Gerakan tangan Azel dan Riel terhenti. Mereka memandangi Abi cemas.
Arlyn mengerutkan kening. "Kenapa kau berpikir begitu?"
Abi menundukkan wajahnya. "....Umi mengajak laki-laki ke rumah.."
Arlyn masih belum mengerti maksud anak itu. "Lalu?"
"...Umi akan menikah ... Lalu punya anak. Lalu umi akan melupakan Abi.."
Adrian terlonjak mendengar ucapan anak itu.
....Mungkin, mereka bukan benar-benar anak Arlyn?
Arlyn tercengang. "Menikah? Aku?"
Dia mencemooh. "Jangan berpikir yang aneh-aneh. Kau masih kecil. Kenapa kau sudah mengerti hal seperti itu?"
Arlyn menggerakkan tangannya membuka bungkus makanan milik Abi. Menyendok makanan langsung dari sana tanpa memindahkannya ke piring terlebih dahulu.
"Buka mulutmu." Ucapnya memerintah.
Abi dengan perlahan menurut. Menerima suapan dari Arlyn.
"Apa aku harus menyuapimu atau kau bisa makan sendiri?" Tanya Arlyn datar.
Abi dengan gerakan ragu mengambil sendok dari tangan Arlyn. Dengan perlahan menyendok makanannya.
"Umi. Aku juga mau disuapi." Keluh Riel. Arlyn mendengus. "Tidak. Gunakan tanganmu sendiri."
Riel cemberut. Azel tidak berkutik.
Mata Abi tiba-tiba melebar. Dia menyendok makanannya, lalu mendongak pada Arlyn yang tengah mengamati Riel dengan wajah bosan.
"Umi." Panggilnya.
Arlyn menoleh. "Apa?"
Abi mengangkat sendoknya. "Umi makan juga."
"Tidak mau."
Abi memasang wajah kecewa. "Tapi umi pasti juga belum makan. Bukankah orang akan sakit kalau tidak makan?"
Arlyn mengangkat bahu. "Mungkin."
"Umi makan." Abi mencoba lagi. Tapi Arlyn hanya mengetuk ujung hidungnya.
"Tidak perlu memikirkan aku. Aku sudah dewasa. Kau masih kecil. Pikirkan saja dirimu sendiri."
Abi menempelkan bibirnya. "Kalau begitu aku juga tidak makan."
Riel melepaskan genggamannya pada sendok. "Aku juga."
Azel melakukan hal yang sama tanpa suara.
Arlyn berdecak. "Aku sudah jauh-jauh pergi dan kalian tidak mau makan?"
"Tapi seharusnya umi makan juga. Aku berani bertaruh umi belum makan dari pagi." Riel mengeluh.
Arlyn tercengang mendengar pemilihan kata anak itu. "Apa kalian mengancamku?"
Abi terkejut dan menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Kita tidak akan melakukan itu pada umi."
Arlyn menaikkan alisnya terhibur. Jadi mereka akan melakukannya jika itu orang lain?
"Umi ... Kami tidak mau umi sakit." Azel yang sejak tadi diam akhirnya bersuara pelan.
Arlyn mendengus.
"Baiklah baiklah. Aku akan makan. Kalian puas?"
Abi mengangkat wajahnya cepat. Mendorong makanannya pada Arlyn. Mengacungkan sendoknya ke arah perempuan itu. Arlyn dengan enggan mengambil sendok dari tangan Abi. Menyendok makanan ke mulutnya.
Dia menyadari keberadaan Adrian yang tidak melepas pandangannya darinya.
"Oh aku lupa kau di sini."
Adrian tidak menunjukkan reaksi.
"Kau tidak masalah kalau aku makan, kan?" Tanya Arlyn.
Arlyn masih tidak mendapatkan respon dari laki-laki itu. Kecuali pandangannya yang tidak kunjung terlepas. Membuat Arlyn bertanya-tanya apakah kepalanya akan bolong suatu saat nanti oleh tatapan itu.
Dia tidak melihat reaksi jadi dia kembali memakan makanannya. Kemudian mengembalikan makanan itu pada Abi. Abi kembali makan setelah melihat umi nya makan.
