webnovel

Chapter 34~Make Up

~Andrea ~

Saat ini aku benar-benar tidak tahan lagi dengan rasa sakit ini. Seluruh keringatku sudah bercucuran, bahkan alunan musik yang dimainkan oleh Alex tidak dapat kudengarkan dengan baik. Semua konsentrasiku teralihkan kepada rasa sakit ini. Anehnya, sama sekali tidak ada orang yang memperhatikan tingkah lakuku. Entah aku harus bersyukur atau mengutuk orang–orang yang ada di sini.

Sengatan-sengatan itu datang dan pergi. Rasanya ingin sekali membuka kaki palsuku agar aku tak merasakan apa-apa lagi. Namun aku tidak dapat membukanya di sini, sedangkan untuk berjalan aku tidak yakin aku bakal sanggup untuk melakukannya. Namun setidaknya aku harus mencoba. Aku menarik nafasku kuat-kuat mencoba untuk mengalihkan pikiranku dari rasa sakit dan memberhentikan tubuhku yang mulai bergetar. Setelah cukup lama mengatur nafas, aku merasakan kondisi badanku malah semakin parah. Aku merasa keringat dingin mengalir dari pelipisku.

"K.Kyl... Aku mau ke toilet sebentar." Seruku setengah berbisik dan bergetar namun dia sama sekali tidak menoleh. Aku pun menarik ujung bajunya dan membisikan kembali kalimat tadi tanpa suara.

"Mukamu terlihat pucat, kau baik-baik saja Dre? Mau kutemani?" Tanyanya khawatir. Aku pun menggelengkan kepalaku sambil tersenyum lemah.

"Aku tidak mau kau ketinggalan Alex bernyanyi." Bisikku sambil tersenyum. Dia terlihat goyah sekarang.

"Aku baik-baik saja Kyl." Seruku meyakinkannya.

"Baiklah jika terjadi sesuatu hubungi saja diriku, oke?" Perintahnya khawatir. Aku hanya mengangguk dan mulai berdiri dengan tubuh gemetar. Selama berdiri Kyla memperhatikanku dengan lekat-lekat.

Setelah berhasil berdiri, aku mulai jalan dengan kaki yang sedikit kuseret. Aku sama sekali tidak bisa mengangkat kakiku. Setelah merasa cukup jauh, aku menopangkan diriku dengan menyenderkannya di tembok sambil mencoba berjalan. Aku berhenti sebentar untuk menyesuaikan nafasku yang memburu dan kakiku yang sakit dan kembali melanjutkan perjalanan. Untung saja di sekitar lorong sama sekali tidak ada orang.

Saat sedang berjalan aku hampir kehilangan kesadaranku. Pandangan mataku mulai memburam, namun aku tetap melanjutkan perjalanan. Aku benar-benar harus memasuki kamarku agar dapat melepaskan kaki palsuku ini. Aku tidak bisa menahan rasa sakit ini lebih lama. Tidak sengaja aku hampir tersandung kakiku sendiri dan kehilangan keseimbanganku. Saat menunggu tubuhku jatuh di tanah yang keras, aku merasakan sebuah tangan menahanku terjatuh. Namun karena rasa sakit ini, aku sama sekali tidak peduli siapa orang itu, aku hanya terfokus kepada rasa sakit yang semakin menyakitkan ini.

Orang tersebut membawaku entah ke mana, sementara aku memejamkan mata sambil meremas bajunya dengan kuat. Aku menyembunyikan wajahku di tengkuk lehernya dan berteriak kesakitan. Aku benar-benar tidak peduli siapa orang yang sedang menggendongku yang aku pedulikan adalah mencari kenyamanan.

Aku merasa tubuhuku di baringkan dan aku kehilangan kontak fisik dengan orang yang menggendongku. Rasa sakitku tiba-tiba menghilang dan aku menghela nafas lega karena hal itu. Yang aku inginkan sekarang adalah tidur. Semua kesakitan dan juga perjalanan tadi membuatku lelah. Namun aku mencoba sekuat tenaga untuk membuka mataku agar aku dapat berterimakasih dengan orang tersebut.

