webnovel

Bagian 77 (Suluk)

.

.

"Jika semua itu tidak terjadi, apa menurutmu, kamu akan berada di tempat ini sekarang?"

.

.

***

Yoga bisa merasakan telapak tangannya masih digenggam erat Syeikh Abdullah, namun kilasan-kilasan memori terus bermunculan di ingatannya. Dia menyaksikan peristiwa demi peristiwa silih berganti, bukan dengan mata fisik melainkan dengan mata jiwanya.

Sekalipun dia berusaha terbebas, tapi dia tak lagi memegang kendali atas tubuhnya. Bibirnya terbuka sedikit dan di alam nyata, sorot matanya nampak kosong. Air mata terus mengalir dan menetes di ujung dagu. Sementara mata jiwanya tengah menyaksikan perbuatan di masa lalunya yang kotor. Masa kelam saat dia menjalin hubungan dengan berbagai wanita. Para wanita selepas kandasnya hubungan dengan Erika.

Dimulai dari Tania. Dia adalah wanita kedua dalam hidupnya. Kebersamaannya bersama Tania bahkan lebih lama dibandingkan masa pacarannya dengan siapapun, termasuk dengan Erika. Hubungan dengan Erika hanya bertahan sepuluh bulan, sementara dengan Tania, mereka sempat pacaran selama dua tahun.

Bayangan-bayangan bermunculan, saat dia berusaha keras untuk mencintai Tania. Berpikir rasa cintanya bisa tumbuh dari sentuhan fisik, dia melakukan apa saja padanya. Apa saja, asalkan tidak sampai berhubungan intim. Dan kebanyakan dilakukannya saat mereka di dalam mobil yang diparkir di depan gerbang rumah Tania saat mengantarnya pulang.

Gambaran itu begitu jelas, seolah saat itu ada kamera yang merekam semua keintiman mereka. Dengan kondisinya saat ini yang telah berhijrah, Yoga merasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia melakukan hal seperti itu?

TIDAK!! AKU TIDAK MAU LIHAT!!

Jika saja saat ini dia melihat dengan mata fisiknya, tentu dengan mudah dia bisa memejamkan mata. Tapi saat ini seolah mata jiwanya dipaksa menyaksikan semua keburukannya selama hidup. Semua sakit. Semua pahit. Satu demi satu.

Akhirnya kilasan masa bersama Tania berakhir, saat Yoga menerima tamparan pertama dari seorang perempuan dalam hidupnya. Tamparan keras di pipi dari Tania yang membuatnya berpikir bahwa orang seperti dia tidak pantas bersanding dengan seorang perempuan sebaik Erika dan Tania. Laki-laki brengsek hanya pantas dengan wanita brengsek.

Pikiran itu menuntunnya memacari berbagai wanita dari kehidupan malam yang liar. Yoga menjadikan mereka 'mainan'nya. Mainan untuk bisa mengisi kekosongan di hatinya. Sebab saat itu, selain tidak ada Erika, yang membuat kondisi Yoga lebih buruk adalah, tidak ada kedekatan spiritual sama sekali dengan Tuhannya. Tak ada salat, tak ada zikir, tak ada taat. Hatinya kosong hampa.

Setelah berganti-ganti pasangan beberapa kali, yang dia sudah tak ingat siapa nama-nama mereka, Yoga bertemu dengan wanita yang paling dibencinya selama hidupnya. Christy, seorang peragawati yang ditemuinya di sebuah acara sosialita. Saat dia berpikir sedang 'main-main' dengannya, ternyata Christy-lah yang mempermainkan dia. Christy heran dengan Yoga yang tak pernah mau diajak menginap di apartemennya. Hingga suatu hari, dia menjebak Yoga.

Kepingan roll film itu kini sampai di suatu bar. Yoga merasa geram melihat wanita itu membubuhkan bubuk obat ke dalam minumannya. Tak lama, dirinya datang. Setelah mengobrol sebentar, Christy menawarkannya gelas itu.

Aku sudah tahu kelanjutannya!! AKU SUDAH TAHU!!! KELUARKAN AKU DARI SINI!!

Bayangan itu terus bergerak, dan dia sampai di kamar apartemen Christy. Wanita itu berhasil menggiringnya ke atas ranjang. Yoga yang berada dalam pengaruh obat, merasa kesulitan menolak Christy yang gencar menggodanya.

