webnovel

part 5

Seperti biasa saat malam aku selalu bekerja di penginapan bambu hijau. Kebanyakan pelanggan adalah langganan lama Bu Marcie. Walaupun tidak bisa dibilang enak banget, tapi porsi dan harganya murah, begitu menurut beberapa pelanggan yang selalu memuji Bu Marcie saat kulayani. Mereka rata-rata adalah pekerja kasar, buruh serabutan, dan petualang. Tentu saja daging adalah pilihan utama mereka untuk menambah stamina, memuaskan diri setelah seharian bekerja. Bu Marcie juga menyediakan minuman keras seperti bir putih aka ale, bir maupun anggur murah. Namanya juga minuman murah, kadar alkohol dan rasanya suka mood-mood an, dan itu tidak terlalu penting bagi mereka yang penting bisa mabuk bersenang-senang.

"Fuahh, bir memang nikmat setelah kerja keras seharian," seru pelanggan yang sedang kulayani, "tambah lagi!"

"Segera pak!"

Sehari-hari melayani, aku sudah mulai terbiasa. Suasana malam hari ini aku menikmatinya, sayangnya selalu ada yang kurang. Kebanyakan pelanggan hanyalah laki-laki, jarang sekali ada wanita. Kalaupun ada mereka biasa datang bersama laki-laki lain dan tentu saja sebagai laki-laki yang tau sopan-santun aku tidak menggoda perempuan incaran orang lain. Alasan utamanya sih tidak ada yang cantik, apalagi seksi. Andai saja Riona kemari.

Suara decit pintu terbuka membuat lamunanku buyar, sesosok wanita tinggi, berpakaian terbuka memperlihatkan banyak kulit, dan besar. Tentu saja yang kumaksud besar adalah dadanya. Dewa menjawab doaku, wanita itu adalah Riona,

"Aku tidak tahu dewa mana yang mengabulkan permintaanku, tapi terima kasih dewa," gumamku dalam hati.

Dengan semangat membara aku langsung menghampirinya. Sedikit menubruk meja dan menyenggol pelanggan lain tapi ya apa boleh buat aku bukan orang yang lincah dengan agi tinggi.

"Selamat datang di penginapan bambu hijau, ada yang bisa kami bantu, nona? "

"Ah, tidak. Aku sudah menginap beberapa hari di sini," tolak Riona kalem.

Seperti petir menyambar di siang bolong tapi ini sudah malam. Aku dan Riona, ternyata seatap? Bagaimana ini bisa terjadi? Aku tidak mengetahui ada cewek cakep dan seksi seperti dia berada tidak jauh dari kamar tempatku tidur."

"Kamu bekerja disini?"

Mulutku yang masih menganga akibat syok segera sadar setelah ditanya begitu.

"Ah iya, perkenalkan namaku Aran, petualang. Kita sudah pernah bertemu beberapa hari yang lalu. Itu saat kamu membasmi buruanku, Tauros," jelasku memperkenalkan diri.

Riona berusaha mengingat, dan akhirnya ia menepuk tangannya dan ingat.

"Oh iya, salam kenal, namaku Riona," katanya memperkenalkan diri.

Tapi diriku sedang terpesona dengan tibuh Riona karena sekarang bisa menatap langsung yang besar itu hanya berjarak 30 cm dari hadapanku, jadi tentu saja aku tidak sadar apa yang sedang dikatakan Riona.

"Aran yang sopan pada tamu, matamu jangan jelalatan," teriak Bu Marcie dari balik konter.

Aku segera sadar, dan suara tawa mengikuti kesadaranku, beberapa pelanggan mendukungku,

"Pemandangan indah wajiblah kita nikmati."

"Benar, jangan salahkan mata kita kalau terpesona akan keindahan pemberian dewa ini."

"Apalagi di tengah para pemabuk seperti kalian, ini seperti oasis di tengah gurun, hahaha."

Suara tawa membahana di dalam penginapan. Tapi Riona tidak malu dan menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, ia berkacak pinggang dengan seulas senyum penuh kemenangan menghias bibirnya.

"Bagi kami Ras Valtar itu adalah pujian, terima kasih," sambut Riona sambil memberi pose menantang yang memperlihatkan keindahan lekukan tubuhnya yang seksi dan besar.

Teriakan dan siulan bertabrakan satu sama lain saat Riona berpose dengan berani, tentu saja itu termasuk diriku yang langsung kembali kena damprat oleh Bu Marcie.

Setelah penampilan yang menggoda dari Riona, ia langsung naik menuju kamarnya. Sial kenapa saat giliran jagaku dia tidak pernah terlihat? Padahal sudah beberapa hari. Saat aku bangun pergi petualang juga tidak terlihat. Biasanya aku tidak pernah peduli dengan kondisi penginapan, dan selain waktu jagaku, Bu Marcie juga ada pegawai lain di shift pagi maupun saat subuh setelah giliranku tidur.

"Bu Marcie kenapa aku tidak diberitahu kalau ada petualang menginap?"

Mata Bu Marcie tidak lepas dari wajan, jawabnya "Kenapa aku harus memberitahumu?"

Iya kenapa? Aku juga sebenarnya tidak peduli, tapi untuk kasus Riona jadinya aku sangat peduli. Dia juga petualang pemula, terlebih lagi dia begitu seksi dan besar, wajahnya juga mempesona dengan rambutnya yang diikat kuda. Ada suasana segar, dan semangat juang. Terutama bagi yang melihatnya, seperti diriku.