Arlyn kembali bicara. "Aku pikir kau akan menanyakan beberapa hal. Tapi sepertinya kau benar-benar hanya akan menggunakan kedua matamu itu."
Abi, Azel dan Riel langsung menoleh kearah Adrian. Membuat laki-laki itu tersadar.
"A, Ah. Ya."
Arlyn menerima respon itu memberi pandangan cuek. "Mungkin kau ingin pulang? Apakah keberadaan anak-anak ini mengganggumu?" Arlyn mencemooh. Adrian mendengar itu menggoyangkan kedua tangannya cepat.
"Bukan begitu."
"....Paman menyukai umi?"
Adrian terperanjat. Yang bertanya tadi adalah Riel. Adrian dan Arlyn sama-sama memandang ke arah anak itu. Adrian dengan mata terbuka lebar sedangkan Arlyn dengan kening berkerut.
"Benar-benar. Kalian diajarkan apa di sekolah? Teman-teman kalian seperti apa? Kalian tidak menonton film di luar sepengetahuanku kan?"
Riel menutup mulutnya rapat. Arlyn berdecak.
"Lakukan apa yang kalian mau. Aku sudah melarang. Kalian lihat saja sendiri akibatnya. Azel, awasi adik-adikmu."
Azel menjawab dengan wajah datar. "Iya."
".....Tapi umi baik ...Umi tidak pernah marah ...Tidak aneh ada orang dewasa yang menyukai umi.." Abi dengan ragu-ragu mengintip sosok Adrian.
Adrian merasa wajahnya memanas.
Arlyn berdecak. "Jangan mengada-ada. Kalian. Cepat habiskan makanan kalian. Lalu cuci piring. Hei." Dia menoleh pada Adrian yang ujung telinganya berwarna merah. "Kendalikan dirimu di depan anak-anak ini. Mereka suka berpikir yang macam-macam."
Adrian menempelkan kedua bibirnya rapat.
***
"Bagaimana?"
Nevan bertanya melalui telepon.
Adrian dengan malu-malu memberi tahu temannya bagaimana dia menghabiskan waktunya bersama Arlyn dan ketiga anaknya.
Tidak banyak sebenarnya. Dia benar-benar hanya menonton interaksi antara Arlyn, Azel, Riel dan Abi.
".....Apa?"
Nevan terdiam di seberang sana.
"....Dia sudah punya anak? Tiga???"
Adrian bisa melihat sosok Nevan menutup mulutnya dramatis.
"....Kau masih akan mendekatinya?"
Adrian memandangi langit malam lewat kaca rumahnya.
Adrian tidak bisa menyangkal. Untuk mendekati seseorang yang sudah mempunyai anak untuk diurus, tiga, bahkan. Akan membuat teman-temannya, juga Nevan, mengusulkan Adrian untuk memikirkannya kembali.
Mereka akan bilang, masih ada banyak wanita di luar sana.
Tapi tidak. Kata hatinya memberitahunya bahwa Arlyn adalah satu-satunya.
Dia tidak tahu hal seperti apa yang akan muncul di masa depan. Tapi dia akan melakukan apa yang dia bisa.
Yang terpenting adalah Arlyn dan kata hatinya. Adrian pikir, sedikit rintangan tidak akan menyakitinya.
***
"Jangan dekati umi."
Adrian terdiam dipandangi dengan mata lucu namun dingin oleh Abi.
Adrian mengunjungi rumah Arlyn lagi setelah menerima persetujuan dari Arlyn kemarin dengan syarat tidak menganggu aktivitas perempuan itu. Dia hendak menekan bel, namun pintu rumah sudah lebih dulu terbuka. Abi mendongak menatapnya dengan Azel dan Riel di belakangnya.
Adrian memiliki ketidaknyamanan di hatinya.
Dia menjongkokkan dirinya. "...Boleh aku tau kenapa?"
Abi menggigit bibirnya.
"Jangan rebut umi dari kami." Ucapnya dengan suara bergetar.
Adrian terperanjat.
