"Tapi aku masih bisa fokus latihan dengan kalian. Lagi pula sejak awal tujuanku masuk kuliah bukanlah sebagai pemain basket profesional di usia muda."
"Meski begitu, menjadi pemain basket profesional adalah cita-citamu, kan?" tanya Doni singkat.
Sejenak Arya terbungkam begitu cepat, tak bisa membalas. Memang benar semua yang ia impikan sejak dulu, saat ini berjalan mulus bahkan ketika dirinya tak terlalu berharap bisa menjadi pemain basket profesional ketika baru memasuki kuliah semester pertama. Justru Arya memasuki Universitas Garuda dan mengikuti UKM basketnya untuk mendapatkan pelatihan yang lebih berbeda dari sebelumnya. Tentu itu semua mencapai cita-citanya, agar terkesan Arya benar-benar berjuang dan memang pantas mendapatkannya.
"Aku tak tahu soal tujuanmu menjadi pemain basket profesional untuk apa. Ketenaran, harta, pengakuan… tapi begitu jalanmu menuju menjadi pemain profesional sangatlah mulus dan terbuka, justru kau menyia-nyiakan kesempatanmu dan memilih lebih fokus latihan pada kami. Sedangkan kita semua memiliki tujuan dan cita-cita berbeda. Tapi lain halnya ketika kau berada di Karesso.
"Para pemain Karesso pasti sudah mendoktrin diri mereka sendiri kalau tujuan mereka bergabung dengan tim profesional, hanyalah untuk menunjukkan dan bersaing kemampuan mereka dan antar musuh. Jadi, jika kau kehilangan kesempatanmu sekarang sedangkan kau bisa melangkah sejauh ini karena Coach Alex, aku yakin yang kecewa padamu tak hanya tim basket ini saja, tapi semua orang yang mengenalmu, termasuk orang tua, keluargamu, bahkan mungkin para penggemarmu."
"Tapi aku juga tak bisa memutuskan hal itu begitu saja. Aku juga butuh membangun karakterku sendiri dan membayangkan seperti apa nantinya jika aku sudah menjadi pemain profesional sungguhan."
'Orang ini… kenapa terlalu keras pada dirinya sendiri sedangkan ia dan semua orang tahu kalau ia sudah layak terjun ke jenjang berikutnya,' pikir Doni. "Jangan terlalu bodoh dan naif, Arya. Sekali pun karaktermu tetap menjadi adik tingkat yang kurang ajar dan terlalu banyak berpikir. Pada akhirnya mereka membutuhkan kemampuanmu ketika di lapangan. Bukan membicarakan apakah kau bisa menjadi pribadi yang layak ditiru atau tidak.
"Di luar sana, aku yakin ada banyak pemain basket yang kemampuannya jauh di atasmu ketika permainannya selalu disorot oleh media apapun. Tapi aku sendiri juga yakin jika sehebat apapun mereka, pasti ada salah satu kelakuannya yang hanya diketahui oleh orang terdekatnya tapi tidak diketahui oleh banyak orang yang selalu menyaksikannya ketika bertanding.
"Aku dan Coach Alex di sini hanya sebagai pendukungmu saja. Membantumu menemukan jalan buntu atas kebingunganmu dan ketidakpercayaan pada dirimu sendiri. Jika aku boleh menebak, apa kau merasa kurang percaya diri setelah kita semua gagal menjadi juara di turnamen nasional setelah namamu sempat naik daun?"
Arya semakin dibungkam olehnya merasa kesal. Namun di lain sisi ia membenarkan apa yang dikatakan Doni. Berpikir sejenak, Arya menundukkan kepalanya, memikirkan apa yang diinginkannya sekarang sebab mereka pasti mengira Arya kehilangan tujuan hidupnya begitu selesai turnamen nasional.
Walau kenangan buruk sudah sepenuhnya terlepas dan tak membekas, sejujurnya Arya tak pernah menyimpan dendam pada siapapun, termasuk sang pelatih yang telah membuatnya menderita. Ia juga berpikir apa karena itu tujuannya juga ikut hilang, mengalir bersama kenangan buruknya yang telah ia buang jauh-jauh.