"Ya maksudku, mungkin saja aku bisa membuat grup dengan dia untuk masuk dalam labirin sihir. Itu akan mempercepat kemampuanku berkembang," jawabku.

Bu Marcie, masih tidak melihatku, ia menyelesaikan masakan daging dan kemudian menyerahkannya padaku, kemudian mengambil rokok yang tadi ia sisihkan saat memasak dan menghisapnya dalam-dalam.

"Coba saja kamu ajak dia besok, mungkin dia mau. Tapi jangan menyesal," kata Bu Marcie, "ingat jangan mengganggu tamu," tambahnya sebelum aku ingin protes kenapa tidak sekarang saja.

***

Kali ini aku kembali bangun sebelum matahari terbit, dan langsung menuju ke konter penginapan yang dijaga oleh lelaki tua yang punya kumis tipis. Dia adalah pegawai bagian shift jaga malam, setelah aku. Perawakannya kurus, pendek rambut yang sudah setengah botak. Katanya dia adalah mantan petualang yang pensiun dini.

"Saat itu aku masih muda, berdarah panas kukira bisa menguasai dunia tapi setelah melihat dunia, aku yakin seberapa keras aku berusaha tidak akan mencapai puncak level master jadi kuputuskan pensiun saat masih level 24. Ya tidak sedikit orang yang seperti aku, pengalaman berharga, eh kamu tanya kenapa malah jadi penjaga malam? Kenapa tidak? Anggur gratis dan bir gratis serta daging setiap hari? Itu lebih dari cukup untuk masa tuaku."

Begitulah dia mengenalkan diri saat kutanya. Namanya Eduardo, dia sudah berkeluarga, saat ini istri dan anak cucunya juga berada di kota ini bekerja di tempat lain, kegemarannya untuk minum membuatnya bekerja di sini. Jadi dari segi kemampuan seharusnya dia termasuk petualang kelas menengah. Untuk sekedar mengusir pencuri, atau pemabuk yang nyasar adalah hal kecil untuknya. Kalau benar dia sampai level 24, artinya dia juga lebih hebat dari Elise yang masih level belasan. Sayangnya dia laki-laki dan tua jadi aku tidak memasukannya dalam target untuk dijadikan anggota grup.

"Itu si besar dan seksi, Riona sudah keluar? Atau masih di kamar?"

"Oh, Aran tumben kamu bangun pagi. Sebentar... Ah belum biasanya sih sebentar lagi, kamu ada perlu?"

Aku menceritakan niatku padanya, dan dia setuju untuk memanggilku jika Riona sudah turun. Bu Marcie melarang keras kami, para pegawai pergi ke lantai atas kecuali kalau dipanggil tamu. Ya paling tidak dia belum keluar, mungkin sudah bangun ya kutunggu saja sambil bersantai.

Waktu berjalan, satu jam berlalu sudah ada tamu lain yang turun, tapi bukan Riona. Kamar penginapan ini ada 10, semua terletak di lantai 2. Ada 8 kamar biasa dan 2 kamar dengan luas lebih besar yang bisa dikatakan sebagai kamar kelas 1.

Menunggu sungguh tidak menyenangkan apalagi jika ketahuan Bu Marcie yang melihatku hanya duduk bengong, dia segera menyuruhku untuk bersih-bersih dapur padahal ini kan bukan giliranku. Waktu terus berjalan, suasana depan penginapan mulai ramai, orang-orang sudah mulai beraktifitas, tapi masih belum ada tanda-tanda Riona turun, bahkan pegawai shift pagi sudah datang untuk bekerja. Aku tidak akrab dengan 2 orang yang bekerja sebelum waktuku bekerja ini, hanya sering bertemu saat berganti jaga. Seorang perempuan yang masih muda mungkin masih usia belasan, dan seorang pria lagi yang terlihat lebih tua mungkin umur 20-30an. Pegawai perempuan itu langsung mengenakan celemek membantu di dapur, kalau tidak salah namanya Ines. Yang laki bertugas dikonter dan tugas bersih-bersih, ia memperkenalkan diri sebagai Remi.

Tidak ada yang kulakukan selain berbasa-basi dengan Remi di konter, ia juga tidak banyak bicara, perawakannya sedang dan penampilannya agak datar, tidak ada ciri khas yang menarik darinya. Huh kenapa Riona belum turun? Tidak lama lagi batas waktu menginap sehari habis, biasanya kalau ada tamu masih belum keluar sampai lewat pukul 1 siang hari maka, Remi akan berinisiatif memintanya untuk keluar. Tapi Riona sudah menginap beberapa hari jadi biasanya langsung dianggap akan melanjutkan sewa kamarnya. Ya itu adalah pengetahuan yang baru saja kudapatkan dari Remi.

Matahari kini sudah berada diatas penginapan, panas teriknya membuatku gerah. Cuaca hari ini terang benderang tanpa ada awan yang terlihat. Sudah ada beberapa pengunjung yang datang untuk santap siang, dan karena aku tidak ingin disuruh-suruh oleh Bu Marcie, aku berusaha menyembunyikan diri. Tidak mungkin kembali ke kamar, dapur apalagi bagian depan penginapan, jadi aku sekarang inisiatif naik ke lantai 2 yang biasanya dilarang oleh Bu Marcie.

