webnovel

Part 1.3

Davine berlari sekuat tenaga menuju area TKP. Kali ini kembali ditemukan sesosok mayat pria paruh baya, tepat di beberapa blok dekat apartemennya. Davine melesat secepat kilat setelah mendapat informasi dari Kevin, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia yakin pengalaman melihat mayat korban secara langsung akan lebih membantunya dalam memecahkan kasus pembunuhan berantai tersebut.

Tempat itu ramai sesak, Davin dengan kasar menerobos kerumunan orang yang sedang menjadikan hal tersebut sebagai tontonan, police line telah terpasang, sedang mayat korban terlihat tergeletak dengan bagian kepala yang di tutupi koran, bau amis dari darah korban tercium samar dari jarak yang cukup jauh, "Sial!" maki Davine dalam hati. Ia tidak bisa melihat dengan jelas mayat korban tersebut, dengan lemas ia meninggalkan TKP itu.

Davine yang sangat penasaran kemudian mencoba menanyakan perihal kematian korban kepada seorang satpam yang kebetulan menjaga sebuah toko yang berada dekat dengan TKP tersebut.

"Permisi Mas," sapa Davine dengan sopan.

"Iya Mas, ada apa ya?" tanya satpam itu.

"Apa Mas, tahu tentang korban yang baru saja ditemukan di TKP itu?" tanya Davine.

"Saya hanya tahu sedikit Mas, setahu saya korban meninggal dengan cukup mengenaskan, kepalanya pecah seperti dipukul dengan sesuatu yang sangat keras!" ujar satpam itu menjelaskan.

"Mungkin seperti dihantam dengan martil atau sebagainya! " tambahnya lagi.

"Lalu bagaimana dengan identitas korban?" tanya Davin lagi.

"Untuk itu saya juga kurang tahu Mas, tapi yang saya dengar korban adalah seorang pedagang kaki lima yang kerap mangkal di daerah ini!"

"Kalo begitu terima kasih ya Mas." Davine pun pergi meninggalkan satpam yang masih sedikit bingung dengan tingkah Davine, yang sudah hampir seperti wartawan yang sedang mencari informasi untuk di angkat ke surat kabar itu.

Beberapa saat kemudian Davine mendapat sebuah kiriman foto dari Kevin, yang kini sudah hampir seperti karyawan yang bekerja untuknya. Foto itu menunjukkan kondisi mayat korban, benar kata satpam tersebut bagian kepala mayat itu tampak hancur bagaikan di hantam dengan benda yang sangat keras satu atau dua kali, cukup membuat wajah korban benar-benar hampir terlihat tidak berbentuk lagi, "Ini sangat brutal," gumam Davine dalam hati.

Di tengah bisingnya para warga yang sedang menonton di area TKP, samar Davine mendengar suara cekikikan, bagaimana bisa ada yang tertawa dalam situasi seperti itu, terlebih lagi suara cekikikan itu terasa tidak asing di telinga Davine. Segera ia kembali menghampiri kerumunan orang-orang tersebut mencoba mencari sumber suara tersebut, sayangnya itu bukan hal mudah, bising suara orang-orang bercampur aduk di sana, namun suara cekikikan itu masih terdengar di ujung telinga Davine. Sampai perhatiannya tertuju pada seorang pemuda yang mengenakan hoodie hitam dengan tudung di kepalanya, lengkap dengan masker mulut, dan kaca mata hitam berada di sudut keramaian. Davine memperhatikan pemuda itu dengan saksama, ia yakin jika suara cekikikan itu bersumber darinya, walaupun Davine tidak bisa melihat sama sekali gerak bibir pemuda itu karena masker yang di kenakannya. Hingga tanpa disengaja wajah mereka saling bertatapan, dan pemuda itu dengan perlahan pergi meninggalkan tempat itu.

Davine yang masih sangat penasaran akan pemuda itu tentu mencoba mengikutinya, dengan sebisa mungkin membuat pemuda itu tidak curiga, ia berjalan seakan-akan ia memang sedang berjalan ke arah yang sama dengan pemuda itu. Sampai di sebuah gang yang terdapat pertigaan, Davine berjalan perlahan mencoba mengatur jarak di antara mereka. Sialnya hanya sesaat pemuda itu seakan menghilang di tikungan tersebut, Davine mencari cari pemuda itu, ia bagai hilang di telan bumi, sedang mereka hanya terpaut beberapa langkah, bagaimana mungkin pemuda itu menghilang begitu saja dan hanya menyisakan jalan kosong di depannya, sekali lagi suara cekikikan itu terdengar seperti terbawa angin lalu menghilang di udara.

Dengan bertambahnya korban yang kembali di temukan, kini Pemerintah kota mulai memperlakukan jam malam. Hal ini dilakukan karena besarnya potensi terjadi pembunuhan di jam-jam tersebut, aktivitas kota juga mulai di batasi, beberapa pos Polisi dadakan didirikan di beberapa area yang di anggap rawan, hal ini juga menandakan akan keseriusan dari pihak Kepolisian. Tentu saja setelah mendapat kritik dan komplain yang cukup keras dari warga kota atas lambannya penanganan kasus tersebut.