Arya tak bisa menentukan apa yang dipikirkannya saat ini sebuah kebenaran. Hanya saja mengingat sejauh mana dirinya telah mengerahkan kemampuan untuk dirinya sendiri serta timnya, kehilangan suatu tujuannya bukanlah hal yang masuk akal. Lalu apa yang membuat Arya merasa ragu dengan dirinya sendiri?
"Mungkin Kak Doni ada benarnya juga, jika aku menjadi kurang percaya diri setelah turnamen nasional itu."
Kening Doni mengernyit. "Jangan-jangan karena saat itu…"
"Tapi aku minta pada Kak Doni… tidak, pada kalian semua. Aku sudah melupakan kenangan buruk itu dan menganggap aku tak pernah ikut serta dalam turnamen karena memang itu faktanya. Aku memaksakan diriku hingga membuatku hampir putus asa jika kunjungan ke Jakarta saat itu hanyalah liburan semata-mata diselingi latihan basket dan menonton berbagai pertandingan.
"Kalau saat ini aku memang kehilangan tujuan dengan alasan yang tak aku ketahui, maka biarkan aku menemukan tujuanku kembali karena tak ada yang bisa memberiku sebuah tujuan selain diriku sendiri. Mungkin memang terkesan seperti orang pelupa atas kesadaranku, tapi mau bagaimana lagi. Aku juga berusaha menyesuaikan kemampuanku lagi setelah aku tak berlatih selama satu bulan dan itu dampaknya sangat besar bagiku.
"Asal Kak Doni tahu saja. Aku tak berlatih satu hari, rasanya seperti tak latihan selama satu minggu, itulah yang aku rasakan ke,arin. Jadi bisa diibaratkan sudah berapa minggu aku tertinggal sedangkan para pemain Karesso terus berlatih jauh sebelum kita mengikuti turnamen nasional hingga detik ini. Bisa dibayangkan pula aku sudah tertinggal sejauh mana. Setidaknya aku akan tetap mengikuti latihan di Karesso dan di kampus ini.
Hening sejenak, mereka berdua hanya saling menatap satu sama lain, seakan mengabaikan sosok sang pelatih di sampingnya. Alasan Arya tak bisa beradaptasi belakangan ini, bisa dikatakan karena dirinya terlalu sering meninggalkan jam latihannya dari sibuk liburan serta mengurusi cederanya selama satu bulan kemarin.
Doni tak mengerti mengapa mereka bisa beradu argumen seperti ini seolah adik tingkatnya tak mau didukung oleh siapapun. Tak hanya Doni seorang, meskipun Arya terus menggerutu tentang permainannya yang semakin menurun, Coach Alex tak memandang seperti itu. Coach Alex pernah menjadi muda dan tahu lika-liku permasalahan anak semuran Arya.
Sang pelatih mengira fokus dan pikiran Arya terpecah menjadi beberapa bagian, bahkan dalam kategori yang sama pun, masih ada pecahan lagi dan menimbulkan kebingungan baginya harus hal mana yang didahulukan. Sedangkan Arya juga tak bisa memastikan andai berhenti sejenak dari latihan rutin bersama UKM-nya membukakan matanya dari kebuntuan dan dinding besar menghalangi ambisinya.
Don menepuk pundak adik tingkatnya dan berkata. "Percayalah, kesempatan tak akan datang dua kali. Orang-orang terdekatmu sudah mempedulikanmu sejauh ini. Sisanya kau pikirkan baik-baik. Jangan mencoba kabur dari kenyataan." Setelah mengatakan sesuatu yang sangat keren dan cool, Doni meninggalkan Arya berjalan sangat hati-hati dan menjaga setiap langkahnya agar terkesan sangat berperan besar dalam memotivasi Arya.
"Mungkin bapak tak bisa berkata banyak karena semuanya sudah disampaikan oleh Doni. Tapi bapak tegaskan sekali lagi. Jangan kecewa dengan pilihanmu sendiri."
Sederhana namun mengetuk hatinya begitu keras sampai mulutnya menganga tanpa sadar. Dibanding obrolannya dengan Doni terus memicu pertengkaran serta adu mulut, Coach Alex memang berbeda karena tak berbelit-belit namun sangat mengena di hatinya. Kemudian Arya membereskan semua peralatannya lalu meninggalkan gedung olahraga yang sudah ditinggalkan teman-temannya sekitar setengah jam yang lalu.