"Apakah sakitnya sudah hilang?" Tanyanya khawatir. Aku sangat mengenal suara ini dan benar saja saat aku membuka mata Rafa tepat berada di ujung tempat tidurku.

"Sudah tidak terasa. Thanks Raf." Seruku sambil tersenyum lemah.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan?" Tanyanya dingin. Ini lebih menakutkan dari pada dirinya yang marah terhadapku.

"Kau selalu membuatku khawatir seperti ini. Jangan pernah memaksakan diri dan cobalah bergantung pada orang lain." Aku hanya diam mendengarkannya, sementara berusaha untuk membuka mataku yang mulai mengantuk ini.

"Maaf." Bisiku dengan sangat pelan akibat tubuhku yang kelelahan ini.

Sepertinya Rafa menyadari tubuhku yang kelelahan. Dia menghela nafas panjang dan menyelimutiku. Aku pun tidak dapat menahan kelopak mataku yang semakin memberat dan akhirnya menutup mataku. Aku merasa Rafa mengelus kepalaku dan juga dirinya mengatakan maaf sebelum aku benar-benar masuk ke dalam dunia mimpi seutuhnya.

Aku dibangunkan oleh guncangan ringan di tubuhku. Saat membuka mata aku melihat salah satu teman sekamarku yang sama sekali tidak kuketahui namanya membangunkan dan menyuruh diriku untuk bersiap-siap untuk melanjutkan aktifitas hari ini. Aku pun merenggangkan otot-ototku yang masih terasa sakit dan kembali memejamkan mata. Aku benar-benar mengantuk dan kehabisan tenaga akibat kemarin. Saat melihat jam, aku melihat jam menunjukan tepat pukul setengah enam lebih.

Oh crap! Aku baru ingat semalam Rafa melepaskan kaki palsuku, pantas saja aku sama sekali tidak bisa merasakan kakiku. Aku menunggu ke dua teman sekamarku untuk keluar dari kamar dan akhirnya aku membuka selimut dan mencari kaki palsuku. Saat mencari-cari aku menemukan note dari Rafa yang memberitahu bahwa kaki palsuku ada di bawah tempat tidur dan dia ingin berbicara denganku hari ini saat olahraga pagi. Seingatku jadwal dari sekolah hari ini adalah senam pagi, games di sekitar hotel dan juga berbelanja oleh-oleh di pusat kota. Sepertinya aktifitas hari ini akan lebih melelahkan dari kemarin.

Aku pun mengambil kaki palsuku dan segera menyiapkan baju untuk olahraga pagi. Sepertinya aku akan mandi setelah senam pagi karena tinggal 5 menit sampai senam pagi dimulai. Aku juga tidak mau membahayakan kaki palsuku karena sepertinya kemarin kaki palsuku terkena percikan air. Aku harus mencari cara lain agar kaki palsuku tidak terkena air. Untung saja kaki palsuku tidak apa-apa dan sepertinya kakiku telah diobati oleh Rafa kemarin karena semua luka-luka sengatan yang memerah tidak begitu parah lagi.

Setelah mengganti baju dan keluar kamar, aku dikejutkan dengan keberadaan Rafa yang berada di depan pintu kamarku. Dirinya masih menggunakan baju tidurnya dan juga dengan rambut yang acak-acakkan. Dia terlihat sangat lucu. Saat aku menyadari bahwa aku menatapnya dengan lama, dia menaikan sebelah alisnya bingung menatapku dan tentu saja mukaku langsung memerah karena malu.

"Pa.Pagi." Sapaku gugup.

"Morning." Balasnya sambil memamerkan senyum jahilnya.

"Kenapa kau menungguku di sini?" Tanyaku penasaran karena dirinya berada di tengah-tengah lingkungan perempuan.

"Aku hanya memastikan kau baik-baik saja." Jawabnya singkat.

"So..soal kemarin terimakasih." Seruku spontan dan mulai melangkah mendahuluinya.

Entah kenapa tiba-tiba aku mengingat dirinya yang menjauhiku belakangan ini. Aku benar-benar tidak mengerti tentang dirinya. Di satu sisi aku bingung setelah sekian lama menjauh, dia mau mendekatiku lagi, seolah-olah dia tidak pernah melakukannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika aku senang karena dia masih memperhatikanku.

