webnovel

Gemuruh Batin

"Ah anak ini kebiasan," Anna memijat keningnya. Kepalanya seketika pusing.

Ini baru permulaan akan mendapat masalah mengenai Aksel, setelahnya sang kekasih pasti akan menghubunginya juga.

Bus terakhir malam itu tiba, Anna pulang dengan hati dan pikiran yang tak jelas. 

Ia berjalan gontai menuju rumahnya. Rasanya ia begitu muak harus kembali ke rumah tersebut. 

"Pacarmu mana? Kenapa enggak antar kamu?"

"Siapa yang Ibu maksud?"

"Bukannya sekarang kamu jadi pacarnya Boss yang kaya dan tampan itu kan?"

"Semua berita palsu itu."

"Palsu bagaimana, bukannya kamu sendiri yang mengakuinya?"

"Ibu percaya Anna di berita atau di depan Ibu?"

"Yang jelas Ibu maunya kabar itu memang benar."

Anna tertawa menyeringai "Wajar, Ibu kan terobsesi dengan uang, uang, uang sama Ayah enggak ada bedanya."

"Dengan uang hidupmu akan bahagia."

"Tersiksa iya."

"Buktinya yang kaya tidak seperti kita."

"Jangan membual, Bu. Anna pusing, mau istirahat."

"Anna!" bentak Laras pada Anna. 

"Apalagi sih Bu???" tanya Anna yang melirik Ibunya kesal.

"Ibu belum selesai tanya sama kamu!"

"Apa Bu? Ibu butuh jawaban apa sebenarnya?"

"Berita itu benar kan?"

"Kalaupun Anna bilang palsu tentu Ibu akan marah! Karena apa? Ibu terlalu cinta yang namanya kekayaan."

"Besok-besok suruh Bossmu mengantar dan menjemputmu, supaya tetangga tahu kabar itu benar dan Ibu sama Ayah bisa pamer. Teman-teman Ibu juga sudah oada tahu.

Anna semakin tak tahan, ia tidak menangis. Ia tertawa terbahak-bahak seolah menertawakan Ibunya yang bermimpi terlalu tinggi dan meninggikan harapan pada kekayaan.

"Makan saja uang, harta, pamor! Supaya kenyang!"

Anna kesal, segera pergi dari ruang tamu dan lekas ke kamar. Membanting pintu kamarnya.

"Anna!"

Ibunya masih memekik memanggil namanya. Tetapi Anna sama sekali tak bergeming. Ia menutup diri di dalam kamarnya. Memakai earphone dan mendengarkan lagu agar tidak mendengarkan bising di luar kamarnya.

Rasanya ia membutuhkan seseorang yang barangkali bisa menenangkannya, dan juga mendukungnya. 

"Gibran Pratama"  Nama itulah yang ia ketik di papan nama pencarian kontak. Terhubung. 

["Apa Anna?"]

"Kamu di mana?"

["Pulang kerja, mau apa?"]

"Enggak, aku pengen denger suara kamu saja."

["Tadinya memang mau menghubungimu."]

Anna sedikit tertawa, ia berharap jika Gibran memang merindukannya alih-alih ingin meneleponnya juga.

"Oh ya?"

["Apa maksud berita?"]

"Kamu jangan marah dulu, aku punya alasan sendiri. Semua itu bohong, semuanya palsu. Kamu tahu sendiri pacar aku kan cuma kamu, Gibran."

["Rupanya kamu pandai berbohong, lanjutkan saja."]

"Gibran, kamu tahu aku bagaimana. Aku butuh kerjaan ini. Aku melakukan itu karena sebuah alasan. Alasan untuk jadi kekasih CEO kaya seantero ini kan?"]

"Gibran, jangan tambah masalahku du. Baru saja Ibu memarahiku. Aku butuh kamu."

["Istirahat saja, besok setelah aku ke Jakarta kamu jelaskan semuanya."]

"Kamu capek?"

["Anna, sampai kapan kamu cerewet seperti ini, aku benar-benar capek kerja bukan pacaran!"]

"Kenapa kamu bahas itu, kamu nyindir?"

["Itu kenyataan Anna, sudahlah aku tutup. Lebih baik kamu istirahat."]

Diam-diam Anna menangis. Ia tidak menjawab apapun pada Gibran sampai akhirya Gibran mematikan oanggilan tersebut.

Saat seperti inilah Anna membutuhkan sesorang. Ia sadar memiliki Gibran, namun tampaknya Gibran tidak bisa mempercayai Anna. 

Pukul 07.00

"Enggak dijemput juga?" tanya Laras, sang Ibu Anna sudah membuat otaknya runyam.

