"Gue harus bilang berapa kali? Lo jadi murid bego nggak apa, yang penting nggak bolos atau ngerokok di sekolah. Ngerti nggak sih ah? Capek banget punya anak kayak lo. Pengen gue santet aja kayaknya."
Namanya Madeleine, orang-orang memanggilnya Maddy. Mama tiri Neil yang dinikahi papanya beberapa tahun lalu. Dia yang punya segala macam aset berharga keluarga mereka—atau katakanlah, Maddy ini anaknya salah satu dari pengusaha konglomerat negeri ini. Kalau dengar nama belakangnya, semua orang di sepenjuru negeri pasti langsung menganga sambil bilang, "Ah ... yang punya stasiun TV paling tersohor."
Keluarga Maddy ini tajirnya minta ampun. Mungkin hartanya nggak bakal habis, bukan cuma tujuh turunan tujuh undakan, tapi sampai perang dunia ketiga meletus. Ah, nggak juga deng.
Pokoknya, keluarga Maddy hampir mendominasi dunia bisnis Indonesia. Kalau papanya Maddy punya stasiun TV, Maddy sendiri punya beberapa mall dan rumah sakit di Jakarta dan kota-kota tetangga. Kakak Maddy sendiri kerja sebagai designer terkenal, langganan para sosialita dan selebriti tanah air. Adik Maddy yang baru selesai kuliah beberapa bulan lalu terjun ke bisnis kuliner dan membuat franchise sendiri.
Kehidupan Maddy nyaris sempurna. Mungkin itu kutukan untuk dia yang dulunya nakal pakai banget, makanya jadi punya anak yang susah diatur macam Neil.
"Mam, ini namanya menikmati masa remaja."
"Menikmati masa remaja cocotmu!"
Hatta, papa Neil, yang tadinya tengah menyeruput kopinya itu terbatuk. Dia sudah terlampau biasa mendengarkan proses 'diskusi' antara istrinya dan Neil, tapi tetap saja masih merasa tidak biasa.
"Sekali lagi gue dipanggil ke sekolah karena lo ketahuan ngerokok, gue santet betulan."
Neil mengeluarkan rokok dan menyulutnya dengan santai. "Inget nggak Mami bulan kemarin bilang begitu? Nyatanya aku masih sehat wal afiat sampai sekarang. Aku tuh ngerti Mami begini cuma buat cari perhatian."
"Cari perhatian gundulmu! Gue nggak usah cari perhatian juga udah dilimpahi perhatian. Nggak usah ngadi-ngadi lo." Maddy mengambil alih rokok di tangan Neil, menginjaknya dengan ujung high heelsnya sampai padam. "Pokoknya kalau sampai lo ngerepotin gue lagi, siap-siap aja."
"Siap-siap apa?"
"Gue angkat lo jadi direktur."
Neil tertawa sampai terbahak-bahak. "Ya silahkan aja kalau mau perusahaan bangkrut dalam 24 jam."
"Kalian ini kalau bercanda suka nggak kira-kira ya. Capek banget dengernya." Hatta mulai beranjak bersama cangkir kopinya. Sejenak, mengamati tumpukan paper bag hasil shopping Maddy dan Neil yang memenuhi sebagian sofa, kemudian beralih menatap Neil. "Nanti ikut ke acara papa ya. Sesekali kita perlu datang lengkap. Dan itu, jangan lupa belanjaannya diberesin. Madd," katanya pada Maddy yang langsung mengangkat wajah menatapnya. "kita perlu bicara sebentar."
"Okay."
Setelah membiarkan Hatta pergi duluan, Maddy beranjak. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu berbalik lagi pada Neil. "Oh iya, gue punya ide buat nyeret lo pulang ke rumah. Siap-siap aja deh ya, gue bakal diskusiin ini sama bokap lo."
"Silahkan kalau bisa. Aku bakal dengan sangat senang hati pergi lebih jauh kalau sampai papa minta aku tinggal di sini."
Maddy mendengkus. "Emangnya apa yang salah sih sama rumah ini? Kurang gede? Kurang bagus? Lo nggak suka kamar lo atau gimana?"
Neil hanya mengedikkan bahunya, lalu tergelak sewaktu Maddy melepaskan salah satu sepatunya, membuat gestur seolah bakal memukulnya.
"Besok-besok gue beli betulan tuh kosan lo. Gue bangun rumah gedongan biar lo nggak mau tinggal di sana lagi."
Gerutuan Maddy yang mengiringi langkahnya masuk itu lagi-lagi membuat Neil tertawa.
Enam tahun lalu mama Neil dipanggil Tuhan lewat kanker serviks-nya. Waktu itu Neil baru masuk SMP. Hatta juga baru dapat promosi jabatan dan mereka baru sebentar sekali menikmati yang namanya hidup enak; tinggal di rumah yang lingkungannya lebih bersih, temboknya lebih tebal, dan yang pasti ... mereka mulai bisa makan secara layak.
