webnovel

Relic

Ruang utama yang disebut Ruang Garuda itu berdiri megah, dengan panjang 40 meter dan lebar 25 meter. Langit-langitnya melengkung setinggi 15 meter, dihiasi panel-panel kaca yang memancarkan cahaya redup kebiruan, menciptakan suasana futuristik yang misterius. Bentuknya persegi panjang dengan sudut-sudut yang dilapisi baja hitam mengkilap, memberi kesan modern dan tangguh. Di tengah ruangan, sebuah meja berbentuk lingkaran besar dari bahan kaca temper berdiri kokoh, menjadi pusat perhatian.

Rak-rak berisi artefak kuno berjajar rapi di sepanjang dinding, masing-masing diterangi lampu LED putih yang mempertegas detailnya. Beberapa alat berat seperti scanner 3D, printer geometri, dan lengan robotik berdiri di sudut ruangan, siap digunakan kapan saja. Monitor besar menempel di dinding utama, menampilkan citra holografis peta dan data analisis. Di sisi kanan ruangan, Holomap 7D berdiri memancarkan aura futuristik meskipun saat itu tidak digunakan, seperti sebuah portal ke dunia lain. Ruang itu terasa sibuk namun tertata, memadukan kesan laboratorium modern dengan atmosfer museum sejarah.

Di atas meja kaca lingkaran, sebuah relik kuno tergeletak, menarik perhatian semua orang. Bentuknya seperti kalung anjing, namun jauh lebih besar dan kompleks, dengan bagian khusus untuk genggaman. Permukaannya dipenuhi ukiran rumit, detail-detail geometris yang tampak seperti pesan tersembunyi dari masa lalu. Pantulan cahaya biru dari lampu langit-langit membuat logamnya berkilau samar, seolah memiliki energi misterius.

"Ini pasti memiliki fungsi tertentu," kata Prof. Francisco sambil menyorotkan lampu kecil ke ukiran pada permukaan relik. Ia memegang kaca pembesar, memperhatikan setiap detail dengan cermat. "Lihat, garis-garis ini bukan hanya dekorasi. Polanya mengingatkan pada simbol yang ditemukan di situs Trowulan beberapa bulan lalu."

Prof. Elizabeth mengangguk, tangannya sibuk menyalin pola yang terlihat pada tablet digitalnya. "Aku setuju. Tapi perhatikan bagian ini—ada pola lingkaran kecil yang tidak khas untuk artefak era Majapahit. Pola seperti ini lebih mirip dengan peninggalan dari masa megalitik."

"Jangan terburu-buru menarik kesimpulan," sela Prof. Ian Hodder, berdiri dengan tangan bersilang di dada. "Pola ini memang unik, tapi apakah kita punya bukti bahwa ini adalah ciptaan manusia Nusantara? Bagaimana jika ini hasil pengaruh budaya asing?"

Francisco menatap Ian dengan alis terangkat. "Budaya asing? Bukankah kau yang selalu mengatakan bahwa Nusantara adalah pusat inovasi teknologi kuno? Mengapa kali ini kau meragukannya?"

"Aku hanya realistis, Francisco," balas Ian dengan nada tenang tapi tegas. "Jika benar benda ini berasal dari masa sebelum kerajaan-kerajaan besar, maka kita harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa ada koneksi lintas budaya yang belum kita pahami. Bukti ini bisa jadi lebih besar dari sekadar relik lokal."

Elizabeth menyela, suaranya terdengar antusias. "Bagaimana jika benda ini adalah prototipe teknologi? Sesuatu yang digunakan oleh peradaban awal Nusantara untuk... aku tak tahu... mungkin navigasi, atau bahkan pertahanan?"

Francisco menggeleng, matanya tetap tertuju pada relik. "Teknologi memang mungkin, tapi desain ini terlalu... organik untuk itu. Lebih mungkin ini adalah sesuatu yang bersifat simbolis, seperti jimat atau benda ritual."

Ian tertawa kecil. "Jimat yang bentuknya seperti gelang kalung anjing? Simbolisme macam apa itu?"

Di tengah antusiasme itu, hanya Kavi yang tampak pasif. Ia duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke layar Holomap 7D yang mati di hadapannya. Pikirannya melayang, kembali ke pengalaman yang baru saja dialaminya. Ia masih bisa merasakan kehadiran pria berjubah itu, mendengar gema suara misteriusnya. Kata-kata itu terus bergema di kepalanya: "Kau memiliki tanggung jawab besar. Jangan biarkan apa yang pernah terjadi terulang kembali."

Keano yang berdiri tak jauh darinya melirik. "Hei, Kavi, kau baik-baik saja? Kau kelihatan... berbeda."

Kavi hanya mengangguk samar, mencoba menyingkirkan pikirannya. "Aku baik-baik saja. Fokus saja pada relik itu."

Namun, pikirannya tetap kacau. Keanehan yang ia alami terus membayangi. Apakah pria berjubah itu nyata? Apakah relik itu benar-benar memiliki hubungan dengan apa yang dikatakan pria itu? Kavi menggigit bibirnya, menahan rasa gelisah yang makin menumpuk di dadanya.

Sementara itu, Aria, yang sedari tadi hanya mengamati dari kejauhan, akhirnya mendekat sambil menyipitkan mata ke arah relik. "Tunggu sebentar," katanya sambil menunjuk relik itu dengan senyum nakal. "Aku malah lebih yakin kalau benda ini adalah hadiah dari zaman prasejarah buat anjing. Lihat bentuknya, sangat cocok buat melatih anjing mengambil sesuatu... atau dalam hal berburu, mungkin...."

