webnovel

ALTHEA (EOTL)

Jiak aku bisa memutar waktu, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. Tapi, apa aku bisa melakukannya?

alemannus · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
6 Chs

[6] Unacceptable Truth

Aaron membuka pintu kamarnya lalu berdiam diri di ambang pintu selama lima menit tanpa melakukan apa-apa. Dia sedang memikirkan hal apa yang akan dia lakukan selain tidur dan melamun di dalam kamar ini. Jujur saja, dia mulai merasa bosan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa tapi disisi lain dia terlalu tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas diluar rumah. Aaron menghela nafasnya dengan panjang sambil melangkahkan kakinya ke depan. Mungkin hari ini dia akan kembali merenung dan tidur di dalam kamarnya karena hari ini terlalu melelahkan untuknya. Dia akan memikirkan apa yang akan dia lakukan nanti jika tenaganya sudah kembali pulih.

Hah.. Dia merindukan ibunya. Pulang ke rumah tanpa sambutan siapapun membuatnya sadar kalau kehadiran ibunya sangat berarti di dalam hidupnya. Dulu saat dia masih kecil, ibunya selalu menyambutnya pulang dari sekolah. Ibunya bahkan selalu memasak dan menyiapkan makanan untuknya dan juga adik-adiknya. Ibunya selalu memastikan kalau anak-anaknya dapat hidup dengan nyaman dan bahagia. Bisa dia katakan kalau ibunya selalu memprioritaskan anak-anaknya dibandingkan dengan dirinya sendiri dan hal itulah yang membuat Aaron sedih sampai sekarang karena semasa hidup, ibunya tidak pernah merasa bahagia. 

"Aku mau makan makanan Mommy." Ucap Aaron dengan pelan sambil menatap kamarnya dengan tatapan kosong.

"Hah.." 

"Aku ini ngomong apa sih?" Tanya Aaron pada dirinya sendiri.

Aiden mengusap wajahnya dengan kasar. 

Ibunya Aiden sudah pulang setengah jam yang lalu dan mungkin malam nanti dia akan memakan makanan yang beliau bawa tadi jika dia tidak lupa. Lagian juga dia belum memiliki selera makan sekarang meskipun perutnya sudah mengeluarkan bunyi yang nyaring dari tadi pagi. Aaron mengerutkan dahinya saat sebuah benda asing mengenai permukaan kakinya. Dia memang tidak mengenakan alas kaki saat berada di dalam kamar karena menurutnya lantai kamarnya sudah sangat bersih untuk bersentuhan langsung dengan kulit kakinya jadi dia tidak pernah mempermasalahkan alas kaki di dalam kamarnya.

"Siapa yang berani meletakkan buku ini disini?!" Tanya Aaron dengan kesal.

Aaron menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu mengabaikan buku itu dan kembali berjalan menuju tempat tidurnya. Dia akan mengurus masalah itu nanti karena sekarang dia ingin berbaring di atas kasurnya yang nyaman dan empuk. Berada diluar seharian membuatnya ingin segera berbaring dan memejamkan kedua matanya dengan tenang di atas kasur. Kalau dipikir-pikir kembali, tempat teraman dan ternyaman untuknya adalah kamar ini. Tidak ada yang berani mengganggunya jika dia sudah masuk ke dalam kamarnya. Bahkan pelayan saja tidak berani untuk mengetuk pintu kamarnya jika dia masih berada di dalamnya. Bisa dibilang kamar ini adalah zona ternyaman untuknya dari banyaknya ruangan yang ada di rumah ini.

"Hah.. Nyaman sekali. Kamar memang tempat terbaik di dunia ini." Ucap Aaron sesaat setelah dia berbaring di atas kasurnya.

Aaron menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Hanya suara detakan jarum jam yang terdengar di dalam kamarnya selain itu tidak ada bunyi lain yang terdengar oleh telinganya. Hujan perlahan-lahan mulai membasahi bagian luar rumahnya namun dia tidak bisa mendengar suara hujan karena kamarnya kedap suara. Dia bisa tahu keadaan di luar karena bayangan yang terpantul dari jendela kamarnya. Air hujan yang menempel di kaca jendelanya membentuk sebuah bayangan yang tercetak di dinding kamarnya melalui cahaya yang menembus kegelapan yang ada di dalam kamarnya. Rumit sekali ya? Pokoknya seperti itulah maksudnya.

"Aaron."

Ah, sepertinya dia mulai berhalusinasi lagi. Akhir-akhir ini dia sering mendengar suara Thea bahkan melihat sosok Thea di setiap sudut kamarnya. Benar kata Dean, mungkin sebentar lagi dia akan gila jika terus-menerus seperti ini. Aaron tertawa tanpa mengeluarkan suaranya. Bukan karena ada sesuatu hal yang lucu di depannya melainkan dia sedang menertawakan hidupnya yang terasa seperti sebuah komedi tapi anehnya kisah hidupnya tidak sanggup untuk membuat dirinya dan orang lain tertawa saat mendengarnya. Kenapa Tuhan sangat membencinya hingga dia hidup dalam kegelapan untuk waktu yang sangat lama? Apa seharusnya dia memang tidak terlahir di dunia ini? Apa hanya karena itu dia tidak bisa menjalani hidup dengan normal? Ah, malang sekali nasibnya.

