Sementara itu, pertandingan antara Karesso dan Jakarta Thunder tak hanya ramai di dalam stadion saja. Di luar sana, banyak orang yang menonton pertandingan kedua tim tersebut walau beberapa dari mereka tak mengerti basket, namun ingin melihat bagaimana perjuangan teman mereka sejauh ini, bahkan sampai meninggalkan kuliahnya sekalipun. Walau beberapa pemain profesional masih ada yang kuliah, namun mereka sudah memasuki tahap semester akhir dan tinggal menyelesaikan skripsi.
Berbeda dengan Arya, ia masih mahasiswa semester 2, di mana fase-fase tersebut masih sering dihujani dengan berbagai tugas dari dosen. Terlebih ia mengambil Jurusan Kepelatihan Olahraga. Selain tugas dan ujian tertulis, ada semacam praktek untuk tambahan nilai dan memastikan apakah mahasiswa tersebut memang gemar olahraga atau sekedar ingin mencari jurusan yang mudah dilalui.
Mengingat mahasiswa seumurannya rata-rata memiliki banyak teman dan kenalan, maka dari itu tak ada salahnya ketika ia mendapat banyak dukungan dari teman sebayanya. Saat ini teman dekatnya Arya mengadakan nonton bersama di rumah berwarna putih seperti istana. Arya sudah mengunjungi rumah tersebut, bahkan bisa dibilang tempat itu adalah pertama kalinya ia berpelukan dengan perasaan penuh rasa kasihan.
"Jar, kau kenapa dari tadi kelihatan merengut begitu? Kau masih enggak terima?" tanya Zia ketika melihat Fajar sedari tadi terdiam, duduk di pinggir sofa.
"Ya jelas lah, anj*ng! Aku jauh-jauh ke sini mau menonton Arya bermain sebagai pemain inti, bukan sebagai pemain cadangan. Kalau begini sama saja kita menonton pertandingan basket tanpa ada sesuatu yang dibanggakan."
"Kan tadi Arya sudah bermain. Kau tahu formasi atau enggak, sih? Lagi pula aku yakin Arya bakal dimainkan lagi. Pegang saja omonganku." Ardian ikut menenangkan Fajar dengan sebuah iming-iming.
"Ih, kalian dari tadi berisik banget, dah. Aku mau nonton saja jadi enggak fokus tahu!" Tuan rumah kali ini, merasa terganggu dan menyesal mengundang mereka yang sedari tadi terus berbuat keributan.
"Tahu, tuh. Bisanya cuma teriak-teriak, padahal sendirinya enggak bisa apa-apa dibanding mereka yang tampil di panggung."
"Wah, kurang ajar banget. Dikira aku enggak punya prestasi. Yan, Zi, kasih tahu mereka kalau aku juga punya prestasi," Fajar menepuk pundak Zia dan Ardian, menyuruh seenak jidat.
"Lah, kenapa harus kami? Kau sendiri punya mulut, kan? Kenapa enggak kau saja yang langsung memberitahu mereka kalau kau pernah juara satu karate."
"Haa? Fajar pernah menjuarai turnamen bela diri? Mustahil banget!" Di antara keempat perempuan tersebut, Fira, yang paling dekat dengan Fajar langsung membantah ucapannya.
Fajar, Zia, dan Ardian sejenak saling menatap satu sama lain, seakan memberi kode agar salah satu dari mereka memberi penjelasan lebih lanjut.
"Iya, orang ini pernah juara satu karate, tapi cuma sampai tingkat kecamatan saja," ucap Zia cukup padat dan singkat
Mereka yang mendengar seketika langsung tertawa keras hingga sampai memegang perut maisng-masing saking tak tahannya. Bahkan Ardian dan Zia sendiri juga tak bisa menahan tawanya selepas mengatakan semuanya. Sejauh mereka bertemu di rumah Salsa, mereka terlalu banyak tertawa sampai lupa jika kedua orang tua Salsa sudah pulang dari tempat kerja setengah jam yang lalu.
"Brengs*k kau, ya! Awalnya doang muji-muji, sekarang enggak bedanya sama cewek-cewek kurang ajar ini!"
