webnovel

Bara

Apa yang terjadi jika hidupmu berubah dalam semalam. Setidaknya itulah yang dirasakan bara. Ingatan terakhirnya adalah dia sedang dikejar debt collector dan salah satu dari mereka menusuknya hingga dia merasa jika ajalnya sudah dekat. Tapi yang terjadi selanjutnya begitu mengejutkannya. **** Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa untuk menambahkannya ke dalam koleksi dan berikan dukungan kalian dengan memberikan vote, review dan komentarnya. Terima kasih.. ^^ ---- Lanjutan side story tentang Ben bisa dibaca di https://www.webnovel.com/book/off-the-record-ben's-untold-story_22960375506464905

pearl_amethys · Politique et sciences sociales
Pas assez d’évaluations
702 Chs

Now and Then (3)

Bara keluar dari dalam lift dengan wajah tersipu-sipu sambil memegangi tangannya yang tadi dia gunakan untuk menggenggam lengan Raya.

"Muka lu kenapa senyam-senyum ngga jelas gitu?" tanya Damar.

"Ngga, ngga ada apa-apa," Bara berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya.

"Gue jadi curiga, pasti ada sesuatu nih," ujar Damar sambil memperhatikan ekspresi wajah Bara.

"Beneran, ngga ada apa-apa, emang ada yang salah sama muka gue sekarang?"

"Muka lu sekarang, kaya anak ABG abis ketemu gebetan."

"Ngaco lu, udahlah, ayo kita makan, gue yang traktir," Bara mencoba mengalihkan perhatian Damar.

"Nah, kata-kata itu yang gue tunggu."

"lu jadi mau makan steak?"

"Kita makan di restoran Italia yang ada disini aja, disana ada alkohol, gue mau minum sedikit."

Damar kemudian melirik jam tangannya. Jamnya menunjukkan pukul tiga lebih sepuluh menit.

"Tapi kalau jam segini restorannya belum buka," ujar Damar setelah melihat jam tangannya.

"Bukannya semua restoran buka kalau jam segini?" tanya Bara.

"Ada beberapa restoran yang punya jeda waktu antara makan siang dan makan malam, biasanya kalau jam segini mereka lagi persiapan untuk makan malam, jadi restoran ditutup, buka lagi nanti sekitar jam lima atau jam enam sore," terang Damar.

"Oh, begitu, gue baru tahu," Bara mengangguk-angguk mendengar penjelasan Damar. "Terus, kita mau makan apa sekarang? Gue udah mulai laper nih," Bara memegangi perutnya yang sudah mulai keroncongan.

"Kita keluar aja, di mall kan ada banyak pilihan makanan, gimana?" tawar Damar.

"Terserah lu deh, gue sih makan indomie atau nasi padang juga oke," rasa lapar sudah membuat Bara tidak sabar, terlebih lagi Damar seperti sedang bimbang menentukan apa yang mau dia makan.

"Yaudah, kita ambil mobil gue dulu."

Mereka kembali menuju lift untuk turun ke lantai basement. Pada saat menuju lift, Bara melihat Raya yang sedang menikmati kopi di salah satu kedai kopi yang ada disana. Bara tidak bisa melepaskan pandangannya dari Raya yang berada di kejauhan.

"Hoi," Bara menyikut Damar yang sedang berdiri di sebelahnya.

"Apa?"

"Kenapa kita ngga ngopi aja sambil nunggu restorannya buka?" Usul Bara tiba-tiba.

"Ngopi?"

Bara mengalihkan pandangannya pada Damar.

"Iya, ngopi," jawab Bara.

"Katanya lu laper, emangnya kopi bisa bikin kenyang?" Damar keheranan dengan ajakan Bara untuk menikmati kopi, padahal beberapa saat sebelumnya Bara sudah nampak tidak sabar karena lapar.

"Disitu juga ada makanannya, kan?" Bara menunjuk kedai kopi berlambang putri duyung dengan latar belakang berwarna hijau tempat Raya berada saat ini.

"Ada sih, porsinya juga lumayan kalau buat cemilan sambil nunggu restorannya buka," jawab Damar. Damar mulai mempertimbangkan ajakan Bara untuk menikmati kopi dan cemilan di kedai kopi tersebut.

