damar, bahwa ada orang yang akan berusaha untuk menyingkirkannya. Perjalanan menuju kota Solo terasa amat panjang bagi Arga. Arga baru bisa sedikit bernapas lega ketika dirinya sudah berhasil tiba di kota Solo pada pagi hari. Sebuah mobil minibus hitam datang menjemputnya di terminal. Awalnya Arga sedikit ragu bahwa orang yang ada dalam mobil minibus itu adalah orang suruhan Pak Agus. Namun, salah seorang diantara mereka menelpon Pak Agus didepan Arga. Setelah beberapa saat berbicara dengan Pak Agus, orang tersebut memberikan telponnya pada Arga. Arga berbicara dengan Pak Agus melalui telpon genggam orang yang menjemputnya. Setelah itu, Arga baru mempercayainya dan masuk ke mobil minibus tersebut. Begitu Arga sudah masuk kedalam mobil, mereka segera menuju rumah sakit tempat Pak Haryo dirawat.

****

Sesaat sebelum rapat pemilihan CEO dimulai, Damar menginterupsi moderator rapat yang akan segera memulai rapat.

"Sebentar, ada satu orang lagi yang baru datang." ujar Damar.

Para Direksi dan Komisaris yang sudah ada di ruangan menoleh ke kanan dan ke kiri sambil berbisik mempertanyakan siapa peserta rapat yang belum hadir. Damar berjalan menuju pintu ruang rapat dan membuka pintu tersebut. Bara sudah berdiri dibalik pintu tersebut dan segera melangkah masuk begitu Damar membuka pintu untuknya. Bara melangkah penuh percaya diri kedalam ruang rapat dengan menggunakan setelan jas lengkap. Pak Agus berjalan dibelakang Bara sambil memperhatikan ekspresi terkejut dari para peserta rapat terutama Pak Angga dan Pak Bima. Bara duduk di kursi kosong yang seharusnya ditempati oleh Pak Haryo. Damar kembali duduk di kursinya sambil melempar senyum kearah Bara. Damar lega, akhirnya Bara memilih untuk menghadiri rapat pemilihan CEO. Pak Agus duduk di kursi yang disediakan untuk Notulen yang mengawasi jalannya rapat. Pak Agus bisa merasakan para peserta rapat menjadi tidak tenang setelah Bara masuk dan duduk di kursi Pak Haryo. Bara memperhatikan satu-persatu perserta rapat yang terkejut dengan kehadirannya. Tatapan mata Bara seperti seorang pemburu yang sedang menentukan buruannya. Kali ini, Bara sudah tidak ragu lagi dan bertekad untuk membongkar semuanya.

****