webnovel

12

Sejenak kemudian maka ki Werdi dengan ganas serta cepat menyerang tengkuk ki Aran. namun sebuah tendangan dari ki Demang telah membuat serangannya ditarik kembali serta berbalik menghadapi ki Demang Wilangan.

Benar-benar tandang ki Werdi patut menerima pujian. Walau mendapat lawan lebih satu, dia masih selapis lebih unggul.

sementara itu Wilis yang sudah menerapkan aji Tameng Waja serta sekaligus memakai Aji Banthala, yang mampu membuatnya lebih kokoh dalam menghadapi serangan lawan.

"Iblis mana yang masuk di tubuh orang ini.?" Ucap Ki Boyo Putih, yang dibuat kesal oleh lawannya itu.

Sekarang orang penguasa alas Saradan itu, kembali meningkatkan ilmunya. dengan meregangkan kakinya dan dua tangan menguncup di depan dada seperti orang menyembah. tiba-tiba dari sela-sela telapak tangannya, menyeruak asap tipis dan terbang berputar-putar di depannya dan membuat pusaran angin.

"Aji Prahara Sewu." Desis Wilis.

Aji yang bersumber dari tenaga angin itu membentuk pusaran angin yang semakin membesar dan terus berputar-putar hingga membuat debu dan daun-daun ikut terangkat.

"Matilah kau.!" Teriak Ki Boyo Putih, seraya menyentakkan kedua tangannya.

Bersamaan dengan sentakan tangan orang bertopeng itu, maka angin yang seperti puting beliung itu memecah menjadi beberapa putaran serta bergerak kearah Wilis. Tentu saja Wilis yang sudah waspada dan sudah mengetrapkan Aji Tameng Waja serta Aji Bantholo, siap menerima serangan dari Aji Prahara Sewu itu.

Sebuah pemandangan yang membuat seluruh orang terbelalak, angin dengan tinggi dua tombak serta banyak itu mengepung manusia. Dengan sekuat tenaga Wilis bertahan serta menguatkan pijakannya pada tanah, supaya tak terangkat serta diterbangkan oleh aji Prahara Sewu itu.

Di dahsyatnya pertempuran itu, dua pasang mata memperhatikan dari balik rimbunnya simak belukar.

"Bukankah orang itu yang mengalahkan dirimu, Jalak Ireng.?" Ucap seorang kakek.

"Benar paman, dialah orang yang mengalahkan aku di barat tepian kali berantas." Jawab orang satunya, yang tidak lain Jalak Ireng.

"Pantas saja kau mampu dikalahkan, sedangkan aji Prahara Sewu sepupumu saja bisa dia tahan." Kata kakek itu.

Pada dalan lingkaran angin prahara itu, Wilis yang awalnya bertahan, mulai menyerang menggunakan aji Bantholo. dari telapak tangannya menyeruak tenaga dengan warna perak mengkilau. dan dengan menghentakkan kedua telapak tangannya, seleret warna perak yang mengkilau itu telah membuyarkan aji Prahara Sewu milik Ki Boyo Putih.

"Mundurlah kau Boyo Putih." ucap kakek yang berjalan keluar dari simak belukar.

"Ayah.. Kau, adi Jalak Ireng.?" Desis Ki Boyo Putih.

Kedatangan orang tua serta Jalak Ireng, telah menghentikan perkelahian di dalam alas Saradan itu.

Kedatangan kakek tua bersama Jalak Ireng itu menyebabkan kewaspadaan di diri Wilis.

"Apakah dia Kiai Bergota, pemimpin pedepokan Kali Bening itu.?" desis Wilis dalam hati.

Sementara itu orang tua yang tidak lain ayah Ki Boyo Putih itu, makin dekat di mana Wilis dan anaknya berdiri.

"Ayah, bukankah ayah akan pulang ke Blambangan untuk menemui saudara ayah.?" tanya Ki Boyo Putih.

"Begitukah, tetapi di tengah perjalanan tanpa sengaja kami bertemu, kemudian aku kembali ke barat lagi. dan kebetulan pula waktu aku sampai di padukuhan Sukomoro yang berada di tepian kali berantas, aku bertemu dengan sepupumu ini, yang hampir saja mati oleh orang itu." sahut orang tua itu.