TIDAK !!! TUHAN, AKU MOHON PADA-MU! AKU TIDAK MAU MELIHAT INI!!

Mendadak Yoga merasakan seperti ada aliran listrik mengalir dari telapak tangannya. Dalam sekejap jiwanya berpindah ke dalam kegelapan. Hitam pekat tanpa ruang.

Ketegangan membuat dia merasa seperti habis berlari kencang. Dia bisa mendengar suara tarikan napasnya yang memburu. Air matanya kembali mengalir karena lega.

Sebuah cahaya kekuningan muncul di hadapannya. Lalu terdengar suara orang-orang bercakap. Cahaya itu membesar, memerangkap jiwanya. Dan dia kembali berpindah. Kali ini, di sebuah restoran di malam hari. Dia mengenali tempat apa ini. Ini adalah ruang VIP di restoran milik keluarganya. Ini terjadi saat mereka reuni SMA. Momen reuni yang ditunggu-tunggu oleh Yoga, karena dia memang berencana akan bicara empat mata dengan Erika di acara itu.

Suasana cozy terasa kental dengan lampu-lampu kekuningan dan lampu sorot dari kolam. Sesekali terdengar suara tawa dari orang-orang di dalam ruangan. Mendadak muncul Erika di pintu geser yang mengarah ke kolam. Erika nampak cantik malam itu. Dia duduk di tepi kolam.

Detak jantung Yoga kembali berubah lebih cepat. Kali ini, bukan karena takut, tapi karena melihat Erika di hadapannya. Meskipun dia tahu ini hanya bayangan. Dan sesungguhnya peristiwa ini sudah berlalu, tapi ...

Erika, apa kamu bisa melihatku?? Ini aku, Yoga!! Erika!!!

Erika bergeming. Dia menatap kosong ke arah kolam. Memperhatikan air kolam yang terkadang bergelombang karena ikan muncul ke permukaan.

Tentu saja, Erika tak akan bisa melihatnya. Yoga hanya bisa melihatnya dari sini. Berjarak dengannya. Tak terlihat. Yoga seperti bayangannya. Bayangan Erika. Selalu membayanginya. Momen reuni adalah pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun terpisah. Dan hingga empat tahun setelah reuni, pun Yoga tetap menjadi bayangannya. Selalu hanya bayangan. Sementara yang memiliki dia di dunia nyata adalah pria lain.

Seorang pria muncul di belakang Erika. Dirinya. Yoga Pratama. Dia hapal bagian ini.

"Aku boleh duduk di sini?"

Karena Erika diam saja, Yoga berinisiatif duduk di sampingnya. Refleks Erika saat itu adalah berdiri dan nyaris melarikan diri darinya. Tadinya, Yoga sempat berpikir itu karena Erika membencinya. Tapi ...

Keping masa lalu kembali bergerak cepat. Suasana yang awalnya canggung, akhirnya mencair. Yoga menyaksikan dirinya sendiri yang nampak bahagia, bercakap-cakap dengan wanita yang paling dicintainya. Sekalipun saat itu Erika sudah menjadi milik pria lain. Tapi untuk malam itu, untuk momen yang hanya berlangsung hitungan menit, Erika adalah miliknya. Sebab dia ...

Laju kepingan memori berhenti di saat Yoga memberi Erika tatapan penuh cinta. Dia masih ingat rasanya saat itu. Jika bukan karena dirinya seorang laki-laki terhormat, sudah tentu dia akan menabrak semua norma. Dia tak akan peduli sekalipun Erika secara resmi sudah bukan miliknya lagi. Hasrat untuk memeluk Erika begitu besar. Yoga harus mengepalkan tangannya untuk menahan diri. Jika bukan karena dirinya seorang laki-laki terhormat, Yoga akan memeluknya erat hingga tak ada jarak se-inchi pun di antara mereka.

Erika, aku rindu padamu. Sangat. Sangat ...

Berapa malam telah ku lalui tanpa mu?

Dan sekarang, di saat aku tahu tak lagi tersisa harapan secuil pun, katakan padaku, apa yang sebaiknya kulakukan

saat hatiku tak terketuk oleh sesiapa pun wanita selain kamu, sementara menyimpan harapan kosong adalah suatu kebodohan?

