webnovel

Alunan Cinta

Adara Fredelina gadis biasa yang bekerja di perusahan tambang batu bara bingung harus memilih nada cinta yang yang dibawakan oleh dua orang pria padanya. Alunan cinta energik dan penuh petualangan yang dibawakan oleh Hanzel Manuru mengalum indah mengisi hari-harinya. Sementara alunan cinta romantis nan lembut yang dibawa oleh Arya Mahardika telah lebih dulu bersimfoni dihatinya. Alunan cinta tersembunyi yang dimiliki oleh Diandra semakin membuatnya tambah bingung harus memilih yang mana. Sebuah permainan takdir datang dan membuatnya harus memilih satu alunan cinta yang harus ia mainkan seumur hidupnya. Alunan cinta manakah yang akan dipilih oleh Adara untuk menghiasi hidupnya kelak?

Adara_Wulan · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
56 Chs

11. SMS Misterius

"Ra tolong keluar dulu, please ... please dengarin aku dulu, Ra!"

Hanz menggedor-gedor pintu kosan dan berteriak memanggil nama Adara, Adara terduduk dibalik pintu dengan tatapan kosong. Tak ada tangis yang menganak sungai namun di sudut hati ini terasa perih.

"Ra!" Teriak Hanz untuk kesekian kalinya.

"Mas, tolong pergi sekarang atau saya lapor ke petinggi kampung karena sudah membuat keributan disini malam-malam." Panca tetangga samping kamar menegur Hanz.

"Nggak usah ikut campur, kamu diam aja. Ini urusan aku," ucap Hanz.

"Selama ini masih didekat wilayah ku, ini tentu jadi urusan aku juga apalagi kamu teriak-teriak disamping kamarku," jawab Panca.

"Biarin, aku nggak peduli. Telepon aja kalau berani," ucap Hanz.

"Ah, sial. Awas kamu ya!" Ucap Hanz ketika ia melihat Panca menelepon seseorang dan ia pun berlalu pergi.

Setelah Hanz pergi Adara beranjak dari belakang pintu menuju ke kasur dan menghempaskan tubuh gempalnya disana. Rasa perih yang menusuk hati akhirnya keluar melalui celah-celah bola matanya.

"Ra." Seseorang memanggil namanya, Adara mencari arah suara itu, sebuah ketukan muncul dibalik dinding.

"Aku disini, Ra." Suara Panca terdengar jelas dibalik dinding di depan pintu kamarnya.

"Kenapa, Nca?" Adara duduk dan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

"Kamu nggak papa kan?" tanya Panca.

"Aku nggak papa Nca," jawab Adara.

"Yang tadi cowok kamu?" tanya Panca lagi.

"Bukan," jawab Adara.

"Sorry ya, aku udah ngusir dia tadi," sesal Panca.

"Nggak papa, dia pantas kok untuk diusir. Makasih ya udah ngusir dia tadi," ucap Adara.

"Sekali lagi maaf ya, Ra. Bukan maksud ku untuk ikut campur urusan kamu," balas Panca.

"Iya, nggak papa kok Nca. Ngomong-ngomong tadi kamu nelepon siapa?" tanya Adara.

"Oh itu, bukan siapa-siapa. Aku nelepon ke nomor ku yang satunya terus pura-pura lapor ke Petinggi kampung." Panca terkekeh dan Adara pun ikut terkekeh bersamanya.

"Kalo boleh tahu, tadi kalian kenapa sampai dia teriak-teriak gitu?" tanya Panca setelah tawa mereka reda.

"Ada masalah dikit, dia ke-gep lagi nyosor cewek lain di depan mataku en parahnya tu cewek temen aku sendiri," jawab Adara.

"Hmm, kalo itu mah bukan rahasia umum lagi. Si Hanz emang terkenal playboy," ucap Panca.

"Hah, kok kamu nggak cerita ama aku sebelumnya Nca," Adara terkejut mendengar ucapan Panca.

"Emangnya kamu mau percaya ama aku?" Panca berbalik menanyai Adara.

"Ra." Panca memanggil nama Adara karena Adara sempat diam tak menjawab.

"Iya," jawab Adara.

"Kamu sedih banget ya?" tanya Panca.

Adara tertawa kecil sebelum menjawab, "Tadi sempat sedih sih, aku sedih ama diri aku yang bego. Tapi kalo sedih untuk dia sih nggak." Jawab Adara penuh keyakinan.

"Sabar ya, Ra. Suatu saat kamu pasti dapetin yang terbaik buat kamu," hibur Panca.

"Makasih ya, Nca. Udah malem besok kita harus kerja, yuk tidur." Ajak Adara mengingat hari sudah larut.

"Met malam, Re. Nice dream ya,"

Adara tersenyum lega dibalik dinding, entah karena sudah terbiasa disakiti oleh Faris sebelumnnya hingga ia tak menangisi sikap buruk Hanz. Adara pun tak berhak menangisi sikap buruk Hanz karena ia bukan kekasih Hanz namun ia juga tak mengerti mengapa tergores sedikit rasa perih di salah satu sudut hatinya ketika melihat adegan itu.