Aku berusaha sesenyap mungkin saat menaiki tangga, dengan berjinjit aku melangkahkan kakiku. Menurut Remi, yang sudah selesai membersihkan kamar para tamu yang keluar, saat ini hanya tinggal Riona yang ada diatas. Ia menginap di kamar kedua dari tangga sebelah kiri, nomor 3.

Ok, kalau dia tidak turun, artinya aku harus naik berinisiarif. Ya inisiatif itu baik. Baiklah dengan sopan, mengetuk pintu.

"Riona!"

Tidak ada reaksi, mungkinkah dia masih tidur? Mustahil. Aku mengetuk lagi memanggil,

"Riona!"

Masih tidak ada reaksi. Ok, hilangkan sopan santunnya, aku menggedor dengan sekuat tenaga. Sekuat tenagaku yang hanya punya str 3,

Duog duog!

Tapi tetap tidak ada reaksi ataupun tanggapan dari dalam, jangan-jangan dia sudah keluar? Tidak mungkin. Atau dia sedang mengalami kesulitan? Ada orang yang sedang menyekap dia? Ya tidak heran kalau wanita dengan penampilan seperti dia menimbulkan niat buruk dari pejantan tidak bermoral, ah sial aku juga mau. Aku berusaha membuka pintunya menggerakan handel, ternyata tidak terkunci. Aku segera menggebrak masuk, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, siapa tahu aku bisa melihat dirinya lebih lagi.

Ah inilah dunia baru dihadapanku. Sosok wanita yang sedang terlelap, tidak peduli kalau langit jatuh, rambut yang acak-acakan, dan selimut yang tergeletak di lantai. Tubuhnya yang kekar berotot ditutupi kedua tangannya yang sibuk menggaruk atau menepuk sesuatu. Sebentar rasanya ada yang aneh, wajah itu memang Riona, walaupun sedang terlihat semerawut. Bisa-bisanya ia tetap tidur lelap saat aku menerjang masuk, bagaimana kalau aku ini seorang penjahat? Dia sudah tewas mungkin, inikah petualang yang dikatakan hebat itu? Terlalu banyak celah. Bolehlah aku sedikit berbangga sejenak.

Tiba-tiba mata Riona terbuka, dan dia langsung menerjang ke arahku dalam waktu kurang dari 2 detik, kini aku sudah berhasil dicekik dan diangkat olehnya yang tubuhnya lebih besar dariku. Sebentar dia memang tinggi tapi ada yang beda,

"Da.. Dadamu ga ada?!"

Mulutku langsung dibekap oleh tangannya yang lain,

"Ssst, siapa bilang ga ada?" bisiknya.

Saat kuperhatikan lebih jelas lagi, benar katanya bukannya tidak ada tapi sangat kecil, cuma A cup? Atau AA? Aku langsung lunglai, kakiku terasa lemas, semangatku menghilang,

"A..."

Perutku langsung kesakitan. Riona memukulku, ke apa sih para wanita di dekatku semua gemar memukulku?

"Ssst, atau kuhajar lagi kamu!"

Setelah agak tenang, Riona menutup kembali pintu kamarnya memastikan tidak ada yang datang.

"Kamu... "

"Aran, petualang seperti kamu," jawabku datar.

"Jadi sekarang jelaskan kenapa kamu masuk ke dalam kamarku?" tanya Riona sambil duduk di kasur.

"Ya itu, kukira kamu sedang mengalami musibah, hari sudah siang."

"Tapi kenapa kamu bisa membuka pintu tanpa merusaknya? Kamu pencuri?"

"Pintu tidak terkunci," jawabku jujur.

Riona sadar kalau dia lupa mengunci pintu. Mungkin dia termasuk wanita yang ceroboh.

"Ah itu...baiklah kamu kumaafkan tapi rahasiakan soal ini," katanya sambil menunjukan dadanya.

"Maksudmu soal A?"

"Aku masih dalam pertumbuhan, nanti juga bakal tumbuh besar," kata Riona langsung memberi alasan.

"Jadi itu palsu?"

"Enak saja, itu asli. Cuma dengan sedikit bantuan,"

"Bantuan?"

Riona menghela napas,

"Begini ya, setiap ras biasanya ada skill dasar ras yang selalu ada. Untuk kamu sebagai ras Valtar skill dasar itu adalah 'Growth'," jelas Riona.

"Hmm jadi Valtar ada skill khusus untuk memperbesar dada? Jadi mereka aslinya tubuhnya tidak seksi begitu?" Aku mencoba memamerkan kepintaranku dengan kesimpulan seperti itu.

Tentu saja itu membuat diriku kembali melayang dan menghabiskan sparuh hp ku.

"Dasar bodoh, tubuh seksi dan kekar itu warisan leluhur. Kami tidak butuh skill growth untuk mendapatkannya... Ya biasanya. Lagian sebenarnya skill ini fungsinya tidak selalu sama setiap individu. Ada yang memperkuat tenaganya, ini yang paling umum, ada yang efeknya memberi ketahanan seperti besi, namun ada yang lebih spesial seperti growth milikku."

"Maksudmu untuk memperbesar dada?"

Riona sedikit tercekat, tapi tidak membantah,

"Sebenarnya untuk memperbesar bagian tubuh dan memperkuatnya, sehingga bisa menimbulkan efek kerusakan lebih dahsyat dari growth biasa," jelas Riona kemudian ia memperbesar telapak tangannya menjadi 3 kalilipat, "seperti ini."