Sampai kapan ingatan akanmu akan terus menyiksaku?

Erika membalas tatapannya dengan cara yang sama. Yang makna sorot matanya telah Yoga pahami saat mereka dulu masih bersama.

Ah ... dia masih mencintaiku. Saat malam reuni itu, dia masih mencintaiku.

Mata fisik Yoga kembali mengalirkan air bening ke pipinya. Malam itu, hanya malam itu, Erika adalah miliknya.

Tapi itu dulu, saat reuni. Sekarang?

Pertanyaan dalam benaknya itu, Yoga tak ingin mendengar jawabannya.

Bayang-bayang memori kembali bergerak cepat. Dia menyaksikan dirinya berdiri di depan tangga naik menuju sebuah masjid. Yoga merasa ragu untuk masuk ke dalamnya. Lalu seseorang pria menepuk pundaknya dari belakang. Rizky. Dia adalah teman majelisnya yang pertama. Yang mengajarinya banyak hal tanpa pernah mengeluh. Sekiranya dia sendirian di majelis itu, dengan pengetahuan agamanya yang di bawah rata-rata, kemungkinan dia akan merasa asing di antara orang-orang majelis itu.

Seorang pria menatapnya dari kejauhan. Pria bersorban putih itu duduk di atas dipan di depan Majelis. Pria muda yang mungkin seumuran dengannya. Mengenakan kaca mata bening, dan jubah putih. Seorang keturunan dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam. Pria itu tersenyum padanya. Senyuman yang mendamaikan. Pimpinan majelis zikir. Seketika Yoga merasa bersalah karena dirinya sempat menghilang dari majelis, tepatnya sesaat setelah dia melihat foto Erika dan bayinya. Dia rindu masjid itu. Rindu suasana majelis. Rindu membaca selawat dan maulid bersama mereka, yang meskipun Yoga tak ingat nama-nama mereka, tapi wajah mereka menyenangkan untuk dilihat. Wajah orang-orang pencari ilmu Allah.

Kini Yoga berpindah tempat. Di kamarnya. Melihat dirinya sendiri sedang salat Subuh. Dia ingat, ini adalah salat pertamanya di rumah, sepulang dari majelis. Sebelum ini, terakhir dia salat fardu adalah saat dia kecil, itu pun karena Gito memaksanya salat berjamaah.

Yoga menyaksikan dirinya sendiri sedang membungkukkan punggung. Ruku'. Lalu tak lama, menyentuhkan dahinya di alas sajadah. Rasa haru memenuhi hatinya. Dahulu saat hidupnya terasa sangat hampa seolah dia adalah cangkang kosong yang bergerak ke sana ke mari di alam dunia, tanpa tujuan yang jelas. Terasa sangat menjemukan. Dia memiliki semua yang dipikir orang kebanyakan, adalah segalanya. Harta berlimpah ruah. Tapi hiburan-hiburan duniawi tak mampu mengisi kekosongan hatinya.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, seorang Yoga Pratama akan bersimpuh sujud pada Tuhannya. Setelah Yoga menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri untuk salam, dia memutar tasbih dan berzikir.

Ya Allah ... betapa aku telah mengalami perjalanan yang panjang.

Kilas balik itu menyeretnya cepat. Tak banyak hal berarti terjadi setelahnya. Pekerjaan di kantor menyita sebagian besar waktunya. Namun begitu ia memasuki majelis zikir, seketika semua kepenatan itu lebur dalam rasa bahagia dan damai. Hanya perlu satu jam di masjid itu. Sejam bersama mereka, dan seketika jiwanya bagai ponsel yang di charge penuh, hingga dia siap menyambung hari-hari setelahnya. Menyambung hidup.

Sosok seorang wanita cantik yang aslinya agak tomboy, muncul di hadapannya. Wanita itu sedang berdiri di samping Yoga, menatap pemandangan kota dari balkon sebuah gedung tinggi. Aurel. Melalui dia, Yoga belajar bahwa cinta manusia bisa berubah. Dan cinta bisa hilang. Mungkinkah itu tanda untuknya, bahwa Erika sudah melupakan dia sepenuhnya? Jika iya, semestinya dia tidak terkejut. Erika hidup dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Suaminya, Yunan anak angkatnya, dan sekarang ...