"Bisakah sehari saja kau tidak membuatku khawatir?" Tanyanya sambil menyusul langkahku.

"Maafkan aku kalau membuatmu khawatir. Namun seingatku aku tidak pernah memintamu untuk mengkhawatirkanku." Balasku. Entah kenapa sekarang aku menjadi marah akan dirinya.

"Aku tahu kau tidak memintanya tapi aku tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu oke?" Akunya. Aku merasa hatiku menghangat akibat perkataannya, namun aku tetap marah karena dirinya yang menjauhiku setelah hari itu.

"Well, kalau begitu jangan memprotesku." Seruku kesal dan diresponnya dengan geraman kesal.

"Arrgghh... Its hard to deal with you." Keluhnya sambil memijat pangkal hidungnya.

"Not my fault." Teriakku kesal sambil mengangkat kedua tanganku dan kembali berjalan mendahuluinya ke depan lapangan hotel.

"We will talk again after this. I'm not finish with you." Katanya sambil pergi mendahuluiku dan memasuki barisan.

Kami memang telat datang ke area lapangan. Senam di mulai pukul enam sedangkan aku baru keluar kamar tepat pukul enam. Di tambah lagi kedatangan Rafa yang tiba-tiba dengan seluruh percakapan yang entah mengapa membuatku sangat marah dan jengkel kepadanya. Aku pun berbaris dan mulai mengikuti intruksi guru dengan malasnya. Setelah selesai, aku segera berjalan ke dalam hotel untuk pergi ke kamarku. Udara dingin ini membunuhku dan aku benar-benar menyesal tidak mengenakan jaket sama sekali.

"Hei, mau pergi ke mana kau! Kau masih memiliki janji denganku Drea!" Teriak Rafa ketika melihatku pergi. Dengan segera aku berjalan lebih cepat dan berbaur dengan kerumunan orang yang hendak masuk ke dalam hotel.

"Please jangan ketahuan-please jangan ketahuan.." Bisikku berulang kali seperti merapalkan mantra.

Tiba-tiba sebuah kain menutupi mukaku dan seseorang menyeretku entah kemana. Namun aku tahu dengan jelas siapa orang ini. Sudah jelas seseorang yang senekat dan semenyebalkan ini adalah Rafa. Dia terus menarikku dan aku membiarkannya. Aku terlalu malas dan capai untuk berteriak dan memberontak. Aku hanya akan menarik perhatian dan tentu saja aku tidak mungkin lepas dari cengkraman tubuhnya yang dua kali lipat lebih besar dariku. Setelah bersabar menunggu akhirnya dia melepaskan kain itu dari wajahku. Aku baru saja mengetahui kalau selama ini kain yang menutupi adalah bajunya dan selama dia menarikku dengan bertelanjang dada.

"Apa kau gila!" Seruku kesal dan hendak pergi meninggalkannya.

"I'm sorry I didn't mean to pissed you like that.." Serunya meminta maaf yang entah mengapa membuatku semakin kesal.

"Well you already pissed me off!" Teriakku kesal.

"Can you just calm down a little bit. Will you?" Pintanya.

"Aku memanggilmu ke sini karena aku mau meminta maaf karena menghindarimu. Aku perlu waktu untuk mendinginkan kepalaku dan emosiku. Hari itu sebuah kesalahan aku pergi meninggalkanmu sendiri saat kamu membutuhkan orang di sampingmu. Aku tahu aku lari seperti pengecut jadi aku benar-benar menyesal." Lanjutnya sambil menatapku dengan tatapan memohon. Aku menghela nafas mendengar pengakuannya. Saat ini aku terlalu malas untuk berbasa basi.

"Aku tahu kau menyesal. Yang kuperlukan sekarang adalah alasan mengapa kau melakukan semuanya itu. Oke, karena aku sudah jujur kepadamu bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tanyaku dengan serius. Dia hanya menanggukan kepalanya gugup.

"Apa yang sebenarnya terjadi hari itu?" Tanyaku namun dia sama sekali tidak menjawab. Keheningan melanda kami dan hal ini sangat menyebalkan. Aku tidak tahan lagi dengan keheningan ini!