Di kamarnya Davine menghempaskan tubuhnya lelah di atas kasur. Pikirannya tertuju pada Annie, mencoba mengingat kembali segala kenangan mereka ketika masih bersama, semua kebersamaannya yang seakan mulai menghilang secara perlahan dari ingatannya, entah mengapa Davine merasa tidak dapat mengingat kembali semua hal itu, hanya wajah Annie yang di penuhi dengan raut ketakutan yang selalu terlintas di benaknya. Entah mengapa seakan segala kenangan manis tentang Annie, kini seakan terhapus dalam ingatannya.

Davine mendorong tubuhnya bangkit dari tempat tidurnya, berjalan gontai untuk mengambil selembar Foto Annie yang tersimpan di dalam laci meja yang terdapat di sudut ruangan. Davine berdiri lama di sana hanya untuk sekedar memandangi foto itu lekat-lekat sebelum akhirnya ia menjilati foto itu penuh nafsu sambil menangis tersedu.

Pukul 09.30 a.m. Siska memaksa untuk mengunjungi Davine di apartemennya dengan membawa beberapa kue kecil untuk sarapan mereka, namun seperti biasa Davine menolak hal itu mentah-mentah. Dari awal mereka mulai menjalin hubungan Davine tidak pernah sekalipun membawa Siska ke apartemennya, sekalipun Siska memaksa, Davine selalu bersikeras agar Siska tidak ke tempat itu, entah ia hanya merasa tidak ingin terganggu akan hal pribadinya atau ada sesuatu yang lain. Tentu saja itu membuat Siska sangat penasaran, di samping ia pun tahu jika Davine memang tergolong orang yang cukup introvert, dan sekali lagi Siska hanya bisa menuruti kemauan Davine dan menunggu di luar apartemen untuk bersama-sama pergi ke kampus mereka.

Sepanjang perjalanan menuju kampus mereka, Siska mengeluhkan dengan adanya jam malam yang di terapkan di kota mereka. Hal itu membuatnya kesulitan untuk melakukan beberapa hal dijam-jam tersebut, terkadang ada kebutuhan mendadak dan ia tidak bisa melakukannya, hal itu cukup membuatnya kesal, sementara Davine hanya tersenyum dan mendengarkan semua ocehan Siska, sambil sesekali menyantap kue kecil yang di bawakan Siska untuknya.

"Dengan adanya temuan terakhir, sekang sudah terhitung telah terjadi 9 kasus pembunuhan. Bukankah ini sudah menjadi kasus yang sangat besar!" ujar Siska.

"Kau tahu jika terus seperti ini, kota kita bisa di katakan telah melahirkan pembunuh berantai seperti halnya Ted Bundy, The Zodiac, dan Jack The Ripper. Yah ... aku rasa kota ini akan menjadi sangat terkenal," lanjutnya berceloteh, sedikit bergurau.

"Aku setuju, dan mungkin kasus ini juga akan di angkat menjadi sebuah film dengan embel-embel kisah nyata," timpal Davine.

Mereka tertawa di tengah-tengah rasa kekhawatiran mereka masing-masing, sebelum raut wajah Davine terlihat berubah sedih.

"Maafkan aku, kau pasti teringat akan Annie, bagaimana aku bisa membuat hal ini menjadi sebuah lelucon, aku sangat bodoh," mohon Siska pada Davine.

"Tidak apa-apa, itu bukan hal buruk. Di tengah situasi seperti ini kita sangat membutuhkan lelucon kecil seperti itu, itu bisa membuat kita menjadi sedikit tenang!" jawab Davine sambil tersenyum dan menggenggam tangan Siska.

"Mungkin ini akan sedikit membuatmu tidak nyaman, tapi selama ini aku hanya mengetahui tentang Annie darimu saja, dan aku sendiri belum pernah bertemu langsung dengannya, sebenarnya seberapa dekat kau dengan Annie. Kau selalu saja menyanjungnya dalam ceritamu, dan aku rasa dia sangat spesial untukmu?" tanya Siska yang selama ini sangat penasaran mengapa Davine seakan selalu mengagungkan Annie dalam setiap ceritanya.

"Bukankah kau selalu terlihat tidak senang jika aku bercerita tentang Annie?" jawab Davine balik bertanya.

"Yaa... Kau benar, tentu saja aku sedikit cemburu, tapi kali ini berbeda! " kata kata Siska terhenti seketika.

"Maksudku ... ." Ia sedikit kebingungan merangkai kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

"Baiklah aku mengerti! " jawab Davine yang menyadari hal itu.

Davine pun mulai menceritakan bagaimana mereka bisa bertemu. Saat itu Davine yang baru saja diadopsi oleh kedua orang tua angkatnya pindah dari panti asuhan ke kediaman orang tua angkatnya tersebut, di sanalah mereka berdua pertama kali bertemu. Annie adalah tetangga mereka dan kedua orang tua Annie juga cukup dekat dengan keluarga barunya saat itu, bisa di katakan Annie adalah teman pertamanya, dan hal itu terus berlanjut sampai mereka berdua menginjak bangku SMA, dan akhirnya terpisah ketika mereka menginjak perguruan tinggi. Annie mengambil jurusan di kampus yang berbeda dengannya. Sedikit jelas Davine padannya.

"Semenjak kuliah kami sudah jarang bertemu, hingga kejadian pun itu menimpanya."

"Pembunuh berengsek itu!" maki Davine, dengan mata yang terlihat penuh amarah.

Siska yang menyadari hal itu mengelus lembut tangan Davine yang sedari tadi sedang menggenggam tangannya. Wanita itu terlihat sangat peka, hal itu membuat Davine menjadi sedikit tenang.