webnovel

Mobil Putih

“Ih, dua orang itu berarti nguping kita ya dari tadi.” Ayu terlihat emosi.

Sekar menaruh tangannya di bahuku. “Apa perlu aku bantu tarik tuh hidung mancung dua cewek itu?” Sekar terlihat seperti Preman saja. Dia menunjuk Ritta dan Eva. Tapi tentunya dia hanya bercanda soal menarik hidung.

Termasuk dengan Lilis. Dia melipat kedua lengan seragamnya. “Aku pun siap meninju kedua cerewet itu, Mit.”

Lalu Ayu yang bertingkah sekarang. “Aku juga bisa bantu. Aku sudah mahir dalam menjambak rambut perempuan rese.”

“Hahaha.”

Kami berempat pun tertawa. Mengingat kembali kebodohan Ayu saat menjambak Putri di depan banyak orang, tidak kuasa kami menahan geli di perut ini.

Diingat-ingat memang lucu.

Memang konyol juga ya. Aduh. Tapi, ujung-ujungnya jadi kenangan.

Kami pun acuh dengan sindiran Eva dan Ritta tadi. Kami tetap berjalan menuju kantin untuk mengisi perut yang keroncongan ini.

“Jangan lupa ya Mit, kenalin kita dong sama Malik.” Lilis menggoda. Tapi Sekar dan Ayu ikut setuju.

“Bener, jangan pelit dong. Siapa tahu kita juga bisa kenalan sama teman-temannya Malik. Sambil menyelam minum air gituh. Jodoh enggak ada yang tahu. Hihi.” Sekar antusias sekali.

‘Terus pacar kalian mau di kemanain?” tanyaku.

Sekar dan Lilis sudah punya pacar dan tentunya mereka tidak jomlo sepertiku.

Tapi lihatlah! Ketika mereka suka dengan fisik lelaki lain? Tiba-tiba mendadak amnesia, berasa tak punya pacar.

Keduanya nyengir kuda, sedang Ayu tertawa paling keras.

“Untung aku jomlo sekarang. Bisa bebas berlayar deh. Asyik,” celetuk Ayu.

Aku, Sekar dan Lilis menyipitkan mata pada Ayu yang sekarang tengah kegirangan sendiri.

Bukannya dia galau banget selepas putus sama Rizky?

Ayu, Ayu. Dasar Ayu. Ayu ya emang Ayu. Hahaha. Tawa kami bertiga meledak.

“Giliran kemarin-kemarin aja. Dia berasa di neraka.”

“Heem. Putus dari Rizky tuh seperti kiamat. Hancur lebur tak tersisa.”

Sekar dan Lilis berjalan lebih dulu sambil mengejek. Aku hanya senyum-senyum saja melihat tingkah laku mereka.

Ayu lalu menggandeng keduanya. Sambil melirik Sekar dan Lilis secara bergantian, dan menampakkan senyum jahat.

“Apa kalian tidak paham? Atau kalian memang belum tahu rasanya ditampar olehku?” Ayu mengancam.

Sekar dan Lilis geleng-geleng kepala. Ketakutan.

“Hahaha, just kidding Yu. Ah, kau ini suka seriusan orangnya.” Sekar mengelak.

Lilis juga. “Aku udah tahu kok rasanya ditampar. Jadi kamu enggak perlu repot-repot.”

Aku yang berjalan di belakang mereka cekikikkan sendiri. Apalagi saat Lilis bilang kalau dia sudah pengalaman ditampar. Jadi keinget dulu saat kami jalan-jalan ke alun-alun. Saat itu kami duduk di kursi sisi jalan dan tiba-tiba ada ibu-ibu menampar Lilis dengan sangat keras.

“Heh, kamu pelakor. Dasar! Masih bocah lagi. Udah gede mau jadi apa?” Ibu itu berteriak-teriak.

Sontak membuat kami jadi perhatian semua orang waktu itu.

Lilis hampir menangis karena malu dan kami pun sangat terkejut dan bingung. Sampai ada ibu-ibu berlari ke arah kami.

“Bukan yang ini orangnya, Jeng. Tapi yang itu!” Tunjuk ibu-ibu itu ke tempat yang sedikit jauh dari posisi kami.

Ibu yang tadi menampar Lilis pun jadi malu sendiri.

“Aduh, maaf Neng. Salah orang. Maaf banget.” Dia dan si ibu-ibu yang memberitahunya pun pergi.

Lilis menunjuk mereka. “Hiks, hiks.” Dia terisak. “Keterlaluan tuh ibu-ibu. Lihat ini pipiku, jadi merah banget. Sakit banget tahu. Ayah sama Mamaku juga belum pernah nampar. Lah mereka?” Lilis mengadu pada kami.

Kami pun pada akhirnya jadi mengerti. Kalau ternyata si ibu itu salah orang. Kami; Ayu, Sekar dan aku awalnya mengira yang tidak-tidak pada Lilis.

Namun saat itu kami malah menertawakan Lilis. Habisnya dia lucu banget kalau lagi nangis kayak gituh. Mirip anak kecil.

***

“Bu, aku pergi,” teriakku sambil melangkah keluar.

“Mau ke mana?” tanya kak Salwa yang tengah tiduran di sofa sambil menonton televisi serta cemilan yang tersaji di meja. Dia memang serakus itu.

“Ke mana aja sesuka hatiku,” jawabku sambil tersenyum lebar.