"Siapa orang yang kau temui saat di mall?" Tanyaku secara langsung. Seketika badannya kaku dan juga menatap ke segala arah kecuali mukaku. Salahnya sendiri tidak mau menceritakannya sehingga aku harus bertanya seperti itu!

"A.. Aku... Argghh fine! Dia ayahku." Jawabnya sambil berteriak dan memandang tepat di mataku.

"And?" Tanyaku bingung dan kesal dengan penjelasannya yang sangat singkat itu.

"I have conflict with him and I'm f*cking hate him." Serunya sambil meremas rambutnya dengan sangat kuat.

"Apa hubungannya pertemuanmu dan ayahmu dengan kau meninggalkanku saat aku sangat membutuhkanmu?" Tanyaku bingung.

"Argghh! This is so frustating!..... I can't control my emosion that time because I see him. And I'm afraid that I put off my emosition on you so I run like an idiot and well.... I hurt you in the end." Tuturnya dengan membisikan kata-kata terakhirnya sambil menutupi wajahnya dengan tangannya.

Aku sedikit terkejut sekarang. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki konflik yang seserius itu dengan ayahnya sampai menyebabkan emosinya sangat meluap-luap. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sama sekali tidak tahu harus merespon perkataannya seperti apa.

"Karena kau sudah mengetahui alasannya, apakah aku dimaafkan?" Tanyanya dan melihatku dengan penuh harap. Tanpa berpikir panjang aku langsung memaafkannya, aku tidak tahu mengapa emosiku menjadi naik turun seperti ini. Namun yang pasti aku tidak bisa membencinya akan tingkah lakunya.

"Kau tahu.... selama kau menghindariku aku merasa bersalah dan mulai menyalahkan diri-." Kataku mencoba untuk mengakuinya namun dia memotong perkataanku.

"No! Is not your fault. It's f*cking mine. Stop blaming your self okay?" Serunya kesal.

"Aku tahu. But I cant help it to feel anxious." Bisikku emosional dan tiba-tiba saja dirinya memelukku.

"I'm sorry to make you feel like that...." Bisiknya sambil meletakan kepalaku di dadanya. Aku benar-benar merasa nyaman berada dipelukannya dan tentu saja jantungku berdebar sangat kencang. Entah mengapa irama jantungku dan jantungnya seperti saling bersahutan.

"E..eem.. Raf.. Bisa kau lepaskan.. Aku takut orang-orang akan melihat kita." Kataku cemas setelah menyadari bahwa kita berada di tempat umum.

"Sorry!" Serunya spontan sambil melepaskanku dan cepat-cepat memundurkan sehingga dirinya hampir terjengkang. Hal itu benar-benar membuatku tertawa terbahak-bahak dan tak lama kemudian dirinya ikut tertawa.

"Aku hampir jatuh dan kau menertawakanku. Kau sangat jahat kau tahu itu?" Serunya kesal.

"Tapi kau juga menertawakan dirimu sendiri." Seruku membela diri.

"Kau selalu bisa membalikkan perkataanku. Aku tidak bisa menang darimu." Katanya mengaku kalah. Oh gosh aku benar-benar merindukan situasi seperti ini.

"So we're okay now?" Tanyanya. Aku pun mengangguk dan tersenyum dengan lembut.

"Kau tahu aku sangat-sangat merindukanmu." Katanya tiba-tiba sambil mendekat kepadaku dengan sangat-sangat pelan. Tingkah lakunya dan juga kata-katanya membuat jantungku berdetak tak karuan.

Dirinya pun mendekatiku selangkah demi selangkah dan aku pun mundur secara perlahan. Aku sangat-sangat gugup sekarang. Aku pun tersudut di sebuah tembok dan saat aku kembali menengok ke depan setelah menengok kebelakang untuk mencari jalan keluar, dan dirinya tepat berada di depanku. Aku sangat sering membaca adegan seperti ini di novel-novel romance dan tentu saja drama korea dan aku tahu ini akan berujung pada adegan romantis entah ciuman atau apapun itu.