Jiwa Yoga terseret dalam dimensi waktu yang berbeda. Dia melihat dirinya sedang duduk di kursi kerjanya di kantor. Tangannya bergetar saat melihat foto di layar komputer. Bayi itu. Raesha Akhtar. Mewarisi wajah suaminya, orang yang membuatnya iri setengah mati. Farhan Akhtar. Yoga melihat dirinya berteriak marah pada bawahannya dan melempar buku ke lantai. Tak lama, dia berpindah tempat ke musholla kantor. Melihat dirinya salat disertai penyesalan yang khusyuk.

Perjalanan waktu bergerak cepat hingga dia merasa seperti diseret ombak laut yang besar. Yoga melihat dirinya menyendiri di kamar. Menerima telepon. Dari Rizky. Tak lama, Yoga melihat dirinya mengepak barang ke dalam koper, berangkat ke Padang, melalui perjalanan panjang ke atas bukit. Lalu ...

Rasa sengatan listrik muncul kembali melalui telapak tangannya. Memindahkan Yoga kembali ke ruang hitam tak berdefinisi. Seorang laki-laki tua berpeci, berjanggut putih dan berjubah sewarna pasir. Beradu tatap dengannya. Syeikh Abdullah mendekatinya selangkah demi selangkah. Dia menyodorkan tangannya. Tiba-tiba jiwa Yoga mewujud. Yoga menerima uluran tangannya. Tatapan Syeikh mempu membuat Yoga percaya sepenuhnya, meskipun baru mengenalnya.

Telapak tangan mereka semakin mendekat, hingga akhirnya saling jabat. Syeikh mengeratkan genggamannya.

Sekejap Yoga merasa bagai ditiup angin kencang, bercampur dengan aliran listrik di tangannya. Matanya mulai bisa melihat samar, sebuah ruangan yang dikenalinya sebagai ruangan Syeikh Abdullah. Kepalanya masih pusing hingga tubuhnya oleng ke arah kanan.

Tangan Syeikh mencengkeram bahunya, mencegahnya jatuh.

"Kamu mungkin kelelahan, Yoga. Kamu baru datang dari Jakarta, 'kan? Kamu harus banyak istirahat setelah ini, supaya bisa kuat untuk suluk besok."

Hah? batin Yoga.

Yoga masih agak linglung. Wajah Syeikh tersenyum ramah padanya. Yoga melihat sekeliling. Keringat mengucur di dahinya, dan saat dia mengusap pipi, air mata masih membasahi kulit wajahnya. Perlahan pusing di kepalanya menghilang.

Yang barusan itu karena kelelahan? pikir Yoga tak percaya.

Suara pintu diketuk. "Assalamu'alaikum, Syeikh. Saya diminta Ustaz Umar membawakan secangkir kopi ke ruangan Syeikh."

"Wa'alaikumussalam. Masuklah."

Pintu digeser dan seorang santri masuk membawa secangkir kopi di atas nampan. Dia membungkuk dengan hormat dan meletakkan cangkir itu di hadapan Yoga.

Yoga yang masih belum pulih sepenuhnya, bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada santri itu. Justru Syeikh yang mengucapkannya, "Syukron."

Santri itu menundukkan kepalanya. "Afwan," ucapnya sebelum keluar ruangan dan menutup pintu.

"Minum kopimu, Yoga."

Yoga mengangguk. "Terima kasih, Syeikh."

Yoga menyesap kopi hitam itu sedikit demi sedikit. Agaknya kafein membuat kepalanya merasa lebih baik. Terasa lebih ringan.

Syeikh memandanginya sambil tersenyum. "Yoga, kamu ke sini untuk mencari ketenangan?"

Yoga memalingkan pandangannya dari cangkir kopi ke wajah Syeikh. Perlahan dia mengangguk. "Iya Syeikh."

Senyum beliau mengembang. "Insyaallah kami bisa membantumu. Tapi untuk itu, kamu harus percaya pada kami. Percaya dan pasrah adalah kuncinya. Apa kamu serius mau jadi muridku?"