Sederet pesan dari Fany dan Hanz menghiasi ponsel Adara pagi ini, tapi ada yang aneh dengan pesan Hanz. Isinya bukan permintaan maaf ataupun suatu penjelasan atas sikapnya semalam, pesannya hanya menyapa Adara dengan ramah dan mengajaknya untuk makan siang di belakang workshop.

Sedangkan satu pesan dari nomor asing justru menumpuk isinya tentang permintaan maaf, Adara menekan tombol ''panggil'' pada ponselnya untuk nomor tersebut.

["Halo, Ndut. Ndut maafin-"]

Adara langsung mematikan panggilan yang ia lakukan dan kali ini Adara beralih dengan kontak yang ia tulis dengan nama "Cecunguk Hanz".

["Pagi, Ra. Tumben kamu nelepon."]

["Hmm, ini bukan nomor Hanz?"]

["Bukan."]

["Terus, kamu siapa?"]

["Ntar siang kita ketemuan dibelakang workshop, ya."]

["Tapi-"]

Pria tersebut langsung mematikan sambungan telepon yang berlangsung. Oh Tuhan, kontak yang selama ini ku tulis dengan nama Hanz ternyata bukan dia tapi siapa? Setelah aku mengingat-ingat kembali saat nomor itu mengirimkan pesan untuk pertama kalinya ku pikir itu Hanz maka aku langsung meng-save nomor tersebut dengan nama Hanz.

Adara mengingat-ingat lagi, Hanz juga selama ini tak pernah menghubunginya ia langsung muncul saja di kosan Adara. Ah, berarti siapa orang yang sudah ia balas pesannya selama ini pikiran dan batin Adara mulai berdiskusi.

["Aku nggak papa kok, Fan. N aku nggak ada hubungan yang terlalu spesial ama Hanz."]

Adara mengirimkan balasan untuk deretan pesan yang Fany kirim dari semalam, semalam ia memang mematikan ponsel karena ia ingin istirahat dengan tenang tanpa harus menghadapi drama klarifikasi dan permintaan maaf dari orang yang sudah ketangkap basah melakukan adegan itu.

["Sekali lagi aku minta maaf, aku boleh ke kosan kamu nggk ntar malam."] balas Fany.

["Iya."] terkirim.

["Makasih, Ra."] balasan.

Adara meletakkan kembali ponsel dalam laci meja dan kembali fokus menginput data demi data hingga pukul dua belas siang. Suara klakson mobil PBU melengking dari bawah, Adara dan Aqilla segera turun untuk mengambil packmeal dan membagikannya pada karyawan untuk makan siang.

Sebagian karyawan sudah mendapatkan jatah makan siangnya, Adara dan Aqilla kembali ke atas dan membawa sisa packmeal untuk karyawan yang berada di lapangan. Hanz menahan tangan Adara ketika hendak menaiki anak tangga.

"Ra, tunggu dulu aku mau ngomong."

"Sini biar aku yang bawa." Aqilla menarik satu plastik besar packmeal yang dipegang Adara dan membawanya naik.

"Ra, maafin aku," ucap Hanz.

"Iya," Adaea menarik tangannya yang dipegang oleh Hanz.

"Kamu masih marah ama aku." Hanz berusaha menarik kembali tangan Adara

"Ngomong aja nggak usah pegang-pegang, nggak enak dilihat ama yang lainnya." Adara menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Aku ama Fany emang pernah pacaran tapi udah putus dan kita milih untuk sahabatan, dan semalam kita kissing cuma untuk perpisahan doang. Aku emang khilaf karena terbawa oleh suasana semalam," jelas Hanz.

"What? Tapi sory Hanz, aku nggak ada perasaan apa-apa ama kamu," bohong Adara.

"Re aku akui, dulu aku memang bukan orang yang baik. Tapi aku udah berjanji nggak akan ngulanginnya, please ... Ra, kasih aku kesempatan untuk berubah. Aku pengen serius ama-,"

"Aku juga serius, Hanz. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu," Adara memotong ucapan Hanz.

"Kalau kamu nggak ada perasaan apa-apa sama aku, lantas kenapa kamu marah sama aku gini." Ucap Hanz bingung.

Adara sontak terdiam mendengar ucapan Hanz, apa yang diucapkannya memang benar untuk apa dia marah pada Hanz saat melihat adegan itu kalau ia tak meniliki rasa apapun pada Hanz.

Adara melangkah naik meninggalkan Hanz, sungguh ia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan oleh Hanz. Apakah kissing dengan seseorang itu hal yang biasa baginya? Sehingga ia tanpa dosa mengatakan itu hanya untuk ungkapan perpisahan dengan Fany tanpa memikirkan perasaanny yang melihatnya.