"Yaudah lah, kita ngopi dulu aja," Damar akhirnya menyetujui ajakan Bara.

Bara tersenyum ketika Damar menyetujui ajakannya untuk minum kopi. Niat sesungguhnya adalah dia ingin lebih lama memandangi Raya. Melihat Raya yang sedang tersenyum bersama rekan kerjanya membuat Bara seperti mendapatkan sebuah energi baru. Baginya, Raya seperti lembayung senja sebelum gelap malam menghampiri dirinya. Kecantikannya mampu membuat Bara terbuai dan sedikit melupakan gelapnya malam yang harus ia lalui. Paling tidak, di penghujung hari ini, Bara ingin sedikit mencicip sebuah keindahan. Meski hanya sesaat, itu sudah cukup baginya untuk menghadapi malam-malam panjang nan dingin yang akan dilaluinya.

Bara dan Damar akhirnya menuju kedai kopi yang sama yang didatangi oleh Raya dan rekan kerjanya. Sesuai prosedur, pegawai kedai kopi segera tersenyum ramah menyambut kedatangan mereka dan menanyakan pesanan mereka. Damar segera memesan kopi double espresso sementara Bara memesan kopi americano dingin. Keduanya juga sama-sama memesan roti lapis yang menjadi menu andalan kedai tersebut untuk mendampingi mereka minum kopi. Selesai memesan, Bara kembali mengalihkan perhatiannya pada Raya yang sedang duduk di dekat jendela. Raya dan rekan kerjanya terlihat sangat asyik mengobrol, mereka tidak menyadari Bara dan Damar yang juga berada di kedai tersebut. Bara kembali tersenyum melihat wajah Raya yang sedang tersenyum, sinar matahari sore yang masuk menembus melalui jendela kaca di sebelahnya semakin memancarkan pesona Raya di mata Bara.

Bara kemudian mencari posisi tempat duduk yang bisa membuatnya bisa leluasa untuk memandangi Raya. Bara akhirnya memilih tempat duduk di lantai mezanin kedai kopi tersebut. Dari posisi tempat duduknya, Bara dapat memandang kearah Raya tanpa Raya sadari.

Damar menyusul Bara ke tempat duduk yang berada di lantai mezanin. Damar misuh-misuh karena harus menaiki tangga sambil membawa kopi beserta roti lapis yang mereka pesan ke lantai mezanin.

"Kenapa lu milih disini sih? Enakan juga duduk dibawah," Damar meletakkan pesanan mereka diatas meja.

"Biar lu olahraga sedikit," ujar Bara sambil tersenyum jahil.

Damar melirik kesal kearah Bara.

"Silahkan loh ini, dimakan," Bara dengan usil menyorongkan roti lapis milik Damar ke arahnya.

"Gue jadi agak menyesal udah bantuin lu," cibir Damar.

"Jangan begitu lah," ujar Bara sambil tertawa.

"Sayangnya gue udah terlanjur bantuin lu," Damar menyesap double espresso miliknya.

Bara menyatukan ibu jari dan telunjuknya untuk membentuk lambang hati dan mengarahkannya pada Damar, "I love you."

Damar bergidik melihat sikap Bara yang menurutnya sudah sangat aneh. Sementara Bara tersenyum riang melihat sikap Damar. Damar merasa lega, hari ini Bara sudah terlihat sedikit lebih baik dibanding minggu lalu. Sepertinya ada sesuatu yang sudah mencairkan suasana hatinya.

"Ngomong-ngomong, lu kenapa ngga ngasih tahu gue soal Arga?" tanya Bara.

"Gimana gue mau ngasih tahu lu, lu ngga inget sikap lu minggu lalu ke gue sama Kimmy waktu kita di rumah sakit?"

Bara mengingat-ingat kejadian di rumah sakit pada saat dirinya mengacuhkan Kimmy dan Damar ketika mereka menyampaikan tentang rapat Direksi.

"Gue minta maaf soal itu," ujar Bara sambil tertunduk.

"Nevermind, gue juga sadar waktunya ngga tepat, tapi gue tetap ngotot ngasih tahu lu, Kimmy sebenarnya udah ngelarang gue buat ngasih tahu lu tentang rapat Direksi."