Tangan yang besar, apa mungkin dadanya juga bisa diperbesar sampai seperti ini? Penasaran, aku melihat dari segala sudut mengagumi detilnya yang tidak berubah, kulit, lekukan, warna hanya menjadi besar.

"Sudah puas lihatnya?" kata Riona menyadarkan aku, peluh keringat menetes.

"Jadi ini kamu menggunakan mana untuk memperbesar?" tanyaku penasaran.

Ia mengangguk.

"Semakin besar, semakin besar mana yang dibutuhkan. Itu pengetahuan dasar. Dan ini adalah skill yang terus menyedot mana, jadi semakin lama aku mempertahankan pembesaran ini, maka semakin banyak mana yang terpakai."

Aku mengerti, makanya saat tidur dia tidak mempertahankan kondisi dadanya yang besar.

"Jadi selama ini kamu berjalan sambil mengaktifkan skill ini? Itu pasti sangat berat. Apa kamu bisa mempertahankan seharian?"

Ia menggeleng, "Tentu saja tidak. Saat sendirian aku biasanya tidak mengaktifkan, semuasudah kuperhitungkan dengan besar yang paling ideal dan mempesona serta kebutuhan mana dari regenerasi , kemungkinan aku bisa mempertahankan sosok idealku selama 2-3 jam. Aku menghabiskan cukup banyak skill poin untuk menambahkan regenerasi mana. Bagaimanapun juga ini sementara saja, saat tubuhku bertumbuh semakin besar pasti... Sebentar kenapa aku harus menceritakan ini padamu?"

Iya ya? Kenapa dia begitu latah menceritakan semuanya? Mungkin ini kehendak dewa membuatnya nyaman kepadaku sehingga menceritakan semuanya tanpa ada rasa curiga membagi informasi agar aku mengerti.

Aku mengangguk pelan, tidak tahu sampai umur berapa pertumbuhan tubuh wanita di ras Valtar, tapi kuharap ia benar.

"Jadi, awas kamu bocorkan."

"Hmm bagaimana ya..."

"Aku bisa saja membungkamu disini," ancam Riona dengan tatapan mata yang menusuk.

Sepertinya dia baru sadar kalau sudah dengan polosnya menceritakan rahasia dirinya.

"Hei tenang dulu. Akan kujaga rahasiamu, tapi..."

"Tapi apa?" potong Riona sambil mengeluarkan halberd. Secercah cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela, entah bagaiaman begitu pas bisa membuat kapak itu memamerkan kemilau tajamnya. Riona masih menungguku mengungkapkan syaratku sambil memeragakan gerakan memotong dan membacok yang sangat jelas sekali.

"Aku cuma ingin membuat grup denganmu, tolong simpan kapakmu. Sudah kukatakan aku akan menjaga rahasiamu, lagipula aku menyukai yang besar."

"Ini masih dalam pertumbuhan."

"Jadi bagaimana? Grup? Aku memerlukannya untuk mempercepat kenaikan levelku."

Riona menyimpan kapaknya setelah berpikir beberapa saat.

"Aku tidak keberatan sih membuat grup, kebetulan juga aku memerlukannya untuk menjelajah labirin sihir."

Aku menjetakan jariku, pas sekali dengan kebutuhanku.

"Maksudmu labirin Lonos bukan?"

Ia mengangguk. Labirin sihir Lonos terletak sekitar 2 jam perjalanan jalan kaki tidak jauh dari reruntuhan kota tua. Sebenarnya labirin itu tidak ada nama, tapi karena akhirnya kota Lonos berdiri dan mengelolanya jadi semua petualang menamakannya sebagai labirin Lonos.

"Pas sekali, ya untuk masuk kesana butuh membentuk grup minimal 2 orang. Baiklah kita kita sepakat. Apa sekarang? Atau?"

"Besok saja, kita bertemu langsung disana setelah matahari diatas kepala. Aku butuh istirahat cukup lama."

"Kenapa tidak pergi sama-sama saja?kita kan satu penginapan walaupun beda status."

"Kalau harus berjalan bersama, artinya aku membutuhkan tambahan mana untuk menjaga bentuk tubuhku. Aku harus menghemat mana agar bisa menyelesaikan labirin sihir dengan baik, " jelas Riona.

"Tapi kan aku sudah tahu masalahmu...ampun... "

Riona bereaksi dengan cepat karena kata-kataku, ia kembali memposisikan diriku terdesak dengan memunggukan papan kayu, dan ia meletakan tangannya tepat di samping wajahku. Aku pernah membaca posisi ini dalam buku, tapi posisinya terbalik. Sebagai pria seharusnya aku ang mendesaknya, memojokannya bukan Riona.

Riona mendekatkan wajahnya, matanya menatap lurus padaku, apakah aku sedang digoda?

"Apa sudah lupa? Aku bilang lupakan hal itu."

"Ya mauku juga begitu, tapi kalau melihat kamu sekarang. Bagaimana aku bisa lupa?"

Riona melihat dirinya, ia terlihat baru menyadari sesuatu. Perlahan dadanya membesar dan membesar kembali seperti yang kuingat selama ini. Ya inilah Riona.

"Jadi, kita ketemu disana. Itu saja," jawab Riona sambil memintaku keluar.