Saat mukanya hanya berjarak beberapa inci dari wajahku aku segera menutup mataku. Aku menunggu untuk sesuatu terjadi namun tidak terjadi sesuatu. Aku pun memberanikan diri untuk membuka mata dan saat aku membuka mata aku tertawa terbahak-bahak melihat kejadian yang terjadi.

Rafa sedang ditarik oleh seseorang yang kuyakini adalah seorang pembimbing. Pembimbing itu menarik kerah bajunya seperti anak kucing. Dia melihatku dengan pandangan memohon untuk membantunya. Mukanya itu benar-benar tidak ternilai bahkan aku baru mengetahui bahwa dirinya dapat membuat muka sejelek itu.

Hal ini benar-benar akan kukenang seumur hidupku dan aku yakin mukanya yang jelek itu tidak akan pernah terhapus dalam memoriku. Sebuah suara menghentikan tawaanku. Aku pun segera menoleh ke asal suara itu dan melihat Bu Anita pembimbingku melihat ke arahku dengan tatapan menegur. Oh crap! Sepertinya aku terkena masalah juga. Rafa benar-benar berhasil mebuatku emosi hari ini.

"Baiklah. Andrea ikut ibu." Serunya dan jalan mendahuluiku. Sepertinya aku tidak akan sarapan dan menikmati waktu mandiku karena Rafa. Dia benar-benar harus membayarnya kali ini.

Setelah diberikan ceramah yang cukup panjang, akhirnya aku kembali ke kamar untuk mandi. Aku terlalu menyukai shower yang berada di sini. Setelah selesai mandi dengan terburu-buru, aku segera menuju aula dan mulai mengambil makanan yang tersisa di meja dan mencari keberadaan Kyla. Setelah menemukannya, aku segera duduk di sebelahnya dan mulai memakan dengan cepat karena sebentar lagi kami akan melakukan permainan.

"Kau kemana saja Drea?" Tanyanya bingung. Jika Kyla tidak mengetahui alasan keterlambatanku itu berarti tidak ada orang yang mengetahui kejadian tadi.

"Rafa menjahiliku dan akibatnya kami dimarahi oleh guru pembimbing kami." Jawabku membuatnya melihatku dengan tatapan tidak percaya.

"Sepertinya kalian sudah baikan lagi. Apakah kalian sudah membicarakannya?" Tanya Kyla penasaran. Tentu saja aku mengerti yang dimaksud Kyla adalah kejadian saat Rafa meninggalanku sendirian.

"Sudah. Dia bilang saat itu dia bertemu dengan ayahnya dan hubungannya dengan ayahnya tidak baik. Oleh karena itu dia takut melampiaskan amarahnya kepadaku dan melukaiku." Jawabku sementara Kyla melihatku dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Alasan macam apa itu?! Aku tidak bisa menerimanya." Seru Kyla dengan sangat keras sehingga membuat beberapa orang di sekitar kami melihat ke arah kami. Dengan segera aku menundukan wajahku yang memerah karena malu dan memukul tangan Kyla kesal.

"Maaf." Seru Kyla setengah berbisik kepada orang-orang di sekitar kami dan mereka pun melanjutkan aktifitas mereka.

"Jadi kau memaafkannya begitu saja?" Tanyanya tidak percaya.

"Tentu saja Kyl... Kau tidak melihat ekspresinya yang begitu putus asa memintaku untuk memaafkannya." Jawabku dan kembali berbicara sebelum Kyla hendak memprotes.

"Ditambah alasannya seperti masuk akal bagiku. Walaupun aku tidak mengerti permasalahannya dengan ayahnya tapi aku mengerti bahwa dirinya sangat membencinya."

"Baiklah-baiklah, terserah kau saja. Tapi aku tetap akan mengawasinya. Aku tidak akan membiarkannya menyakitimu untuk yang kedua kalinya." Serunya membuatku tersenyum karena perkataannya yang sangat peduli terhadapku.