"Kenapa lu tetap ngotot ngasih tahu gue?"

"Karena gue ngga mau pemilihan ini diadakan."

"Sejujurnya gue agak bingung sama sikap lu, orang waras mana yang menolak untuk dipilih sebagai CEO?" tanya Bara keheranan.

"Pertanyaan lu hampir sama dengan apa yang ditanyakan Kimmy ke gue minggu lalu, dan jawaban gue belum berubah, gue ngga mau dipilih dengan cara yang tidak benar, gue mau dipilih berdasarkan kemampuan gue, bukan dengan cara seperti ini."

"Ngomongin soal Kimmy, kenapa dia ngga ada di rapat tadi?" Bara keheranan dengan ketiadaan Kimmy di ruang rapat.

"Kimmy ngga pernah tertarik dengan perusahaan, lu tahu kan, selama ini, dia datang ke rapat untuk mewakili Eyang Haryo kalau dia sedang berhalangan hadir, sekarang kan ada lu, jadi Kimmy rasa dia sudah ngga perlu terlibat lagi," terang Damar.

"Terus dia lagi dimana sekarang?"

"Di Bali."

"Bali? Kita babak belur disini dan dia sekarang lagi asyik-asyik di Bali?" Bara mendadak berapi-api ketika mendengar Kimmy sedang berada di Bali.

"Dia di Bali juga bukan buat senang-senang kali, dia lagi ada kerjaan disana, katanya pemotretan untuk katalog lini pakaiannya yang mau rilis bulan depan."

"Oh, gue pikir dia lagi asyik-asyik liburan."

Damar tertawa, "Ngga mungkin lah Kimmy liburan disaat seperti ini, asal lu tahu aja, dia itu CEO di perusahaan yang lagi dia rintis."

Bara terdiam mendengar perkataan Damar. Bara tidak menyangka bahwa Kimmy sedang membangun bisnisnya sendiri.

"Gue bangga banget punya adik kaya dia," ujar Damar.

Damar terdiam sejenak, ada perasaan yang tidak bisa dia utarakan jika sedang membicarakan Kimmy. Perasaan janggal yang membuat Damar tidak sanggup untuk memikirkannya dan memilih untuk mengabaikannya.

"Gue juga bangga punya saudara yang hebat kaya kalian berdua," ujar Bara.

Damar tersenyum salah tingkah mendengar ucapan Bara. Keduanya kembali menyesap kopi masing-masing sambil tertawa.

"Oh ya, balik lagi ke Arga, lu udah pastiin ngga ada orang yang ngikutin dia sampai ke rumah sakit, kan?" Bara kembali ke topik pembicaraan tentang Arga.

"Menurut orang suruhan Pak Agus, ngga ada yang ngikutin Arga ke rumah sakit, tapi," Damar terdiam dan menatap Bara lekat-lekat.

"Tapi apa?" Bara bertanya penasaran.

"Tapi ada orang yang ngikutin anak buah gue yang menyamar sebagai Arga."

"Arga udah tahu?"

"Gue ngga mau kasih tahu dia, gue ngga mau dia kehilangan fokus, jadi, biar ini jadi rahasia kita bertiga aja."

"Terus orang yang ngikutin anak buah lu itu gimana?"

"Anak buah gue berhasil mengelabui mereka, jadi untuk sekarang Arga aman."

Bara kembali tidak habis pikir dengan orang-orang yang berusaha menyingkirkannya. Mereka bertindak seolah nyawa manusia tidak ada artinya. Bagi mereka selama mereka bisa mencapai tujuannya. Bara kembali mengalihkan perhatiannya pada Raya, Raya sedang bersiap untuk pergi meninggalkan kedai kopi tersebut. Raya juga memegang peranan dalam penyelidikannya, bagaimana jika orang-orang itu tahu bahwa Raya adalah salah satu orang yang membantunya mendapatkan data keuangan perusahaan. Seketika Bara merasa bersalah telah melibatkan Raya. Pada saat dirinya meminta tolong pada Raya, tidak terbersit dalam pikirannya bahwa Raya akan berada dalam bahaya. Namun, setelah apa yang menimpa Arga, Bara jadi menyadari bahwa dirinya sendiri yang sudah menempatkan Raya dalam bahaya.