"Lebih baik Ibu enggak usah bicara sama Anna."

"Minta uang!"  entah dari mana asalnya, Ayah Anna meminta uang padanya. 

"Masih pagi."

"Harus siang minta uangnya?"

"Ayah kerja uangnya pakai apa?"

"Ini pasti ajaran Ibumu kan?"

Malas berdebat, dengan buru-buru Anna memakai sepatu dan berjalan cepat menuju halte.

"Anna! Wah anak itu."

Ayahnya tidak diam, ia berjalan cepat menuju Anna. 

"Ayah mau apa sih!"

"Uang, beri uang!"

Tatapan sinis Anna layangkan pada Ayahnya sendiri sembari mengambil uang dalam tasnya. Ia memberikan 2 lembar uang seratus ribu. 

"Anna enggak punya uang lagi, Ayah."

"Ayah tidak mau tahu, kalau Ayah minta pastikan uang itu selalu ada."

Ayahnya pergi begitu saja. Pikiran Anna runyam tanpa henti. Ia terduduk di pinggir jalan halte tersebut. Bukannya duduk di tempat yang tersedia. Ia duduk di pinggiran jalan seraya memegangi kepalanya. 

"Kamu mau ngemis pagi begini?" ucap laki-laki yang angkuh dari mobil mewahnya.

Siapa lagi jika bukan Aksel. Perasaan Anna yang berkecamuk ditambah lagi saat ini pertangaan Aksel membuatnya kesal.

Tak ada jawaban apapun dari Anna. Ia tetap duduk di posisinya. 

"Naiklah."

"Enggak usah."

Beruntungnya tak lama dari itu bus tiba. Anna segera berdiri untuk naik. Namun, Aksel lebih cepat untuk tidak menghentikan bus tersebut. 

Bus pagi yang kedua sudah berlalu di hadapannya.

"Pak Aksel ngapain sih!" ucap Anna penuh amarah.

"Saya bilang naik ya naik ke mobil saya! Kamu tuli?"

Karena kesal, Anna masuk ke mobil Aksel. Membanting pintu mobil tersebut dengan kesal.

Aksel memandangi Anna pagi ini yang aneh. Semuanya berapi sama halnya dengan Aksel.

"Kamu tahu mobil ini berapa harganya? Hah!"

"Salah sendiri, saya mau naik Bus bukan mobil Bapak."

"Ini harganya lebih mahal dari gajimu! Kamu enggak sanggup membelinya."

"Memang, saya tahu," jawab Anna cuek.

Aksel mengepalkan tangannya ia hendak memukul Anna yang berbuat demikian.

"Silakan saja kalau Bapak mau mukul saya, toh nanti tinggal saya bilang kekerasan. Mudah bukan?" Anna menyeringai.

Jari yang terkepal ia urungkan, ia melajukan mobilnya dengan cepat.

Anna menarik-narik rambutnya dengan tatapan yang masih kesal. Hal itu membuat Aksel pun heran, apa yang membuat sekesal itu.

"Kamu habis dipalak?"

"Pak Aksel lihat?" tanya Anna dengan menatap Aksel. 

"Enggak sengaja terlihat. Bukannya kamu juga galak, kenapa enggak melawan?"

"Nanti saya durhaka."

Aksel mengernyit.

"Itu Ayah saya."

"Saya kira itu pelangganmu."

"Kalau itu pelanggan saya harusnya dia yang ngasih saya uang, bukan sebaliknya."

"Wow!"

"Jangan sembarang ucap deh Pak, saya sampai sekarang masih menjaga diri saya kecuali kasus kecelakaan itu!"

"Oh bagus kalau itu hanya pada saya."

"Lain kali Bapak ke psikiater, otak Bapak sepertinya yang rusak bukan saya."

"Saya heran, kenapa kamu berani sekali sama saya? Belum pernah ada yang membentak saya apalagi perempuan."

"Kenapa harus takut? Sama-sama manusia bukan?"

"Cukup pintar."

Anna menghentikan perdebatan tersebut. Ia menatap jendela dan masih memegang kepalanya. Namun tak sampai menangis. Tetapi matanya memang terlihat bengkak.

Begitu sampai di kantor, Anna ingin cepat ke ruangannya. Namun, pagi itu sangat sial sekali. Ada beberapa tamu di depan menyapa mereka. Tentunya tidak mungkin berjalan cepat dan mendahului Aksel. 

Huh!

"Dan, aku capek sumpah!"

"Kamu kenapa, Anna? Pak Aksel atau di rumah?"

"Semuanya."

"Wait, mata kamu bengkak loh, kamu diapain lagi sama Pak Aksel??"