Alis Yoga berkerut. Pandangan mereka kembali bertemu. Sepasang mata jernih yang kenampakannya memunculkan rasa sejuk dalam hati Yoga. Tanpa ditanya pun, sebenarnya detik awal mereka bertatapan di ruangan ini, Yoga telah menyerahkan kepercayaannya pada lelaki tua di hadapannya. Dia mengangguk pelan. "Iya. Saya mau, Syeikh."

Syeikh Abdullah tersenyum senang. "Kalau begitu, apa kamu akan menurut kalau aku memintamu untuk memperpanjang masa sulukmu menjadi empat puluh hari?"

Mata tenang Yoga mendadak melotot bak akan keluar dari kelopaknya. "A-APPPAA?? E-EMPAT PULUH HARIII???" Nyaris dia berdiri dari posisi duduknya.

Syeikh tertawa terkekeh. Dia sudah menebak reaksi ini. Dia kembali menatap Yoga, kali ini dengan serius. "Ya. Empat puluh hari. Karena kondisimu tidak sama dengan temanmu yang sekarang sedang berdiri di belakang pintu itu," ucapnya sembari menunjuk ujung jari ke arah pintu ruangannya.

Yoga mengikuti arah jari telunjuk Syeikh, memasang tampang heran.

Rizky masih berdiri di sana?? Bagaimana Syeikh bisa tahu??

Yoga menolehkan pandangan dari pintu dan kembali menghadap Syeikh yang masih nampak serius.

"Dua puluh hari tidak cukup untukmu. Kalau kamu hanya dua puluh hari di tempat ini, kamu akan pulang ke Jakarta dengan kondisi yang tak jauh berbeda dengan sekarang. Kalau kamu serius mau jadi muridku, aku menyarankanmu untuk mengikuti program empat puluh hari. Putuskan sekarang,"

Nada suara tegas dari Syeikh membuat hatinya gemetar. Belum pernah wibawa seseorang membuatnya merasa seperti ini. Yoga menundukkan kepala, memejam. Tentu saja dia tidak mau menghabiskan dua puluh hari di tempat ini lalu pulang dengan kondisi yang kurang lebih sama. Dia tidak mau perjalanan ini sia-sia!

Yoga membuka kelopak matanya. "Baiklah, Syeikh. Aku akan ikut saran Syeikh. Empat puluh hari. Tapi aku akan perlu menghubungi keluargaku sebelumnya."

Syeikh tersenyum. Nampak senang dengan keputusannya. "Tidak masalah. Besok kamu bisa menelepon mereka dari ruangan Ustaz Umar. Habiskan sisa kopimu. Sebentar lagi azan Isya, sebaiknya kita bersiap ke masjid."

"Baik, Syeikh," Yoga menyeruput sisa kopi di cangkirnya sambil sesekali memperhatikan gerak gerik Syeikh yang sedang merapikan tasbihnya. Itu adalah tasbih terpanjang yang pernah dilihatnya.

"Allahu akbar. Allaaahu akbar!" Suara muadzin melantunkan penanda waktu salat Isya.

Yoga bangkit dari duduk bersilanya. "Saya permisi dulu, Syeikh," pamitnya sebelum mencium tangan beliau.

Yoga berjalan setengah membungkuk ke arah pintu. Pintu terbuka dan Yoga nyaris keluar dari ruangan itu saat tiba-tiba Syeikh Abdullah memanggilnya, "Yoga!"

Yoga berhenti menggeser pintu dan menoleh. "Ya, Syeikh?"

Pria tua itu tersenyum penuh arti. "Jika semua itu tidak terjadi, apa menurutmu, kamu akan berada di tempat ini sekarang?"

Sepasang mata Yoga terbelalak. Seolah pertanyaan itu menegaskan bahwa peristiwa kilas balik masa lalunya yang barusan dialaminya, adalah nyata dan bukan imajinasi.

"Kamu tidak harus menjawabnya sekarang. Insyaallah kamu akan mengerti nanti. Pergilah wudu."

Yoga berjalan bersama Rizky ke tempat wudu. Sepanjang perjalanan, benaknya penuh tanya, mengira-ngira maksud dari pertanyaan Syeikh. Tapi dia tetap tidak mengerti.

Sebab saat itu, dia tidak dalam kondisi bisa menjawabnya.

.

.

***