webnovel

Terusirnya Amora

"Ibu, aku mengatakan hal yang sebenarnya! Aku sama sekali tidak tahu siapa yang sudah menjebakku dan juga menyebarkan foto-fotoku seperti itu! Aku ini adalah korban!" teriak seorang wanita dengan wajah yang lebam karena menerima tamparan dari ibunya.

Tidak ada sahutan. Wanita ini sadar bahwa dia bukanlah seseorang yang penting lagi di hati ibunya sekarang. Pernikahan sang ibu dengan seorang pria yang dia sebut sebagai 'Ayah Tiri' ternyata hanya membawa duka bagi wanita ini.

Jika selama ini dia selalu mendengar kisah tentang seorang anak yang disiksa oleh ibu tirinya, maka kali ini semua itu terbukti, hanya bedanya dia disiksa secara mental dan fisik oleh ayah tirinya dan juga anak yang diajak untuk tinggal di rumahnya.

"Jika Ibu sama sekali tidak mempercayaiku, mungkin dengan semua video ini Ibu akan percaya padaku." Dengan langkah bergetar wanita ini mendekati ibunya. Dia sangat yakin bahwa video tentang perbuatan ayah tiri dan saudara tirinya yang selama ini disimpannya sebagai bukti bisa membuat ibunya luluh dan kembali percaya padanya.

Plaaakk ....

Kembali sebuah tamparan mendarat di pipinya yang sudah mati rasa karena terlalu banyak menerima tamparan dari ibunya sejak tadi.

"Hentikan semua omong kosongmu, Amora!" teriak wanita paruh baya yang sejak tadi dipanggil 'Ibu' olehnya.

Kali ini hatinya kembali hancur. Amora tidak menyangka bahwa ibunya bisa melakukan hal sekejam ini kepadanya. Dia, Dewinta Ambaraka, ibunya, memperlakukannya dengan tidak manusiawi hanya karena mempercayai fitnah yang dilontarkan oleh ayah tiri dan saudara tirinya itu.

"Kamu hanya memberi aib pada keluarga besar kita. Kamu tidak pantas berada di rumah ini dan menyandang nama Ambaraka! Pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi untuk selamanya!" Bagaikan tersambar petir, hati Amora saat ini benar-benar sangat hancur.

Dia tidak menyangka bahwa akan keluar ucapan seperti itu dari sosok ibu yang sangat dihormati dan juga disayanginya. Wanita kuat yang selama ini membesarkannya seorang diri dengan membanting tulang sehingga akhirnya bisa menjadi seorang wanita sukses.

Segala kenangan indah bersama ibunya serasa ikut hancur berkeping-keping seperti hatinya saat ini. Tidak ada lagi senyuman hangat yang terpancar dari wajah ibunya. Tatapan teduh yang selalu menenangkan dia di saat dia ketakutan, kini tidak lagi terlihat di mata ibunya.

Hasutan yang diterima oleh Dewinta begitu besar dan mempengaruhi pikirannya. Dia yang telah berjanji kepada Amora untuk tidak menikah lagi, pada akhirnya harus mengingkarinya dengan menikahi seorang pria yang hanya manis di bibir namun sangat kejam pada Amora.

"Sudah kukatakan berulang kali, Bu. Aku dijebak. Aku tidak pernah melakukan hal yang memalukan keluarga kita. Semua ini adalah perbuatan ...." Amora terdiam sesaat. Dia menatap seseorang yang sejak tadi terlihat tersenyum licik ke arahnya.

Tatapan Amora menjadi semakin beringas kala melihat secara diam-diam wanita itu menggerakkan bibirnya seolah mengucapkan sesuatu yang sangat provokatif.

"Kamu! Dialah yang sudah menjebakku, Bu!" teriak Amora sambil menunjuk sosok seorang wanita yang seumuran dengannya.

"Lancang kamu bicara! Jangan pernah menuduh anakku seperti itu!" Suara seorang pria terdengar begitu lantang berteriak kepada Amora. "Kamu yang rusak tapi kamu malah menuduh anakku sebagai pelakunya. Dasar tidak tahu diuntung!" sambungnya.

Mata Amora terasa panas mendengar ucapan pria itu. Jika saja pria itu dulu tidak bersikap manis ketika belum menikah dengan ibunya, mungkin selamanya Amora tidak akan pernah menyetujui pernikahan mereka.