Aku sudah mendapatkan keinginanku tidak perli memaksa keberuntunganku lagi saat ini. Aku keluar dari kamarnya, sementara aku bisa mendengar Riona kembalk ke kasurnya untuk melanjutkan tidur.

Ya hari ini lebih baik aku hanya berburu ringan dan menyiapkan diri untuk petualangan lebih besar besok, menuju labirin sihir Lonos. Tapi pikiranku masih sedikit terbayang terus tubuh seksi Riona. Ya kecil itu indah tapi besar memang luar biasa.

***

Sebagai pria, tentunya kalau janjian kita harus lebih duluan tiba di tempat janjian. Ini adalah dasar dari ilmu untuk menarik perhatian wanita. Sialnya walaupun aku sudah menguasai banyak pengetahuan ini dari buku, tapi sampai saat ini yang kudapat hanya rasa sakit dari sikutan Elise maupun tinju dari Riona. Satu-satunya respon netral yang kudapat dari Severina, mungkin aku ada kesempatan dengan dia.

Perjalanan menuju labirin Lonos tidak berbeda dari rute yang biasa kulalui hanya lebih jauh, tidak ada monster agresif disini. Aku bisa berjalan denhan santai sambil menikmati pemandangan yang mana para slime saling melompat-lompat, atau para Tauros yang berkumpul sambil makan rumput. Mengingat pengalaman lama, mungkin aku sebaiknya agak jauh-jauh dari kumpulan Tauros.

Setelah melewati reruntuhan kota kuno, akhirnya aku tiba di labirin sihir ini. Seperti sebuah gunung batu kecil yang berbentuk kubah. Beberapa bagian bisa kulihat sudah terkikis oleh usia, tapi secara keseluruhan masih tampak kokoh. Mungkin karena kota Lonos mengelolanya juga memberi perawatan seperlunya.

Di dekat pintu masuk kulihat seorang laki-laki dengan baju besi duduk santai dengan posisi setengah selonjoran.

"Berhenti petualang," sambut laki-laki berbaju besi itu, ia membuka matanya sambil mengacungkan tombaknya ke arahku.

"Hati-hati tuan, itu benda tajam," balasku ringan.

"Hahaha, boleh juga selera humormu," balas laki-laki itu kemudian berdiri, tegap layaknya seorang prajurit.

Aku tidak sedang bercanda, itu tombak beneran tajam, sebagai seorang spirit support aku bisa tewas dalam sekejap jika ia menghunuskan padaku. Tapi untuk menghormatinya aku tertawa kecil juga.

"Jadi apa keperluanmu? Mau masuk labirin?"

"Ya," balasku singkat.

"Peraturan standar, harus grup minimal 2 orang dan bayar ongkos masuk 1000 koin per orang," katanya lagi.

"Harus bayar?!"

"Tentu saja, ini adalah aset Lonos. Perlu perawatan dan perawatan perlu uang. Selain itu perlu penjaga seperti saya dan itu tidak gratis."

"Bukankah ini tempat untuk mencari pengalaman dan pemasukan, kok harus bayar?" protesku.

"Justru itu kamu malah harus bayar. Labirin ini kan menjanjikan prospek harta ataupun hasil dari monster yang berharga. Yang nilanya bisa jauh lebih besar dari sekedar 1000 koin. Apalagi jika kamu beruntung dan mampu membasmi monster langka yang bisa memberi kamu item spesial 'premium horn' jika beruntung. 1 item itu bisa langsung mengganti ongkos masukmu sebanyak...mungkin 3 sampai 5 kalilipat," kata penjaga itu beralasan.

Kedengaran cukup masuk akal, dalam bisnis perlu modal. Petualang juga perlu modal.

"Kalau kamu menjelaskan demikian rasanya harga itu tidak mahal juga."

"Tentu saja, tapi itu kalau beruntung, hanya 1 banding 20 monster langka itu muncul, Tripe Horn Tauros."

"Sebentar bagaimana kalau aku tidak beruntung?"

"Ya umumnya kamu hanya menghadapi monster Skeletal General. Tapi itupun menghasilkan item yang lumayan, belum lagi bawahan yang kamu hadapi. Jangan lupa selalu ada peti harta di ujung labirin, yang isinya sudah pasti lebih dari 1000 koin," kata penjaga itu mempromosikan.

Kalau yang dikatakannya benar, kenapa sepi sekali? Tidak ada petualang yang antri untuk mencoba peruntungannya.

"Tapi kok sepi ya, seharusnya kalau sangat menguntungkan tempat ini pasti antri yang berkunjung," kataku berargumen.

Penjaga itu menaikan alis matanya, ia diam sejenak,

"Ah kamu tipe petualang yang ga suka baca panduan secara menyeluruh ya. Ya itu sebenarnya cukup umum."

"Apa maksudmu?"

"Kamu pasti mengetahui tentang labirin sihir dari buku panduan atau mungkin orang dari guild menyinggungnya," katanya sambil menunggu reaksiku yang hanya kubalas dengan sebuah anggukan ringan, "Dan kamu paling hanya membaca sebagian dari penjelasan tentang labirin sihir. Begini, labirin sihir pun ada keterbatasan. Yang pertama kamu perlu kunci untuk masuk, dan itu ada padaku untuk labirin Lonos ini..."

"Itu aku tahu," potongku.

"Kedua, setiap labirin sihir hanya dimasukin satu grup dalam satu waktu. Jika ada orang atau grup lain memaksa masuk setelahnya walaupun menggunakan kunci, laibirin sihir itu tidak bereaksi atau dia hanya menjadi ruangan kosong," jelas penjaga itu.