Meski begitu Fajar sama sekali tak merasa terbebani dan bersalah selepas mengatakan itu semua. Rumah Salsa memang besar dan setiap kamar sudah dipastikan kedap suara. Namun tetap saja terkadang temannya juga merasa tak enak hati kalau terus membiarkan Fajar terus menerus seperti itu. Namun bagaimanapun juga, menertawakan kebodohan seorang teman adalah hal paling lumrah dalam pandangan mereka.
"Astaga, prestasi cuma tingkat kecamatan saja meragukan mereka yang sudah tembus ke ranah nasional. Enggak malu sama diri sendiri?" Salsa menepuk dahinya berulang kali, tak habis pikir setelah mendengar fakta menarik tentang Fajar yang belum ia ketahui.
Fajar memang ahli bela diri namun setiap suatu yang ingin dicapai seseorang pasti ada batasnya tersendiri. Ketika masih SMA, Fajar tak ragu-ragu meninggalkan organisasinya ketika sedang mengadakan acara demi mengikuti sebuah turnamen karate.
Namun sampai ia lulus SMA, usahanya tak pernah membuahkan hasil yang baik. Selalu kalah di babak penentuan untuk lanjut tingkat yang lebih tiinggi. Maka dari itu ia memutuskan mempelajari ilmu bela diri hanya untuk berjaga-jaga saja ketika suatu nanti ilmu tersebut akan digunakan di dunia nyata untuk melindungi orang-orang terdekatnya.
Selain untuk berjaga-jaga, Fajar sudah tak lagi mengikuti kompetisi atau pelatih bela diri lagi dan memutuskan keluar dari perguruan setelah lulus SMA. Bahkan sekarang ia mengambil suatu langkah yang sangat berkebalikan dan masih ada rasa penat di otaknya, ketika menyadari matematika tak semudah yang ia bayangkan.
Kemudian mereka kembali menyaksikan pertandingan tersebut melalui televisi besar yang ada di ruang tamu. Untuk sekarang reaksi mereka tak jauh dari orang awam melihat pertandingan basket. Tak kehebohan dan keseruan di antara mereka, setidaknya untuk merubah itu semua, mereka hanya bisa menunggu sampai Arya dimainkan kembali.
***
Selain Fajar dan teman-temannya yang cukup heboh dan ribut ketika menanti performa Arya, di sisi lain ada beberapa teman Arya yang juga sangat antusias melihat permainan Arya untuk pertama kalinya di ranah yang lebih profesional. Hanya saja mereka jauh lebih paham tentang basket dibanding teman-teman sebelumnya. Bagaimana tidak, mereka sudah menghabiskan waktu bersama Arya selama 6 bulan di tim basket yang sama.
Kini Marlon, Doni, dan Ando masih berada di gedung olahraga kampus. Setelah mereka selesai latihan, mereka langsung menyaksikan bagaimana temannya bermain di ajang yang lebih profesional, sedangkan temannya lebih memilih menonton pertandingan itu di rumah masing-masing. Hingga detik ini, Marlon dan Doni pikir hanya tersisa mereka bertiga saja di gedung ini, sampai mereka berdua menyadari suara deritan pintu terdengar di pintu belakang gedung.
Ketika sosok tersebut keluar, mereka terbelalak ternyata pelatih mereka sedari tadi masih berada di gedung olahraga.
"Coach Alex!" Mereka bertiga terkejut bersama.
"Ada apa? Apa kalian pikir hanya tersisa kalian di sini?"
"Tapi kalau kami tak salah lihat, Coach Alex tadi sudah meninggalkan tempat ini lebih dulu dari teman-teman lainnya. Kenapa sekarang tiba-tiba ada di gudang?" Doni bertanya, mewakili mereka bertiga.
"Oh, bapak tadi hanya mengambil makanan dan minuman sebentar di ruangan bapak," jawab Coach Alex sembari melihat sekeliling mereka. "Dan kalian dari tadi menonton pertandingan Chayton tanpa ada minuman dan makanan satu pun?"
Mereka bertiga hanya mengangkat botol kosong yang mereka bawa dari rumah. Melihat ketiga anaknya saat ini cukup kekurangan, Coach Alex menawarkan. "Kalau begitu ikut bapak ke gudang. Kita bisa menonton Chayton bertanding sambil bersantai di sana."