Siska berjalan bagai Zombie menuju pintu masuk rumahnya, rambutnya mengembang sedikit acak-acakan, tubuh kurusnya seperti melayang di udara, ia benar-benar kehilangan semangatnya. Berkali kali Hanna mengetuk pintu itu, namun Siska seakan mengabaikannya.
"Kenapa lama sekali?" tanya Hanna.
"Hey, lihat dirimu, kau benar-benar seperti orang yang tak terurus!" tambah Hanna.
Siska hanya tersenyum tipis, ia tidak mengindahkan perkataan Hanna sama sekali.
Hanna hanya melongo melihat kelakuan adik sepupunya itu.
"Aku membeli beberapa camilan, mungkin kita bisa mengobrol sebentar!" tawar Hanna, sembari menunjukkan sekantong camilan yang di bawanya.
"Tidak perlu!" jawab Siska datar.
"Ayolah, kau bisa sedikit curhat padaku, mungkin aku bisa membantumu!" paksa Hanna.
Seakan tidak memiliki pilihan lain Siska menganggukkan kepalanya dan berjalan menuju kamarnya.
Hanna mengikutinya dengan sedikit menggelengkan kepalanya.
Akhirnya Siska menceritakan hubungannya dengan Davine pada Hanna, kapan pertama ia bertemu, bagaimana akhirnya mereka bisa pacaran, dan sudah berapa lama mereka menjalin hubungan.
"Yah, mungkin sudah sekitar setahun kami berpacaran!" terang Siska.
"Davine itu orang seperti apa?" tanya Hanna.
"Maksudku, bagaimana ia memperlakukanmu selama ini?" tambahnya lagi.
"Dia baik, walaupun ia sedikit pendiam dan cuek, tapi itu pesonanya!" jawab Siska.
"Terkadang ia sangat memperhatikanku, ia seperti tahu apa yang ada dipikiranku, tapi terkadang ia seperti orang lain, cuek dan dingin, itu membuatku jantungku selalu berdebar terhadapnya!" jelas Siska.
"Hmmmnn... jadi dia tipe cowok yang bisa di bilang Cool, aku mengerti, mereka mempunyai pesonanya tersendiri," tukas Hanna.
Siska mengangguk, membenarkan pernyataan Hanna.
"Apa kalian sering bertengkar?" tanya Hanna lagi.
"Rasanya tidak. Aku memang kerap marah padanya, terlebih saat ia membicarakan tentang Annie padaku!" jawab Siska
"Entah mengapa ia selalu bisa meredam amarahku dengan caranya sendiri!" tambahnya.
"Memangnya seberapa dekat Davine dengan Annie?" tanya Hanna, ia cukup penasaran tentang hubungan mereka.
"Mereka bersahabat. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya sama sekali, yang kutahu Davine mengatakan padaku jika mereka sudah bersahabat sejak kecil!" terang Siska.
"Semenjak terbunuhnya Annie, Davine seakan tidak punya waktu untukku, aku tidak tahu apa yang di kerjakan nya belakangan ini!" Siska menghembuskan nafasnya panjang.
"Mungkin Davine masih terpukul oleh kematian Annie, kau harus lebih mencoba mengerti keadaannya. Aku rasa cepat atau lambat ia akan kembali baik padamu!" Hanna menepuk pundak adik sepupunya itu.
Siska tersenyum dan mengangguk, perkataan Hanna sedikit membuatnya tenang.
"Baiklah, aku akan naik ke kamarku, rasanya aku butuh istirahat!" Hanna merenggangkan tangannya lebar.
"Mandilah, aku tahu kau belum mandi dari kemarin!" tembak Hanna.
"Apa kau mau bilang aku bau?" timpal Siska, wajahnya mulai terlihat kesal.
"Kurang lebih seperti itu!" ejek Hanna, sembari berlari kecil meninggalkan kamar Siska.
"Awas saja kau!" teriak Siska, ia melemparkan bantal yang berada di dekatnya hingga mengenai bagian belakang kepala Hanna.
"Rasakan!" Siska tersenyum puas.
15 Januari, Hanna menerima data-data seputar Annie dari Sersan Hendrik. Diketahui Saat ini Annie sedang berada di tahun ketiga dalam masa kuliahnya, Annie terlahir di keluarga yang bisa di bilang kurang mampu, yang bertempat di sudut kota bagian utara. Annie adalah anak yang berprestasi, ia menerima beasiswa khusus di kampusnya. Ayahnya telah wafat beberapa tahun yang lalu, sedang ibunya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Annie anak yang mandiri, di tengah kesibukan kuliahnya ia juga bekerja part time di suatu perusahaan ekspedisi di bagian pengepakan, yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
17 Januari, Hanna berkunjung ke kediaman Annie, guna mencari informasi lebih tentang kematiannya. Hanna disambut ramah oleh Ibunya. Saat ini mereka hanya tinggal bertiga di rumah yang terbilang sangat minimalis. Annie adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang kini menyisakan dua adiknya, yang saat ini sedang mengenyam bangku pendidikan di tingkat SD dan SMP.