Setelah makan, kami pun dikumpulkan di aula dan mulai melakukan permainan yang tentu saja perkelompok. Aku pun memisahkan diri dari Kyla dan mulai masuk ke dalam kelompokku. Semua orang sudah dalam kelompok masing-masing saat guru menjelaskan permainan dan juga peraturannya. Dari tempatku berada aku dapat melihat kelompok-kelompok yang ada di seberangku termasuk kelompok Rafa. Saat ini dirinya sedang mengobrol dengan Alex dan juga salah satu teman perempuannya yang tidak kukenal sama sekali.

"Kau sedang melihat Revan ya? Ternyata apa yang dikatakan Alex benar kalian sudah balikan." Bisik Tio tepat di telingaku dan berhasil membuatku terkejut.

"Ti..Tidak." Seruku gugup.

"Kau tidak perlu mengelak Drea. Mungkin yang dikatakan Revan tentang dirimu salah. Dia sepertinya tidak harus menunggu lama untuk mendapatkanmu." Serunya sambil membisikan kata-kata terakhirnya.

"Apa yang kau bilang? Rafa berkata apa?" Tanyaku yang sempat medengarnya secara samar-samar.

"Kalau soal Rafa pasti telingamu menjadi tajam!" Ledek Tio kepadaku.

"Bukan begitu! Telinga aku ini memang tajam." Seruku kesal.

"Iya-iya terserah anda saja." Serunya mengalah.

Aku pun tersenyum puas sambil memalingkan wajahku ke depan untuk mendengarkan penjelasan guru. Entah berapa banyak penjelasan yang aku lewati karena mengobrol dengan Tio. Setelah mendengarkan penjelasan yang sama sekali tidak aku pahami, guru pun memulai permainan ini.

Setiap kelompok yang ada di bagi menjadi 3 kelompok untuk melakukan permainan yang berbeda. Aku mendapatkan permainan mencari benda sesuai kalimat yang diberikan. Anggota timku dibagi menjadi dua, satu untuk menyusun kata-kata dan satu lagi untuk mencari bendanya. Sementara aku kebagian untuk mencari benda dan Tio menyusun kata. Aku tidak menyukai ini, aku sama sekali tidak memiliki teman di sini dan hal itu benar-benar membuatku malas untuk melakukan permainan ini. Setidaknya jika Tio ikut denganku permainan ini pasti akan lebih menyenangkan.

Setelah mendapatkan petunjuk untuk mencari sebuah permen kapas, aku dan teman-teman pencari yang lain mulai bergerak. Aku tertinggal di belakang dan berjalan pelan karena terlalu malas untuk mengikuti permainan ini. Saat ini aku benar-benar sendirian di salah satu lorong hotel untuk mencari teman-temanku dan tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menengok dan melihat seorang cowok asing yang tersenyum kepadaku.

"Hai." Sapanya sambil menunjukan senyumannya. Tidak dapat kupungkiri jika dirinya cukup tampan. Matanya yang sipit dan juga lesung pipi yang ada di kedua pipinya membuatnya terlihat sangat imut. Kalau ada Kyla di sini dia pasti akan menyukai dirinya yang merupakan tipe Kyla.

"Ha..Hai..." Balasku dengan sedikit ragu.

"Kau tidak ikut mencari?" Tanyanya dan aku menggelengkan kepalaku menjawabnya.

"Aku kehilangan anggota kelompokku." Tuturku.

"Mau mencarinya bersama-sama?" Tanyanya pelan.

"Tidak perlu aku bisa mencarinya sendiri."

"Tidak perlu sungkan Drea.. Aku tidak keberatan jika aku membantumu mencarinya." Serunya membuatku merasa sangat tidak nyaman. Lagian bagaimana dirinya mengetahui namaku.

"E...Ehm.. Maaf namun kamu siapa? Bagaimana kau mengetahui namaku?" Tanyaku sungkan.

"Yang benar saja?! Kita ini sekelas, aku Rico." Serunya sambil mengacak-acak rambutku secara tiba-tiba membuatku risih. Aku tidak suka jika seseorang yang tidak dekat denganku menyentuhku secara sembarangan seperti dirinya.

"Kau benar-benar tidak mengenalku? Padahal waktu itu kau pernah membantuku piket kelas." Tuturnya lagi sambil mengikutiku berjalan.

"Aku benar-benar tidak mengingatnya." Seruku tidak enak.