"Jadi maksudmu sebenarnya kita pindah ke dimensi lain?"

"Hmm, aku tidak tahu detilnya tapi semacam itulah. Jadi grup pertama harus keluar dahulu baru grup lain bisa masuk. Keluar tidak berarti harus menyelesaikan sampai akhir, kadang ada yang menyerah memilih untuk keluar,"

"Kedengarannya menakutkan, bagaimana kalau kita sekarat atau mungkin mati di dalam labirin? Tidak ada yang bisa menolong kita begitu?"

Penjaga itu memainkan jenggot tipisnya, "Tidak juga, kamu bisa menggunakan item buat kabur dari labirin dan itu item umum, harganya juga tidak terlalu mahal. Kebetulan sekali, sebentar... Ini dia 'Lonceng Kabur', harganya hanya 2000 koin, dan berfungsi cuma sekali," tawar penjaga itu.

Aku langsung memasang wajah dengan mulut melongo lebar,

"Bukankah itu lebih mahal dari ongkos masuk?"

"Hei ini kan jaminan nyawamu, ya sebenarnya tergantung tingkat kesulitan labirinnya juga, tingkat tinggi maka kamu butuh item kualitas tinggi yang lebih mahal. Jadi ini yang termurah, kamu beruntung. Oh ya kamu ga usa khawatir kalau mati, karena otomatis tubuhmu langsung ditendang keluar oleh labirin sihir. Jadi mayatmu tetap bisa kami kubur selayaknya. Jadi masuklah dengan tenang," tambahnya sambil tersenyum lebar.

Apa? Mati? Mungkin ini terlalu cepat buatku? Apa aku harus beli item untuk kabur? Tidak murah tapi itu bisa sebagai asuransi. Tapi kalau tidak terpakai, mubazir juga. Susahnya menjadi orang miskin, semua harus dipikirkan mana yang perlu, mana yang bisa di tangguhkan.

"Sebentar ini belim menjawab kenapa tidak ada antrian," kataku.

Penjaga itu sedang menenggak botol minumnya,

"Ah ya ya," Ia berhenti sebentar kembalo menengguk air minumnya, "Yang ketiga adalah, labirin bisa mendeteksi orang yang masuk, dan setiap labirin punya sistem membatasi seberapa sering setiap individu masuk dalam kurun waktu tertentu. Contohnya labirin Lonos ini setiap individu maksimal hanya sekali dalam kurun waktu 1 minggu," jelas penjaga itu sambil memasukan botol minumnya dalam penyimpanan dimensi.

"Kenapa begitu pelit, ya kalau begini wajar saja," kataku menyetujui.

"Kalau bisa dimasuki terus, mungkin sudah lama labirin ini kehabisan energinya."

Penjaga itu menatapku dan sadar kalau aku tidak mengerti karena melihat mataku yang membesar.

"Dasar kamu ini. Kamu tahu kan labirin sihir adalah ciptaan seseorang? Labirin Lonos sendiri sudah ada jauh sebelum kota Lonos ada, kemungkinan dibuat oleh seseorang dari jaman kota tua yang sudah hancur itu. Dan skill itu sudah hilang ditelan jaman, sudah tidak ada lagi master labirin yang baru. Sebentar sepertinya ada seseorang ah aku lupa aku tidak terlalu suka pelajaran sejarah. Yang pasti labirin sihir itu sesuatu yang hampir punah."

"Kenapa bisa begitu?"

Penjaga itu mengangkat kedua bahunya,

"Aku tidak begitu tahu, tapi mungkin karena syaratnya terlalu susah. Dan perlu energi besar untuk membuat labirin, juga beberapa material langka. Itulah yang membuat labirin ini bisa memberikan monster-monster setiap saat, dan juga peti harta. Dan sudah tentu ada batasannya, kita tidak tahu kapan itu habis, tapi pasti akan habis. Jadi anak muda manfaatkan labirin ini selagi bisa dimanfaatkan. Ini semacam hadiah dari leluhur jauh kita, hehehe."

Walaupun info labirin ini di sarankan untuk level 3-15 kenyataannya hanya pemula di bawah level 10 yang menggunakan labirin ini. Saat sudah menginjak levek 11 mereka lebih memilih tempat lain untuk berburu pengalaman maupun material yang jatuh dari monster.

Matahari sudah mencapai posisi diatas kepala, hari ini cuaca cerah tanpa awan. Penjaga yang merasa kepanasan memilih  berlindung di bawah pintu masuk labirin. Aku sudah mengatakan kalau sedang menunggu teman untuk grupku. Kuharap Riona tidak lupa akan janjinya. Sembari menunggu aku membaca pamflet yang diberikan oleh penjaga labirin ini, isinya tentang monster apa saja yang mungkin kita hadapi di dalam, dan beberapa pengetahuan kalau labirin bentuknya selalu berubah saat grup baru masuk.

Matahari mulai bergerak menjauhi puncak siang hari, tapi aku masih belum melihat Riona. Apa aku sudah dikerjai? Padahal dia terlihat seperti orang baik yang tidak sembarangan membatalkan janji. Mungkinkah dia diserang monster saat perjalanan kemari? Ah itu mustahil dengan kemampuannya, walaupin segerombolan Tauros mengeroyok dia, pasti tetap selamat.