Sang ibu bercerita jika Annie termasuk anak yang pendiam, Annie sedikit kesulitan dalam bergaul tidak seperti anak-anak seumurnya, menurut ibunya ia hanya pernah berjumpa dengan beberapa teman Annie selama ini, dan sang ibu juga menambahkan jika Annie memiliki seorang sahabat yang cukup dekat dengannya semasa ia masih hidup. Tentu saja Hanna menduga jika itu adalah Davine, seperti yang Siska ceritakan padanya.
"Namanya Bella, ia tinggal cukup dekat dari sini!" terang sang Ibu.
Mendengar hal itu, Hanna sontak bertanya.
"Apa Annie punya sahabat lain selain Bella?"
"Ibu rasa, tidak!" tegas sang Ibu.
"Apa Annie mempunyai kekasih?" tanya Hanna lagi.
"Annie anak yang sangat pekerja keras, ia sangat fokus pada kuliahnya." Ibu itu terdiam sejenak.
"Ibu rasa Annie tidak punya waktu untuk sekedar berpacaran!" jawab sang ibu yakin.
Sekali lagi mendengar pernyataan itu Hanna seketika berpikir, lalu siapa Davine? benarkah Davine mempunyai hubungan dengan Annie seperti yang Siska ceritakan, hal itu menjadi tanda tanya baru bagi Hanna.
Hanna juga bertanya bagaimana aktivitas Annie di hari-hari sebelum kematiannya pada sang Ibu. Ibu menjelaskan tidak ada hal yang mencurigakan, Annie beraktivitas seperti biasanya. Biasanya Annie akan mengeluh pada Ibunya jika ia mengalami masalah, namun hal itu tidak di lakukan nya beberapa hari belakangan, hal itu membuat sang ibu berpikir jika anaknya saat itu sedang baik-baik saja, jelasnya.
Setelah beberapa lama berbincang seputar Annie bersama Ibunya, Hanna meminta ijin untuk undur diri dan meninggalkan tempat itu. Tidak lupa Hanna meminta alamat dan nomor telepon Bella pada sang ibu, guna mendalami kasus ini lebih dalam lagi. Mungkin Bella bisa menjadi kunci untuk membukakan jalan ke mana kasus ini akan berlanjut, pikirnya.
Diperjalanan pulang perhatian Hanna tertuju pada rombongan orang, mereka terlihat memberikan kantong-kantong berisi sembako pada warga sekitar. Hanna tidak tahu mereka dari mana, mereka terlihat bagai anggota suatu organisasi masa atau semacamnya, Hanna tidak tahu pasti.
Terlihat mereka mengutamakan para pedagang kecil dan kaki lima yang berada di sekitar area tersebut. Hanna mengerti jika cepat atau lambat dampak dari diberlakukan jam malam akan berpengaruh pada ekonomi mereka, berkurangnya waktu untuk mereka menjajakan dagangannya tentu berdampak bagi penghasilan mereka. Orang-orang itu cukup jeli, pikir Hanna. Bahkan pemerintah belum memberi perhatian khusus seperti yang mereka lakukan saat ini.
Bagi sebagian orang, hal itu mungkin tidak terlalu berdampak. Kenyataannya jam malam membatasi pergerakan masyarakat di bidang-bidang tertentu. Ada sebagian orang yang tidur di saat yang lain sedang beraktivitas, begitu pula sebaliknya. Pada dasarnya sebuah kota tidak pernah benar-benar tidur, selalu ada aktivitas di balik remang lampu yang menerangi di kala malam, ada sesuap nasi yang di perjuangkan bagi mereka yang berjalan dibalik kegelapan, terlepas bagaimana cara yang mereka lakukan, entah itu baik atau buruk untuk mendapatkannya.
Pada tengah malam sebuah kota bisa jadi tempat paling berdosa, peredaran Narkoba, prostitusi, tempat hiburan malam ilegal, perampokan, dan beberapa hal keji lainya yang bisa saja terjadi. Namun di saat yang bersamaan ada juga mereka yang di haruskan bekerja pada malam hari karena alasan tertentu, dan tentu ada juga para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan kecil mereka pada orang-orang yang menikmati sendunya malam. "Karena pada dasarnya sebuah kota tak akan pernah tidur!" tegas Hanna sekali lagi pada batinnya.