"Tidak apa-apa." Balasnya. Kami pun mulai berjalan bersama.

"Kau tahu. Aku adalah salah satu murid berprestasi di sekolah." Mulainya.

Entah untuk berapa waktu yang lama aku terjebak bersama dirinya. Aku tidak menyukainya dan benar-benar berharap bisa terlepas dari dirinya. Selama di perjalanan dirinya terus memamerkan tentang dirinya sendiri. Aku tidak mengetahui apa maksudnya menyombongkan dirinya di depanku, namun hal itu benar-benar membuatku muak. Dirinya terus berceloteh mengenai kehebatan dirinya dan juga keluarganya. Aku belum pernah bertemu orang senarsis dirinya, bahkan mungkin aku tidak akan pernah bertemu orang yang lebih narsis daripada dirinya. Bahkan dirinya lebih menyebalkan daripada Rafa dan lebih cerewet dari pada Tio.

"Lalu aku pernah menjuarai salah satu OSN Fisika waktu kelas 8 dan mendapat juara 1." Serunya entah untuk yang keberapa kali dan lagi-lagi aku hanya memberinya senyuman malas.

'Tetap saja kau kalah dari Rafa yang juara satu di kelas.' Seruku dalam hati.

Tiba-tiba saja aku melihat Rafa yang sedang membeli sebuah minuman di toko yang disediakan hotel. Dengan segera aku pamit kepada Rico dan berjalan cepat ke arah Rafa dan segera berdiri tepat di belakangnya. Sepertinya dirinya sama sekali tidak menyadariku dan hanya mengira bahwa aku adalah salah satu orang yang sedang mengantri di kasir. Aku terkikik pelan bahwa kali ini sepertinya aku akan berhasil mengagetkannya.

"Shit!" Umpatnya saat dirinya berbalik dan terkaget melihatku. Akibatnya minuman yang dibawanya benar-benar mengenaiku dan sayangnya itu adalah coklat.

"Ya ampun Dre! I'm so sorry." Serunya menyesal sambil menatapi bajuku yang terkena tumpahan coklat.

"It's okay Raf." Jawabku menghela nafas sambil berusaha menyingkirkan noda coklat ini. Bahkan celanaku terkena tumpahan coklat!

"Kau tidak kenapa-kenapa kan? Tidak mengenai kaki palsumu kan?" Tanyanya cemas. Aku terkekeh pelan melihatnya yang dengan teliti mencari luka di sekitar tubuhku.

"Aku tidak apa-apa Raf. Sebaiknya kau menemaniku mengganti baju." Pintaku.

"Tentu saja akan kutemani. Namun kau tidak apa-apa kan?" Serunya sambil menatap mataku khawatir.

"Harus kubilang berapa kali Raf. Coklatnya tidak mengenai kakiku dan aku tidak apa-apa! Hanya lengket dan basah." Seruku kesal.

"Oke-oke sebaiknya kita segera mengganti bajumu." Balasnya dengan cepat dan segera menarik tanganku keluar dari toko. Selama diperjalanan menuju kamarku dirinya terus memperhatikan tiap langkahku.

"Mengapa kau memandangiku seperti itu?" Tanyaku dan hanya dijawabnya dengan gelengan kepala.

"Bukan apa-apa, hanya saja aku masih tidak bisa mempercayai kalau kau memaafkanku dan bisa memegangmu seperti ini." Katanya sambil mengaitkan jari tanganku dengannya. Gerakannya yang seperti ini membuat jantungku berpacu dengan cepat.

"Aku juga sangat merindukanmu kau tahu itu.... Jangan meninggalkanku seperti itu lagi atau kau akan kubenci selamanya." Bisikku secara emosional. Saat ini aku sangat ingin menangis dan memeluknya dengan erat. Aku benar-benar tidak menyukai ide mengenai dirinya yang menjauhiku seperti itu.

"Aku tidak akan pernah lagi meninggalkanmu selamanya. Aku janji." Serunya sambil mengacak-ngacak rambutku dan tersenyum lembut.

"Janji?" Tanyaku sambil mengangkat jari kelingkingku.

"Janji." Serunya sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingkingku dan tersenyum lembut.