"Kamu datang lagi hari ini, baby." Ucap Aaron sambil tersenyum saat dia telah bangkit dari tempat tidurnya.

Bayangan Thea muncul di hadapannya. Bukan bayangan, mungkin lebih tepatnya seperti arwah. Aaron menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Kekasihnya masih terlihat sama seperti terakhir kali dia melihatnya. Thea masih terlihat cantik dan anggun dengan gaun kesayangannya. Walaupun terlihat sedikit samar tapi Aaron bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang sangat dia cintai. Sudah tidak terhitung seberapa dalam rasa rindunya pada Thea hingga dia bisa melihat kekasihnya di dalam kamar ini setiap hari. Padahal Thea tidak pernah masuk ke dalam kamarnya selama ini tapi dia bisa merasakan keberadaan Thea di kamar ini. Entahlah, rasanya seperti ada seseorang yang selalu menemani dan mengawasinya disini. 

"Apa kamu juga merindukanku seperti aku merindukanmu?" Tanya Aaron sambil menatap Thea yang hanya menatapnya dalam diam.

"Ah, sepertinya aku sudah tahu jawabannya." Ucap Aaron sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan setelah terdiam beberapa saat.

Aaron kembali berbaring di atas tempat tidurnya setelah memperhatikan wajah Thea yang terlihat sedih dan khawatir beberapa saat. Bahkan dalam bentuk arwah pun, Thea masih tetap meragukannya. Meskipun Thea tidak mengatakan apa-apa tapi dia bisa melihat dengan jelas apa yang ingin Thea katakan padanya dari ekspresi wajahnya. Sebenarnya dia merasa sangat kecewa karena Thea tidak pernah bisa percaya padanya. Mulai dari kepercayaan Thea padanya sebagai seorang laki-laki sampai hal-hal yang semestinya bisa diceritakan pada orang terdekat yang sudah bersama dengannya selama belasan tahun lamanya seperti dirinya. Sepertinya dari awal Thea tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar teman dan sepertinya hanya dirinya saja yang menganggap kalau hubungan ini lebih dari sekedar pertemanan.

"Kamu bisa pergi sekarang." Ucap Aaron dengan tenang.

"Aku tidak akan bersedih lagi." Ucap Aaron lagi setelah terdiam beberapa saat.

Thea menatap Aaron dengan tatapan sedihnya. Mungkin keadaan Aaron yang sekarang bukanlah sesuatu yang Thea inginkan. Dia ingin Aaron bisa melanjutkan hidupnya dengan bahagia dan segera melupakan semua rasa sakit yang dia rasakan selama ini. Biarlah semua hal buruk itu terkubur dalam-dalam bersama dirinya karena Aaron pantas untuk hidup dengan bahagia. Sudah saatnya untuk move on dari masa lalu dan memulai masa depan yang cerah bersama seorang wanita baik yang bisa menerima dan melengkapi semua kekurangan Aaron. Dan Thea tahu kalau dia bukanlah wanita yang tepat untuk mencapai masa depan itu.

"Aku bohong." Ucap Aaron dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Jangan pergi. Aku mohon." Ucap Aaron lagi dengan memohon.

"Jangan tinggalkan aku." Ucap Aaron sambil menahan air matanya yang mulai jatuh dari pelupuk matanya.

"Aku tidak sanggup." Ucap Aaron dengan pelan sambil terisak.

Thea memejamkan kedua matanya sambil tersenyum. Setetes air mata jatuh dari mata kanan Thea saat dia memejamkan kedua matanya dan Aaron tahu kalau senyuman itu adalah senyuman terakhir untuknya sekaligus salam perpisahan dari Thea untuk selama-lamanya. Aaron membekap mulutnya dengan telapak tangannya saat arwah Thea mulai menghilang secara perlahan. Dia berusaha semampunya untuk tidak mengeluarkan air mata di depan Thea namun sepertinya usahanya berakhir dengan sia-sia karena sekarang dia sudah menumpahkan seluruh air mata yang dia miliki hari ini. Aaron bangkit dari tempat tidurnya lalu berlari menuju bayangan Thea yang hampir menghilang dan langsung memeluk tubuh Thea seolah-olah arwah itu masih memiliki raga.

"Jangan pergi." Ucap Aaron sambil menangis.

"Aku mohon jangan pergi." Ucap Aaron dengan sangat memohon.

"Thea, aku mohon." Ucap Aaron sambil terisak.

"Maaf." Ucap Thea sebelum benar-benar menghilang dan menyatu dengan cahaya dalam ruangan Aaron.

"Tidak.. Thea.."