Sayang ....
Sayang, wanita itu harus buru-buru pergi sebelum benar-benar menikmati semuanya.
Lalu, dalam satu tahun, Hatta dapat promosi lagi, dan promosi lagi. Keberuntungan beruntun yang Neil rasa bakal lebih menyenangkan kalau bisa mereka nikmati bersama. Tapi sayang, mamanya tidak ada di sana sewaktu wajah Hatta tersebar di media. Mamanya tidak ikut waktu mereka merayakannya.
Neil selalu merasa ... sedih, waktu itu. Setiap momen yang seharusnya membuat dia berjingkrak bahagia, Neil malah merasakan sebaliknya.
Sampai dia menyadari bahwa ... dia tidak bisa terus begitu.
Lalu, sewaktu Hatta datang dan membicarakan soal Maddy, Neil tidak bisa marah. Dia sangat sadar bahwa ... mereka butuh seseorang, bukan sebagai pengganti wanita yang sudah dipanggil Tuhan duluan, tapi sebagai seseorang yang bisa mengisi kekosongan mereka.
Neil menyadari bahwa setelah kepergian mamanya, rumah jadi tempat yang ... sepi dan kosong. Hanya ada dirinya dan Hatta yang sesekali bertegur sapa, sesekali lainnya saling mengabaikan.
Hari pertama Neil bertemu langsung dengan Maddy, Neil merasa bising. Maddy seberisik itu, dan di saat yang sama terlampau slengean untuk dijadikan sebagai mama barunya. Tapi itulah kabar baiknya. Semakin lama, Neil merasa ... dia tidak akan terkekang. Maddy tipe wanita yang open minded. Bisa menerima dan mengerti keinginannya sebagai remaja yang sedang tumbuh. Karena itu, tanpa sadar Neil nyaman, menerima kehadiran Maddy.
.... Bahkan Neil lebih dekat dengan Maddy setelah akhirnya Hatta menikah dengan wanita itu.
Neil lebih banyak berantem dengan Maddy, tapi kadang bisa juga curhat macam teman dengan wanita itu, entah lewat telepon atau waktu mereka bertemu. Secara teknis, Maddy ini lebih enak diajak bicara daripada Hatta, bagi Neil. Soalnya bicara dengan Hatta terasa ... kaku dan terlalu formal.
Saat pertama masuk SMA, dulu, Neil langsung bilang kalau dia mau ngekos. Dia malas kalau harus bergaul dengan orang-orang yang mendekatinya hanya karena dia bagian dari keluarga Maddy. Istilahnya, Neil kepingin menjalani kehidupan normal. Itu saja. Walau Hatta awalnya nggak memperbolehkan, Neil harus berterima kasih pada Maddy yang mempersilahkan dia berbuat sesukanya. Bukan karena nggak peduli, justru karena Maddy cukup bisa menerima alasan itu, soalnya dia juga pernah merasa kesulitan di masa remajanya gara-gara nama belakang. Dia nggak bisa bersikap seenak jidat waktu SMA—walau dari masuk kuliah sampai lulus Maddy sampai lupa kasus apa saja yang pernah menjerat namanya. Dan begitulah ceritanya.
Hanya sebagian kecil dari teman Neil yang tahu perihal hubungannya dengan keluarga Maddy. Kalau anak sekolah melihat Maddy datang, mereka cuma berpikir, "Alah, paling mau kasih sumbangan sama beasiswa." Soalnya ya ... begitulah. Orang Neil juga kalau rapotan ambil rapot sendiri, atau kalau mau bagusan sedikit, dia minta tolong emak temannya buat ambilkan sekalian.
Pokoknya Neil enggan kalau sampai kabar soal dia yang bagian dari keluarga Maddy kesebar. Salah-salah malah dia dimanfaatkan.
Kalau ada yang mau mendekati dia—dengan identitas yang nggak punya apa-apa—artinya mereka nggak mengharapkan hal lain selain eksistensinya. Tapi kalau misal banyak yang mendekati Neil karena mereka tahu Neil bisa dibelikan pesawat pribadi .... itu sedikit perlu dipertanyakan niat sesungguhnya.
"Ayo, pergi."
Neil yang baru menghabiskan seperempat rokoknya itu mendengkus. "Ke mana lagi sih? Ini kalau aku keluar lagi sama Mami bakal dikira dijadiin sugar baby tau nggak sih?! Nggak liat orang-orang di mall tadi?"
"Santai aja kenapa sih? Ini kita perlu cari baju yang bagus buat lo datang ke pesta. Yang match sama baju gue. Cuma ke butik bentaran elah. Lagian gue nggak dandan kayak tante-tante lagi nih. Udah kayak ABG belum?"
Sumpah sih Neil capek banget punya emak yang tingkahnya masih kayak anak 20-an macam Maddy.
__________________