Aku menghentak-hentakan kakiku, melihat penjaga labirin yang sedang asik santap makan siang, itu membuat perutku berbunyi.

"Ini jatahku, aku tidak akan membaginya," kata si penjaga saat mendengar suara perutku yang besar.

"Aku juga ada makanan kok hanya sedang diet saja," balasku.

Sebenarnya aku beneran lupa akan persiapan makan siang. Ini adalah pengalaman baru, membentuk grup dan dengan perempuan yang seksi juga besar. Karena hasratku yang terlalu menantikan saat ini, aku lupa makan sebelum berangkat. Untunglah aku menyimpan beberapa daging kering di kantong dimensiku sebagai makanan darurat. Diam-diam aku mengeluarkannya tanpa memperlihatkan pada si penjaga. Daging ini masih awet karena pengaruh sifat kantong penyimpanan dimensi yang menjaga kualitas barang sama seperti saat disimpan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Elise, kalau kantong pemula atau standar, batas waktunya sampai makanan akan mulai membusuk tapi cukup untuk berpergian selama beberapa minggu. Kalau kantong yang kelas tinggi maka tingkat pengawetannya lebih baik bahkan katanya ada kantong dimensi abadi.

Saat aku mulai mengunyah daging kering kedua, dikejauhan aku melihat sesosok orang sedang berlari. Aku mengenal sosok itu, proporsi tubuh yang besar dan gerakan goncangan dadanya yang besar itu khas Riona sekali. Ah andai waktu bisa berhenti.

"Fiuh, maaf telat. Aku ketiduran," kata Riona saat berhenti di hadapanku. Begitu kencangnya larinya, hasilnya saat ia berhenti tenaga remnya membuat tanah di hadapan terbang ke arahku. Riona mengelap keringatnya.

Riona berdiri tegap memperlihatkan dirinya yang kokoh.

"Baiklah ayo kita masuk,"

"Sebentar kita harus membentuk grup dahulu," kataku menahannya.

Karena sudah diajarkan oleh Elise aku dengan mudah membentuk grup ini. Informasi yang dibagi Riona tidak sepenuhnya, mungkin dia masih belum percaya penuh denganku.

Riona level 4; job : mercenary

HP : 520 ; MP : 50

Str : 45

Agi : 15

Int : 5

Wis : 5

Res : 3

Vit : 10

Luck : 5

Kemampuan fisik yang luar biasa. Tapi aku jauh lebih pintar darinya. Sebentar sebenarnya intelligent dan wisdom di status ini apakah menandakan kepintaran dalam arti sebenarnya? Aku segera mengecek buku panduan.

"Hei ngapain kamu? Ayo kita mulai," ajak Riona tidak sabaran

"Sebentar lagi mengecek sesuatu," balasku.

Penjelasan mengenai status, intelligent dan wisdom bukan kepintaran ataupun kebijaksanaan. Status ini menggambarkan tingginya kemampuan sihir dan juga kemampuan merapal, waktu yang dibutuhkan juga durasi efek skill. Namun umumnya petualang dengan int dan wisdom tinggi punya kepintaran yang tinggi juga, namun sampai saat ini hanya berdasar data statistik mayoritas.

Ya anggap saja demikian, tapi ini artinya dia juga tidak berarti bodoh. Kami berdua membayar ongkos masuk yang diterima dengan senang hati oleh si penjaga. Ia kembali menawarkan item buat keluar secara instan namun karena uangku pas-pasan, maka aku menolak, demikian jiga dengan Riona yang percayq diri dengan kemampian fisiknya.

"Kalau aku sampai perlu kabur, artinya aku tidak pantas sebagai ras Valtar. Lebih baik aku mati di dalam labirin saja," tolaknya dengan tegas.

"Oh kamu ras valtar? Kalau begitu seharusnya tidak ada masalah. Tapi semoga kalian tidak bertemu dengan Triple Horn Tauros."

Penjaga itu kemudian mengeluarkan kunci labirin. Kunci itu berbentuk seperti bola kaca, warnanya keperakan, ia memasukan ke dalam lubang pintu yang kemudian terdengar suara batu bergerak. Pintu terbuka tapi tidak terlihat apa-apa.

"Ini adalah pintu teleport, jangan khawatir, sangat aman. Paling sedikit guncangan kalau tidak terbiasa," kata penjaga itu menenangkan.

Penjaga itu menjelaskan dasarnya labirin Lonos sangat sederhana. Walaupun cukup panjang biasanya menghabiskan waktu antara 1-2 jam untuk pemula.

"Selamat berjuang!"

Tubuhku serasa melayang saat melewati pintu labirin itu, sesaat aku tidak bisa merasakan tangan, kaki ataupun tubuhku seolah indraku sedang di bius namun tidak lama seperti baru saja dibanting oleh Elise aku kembali bisa merasakan lantai yang dingin.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Riona aku kulihat sedang berdiri, ia tampaknya lebih tinggi dari yang kutahu. Ah ternyata aku yang sedang terlungkup jatuh.

"Tidak apa-apa," balasku sambil berusaha tetap tenang.

Saat ini kami berada di ruangan berbentuk kotak dengan dinding berwarna gelap sepertinya campuran tanah dan batu.

"Aku lihat kamu ternyata job classnya adalah spirit support. Bukankah itu class yang selalu dihindari? Katanya tidak berguna? " tanya Riona sedikit penasaran.