Kulihat kak Salwa menatapku dengan raut wajah tidak sukanya.

“Ditanya, jawabnya ngawur.” Kak Salwa kesal.

Biarlah. Sudah biasa.

Kini aku sudah mematung dengan manis di luar pagar. Menunggu Reni untuk menjemput. Kata Reni, aku tungu saja di sini. Nanti dia yang lewat jalan sini.

Rumah Reni tidak jauh, hanya tinggal berjalan ke kanan dan nanti belok ke kiri. Jadi kalau Reni lama, aku bisa dobrak langsung ke rumahnya.

Lima menit sudah berlalu. Reni tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Tidak biasanya dia telat. Kalaupun telat pasti mengabariku duluan.

Kulihat ke sebelah kanan, tidak ada tanda-tanda kedatangan Reni. Hanya ada mobil berwarna putih sedang melaju ke sini. Ah, tak peduli. Mana mungkin Reni pake mobil ke sini. Dia juga tidak bisa pakai mobil walaupun orang tuanya punya mobil.

Tapi anehnya, mobil putih itu berhenti tepat di depanku. Masih kuperhatikan.

Kaca mobil itu pun terbuka.

Aku sungguh terkejut. “Malik?”

Dia tersenyum.

“Hai, Mitaaa!” ucapnya kegirangan.

Tapi jika kalian mengira itu Malik, bukan. Bukan Malik yang menyapa. Tapi seorang perempuan yang duduk di samping Malik. Wajahnya timbul dan kini menampakkan deretan gigi putihnya padaku sambil melambay-lambaykan tangannya.

Aku masih melongo. Tak percaya dengan apa yang sedang kulihat saat ini. Perempuan itu adalah Reni.

Reni dan Malik? Apakah mereka?

Aku masih bingung. Kurasa mereka juga tahu pertanyaan apa yang sekarang sedang bertengger di kepalaku. Sungguh sebuah keanehan melihat Reni duduk di jok depan mobilnya Malik.

“Ayo naik, Mit! Kuantar kalian ke tempat tujuan.” Malik mulai bersuara.

“Iya, Mit. Cepet! Jangan melongo seperti itu. Nanti lalat masuk tuh ke mulut.” Reni menertawakanku.

Apa yang lucu? Sama sekali tidak ada menurutku. Aku ingin segera tahu kenapa Reni bisa naik mobil Malik dan kini berhenti di depanku.

Kenapa Reni tidak memberitahuku terlebih dahulu? Kalau saja aku tahu, mungkin aku bisa bersiap lebih dulu untuk bertemu Malik. Hem, walaupun wajahku tidak akan berubah setelah memakai bedak. Ya setidaknya aku bisa mempersiapkan diri untuk tersenyum lebar saat bertemu dengannya.

Tidak seperti sekarang. Wajahku pasti tidak terkontrol banget.

Setelah dipaksa untuk naik sebelum aku mengerti kenapa ada Malik, aku pun naik di jok belakang.

Lalu duduk dengan manis. Bukan manis sih, lebih tepatnya kaku, canggung, plus bingung.

“Mau pada ke mana nih cewek-cewek pagi-pagi begini? Beneran lari atau cuci mata?” ledek Malik.

Aku hanya tersenyum. Di sampingnya—Reni menjawab, “ya iyalah lari, bonusnya cuci mata. Benerkan, Mit?” Reni menoleh ke belakang. Ke tempat di mana aku duduk hanya ditemani dengan kesendirian.

Tega bener si Reni duduk di depan. Hmmm. Tapi, anehnya. Kenapa Reni dan Malik tampak akrab sekali, ya? Apa mereka? Ah, masa sih.

Aku pun mengangguk. Iya iya saja. Karena memang ucapan Reni benar. Kami memang lari plus cuci mata. Larinya hanya seperskian persen dan cuci matanya persenan sisanya yang lebih besar. Hehe.

“Mmm, alibi.” Malik kembali menyindir.

“Jangan gituh, yang penting aku sama Mita senang kan? Kalau kami seneng kamu juga ikut seneng kan?” kata Reni.

Apa maksudnya? Kecurigaanku semakin menggunung.

Malik terlihat mengangguk. Uhhh, dia cakep banget dengan ekspresi kalem gituh.

Aku pun jadi teringat sesuatu. “Mmm, Malik,” panggilku.

Malik melihatku dari kaca spion di depannya. “Iya, Mit?”

Reni pun menoleh ke belakang. “Iya, Mit?” Dia juga menyahut. Tambah aneh, kan?

“Soal itu … jas yang kamu pinjamkan ke aku. Jasnya udah dicuci,” kataku. Ragu. Sedikiit nyesek melihat kedekatan mereka berdua.

Cemburu? Ah ya ampun. Apa hakku?

Reni melihat pada Malik. Seperti tatapan penuh kecurigaan.

“Oh jas. Iya Mit, nanti aku ambil ya pas kalian pulang,” balas Malik.

Reni terlihat girang. “Kamu jemput kami?” tanyanya.

Malik tersenyum. “Iya. Mungpung enggak sibuk.”

Aku mengedip-ngedipkan mataku beberapa kali. Kulakukan itu hanya untuk memastikan kalau apa yang sedang kulihat ini sungguhlah bukan reka adegan atau semacamnya. Ini The Real Faktaaaaaa.

Apa mereka?