"Maafin gue, Ray." Ucapan itu tertahan di kerongkongannya dan tidak dapat ia utarakan. Es kopi americano miliknya yang semula memiliki rasa manis terasa sangat pahit di lidahnya.

Lembayung senjanya pun sudah lewat dan berganti menjadi malam yang gelap. Bara hanya berharap dirinya dapat segera menyelesaikan apa yang sudah dia mulai sebelum orang-orang itu mencium campur tangan Raya.

****

Sehari sebelum keberangkatannya ke Bali, Kimmy mendapat pesan dari Damar bahwa Bara bersedia datang ke rapat Direksi. Membaca pesan tersebut membuat Kimmy bisa bernapas lega. Dirinya tidak perlu lagi menghadiri rapat Direksi yang menurutnya sangat membosankan. Dengan riang, Kimmy kembali memeriksa perencanaan untuk pemotretan lini pakaian miliknya. Ini adalah impian Kimmy sejak lama. Keputusan Kimmy memilih untuk berkecimpung di dunia modeling adalah untuk lebih memahami seluk beluk dunia fashion. Dengan masuk ke dunia modeling, Kimmy bisa banyak berkenalan dengan para Designer dan orang-orang penting yang berkecimpung dalam dunia fashion. Meskipun kerap mendapat cibiran karena banyak yang menganggap bahwa Kimmy berhasil karena nama besar keluarganya, hal itu tidak menyurutkan niat Kimmy untuk terus melangkah. Kimmy mampu membuktikan bahwa namanya bisa menjadi besar karena usahanya sendiri, bukan karena nama besar keluarganya. Perlahan tapi pasti, Kimmy membangun jejaring dengan orang-orang berpengaruh dalam dunia yang sedang di gelutinya. Keinginan Kimmy untuk terus mau belajar dan karakternya yang mudah bergaul, membuat banyak orang menyukai dirinya. Hal ini memudahkan Kimmy untuk sedikit banyak belajar tentang fashion dari ahlinya. Jerih payahnya terbayar, saat ini dirinya sedang menyiapkan peluncuran perdana lini pakaian siap pakai miliknya. Berhari-hari Kimmy tidak bisa tidur untuk menyiapkan katalog perdana produknya. Kimmy meminta bantuan rekan model sekaligus sahabatnya untuk menjadi model pakaian miliknya. Kimmy juga meminta izin Pak Ketut untuk meminjam halaman belakang galeri miliknya sebagai latar belakang fotonya. Pak Ketut tentu sangat senang membantu Kimmy, meski itu hanya meminjamkan halaman belakang pribadi miliknya. Setelah semua persiapan selesai, hanya satu yang Kimmy tunggu, yaitu kabar bahwa Bara akan hadir dalam rapat Direksi. Dan hari ini, kabar itu akhirnya tiba. Bara bersedia hadir dalam rapat Direksi dan Kimmy bisa dengan tenang mengerjakan pekerjaan yang sudah lama diimpikannya.

---

Kimmy menunggu penerbangannya ke Bali di lounge bandara Soerkarno Hatta. Berulang kali Kimmy melihat jam tangannya. Kimmy ingin segera mengetahui hasil rapat Direksi yang sedang diadakan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, namun Damar belum juga mengabarinya tentang rapat tersebut.

"Lama banget rapatnya," batin Kimmy.

"Ada apa, sih? Daritadi lu ngeliatin jam terus, Kim," Sahabat yang membantunya untuk pemotretan merasa penasaran dengan Kimmy yang terus menerus melihat jam tangannya.

"Gue lagi nungguin kabar," jawab Kimmy.

"Kabar dari pacar lu?"

"Hah? Pacar? Pacar yang mana?" Tanya Kimmy keheranan.

"Yang waktu itu sempat viral di IG, lu ngga tahu?" Kimmy menggeleng.

"Ada yang fotoin lu lagi belanja sama cowo," ujar rekan sekaligus sahabatnya itu.

Kimmy mencoba mengingat-ingat dengan siapa dia terakhir kali berbelanja, "Kayanya belakangan ini gue ngga pernah belanja sama cowo."

"Bentar." Sahabatnya kemudian membuka akun Instagram miliknya dan mencari-cari foto Kimmy yang sempat viral di sebuah akun gosip.