Ah iya, dia ini kan belum tahu job classku. Kuharap dia tidak membatalkan grup ini.

"Ya bukannya tidak berguna, tapi ini class yang sensitif, perlu usaha lebih," jawabku berusaha membungkusnya dengan seindah mungkin.

"Jadi apa yang kamu bisa lakukan? Sebagai petarung garis depan pastinya bukan, fisik strmu itu haha, bahkan bayi di ras kami lebih kuat darimu."

"Siapa bilang tidak bisa? Aku selalu bertempur sendiri di garis depan," kataku membalas dan itu bukan bohong, "tapi sebenarnya ya seperti namanya classku lebih optimal di support memberi bantuan buff, maupun debuff musuh. Selain itu aku juga ada serangan sihir api," tambahku jujur.

Tidak ada kebohongan dalam penjelasanku, hanya aku tidak memberitahu kelemahannya saja.

"Baguslah, garis depan serahkan padaku, aku juga terbiasa sendiri, itu lebih enak. Aku bisa mengamuk sesukanya, ayo bergerak. Kamu tahu kan aku tidak bisa lama-lama mempertahankan sosok ini," kata Riona menunjuk ke dadanya.

Aku mengerti 100%. Aku juga lebih semangat jika terus bisa melihatnya beraksi.

Kami berjalan menuju sisi ujung ruangan yang terlihat ada pintu batu. Aku menyarankan agar kita hati-hati dalam membukanya, siapa yang tahu ada jebakan.

"Ingat kata penjaga itu, labirin Lonos sangat sederhana, tidak ribet. Kamu terlalu hati-hati," seru Riona langsung menendang pintu batu itu, "liat hanya lorong kosong."

Aku merapal skill barrier untuk memberi pertahanan tambahan, selaput tipis muncul menutupi seluruh bagian tubuh.

Terdengar derap langkah dari kejauhan yang semakin lama semakin besar. Riona segera siaga mengeluarkan halberdnya, aku juga mempersiapkan pedang sihir.

Langkah itu semakin besar, karena lorong ini gelap, hanya ada cahaya remang-remang yang aku sendiri tidak tahu darimana datangnya. Mungkin dinding itu sudah ada efek cahayanya, yang pasti ini bagian dari labirin sihir.

Warna putih, tulang yang tersusun rapi, ini adalah monster penghini labirin, skeletal. Mereka seperti tengkorak manusia yang hidup tapi sebenanrya adalah monster. Tulang putih itu adalah tubuhnya. Terlihat ada 4 monster yang berlari menerjang ke arah kami, masing-masing membawa pentungan kayu. Sambil berteriak atau tertawa mereka mengacungkan tongkatnya. Riona adalah mercenary, job class yang punya daya serang fisik luar biasa. Ia bergetak maju menerjang ke empat skeletal itu sambil mengayunkan halberd. Sebuah tebasan langsung menghancurkan 2 skeletal. 2 skeletal lain yang melihat temannya hancur berantakan tidak ketakutan, memanfaatkan momen Riona yang dalam keadaan lengah karena ayunan besarnya. Mereka melompat dan berusaha memukul Riona, namun Riona yang aginya 15 dengan cekatan menghindarinya dan membalas mereka.

Dalam sekejap 4 skeletal musnah. Inilah kemampuan seorang mercenary, mungkin juga pengaruh dari rasnya Valtar. Menurut Elise ras Valtar memang dasarnya punya kemampuan fisik yang tinggi. Padahal aku lihat skeletal ini tidak lemah, mereka secara status lebih kuat dari tauros walaupuu tampak kurus seperti tengkorak.

"Hah, gampang-gampang," seru Riona tanpa ada kerusakan apapun yang diterima.

Hanya mananya yang turun, bukan karena serangan yang dia lakukan karena itu semua hanya ayunan serangan biasa tanpa menggunakan mana, kekuatan fisik murni. Kalau saja aku tidak diberitahu soal skill growth miliknya mungkin aku bakal bertanya-tanya.

Riona kembali memimpin di depan sampai kami tiba di ruangan yang lebih besar dengan 2 cabang. Kami memilih ke arah kanan terlebih dahulu dan langsung di hadang 3 skeletal biasa dan 1 skeletal jenis lain, skeletal knight. Bedanya monster bernama skeletal knight ini hanya di senjatanya yang berupa pedang besi dan perisai kayu.

Daya fisik dan pertahanan skeletal knight lebih tinggi dari skeletal biasa.  Namun Riona tetap tidak kesulitan untuk membasminya.

Sementara itu aku berdiri dibelakang, berusaha terlihat sedikit berguna dengan kata-kata semangat.

"Kamu bisa, Riona. Awas dia mau menyerangmu. Ya itu bagus serangan yang sangat luar biasa."

Riona menyelesaikan tugasnya dan menoleh ke arahku.

"Ya aku memang hebat, tapi hentikan itu."

'Hei tugasku adalah memberi support, semangat."

Riona menghela napasnya tapi tidak menolak akan semangat yang kuberikan.  Kami terus berjalan menyusuri lorong yang dihadang beberapa skeletal. Sampai di ujung lorong yang tertutup pintu batu. Riona memandangku dan aku mempersilakan dia menendangnya. Kukira dia sangat suka aksi seperti itu.

Dibalik pintu itu sudah menanti situasi tergenting dalam hidupku sampai saat ini, lebih dari saat akan dikeroyok para Tauros.

***