"Benar kakang, untunglah paman Menak Kayup tiba dan menolongku." Jelas Jalak Ireng, yang terus memandang tajam ke arah Wilis.

"Baiklah kalian urus dua cecunguk yang menghadapi Werdi. Biarlah orang ini yang aku urus." Kata ki Menak Kayup.

"Baik, paman. Kakang Suro kau beristirahatlah dahulu, biarlah aku saja yang melumatkan orang itu." Jalak Ireng menawarkan diri.

Tetapi baru beberapa langkah saja murid dari Kiai Bergota itu berjalan, dari arah utara dua orang muncul telah mengagetkannya.

"Guru dan kakang Lesmana." Desis Jalak Ireng.

Kembali seluruh orang memandang kemunculan kedua orang yang baru muncul itu. seorang sebaya dengan ki Menak Kayup serta seseorang lelaki yang berusia tiga puluh lima tahunan

"Ternyata tebakanku dan dugaanku benar adanya, guru." ucap Putut Lesmana ," Adi Jalak Ireng ternyata keponakan dari orang yang selama ini membuat kondisi di sekitar pedepokan kita tidak tenang."

Kiai Bergota yang berdiri di samping Putut Lesmana menghela napas dan memandang Jalak Ireng, kemudian beralih memandang ki Menak Kayup.

"Tidak ku sangka, kita setua ini masih berbuat layaknya anak kecil. Padahal umur ini makin susut ditelan masa dan harusnya mencari bekal untuk menghadapNya." Ucap Kiai Bergota, sareh.

"Hahaha memang jika itu kau telah pantas, Kidang Gumelar. yang sebentar lagi akan mampus Bila kau mencampuri urusanku." Sahut ki Menak Kayup, yang menyebut Kiai Bergota menggunakan nama masa mudanya.

"Baiklah jika begitu, marilah kita yang tua ini saling berhadapan." kata Kiai Bergota,kemudian ucapnya kepada Wilis, "Angger lanjutkan permainanmu dengan angger Ki Boyo Putih."

"Baik, kiai." ucap Wilis, sembari mengangguk hormat.

Sementara itu Putut Lesmana dengan ringan melangkahkan kaki ke arah adik perguruannya, yang ternyata adik seperguruannya adalah musuh dalam selimut.

Suasana di alas Saradan semakin panas dan seolah siap memberangus. Empat lingkaran pertempuran sekejap kemudian telah menyala lebih dahsyat dari sebelumnya. Ki Menak Kayup yang menghadapi musuh bebuyutannya, mulai menyerang tanpa ragu. Tata geraknya membuat hempasan angin sangat tajam dan membahayakan. Ilmu dari Bang Wetan yang berasal dari perguruan Bayu Muncar telah menyeruak menelan Kiai Bergota.

Pada lain sisi, Ki Wilis kembali mengadu kekuatan dengan Ki Boyo Putih. Mereka tanpa mengekang diri telah langsung mengungkap aji pamungkasnya yang akan menentukan akhir dari perang tanding itu. Pemusatan nalar dan budi telah menerapkan aji Tameng Waja untuk bertahan serta Aji Bantholo untuk menyerang, sudah Ki Wilis lakukan.

Sedangkan di depannya yang hanya berjarak satu tombak, Ki Boyo Putih dengan sedikit merenggang kemudian kedua tangan menguncup mulai menerapkan aji Prahara Sewu. dan sesaat lalu dua tenaga jarak jauh telah mereka lepas, seleret warna perak kemilau serta angin yang membentuk puting beliung bertemu serta mengakibatkan bunyi gemuruh.

Hentakan itu membuat tubuh Ki Boyo Putih mencelat beberapa tombak, tetapi dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk duduk. Darah segar pun merembes dari sela-sela mulutnya. Sementara itu Ki Wilis masih beruntung, tubuhnya yang bergeser surut kebelakang masih mampu mempertahankan keseimbangannya. namun dia pun juga mengalami luka dalam, oleh karena itu sehabis memperhatikan lawannya tak mungkin menyerang, dia pun segera duduk bersila serta memusatkan nalar budi untuk mengatur pernapasannya agar tenaganya cepat pulih.