Tawa kecil terdengar di sudut ruangan, beberapa orang menahan geli, sementara Rafael menggelengkan kepala. "Aria, tolong lebih serius. Kita sedang membahas artefak penting."

Aria mengangkat bahu, tak terpengaruh. "Hei, aku cuma bilang apa yang ada di pikiranku. Lagipula, mungkin saja aku benar. Nih, biarkan aku berteori. Kalau harus serius, menurutku, benda ini jelas senjata. Kalian tinggal menganalisis lebih dalam, dan boom! Siapa tahu ini alat tempur paling canggih dari masa lalu."

Semua orang menoleh, menunggu alasan Aria. Ia menunjuk bagian melengkung dari relik. "Lihat bentuknya. Bagian ini untuk pegangan, pasti benda ini digunakan untuk menghancurkan sesuatu atau—ini favoritku—mengusir suami-suami yang lupa pulang sebelum magrib."

Tawa meledak lagi, tetapi sebelum diskusi berlanjut, mesin analisis mengeluarkan bunyi bip, menarik perhatian semua orang. Data muncul di layar besar, dan hasilnya membuat ruangan itu hening seketika.

"Ini... senjata," kata Elizabeth dengan suara pelan, hampir tak percaya. "Benda ini berasal dari zaman yang jauh lebih tua dari Majapahit, bahkan mungkin lebih tua dari peradaban yang pernah kita ketahui."

Aria tersenyum lebar, menatap Rafael dengan bangga. "Tuh, kan! Intuisi arkeologku memang tak terkalahkan. Siapa yang butuh teori ilmiah kalau punya insting Aria?"

Rafael mendengus, lalu menunduk untuk memeriksa data lebih lanjut. "Jika ini benar, bagaimana bisa benda ini ada di Majapahit? Apakah mungkin Majapahit menemukannya terlebih dahulu, atau... ada yang membawanya ke sini?"

Diskusi semakin intens, namun Kavi tak bisa memusatkan perhatian. Kepalanya terasa berat, dan pandangan itu muncul lagi. Ruangan di sekitarnya memudar, digantikan oleh ruang yang tak nyata. Sosok pria berjubah itu berdiri di depannya, kali ini lebih dekat.

"Relik itu adalah awal dari petaka," suara pria itu bergema, penuh dengan nada peringatan. "Jauhkan benda itu dari semua orang. Itu bukan milik mereka."

Kavi menatap tajam, menggelengkan kepalanya. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?!"

"Percayalah pada takdirmu, Kavi," kata pria itu, nadanya tegas. "Benda itu adalah milik manusia pertama Nusantara. Kau harus menjaganya, atau semuanya akan hancur."

Kata-kata itu terus terulang, seperti mantra yang tak bisa dihindari. Kepala Kavi terasa berdenyut, pikirannya seperti terperangkap di antara dua dunia. Ia menutup telinganya, mencoba mengusir suara itu, hingga akhirnya ia berteriak, "DIAM!"

Suara Kavi menggema di ruangan nyata, membuat semua orang berhenti bicara dan menatapnya. Keano mendekat dengan cepat, menepuk pundaknya. "Hei, Kavi, kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat."

Menyadari apa yang terjadi, Kavi menarik napas dalam dan menunduk. "Maaf... maaf. Aku... aku perlu keluar sebentar."

Aria mengangkat alis, lalu menyeletuk dengan nada jenaka. "Kalau kau jatuh pingsan, aku tak mau repot-repot memapahmu, ya."

Keano dengan sigap mengikuti Kavi yang keluar ruangan. Mereka duduk di bangku panjang di luar, dan Keano menyerahkan sebotol air mineral. "Dengar, Kavi.

Kalau kau merasa tidak baik, lebih baik beristirahat saja. Tak ada yang akan menyalahkanmu."

Rafael ikut bergabung, duduk di sebelah Kavi. "Jangan pernah berpikir kau memperlambat ekspedisi ini. Justru karena idemu kita bisa menemukan relik itu. Kau adalah bagian penting dari tim ini."

Aria melipat tangan di dada, berdiri di depan Kavi sambil tersenyum. "Dengar, kalau perlu, aku akan bicara langsung dengan Prof. Ardana dan memintakan izinmu untuk istirahat. Anggap saja ini perintah langsung dariku, ya."

Kavi mengangguk pelan, tersenyum tipis. "Terima kasih... semuanya." Sebelum pergi ke ruang istirahat, ia sempat berkata, "Carilah senjata apa saja yang dipakai manusia pertama di Nusantara."

***

Di ruang istirahat, Kavi berbaring di atas dipan sederhana, tetapi pikirannya tak juga tenang. Ketika ia akhirnya tertidur, mimpi itu datang lagi. Ia melihat dirinya sebagai seorang pria berjubah, berlari di tengah hutan lebat. Di belakangnya, sekelompok prajurit mengejar dengan senjata terhunus.

Pria berjubah itu terus berlari, melewati akar-akar pohon yang menjalar di tanah. Hingga akhirnya, ia tiba di tepi tebing yang menjulang di atas laut lepas. Tanpa ragu, ia melompat, tubuhnya terjun ke dalam ombak yang bergulung-gulung di bawah.

Kavi terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat. Ia berjalan ke wastafel di sudut ruangan, membasuh wajahnya dengan air dingin. Saat menatap cermin, ia bergumam pelan, "Lagi-lagi mimpi itu. Sebenarnya, apa yang terjadi denganku?"