Dalam ilmu tasawuf kita mengenal istilah Al-Khauf, yakni "takut" dan istilah Ar-Raja', yakni "harap". Yang dimaksud dengan takut ialah sedih dan terbakarnya hati yang disebabkan terjadinya sesuatu yang tidak dikehendaki pada waktu atau zaman yang akan datang.
Takut sendiri mempunyai arti yang sangat luas. Tapi yang dimaksud dengan takut di sini ialah takut kepada Allah s.w.t. Demikian pula dengan Ar-Raja', yakni "harap", juga mempunyai arti yang luas. Tapi yang dimaksud "harap" di sini, ialah hara pan kepada Allah s.w.t. Sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya dalam Kalam Hikmah yang ke-79.
Oleh karena sifat Al-Khauf dan sifat Ar-Raja' itu mempunyai kelanjutan apabila sifat-sifat tersebut telah dijiwai dan diresapi oleh hamba-hambaNya yang saleh karena itu marilah kita dalami bagaimanakah selanjutnya?
Untuk itulah maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyimpulkan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-80, sebagai berikut:
"Allah memberikan suka kepada anda supaya Dia tidak meninggalkan anda dalam ketakutan. Dan Allah memberikan rasa takut kepadamu supaya Dia tidak meninggalkanmu dalam kesukaan. Dan Dia membebaskanmu dari kedua-dua sifat tadi supaya anda tidak syughul dengan sesuatu selain Dia."
Kalam Hikmah ini tidaklah dapat kita fahami jika tidak ada penjelasannya.
Oleh sebab itu marilah kita cuba untuk menguraikannya:
I. Dalam Kalam Hikmah di atas kita temui perkataan "basath" atau "Al-Basthu" dan perkataan "qabadh" atau "Al-Qabdhu". Marilah kita mulai menjelaskan perkataan yang kedua terlebih dahulu yakni "Al-Qabdhu".
Al-Qabdhu ialah takut yang menjelma sedemikian rupa dalam hati, sehingga takut itu datangnya tidaklah diada-adakan, tetapi memang telah bersemayam di dalam batin. Jika takut itu masih ringan keadaannya, maka dinamakan Al-Khauf dan belum sampai kepada martabat Al-Qabdhu.
Al-Basthu ialah perasaan suka atau gembira yang menjelma dalam hati dan telah mendalam sedemikian rupa. Jika suka itu masih ringan keadaannya, maka disebut Ar-Raja', yakni mengharapkan sesuatu yang disukai pada waktu atau zaman yang akan datang. Dan ini belum dapat disebut dengan Al-Basthu, sebab perasaan suka dalam hati tersebut, belum begitu diresapi dan dijiwai.
Keadaan takut dalam hati belumlah dapat diyakini untuk mencegah manusia dari segala sesuatu yang tidak diridhai Allah s.w.t. Tetapi apabila takut itu telah merasuk ke dalam hati sanubari, maka takut tersebut baru boleh disebut dengan Al-Qabdhu, yang dalam arti bahasa sepintas lalu berarti menggenggam.
Keadaan ini tepat pula dengan tujuannya, yakni hati itu telah digenggam oleh takut yang merata dan mendalam, sehingga barulah dapat diyakinkan bahwa takut yang demikian dapat menolak dan mencegah segala yang tidak baik, baik di hati dan juga pada lahir.
Justeru itulah maka Al-Qabdhu sudah merupakan martabat bagi hamba-hamba Allah yang saleh, yang 'arifin, di mana masih dalam tingkat pertama dalam makrifat kepada Allah s.w.t.
"Al-Basthu" ialah keadaan suka dalam hati, yakni suka yang telah bertempat di hati, karena hatinya telah lebih dahulu mengarahkan Ar-Raja' atau harapan dalam segala hal keadaan Allah s.w.t. Jika harap itu telah berpengaruh pada hatinya, yakni telah sejalan antara harapan yang telah bertempat di dalam hati dengan amaliah lahiriah barulah harapan yang sudah berpengaruh itu disebut dengan Al-Basthu.
II. Jika hati kita telah dipengaruhi sedemikian rupa oleh takut kepada Allah, apakah takut itu karena telah mengenal Allah dan sifat-sifatNya, sehingga jika Tuhan membinasakan alam dan seisinya tidak jadi soal, bagi Allah dan tidak ada yang melarang kehendak Allah. Justeru itulah ia takut kepada Allah. Atau takutnya kepada Allah karena dosa yang ia kerjakan karena berkumpul padanya dua gambaran ketakutan seperti tersebut tadi.
Agar hatinya tidak diliputi ketakutan, maka Allah kadang-kadang menukarkan pengaruh takut dalam hati dengan pemberian gembira hati, dan berpengaruhlah ia pada hati, sehingga hati berpindah dari keadaan takut yang mendalam kepada keadaan suka yang merata. Dengan demikian berubah pulalah hal keadaan yang bersangkutan dari keadaan suka dan gembira.
Kadang-kadang keadaan adalah sebaliknya, yakni Allah s.w.t. melimpah-kan pada hati seseorang suka dan gembira karena harapannya kepada Allah, di samping amal ibadatnya telah menjadi sifat tetap dan tabiat atasnya.
Dengan demikian apa saja tindak-tanduknya tidak luput dari kesukaannya dan kegembiraannya sedemikian rupa. Tetapi bagi Allah mungkin melihat bahwa keadaan yang demikian itu tidak meminta kesempurnaan makrifat kepadaNya. Maka Allah menukar keadaan orang itu dari limpahan Al-Basath (kesukaan dan kegembiraan yang mantap) kepada limpahan Al-Qabadh, yakni takut kepada Allah dengan sempurna dan mendalam.