"Yang ini loh," Dia kemudian menunjukkan foto Kimmy bersama seorang pria. Kimmy memperhatikan kapan tanggal foto tersebut diunggah.

"Oh, itu. Itu sih sepupu gue," ujar Kimmy.

"Sepupu lu?"

Kimmy mengangguk.

"Kenalin dong, dia kayanya tipe gue banget."

"Ogah, gue ngga mau sepupu gue ternoda sama player kaya lu," Kimmy menjulurkan lidahnya untuk meledek sahabatnya yang meminta untuk dikenalkan pada Bara.

"Emang gue segitunya apa?" sahabat Kimmy merajuk.

"Iya, makanya gue ngga mau ngenalin lu sama dia."

"Yaudah, gue ngga jadi bantuin lu."

"Yaudah, gue bisa kok jadi model buat katalog gue sendiri."

"Ih, kok lu gitu sih."

"Silahkan kalau lu ngga mau bantuin, gue ngga maksa kok."

Sahabat Kimmy menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, upayanya untuk mengancam Kimmy karena tidak mau mengenalkannya pada sepupunya, gagal. "Untung gue baik," ujarnya.

"Ya, emang lu harus baik sama gue," Kimmy menimpali ucapan sahabatnya.

Kimmy kembali menjulurkan lidahnya.

"Ya Tuhan, kenapa sih gue harus temenan sama makhluk tengil bermulut pedas macam dia," ungkap sahabatnya yang tidak menyangka bahwa dirinya sanggup berteman dengan Kimmy dan persahabatan tersebut bisa berlangsung cukup lama.

"Karena lu, cinta sama gue," ucap Kimmy sambil tersenyum jahil.

"Gila kali gue cinta sama orang kaya lu, yang kalau ngomong suka ngga pakai saringan."

"Terus, kenapa lu bisa tahan temenan sama gue?" Kimmy semakin meledek sahabatnya tersebut.

Partner kerja sekaligus sahabatnya itu hanya bisa mengangkat bahunya.

"Ngga tahu kan, udah pasti gara-gara lu cinta sama gue."

"Terserah lu aja deh, Kanjeng Ratu Kimberly Octavia Pradana," sahabatnya melirik sebal ke arah Kimmy. Dirinya tidak pernah bisa menang jika adu mulut bersama Kimmy.

"Saranghae," Kimmy menyatukan kedua tangannya diatas kepala hingga membentuk hati dan mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Lu ngga pantes, sok imut kaya gitu."

Kimmy kembali mengulangi posenya untuk menggoda rekannya.

"Udah, udah. Jijik gue lihatnya," ujar sahabatnya kesal.

Melihat reaksinya, Kimmy justru tertawa. Sahabatnya dengan kesal mencubit lengan Kimmy sampai Kimmy kesakitan. Melihat Kimmy yang kesakitan karena cubitannya, dia justru tertawa. Kimmy memegangi lengannya yang habis dicubit dan ikut tertawa bersama sahabatnya.

Tidak lama kemudian, mereka mendengar pengumuman bahwa pesawat yang akan mereka naiki akan segera berangkat. Mereka bersiap-siap pergi ke gerbang keberangkatan. Kimmy kembali mengecek ponselnya. Belum ada kabar dari Damar. Kimmy menghela napasnya. Sepertinya rapat kali ini memang berjalan tidak seperti biasanya.

---

Setelah melalui penerbangan selama kurang lebih dua jam, mereka akhirnya tiba di pulau Bali. Mereka dijemput oleh staff hotel tempat mereka menginap.

"Kenapa kita ngga ngginep di villa keluara lu aja?" tanya sahabat Kimmy ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil yang menjemput mereka.

"Cari suasana baru lah, kita kan udah sering nginep disana," jawab Kimmy.

"Kita mau ke hotel dulu atau langsung ke tempat pemotretan?" tanyanya kembali pada Kimmy.

"Kita ke hotel dulu, gue janjian sama yang lain di hotel."

Ponsel Kimmy bergetar. Kimmy segera membuka pesan yang masuk di ponselnya. Kimmy membaca pesan tersebut dengan hati-hati.

"Yes!" sorak Kimmy kegirangan.

"Kenapa lu?"