"....Aku tidak akan merebut Arlyn. ..Dari kalian." Dia berucap ragu-ragu.
Keinginannya hanyalah sesederhana diijinkan untuk dapat berada di satu tempat yang sama dengan Arlyn. Dan bisa memandangi sosok perempuan itu di kala benaknya teralihkan kepada rupa wajah si yang dipuja.
Azel melangkah menghampiri Abi pelan. Dengan lembut meletakkan tangannya di kedua bahu itu.
"Abi."
Dia memanggil nama anak itu pelan. Abi tidak mengubah tatapannya dari Adrian yang kini setara dengan rendah pandangannya.
"Kenapa kalian berkumpul di sana? Oh."
Arlyn muncul dari dalam rumah. Menyadari keberadaan Adrian yang tengah berjongkok di depan ketiga anak asuhnya.
"Kau datang lebih awal dari yang aku duga. Apa yang kau harapkan dariku?" Ledeknya.
Adrian membangkitkan tubuhnya. Mengangkat kedua tangannya rendah.
"Aku .... hanya ingin bersamamu lebih lama."
Wajah Adrian memerah samar. Arlyn memiliki ekspresi tercengang di wajahnya. "Aku benar-benar tidak bisa mengerti cara berpikirmu itu."
Dia menurunkan pandangannya pada Abi yang mendongak memandanginya dengan wajah yang belum pernah Arlyn lihat sebelumnya.
Atau mungkin sudah.
"Abi? Kenapa dengan wajahmu?"
Dia mengetuk kening Abi pelan. Biasanya anak itu akan tertawa girang sembari memegangi keningnya. Namun sekarang anak itu hanya diam memandangi Arlyn dengan wajah yang, memelas?
Kemarin juga anak itu bersikap murung.
Sebenarnya, sejak kemunculan Adrian, ketiga anak itu bersikap tidak seperti biasanya. Tapi Arlyn terlalu cuek untuk menyadari itu. Melihat sikap Abi dia menghela nafas tanpa suara.
Arlyn berjongkok. "Apa yang mengganggu pikiranmu? Katakan."
Abi menundukkan kepalanya. Dia melirik Adrian yang berdiri di pintu. Mengamatinya. Abi membulatkan tekadnya.
".....Apakah umi akan terus memperbolehkan paman Adrian berkunjung ke rumah umi?"
Arlyn menaikkan alisnya. "Aku tidak memiliki keharusan untuk menolaknya." Dia mengamati Abi yang menunduk. Tapi kini matanya sejajar dengan mata anak itu. Dia bisa melihat wajah Abi dengan jelas.
Abi terlihat seolah dia akan menangis.
Arlyn terdiam.
Abi tidak pernah menangis sebelumnya. Dia memiliki wajah murung ketika ada masalah di panti. Tapi sejak dia tinggal bersama Arlyn dan kedua saudaranya, dia tidak pernah murung lagi. Abi adalah anak paling ceria di kelasnya. Seperti Riel yang jahil. Berbeda dengan Azel yang lebih pendiam.
Melihat Abi tampak seperti ingin menangis, Arlyn merasa terganggu.
Dengan gerakan pelan dan sedikit malas dia meraih bahu anak di depannya. "Kau tidak suka paman Adrian mengunjungimu?"
Abi tidak kunjung mengangkat wajahnya. Bibirnya tertutup rapat. Seolah air matanya akan keluar jika dia membuka mulutnya sedikit saja.
Arlyn menghela nafas ringan. Dia berdiri. Membawa tubuhnya berdiri di depan Abi. Riel melangkahkan kakinya ke arah adiknya. Memeluk bahu adiknya. Azel berdiri di sebelah Arlyn.
"Adrian."
Adrian yang sejak tadi diam menyimak merasa hatinya mendingin mendengar Arlyn memanggil namanya.
Dia memandang Arlyn was was. Dia memiliki firasat buruk.
"Sepertinya aku tidak bisa membiarkanmu mengunjungi rumah ini lagi."
Adrian merasakan hatinya mendingin. Tenggorokannya kering. Bibir mulutnya kaku.
