webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · Romance
Pas assez d’évaluations
57 Chs

41-Jealous? She Doesn't Know!

Keadaan berubah hening. Kakak adik itu berkutat dengan pikiran masing-masing. Arisa tersenyum menatap pepohonan lebat berpuluh-puluh meter di depannya. Ada pesan tersendiri yang bisa ia petik dari obrolan bersama Arival tentang ibunya. Bahwasanya jangan mudah menyerah untuk menggapai impian yang kita inginkan.

Lihat saja ibu. Arisa bisa merasakan sendiri bagaimana pesimisnya ibunya tentang impiannya saat remaja. Tentang cita-citanya menjadi ilmuwan di pusat WHO. Tentang obsesinya memiliki seekor raptor di dunia nyata. Lihat sekarang, ibunya telah merealisasikan impiannya saat muda, meskipun tidak sepenuhnya terealisasikan. Ibunya telah menjadi ilmuwan terbaik dan melihat seekor raptor hidup di dunia nyata.

Arisa tahu, ada waktu saat ibunya membuang segala rasa pesimisnya dan menggantinya menjadi optimis tentang masa depan di kemudian hari. Terus melangkah maju, melampaui batas yang telah ia tetapkan sendiri. Karena sesungguhnya, kata 'tidak bisa' itu tiada. Dua kata itu terpisah jauh. Hanya manusia yang mudah menyerah saja yang membuatnya. Yang ada hanya berusaha, jangan menyerah, dan selalu optimis. Hanya itu.

"Arival," Arisa memecah keheningan, memanggil sosok di sampingnya. Arival menoleh, agak terkejut saat Arisa memanggilnya dengan nama.

"Kenapa?" tanya Arival singkat.

Arisa bertanya pelan, "Apa Arisa asli panggil kamu pakai 'kak'?"

Arival terdiam sejenak, "Nggak. Arisa itu adik nyebelin. Mana mungkin dia sesopan itu sama kakaknya. Waktu masih kecil sih iya. Tapi waktu udah gede, panggil pakai kak kalau ada di depan ibu aja. Arisa memang adik nyebelin kan?"

Arisa bersungut-sungut mendengarnya. Bukannya lebih menyebalkan kelakuan Arival sekarang padanya? Dia suka sekali mengatai Arisa asli di depan Arisa palsu?

"Kamu mau panggil aku Kak Arival? Nggak papa. Aku seneng Arisaku berubah jadi manis." Arival tersenyum menggoda.

"Nggak, makasih. Nyebutnya aja udah jijik." Arisa menjawab cepat.

"Jangan malu-malu. Aku tahu kamu pengen panggil aku Kak Arival tadi." Arival menyenggol lengan Arisa, menggodanya. Arisa menyeringai jijik, bergeser menjauh. Mengapa satu-satunya saudara yang ia punya bisa se-menyebalkan itu?

Arival terkekeh, mengacak rambut Arisa untuk kedua kalinya. Menggemaskan sekali melihat wajah adiknya yang sedang sebal. Cukup lama ia tidak menggoda Arisa seperti ini. Semenjak adiknya mengikuti kebijakan benteng untuk menyumbangkan sedikit kekebalan di tubuhnya. Kebijakan yang baru saja ia ketahui dapat merenggut nyawa adik satu-satunya yang ia punya.

Arival sungguh bersyukur Arisa bisa terselamatkan. Jika saja Biru tidak ingin tahu mengenai keganjilan cerita Arisa yang bertemu ibunya di sel bawah tanah, segala kebusukan Paman Arktik atau paman Biru pasti masih tersimpan rapat. Dan yang lebih mengerikan, nyawa adiknya akan melayang. Hal yang pastinya akan Arival sesali seumur hidupnya.

"Jangan sentuh, Val!" Arisa memegang rambutnya, berseru marah. Arival semakin tertawa melihatnya.

Arival bahagia, tentu saja. Melihat ibunya masih hidup dan adiknya selamat merupakan sumber kebahagiaan tiada tara. Kedua orang yang ia cintai dan sayangi masih ada di dunia ini, bersamanya.

"Arisa, kamu nggak cemburu?" Arival berhenti tertawa, mengganti topik pembicaraan. Dahi Arisa berkerut samar. Dia tidak paham maksud perkataan Arival.

"Cemburu kenapa?"

"Itu." Arival mengisyaratkan kepalanya ke belakang,

Arisa segera menoleh ke belakang. Tidak ada sesuatu apapun. Yang ada hanya punggung Biru dan Sarah yang sedang duduk di kursi menghadap komputer. Mereka berdua berbicara cukup serius. Kemungkinan masih topik yang sama, sistem keamanan benteng.

"Kalau kamu suka, berarti kamu punya saingan. Sarah itu deket banget sama Biru. Terlebih dia itu keren. Udah ilmuwan, lihai pakai senjata, pinter bela diri. Coba aja dia disuruh berdiri di tegah-tengah infected. Semenit kemudian aku yakin infected itu bakal habis dilibas." Arival menerangkan.