Sekarang belang mereka telah terlihat. Mereka adalah manusia penjilat yang menggerogoti sedikit demi sedikit kekayaan ibunya. Amora bahkan tidak menyangka bahwa mereka bukanlah orang baik seperti yang dikenalnya sebelumnya.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Diana yang mengajakku untuk pergi ke klub malam itu! Dia juga yang menemukanku di hotel itu. Semua terasa mencurigakan dan seperti terencana!" Amora berteriak lantang dengan air mata yang terus meluncur membasahi pipinya.

"Ibu, aku sama sekali tidak mengerti pada apa yang diucapkan oleh Amora. Aku bukanlah anak yang suka pergi ke klub malam, jadi sangat mustahil kalau aku mengajaknya ke sana. Aku menemukamnya di hotel karena melacak lokasi ponselnya." Entah bagaimana ceritanya tetapi akting Diana sangatlah luar biasa.

Amora masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana Diana memintanya untuk ikut bersama dengannya untuk bertemu dengan teman-temannya. Dia juga masih mengingat dengan jelas ketika Diana yang pergi ke toilet dan tidak kembali dalam waktu yang cukup lama.

Segala sesuatunya ini pasti sudah direncanakan oleh wanita yang hanya berpura-pura baik di depan ibunya ini. Amora seharusnya tahu dan tidak terjebak oleh mulut manis Diana saat itu. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur.

"Aku mempercayai kamu, Diana. Karena ucapanmu terdengar penuh kejujuran. Maafkan ulah anak pembawa aib yang sudah lancang menuduhmu." Dewinta kemudian mengalihkan pandangannya pada Amora. "Aku sudah memintamu untuk segera keluar dari rumah ini. Apa Kamu tuli?" ucapnya tanpa ekspresi.

"Ibu, bagaimana bisa Ibu lebih mendengarkan ucapannya ketimbang ucapanku? Aku adalah anak Ibu! Seharusnya Ibu lebih mempercayai aku daripada dia!" Amora masih belum bisa menerima kenyataan ini.

Tatapan mata Dewinta semakin lama terlihat semakin menyeramkan. "Aku tidak pernah mempunyai anak yang mempermalukan keluarganya sendiri! Kamu bukan lagi anakku mulai sekarang! Keluar dari rumah ini sekarang juga atau aku akan memanggil Tino untuk menyeretmu!"

Amora menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia tidak menyangka bahwa bisa melihat sisi dari ibunya yang seperti ini. Ibunya yang dianggap sebagai pelindungnya sejak kecil, ibunya yang selalu ada untuk membacakan dongeng di setiap malam sebelum tidurnya, ibunya yang selalu menangis karena meratapi nasibnya yang tidak memiliki ayah, ibunya yang selalu memasang badan ketika dia disakiti oleh anak tetangga, dan ibunya yang selalu menyenandungkan nada-nada sayang kepadanya, kini bukan lagi wanita yang seperti itu.

Ibunya telah berubah. Wanita yang bernama Dewinta Ambaraka yang saat ini berdiri di hadapannya dengan tatapan keji itu, bukan lagi ibunya. Ya, wanita itu sendiri yang telah memutuskan hubungan mereka.

"Baiklah. Aku akan pergi. Seperti katamu, Aku bukan lagi anakmu. Terima kasih karena selama ini sudah menampungku di sini. Terima kasih untuk cinta tanpa batas yang kuterima sejak kecil hingga sekarang. Aku paham. Sangat paham. Aku sudah tidak lagi dibutuhkan di rumah ini." Air mata Amora terus jatuh membasahi pipinya.

Rasa sakit hati yang diterima olehnya saat ini, lebih sakit daripada ketika dia melihat foto-fotonya yang beredar dengan fitnah keji. Hal yang membuat ibunya semurka ini.

Dia diusir! Ya, dia diusir tanpa ampun oleh ibunya sendiri.

"Makanya jadi anak itu harus tahu diri sedikit. Jangan mentang-mentang punya wajah yang cantik, kamu jadi murahan seperti itu!" Surya Galot, ayah tiri Amora, kembali memanas manasi suasana dengan kata-kata keji yang menghinanya.

Amora sudah mati rasa mendengar ucapan penuh hinaan yang dilontarkan oleh ayah tirinya. Dia sadar jika dia terus berada di sini, maka hatinya akan semakin hancur berkeping-keping bahkan bisa tanpa sisa bagaikan debu yang tertiup angin.

Sekali lagi Amora menatap netra ibunya. Masih sama. tidak terlihat sedikit pun rasa kasih sayang di dalamnya. Ibunya benar-benar telah membuangnya.

"Selamat tinggal! Semoga Ibu tidak akan pernah menyesali hari ini!" ucap Amora getir. Dia kemudian berjalan gontai keluar dari rumah yang dulu penuh cinta dari ibunya itu.

*****