".....Boleh aku tau kenapa?"
Arlyn menghela nafas kecil. Tangannya meraih bahu Abi di belakangnya. Bahu anak itu kaku. Arlyn menaikkan alisnya.
"Seharusnya kau bertanya pada anak ini. Tapi dia tidak mau menjawab." Dia kembali menoleh pada Adrian. Memandangi wajah kaku itu.
"Pulanglah, Adrian. Kau mungkin menyukaiku. Dan tentang kau memiliki keinginan untuk berada di dekatku mungkin sungguhan."
Arlyn tidak tahu banyak tentang perasaan seseorang yang menyukai orang lain. Tapi setidaknya dia tahu bahwa kalau yang Adrian akui itu sungguhan, maka laki-laki itu akan merasakan sedih karena perasaannya ditolak.
"Tapi kau harus berhenti menemuiku dan ketiga anak ini." Dia menepuk kepala Abi. "Lagipula aku tidak punya apapun yang bisa membuat orang lain menyukaiku. Aku yakin yang kau rasakan hanyalah ketertarikan sesaat."
Mungkin fetis aneh yang membuat seseorang senang ketika orang lain bersikap jahat padanya.
"Lupakan aku."
Arlyn menyuarakan ultimatumnya. Adrian merasakan tubuhnya kaku. Dia kesulitan bergerak. Dia hanya berdiri di tempatnya. Menerima tatapan datar dari perempuan di depannya.
".....Aku tidak bisa menemuimu lagi?"
Arlyn mengangguk acuh.
"Pulanglah. Masih ada banyak perempuan di luar sana. Aku bukanlah orang yang tepat untukmu."
Adrian merasa bahunya menurun.
Dia menolak untuk percaya.
Benarkah? Arlyn bukanlah orang yang tepat untuknya?
24 tahun dia hidup. Dia tidak pernah memiliki ketertarikan terhadap siapapun. Arlyn adalah yang pertama. Satu-satunya.
Apakah dia tidak bisa memiliki kekasih sesuai keinginannya?
Pertama dan terakhir,
Apakah itu mustahil?
Ayahnya sangat beruntung.
Apakah dia tidak bisa seperti orangtuanya?
Dia sudah menggagalkan keinginannya sendiri.
Dengan membiarkan hati, benak dan matanya tersangkut pada Arlyn, kata pertama dan terakhir sudah tidak bisa berlaku untuk perempuan manapun baginya di masa depan.
Kekecewaan memenuhi dirinya. Dia melangkahkan satu kakinya ke belakang.
Dengan segala kekejangan, dia mendorong dirinya untuk bersuara. "....Aku mengerti ... Maaf sudah menganggu kalian ...Aku akan pergi ... Semoga kalian sehat selalu."
Dia menganggukkan kepalanya kecil. Lalu melangkahkan kakinya lesu menuju mobil.
Arlyn dan ketiga anak asuhnya menontoni kepergian Adrian. Ini adalah perpisahan. Mereka tidak akan melihat sosok laki-laki itu lagi.
Abi dengan gerakan kaku dan ragu-ragu meraih pakaian bagian bawah Arlyn.
"...Umi."
Arlyn menundukkan kepalanya.
Abi tau Arlyn akan mendengarkannya. Dia bertanya ragu-ragu. "Umi marah?"
Arlyn mendengus. "Tidak. Tidak usah memikirkan hal yang tidak-tidak."
Setelah dipikir-pikir lagi, dengan kepergian laki-laki kaya itu, Arlyn tidak akan bisa membeli barang tanpa menggunakan uangnya lagi.
"Hei. Paman itu sudah membelikan kalian makanan kemarin. Apakah kalian tidak ingin mengucapkan terimakasih kalian lagi sebelum dia pergi? Kalian tidak akan bertemu dengannya lagi."
Genggaman Abi pada pakaian Arlyn mengerat.
"Tidak?"
Tidak mendapat respon dari ketiganya dia kembali menontoni mobil sedan putih yang mesinnya dinyalakan dan perlahan berjalan pergi.
The End
Ya enggak lah.
04/06/2022
Measly033