Perubahan-perubahan itu terjadi kadang-kadang disebabkan penglihatan matahati yang menghayati perasaan lahir dan batin kepada kekuasaan Allah yang Maha Agung dan Maha Mutlak. Atau melihat kepada keperkasaan Allah yang Maha Agung dan Maha Mutlak, dan lain-lain sifat ketuhanan yang menggambarkan kehinaan kita dan kebesaran Allah. Atau menggambarkan kepada tak ada apaapanya pada kita, tetapi Tuhanlah yang Maha Sempurna dengan segala-galaNya. Penglihatan matahati yang sedemikian rupa dapat menimbulkan serta-merta sesuatu pcrubahan yang besar dalam hati seketika, yaitu perubahan yang disebut dengan Al-Qabadh, yakni peranan yang diliputi dengan takut karena berhadapan dengan keagungan dan kebesaran Tuhan seperti tersebut di atas.
Atau sedang-sedang hamba Allah itu dengan penghayatan perasaan keyakinan dengan Al-Qabadh, yakni takut dan susah tiba-tiba hatinya melihat kejembangan Allah s.w.t., Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah, kelembutan dan kebijaksanaan Allah yang tidak terbatas dan tidak dapat diduga. Pcnglihatan matahati yang demikian dapat mengubah penghayatan seseorang itu kepada suka dan gembira, sebab tidak ada dosa yang besar jika dihadapkan kepada kemurahan Allah. Semua dosa itu adalah kecil dan boleh hapus tanpa bekas. Tidak ada yang berkuasa selain Allah, tidak ada yang menerima taubat selain Allah, dan lain-lain sebagainya dari sifat-sifat Tuhan yang senada dengan ini. Penglihatan perasaan yang menghayati lahir batinnya dari sifat-sifat keagungan Allah yang sedemikian rupa, membawanya dengan mantap dan yakin yang mendalam, bahwa tidak perlu susah, tidak perlu gundah dan tidak perlu takut, sebab Allah s.w.t. sumber rahmat, sumber nikmat dan sumber kebaikan.
III. Apabila Allah s.w.t. telah melimpahkan kepada hambaNya nikmat Al-Qabadh atau nikmat Al-Basath atau berganti-ganti antara keduanya, berarti seseorang itu telah mulai tinggi nilainya atau martabatnya di sisi Allah s.w.t., dan sudah barang tentu yang bersangkutan telah mendapat gelar atau predikat yang suci, yaitu 'Arif-billah, yang artinya hamba Allah yang sudah naik tingkat dalam makrifatnya kepada Allah s.w.t. Atau dengan kata lain betul-betul sudah mulai kenal kepada Allah s.w.t., bukan sekedar iman saja, tetapi telah masuk ke daerah kenyataan penghayatan lahir dan batin.
Apabila sudah mendapat limpahan-limpahan yang demikian itu dari Allah s.w.t. maka Ins ya Allah dengan kemurahanNya, suatu saat hamba Allah yang demikian akan sampai kepada akhir perjalanannya kepada Allah, di mana akhir perjalanan seorang hamba Allah itu seperti gambaran tersebut akan hilang padanya qabadh dan basath, artinya matahatinya tidak lagi melihat bahwa dia takut kepada Allah, bahwa dia suka atau gembira kepada Allah. Tetapi seluruh lahir dan batinnya menghadap dan mengharap kepada Allah s.w.t. tidak karena suatu "karena", dan tidak bersebab sesuatu "sebab". Sebab selain Allah hilang dari perasaannya, dan semua penghayatan perasaannya tertuju semata-mata kepada Allah s.w.t. Demikianlah keadaannya apabila makrifat kepada Allah sudah demikian padat dan mendalamnya. Karena itu terserah kepada ukuran sampai di mana kekuatan iman kita, kekuatan keyakinan kita dan kekuatan mental kita, apakah kita sebagai perahu kecil yang boleh tenggdam karena ombak besar, ataukah kita sebagai kapal besar yang cukup oleng saja dengan gelombang-gelombang yang besar, tetapi tidak karam. Apakah kapal kita lebih besar dari itu, sehingga jangankan karam, oleng pun tidak.
Ketahuilah, ini adalah kiasan perbedaan antara makrifat hamba Allah yang saleh yang belum sampai ke tingkat waliNya dengan perbedaan mereka yang telah masuk dalam kategori aulia Allah dan dengan perbedaan tingkat keimanan keyakinan dan mental para Nabi dari Rasul.
Di manakan kita, dan telah sampai di manakah kita?
Kesimpulan:
Kalam Hikmah di atas merupakan rumusan dari hakikat firman Allah s.w.t. dalam Al-Quran:
" ... Dan Allah memberi nikmat 'qabadh' dan memberi nikmat 'basath' dan kepadanya kamu akan dikembalikan." (Al-Baqarah: 245)
Jika demikian, jangan kita berputus asa kepada rahmat Allah dan kepada nikmatNya, asal saja kita berikhtiar dengan mematuhi perintah dan anjuranNya, menjauhkan segala laranganNya dan selalu mendekatkan diri kepadaNya dengan selalu ingat kepadaNya lahir dan batin. Insya Allah nikmat rohani yang telah diberikan Allah kepada hamba-hambaNya yang saleh akan dilimpahkanNya kepada kita.
Amin, ya Rabbal-'alamin!