Kimmy menatap sahabatnya dengan mata yang berbinar-binar dan langsung memeluknya.

"Gue lagi senang," ujar Kimmy.

"Senang kenapa?"

"Ada deh." Kimmy melepaskan pelukannya. Hatinya senang bukan main membaca kabar yang baru saja disampaikan Damar. Pemilihan CEO ditunda dan Bara meminta diadakan audit ulang. Keduanya merupakan kabar gembira baginya. Permintaan Bara untuk diadakan audit ulang, membuka peluang bagi mereka bertiga untuk menyelidiki tentang aliran dana aneh yang kerap mengalir keluar dari keuangan perusahaan.

Rekan kerja sekaligus sahabatnya itu mencibir Kimmy, "Ngga jelas banget ini anak."

Kimmy hanya menanggapinya dengan tersenyum dan kemudian segera membalas pesan yang dikirimkan Damar. Sementara sahabatnya, memilih untuk menikmati pemandangan kota Bali dari dalam mobil.

Tidak sampai satu jam, mobil yang mereka tumpangi tiba di hotel bintang lima yang sudah Kimmy pesan. Kimmy kemudian melakukan proses check-in di resepsionis hotel. Kimmy memesan tipe kamar villa di hotel tersebut. Setelah mendapat kartu akses kamar, mereka segera menuju villa yang mereka pesan. Seorang staff ikut bersama mereka untuk membawakan barang bawaan mereka yang cukup banyak. Mereka menuju villa tempat mereka menginap dengan menggunakan mobil golf. Begitu tiba di depan villa mereka, Kimmy segera membuka pintu villa tersebut. Sahabatnya yang berdiri dibelakang Kimmy, segera menghambur masuk ke dalam villa. Sementara staff hotel masih sibuk menurunkan barang bawaan mereka dan memasukannya ke dalam villa. Rekan Kimmy segera bersantai di pinggir kolam renang sambil memandangi laut di kejauhan. Begitu barang bawaan mereka sudah selesai dimasukkan, Kimmy memberikan tip untuk staff yang membantu mereka. Kimmy kemudian ikut bergabung bersama sahabatnya di pinggir kolam renang.

"Enak kan disini, kalau mau ke pantai, tinggal jalan kaki aja," Kimmy ikut memandangi lautan di hadapannya.

"Kru pemotretannya udah jalan?" tanyanya pada Kimmy. Kimmy sengaja menyewa kru pemotretan yang berbasis di Bali untuk sedikit menghemat pengeluaran. Jika seluruh kru dibawa dari Jakarta, pengeluarannya akan sangat besar untuk ongkos akomodasi mereka. Jadi, Kimmy memanfaatkan kru lokal untuk menekan biaya akomodasi. Bahkan, untuk akomodasi dirinya, Kimmy menggunakan uang pribadinya.

"Mereka udah on the way kesini katanya," jawab Kimmy.

"Beneran on the way kan? bukannya baru mau berangkat tapi udah bilang on the way."

"Beneran on the way kok mereka, lu tenang aja."

Kimmy dan sahabatnya beristirahat sejenak sambil menikmati minuman yang disediakan oleh staff hotel.

Tidak berapa lama, ponsel Kimmy bergetar. Seorang kru menghubungi bahwa mereka sudah tiba di lobi hotel.

"Yuk, mereka udah datang." Kimmy mengajak sahabatnya untuk bergegas pergi untuk menemui para kru yang sudah disewa oleh Kimmy.

Kimmy tiba di lobi hotel dan segera bertemu dengan kru mereka. Kru mereka terdiri dari Fotografer, Asisten Fotografer, Penata Gaya dan Make Up Artist. Kimmy kebetulan sudah mengenal sang Fotografer karena sudah beberapa kali terlibat dalam proyek Foto milik sang Fotografer. Ketika Kimmy memintanya untuk memotret model untuk katalog pakaian miliknya, dengan senang hati sang Fotografer menerima tawaran Kimmy. Setelah memasukkan koper berisi pakaian yang akan digunakan untuk pemotretan, Kimmy beserta kru segera menuju galeri seni milik Pak Ketut.

*****

Terima kasih buat yang selalu mendukung novel ini..

pearl_amethyscreators' thoughts