"Oh ya? Emang Sarah suka Blue?" tanya Arisa. Dia tidak mengelak sama sekali perkataan awal Arival tentang 'punya saingan'. Arisa sendiri langsung mempercayai ucapan Arival tentang Sarah dan segala kekerenannya. Dia bisa melihat betapa hebatnya Sarah malam itu. Malam saat Biru membawa kabur dirinya dari laboratorium benteng. Bagaimana tidak hebat? Tanpa suara dan secepat kilat, dia berhasil melumpuhkan banyak pasukan bersenjata di saat listrik padam. Hanya menyisakan suara gedebuk pasukan yang jatuh dan lenguhan mereka, untuk kemudian berakting menjadi sosok yang kebingungan melihat keadaan sekitarnya.

"Nah, itu yang masih dipertanyakan. Tapi kalau dia beneran suka, sekali dia nyatain perasaanya ke Biru, aku yakin Biru langsung bergerak maju."

"Maksudnya?" Raut wajah Arisa berubah tidak suka. Begitu juga dengan suasana hatinya.

"Menikah."

"APAAA?!!" Arisa melebarkan mata, berseru tidak percaya pada Arival di sebelahnya. "Bukannya terlalu muda buat nikah sekarang?" tanyanya.

Arival terkekeh, "Ini bukan zaman ibu, Arisa. Manusia butuh berkembangbiak secara cepat di zaman ini. Populasi kita turun drastis setelah virus Moscow nyerang dua puluh tahun yang lalu. Kita perlu jaga keturunan. Di zaman ini, nggak ada orang nunda nikah, nunda kehamilan, bahkan membujang sampai tua kayak zaman ibu. Terkecuali kalau belum dapet pasangan sih. Di benteng, banyak remaja enam belasan yang udah nikah dan punya anak." Arival berujar menjelaskan. Arisa terdiam, mencerna segala ucapan Arival. Enam belas tahun? Arisa menelan ludah susah payah. Itu umur yang terlalu muda untuk menikah, apalagi memiliki anak. Tapi ucapan Arival sungguh benar, manusia perlu menjaga keturunan di dunia seperti ini. Virus bisa kapan saja menjangkiti dan membunuh secara tiba-tiba.

"Blue suka Sarah, ya?" Arisa bertanya.

Arival mengedikkan bahu. "Entah. Tapi Sarah emang pantes disukai Biru kan?"

Arisa tidak menjawab. Dia tidak suka perkataan Arival yang terakhir.

"Maka dari itu, aku cuman takut adikku yang nyebelin patah hati nanti. Tapi setelah tahu kamu nggak suka Biru, aku jadi lega. Aku pikir Arisa asli juga nggak suka Biru. Jadi ... yaudah. Biru sama Sarah bebas nikah tanpa ada pihak yang sakit hati," ujar Arival.

Arisa hanya diam. Raut tidak suka bertambah kental menggantung di wajahnya. Sarah menyukai Biru? Biru menyukai Sarah? Mereka berdua akan menikah? Bagaimana bisa? Itu tidak mungkin terjadi! Arisa tidak terima hal itu! Sungguh!

Saking seriusnya Arisa bergelut dengan pikirannya, ia tidak menyadari Arival di sebelahnya sedang menahan tawa melihat raut wajahnya. Arrival sampai membungkuk, memalingkan wajah agar Arisa tidak melihatnya menahan tawa. Mudah sekali menipu adiknya...

Arival tahu ini mungkin sudah keterlaluan. Arisa pasti akan memikirkan secara terus-menerus ucapannya barusan. Tentang Sarah yang menyukai Biru. Tentang Biru yang akan menikahi Sarah. Ibunya pasti akan memarahinya habis-habisan jika mengetahui hal ini. Tapi masa bodohlah. Melihat adik manisnya cemburu benar-benar menyenangkan sekaligus membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

Tertawa di atas penderitaan adiknya, Arival memang kakak yang jahat. Ia tahu itu.

"Kamu udah 23 tahun. Kenapa nggak nikah? Nggak laku, ya?" Arisa tiba-tiba bertanya. Arival mencibir dalam hati. Kaaan, Arisa memang adik yang menyebalkan.

"Bukan nggak laku, Sa. Belum siap aja buat nikah. Setelah masalah ini selesai dan semua berjalan normal lagi, aku bakal ngelamar seseorang."

Mata Arisa berbinar mendengarnya. "Serius? Siapa calonnya?"

"Rahasia."

Bibir Arisa langsung tertekuk.

"Yaudah, aku mau masuk." Arival berdiri, mengacak rambut adiknya untuk terakhir kali. Bedanya kali ini Arisa hanya diam, tidak berseru marah seperti sebelumnya. Hal itu malah membuat Arival ingin tertawa. Arisa pasti kembali memikirkan ucapannya tentang Biru beberapa waktu yang lalu.

"Jangan banyak ngelamun. Nanti kesambet setan zombie baru tahu rasa," ucap Arival, melangkah pergi.

Arisa menghela napas panjang. Mengelus Thor di depannya tidak semangat. Arisa benci sesuatu yang sedang ia rasakan sekarang. Apa lagi, jika bukan perasaan cemburu. Namun Arisa sekarang tetaplah Arisa sekarang. Dia tidak pernah mau memahami perasaan apapun yang sedang ia rasakan. Cinta, suka, cemburu. Dia tidak peduli hal itu.

Arisa menyukai Biru? Arisa cemburu? Mana dirinya tahu! Yang ia ketahui sekarang hanyalah dia tidak terima Biru dan Sarah akan menikah. Hanya itu.

YA, ARISA SUNGGUH TIDAK TERIMA!