Aaron menatap kedua tangannya yang bergetar sambil menangis dengan histeris. Thea benar-benar menghilang di hadapannya dan jujur saja itu sangat menyakitkan untuknya. Bahkan sampai sekarang dia masih bisa merasakan hangatnya tubuh Thea serta wangi khas yang menguar dari tubuh kekasihnya itu tapi sepertinya mulai dari sekarang dia tidak akan pernah bisa merasakan hal itu lagi karena kekasihnya sekarang telah pergi. Aaron berlutut di atas lantai sambil meremas baju kemejanya dengan kuat. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit tapi dia tidak tahu cara untuk menghentikannya. Penglihatannya semakin buram karena air mata yang tidak berhenti menggenang dan mengalir dari kedua matanya. Untuk kesekian kalinya, dia berakhir dengan menyedihkan seperti ini. 

Dia benci. Pada dirinya sendiri. Andai dia tahu kalau waktu pertemuannya akan sesingkat ini, mungkin dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak berharga. Ah, tidak. Jika dia tahu pun, dia akan berakhir seperti ini juga. Karena dia adalah laki-laki pengecut. Tidak berani mengambil langkah yang berani karena takut kehilangan dan selalu melakukan hal-hal yang menyakiti perasaan orang lain. Seperti itulah gambaran diri seorang Aaron yang sebenarnya dan dia benci pada kenyataan itu. Aaron membungkukkan badannya di atas lantai sambil terus memegang dadanya yang masih terasa sesak. Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menancap di jantungnya tapi anehnya jantungnya tidak mau berhenti berdetak meski sudah merasakan rasa sakit yang luar biasa.

"Thea!" Ucap Aaron sambil menangis dengan histeris.

"Tidak!"

"Thea!" Teriak Aaron berkali-kali di tengah air matanya yang terus mengalir.

"AARRGGHH!" 

Semua orang yang berada diluar kamar Aaron merasa sangat khawatir dengan keadaan Aaron termasuk adik-adiknya yang ternyata sudah berada di rumahnya sekitar sepuluh menit yang lalu. Mereka bahkan bisa mendengar teriakan dan tangisan pilu kakaknya dari luar dengan sangat jelas. Kath yang tidak bisa menahan kesedihannya hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat dengan telapak tangannya agar suara tangisannya tidak membuat orang lain khawatir padanya sedangkan William dan James hanya bisa menatap pintu kamar kakaknya dengan tatapan sedih tanpa bisa melakukan apa-apa. Mereka semua hanya bisa berdoa agar Aaron bisa melewati kesedihan ini dengan cepat dan kembali memulai hari-harinya dengan senyuman.

"Kath." Panggil James dengan lembut.

"Kakak… Aaron.." Ucap Kath sambil menangis.

"Jangan ganggu dia." Ucap James sambil memeluk adiknya dengan perlahan.

"Tapi.." Ucap Kath sambil terisak.

"Dia sedang butuh waktu untuk sendiri." Ucap James sambil mengusap kepala Kath dengan usapan lembut.

"Bawa dia ke kamar. Jangan keluar kamar sampai aku perbolehkan kalian keluar dari kamar." Ucap William pada James.

"Baiklah." Jawab James sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan sambil membimbing Kath yang tengah terisak untuk pergi bersamanya.

"Tuan Aaron yang malang." Ucap salah satu pelayan yang sudah bekerja selama puluhan tahun di rumah keluarga Goddard sambil menangis.

"Iya, kasihan sekali." Ucap pelayan lainnya yang ikut menangis.

"Kenapa Tuan Aaron yang harus menderita seperti ini?" Tanya pelayan lainnya dengan sedih.

William menundukkan kepalanya ke bawah saat para pelayan yang berada di sekitarnya tengah sibuk membicarakan keadaan kakaknya sambil bersedih. Dibalik semua kesedihan yang kakaknya hadapi, setidaknya masih banyak orang yang peduli padanya. Meskipun ayah mereka tidak pernah menunjukkan rasa pedulinya pada anak-anaknya dan juga tidak pernah mencoba untuk melakukan tugasnya sebagai seorang ayah yang baik. William tetap merasa bersyukur karena Dirinya, Aaron, James dan Kath masih punya satu sama lain untuk bergantung. Semua orang yang mengenal mereka juga memperlakukan dirinya dan saudaranya dengan sangat baik selayaknya keluarga sendiri. Untuk alasan-alasan seperti itu dia mampu bertahan sampai di titik yang sekarang bersama kakak dan adik-adiknya.

"Lebih baik kalian kembali bekerja sebelum kakakku melihat kalian disini." Ucap William pada semua pelayan yang sedang berkumpul di sampingnya.

"Baik, Tuan muda. Kami permisi dulu." Jawab mereka dengan patuh dan kompak.

William hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan saat pelayan-pelayan itu membungkukkan badan mereka dengan hormat pada William sebelum pergi. Tangisan serta teriakan masih terdengar dari dalam kamar Aaron dan salah satu pengawal kakaknya mendekati William untuk memberitahu kalau William juga bisa pergi jika dia mau karena para pengawal yang berada di depan kamar itu siap berjaga selama 24 jam lamanya sampai Aaron keluar dari dalam kamarnya. Tapi William malah menggelengkan kepalanya sambil menjawab permintaan pria itu dengan sopan. 

"Aku akan menunggu disini."

______________

To be continuous.