webnovel

Air Mata Di Padang Bulan-Medan

Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "

Man_84 · Histoire
Pas assez d’évaluations
20 Chs

Pertemuan

Hari Jum'at adalah hari libur yang dipergunakan para santri untuk mencuci, membersihkan pekarangan pondok, gotong royong, belanja ke pasar tradisional dan lain sebagainya.

    "Kepada semua santriwati, agar bersiap siap berangkat menuju lokasi putra untuk membuang sampah. "

    Terdengar sebuah pengumuman dari seorang ustadzah melalui corong mikrofon.

    Mendengar pengumuman tersebut, banyak dari santri laki-laki yang mulai mengatur barisan di lorong-lorong pondok mereka, hanya sekedar dapat melihat para santriwati itu lewat.

    Wajar saja, karena santri laki-laki itu jarang melihat perempuan, sebab lokasi pondok mereka di pagar dan terpisah dengan pelajar putri.

    Tak ketinggalan dengan Ahmad, dia pun ikut serta berdiri di depan pondoknya, seakan-akan tidak mau ketinggalan melihat momen yang hanya sekali dia minggu itu terjadi.

    " Tak...,tuk...,tak...,tuk,"bunyi suara sendal para santriwati berjalan menuju ke lokasi putra, satu persatu santri perempuan itu mulai melangkahkan kakinya memasuki lokasi putra.

   Mereka membentuk barisan yang sangat panjang, karena jumlah santriwati itu mencapai 500 orang.

    Para santriwati terus berjalan dengan melihat lurus ke depan, sekali-kali kali terdengar suara tawa dari mereka, manakala ada santri yang kenal dan memanggil namanya.

    Tanpa sengaja, mata Ahmad tertuju kepada seorang santriwati yang berkulit putih, berlesung pipit dan berhidung mancung, memberikan seuntai senyum kepadanya, seolah-olah hujan yang turun di musim kemarau yang memberikan kehidupan kepada para petani.

    Ahmad tertunduk malu, tidak kuasa menatap wajah cantik gadis yang berkerudung merah itu.

   Kemudian Ahmad kembali ke pondoknya dengan beragam pertanyaan di hatinya, tentang siapakah wujud wanita yang dilihatnya itu.

    Bersamaan dengan itu, perut pun mulai terasa lapar karena dari pagi belum ada yang masuk, membuat makhluk yang bernama cacing, berontak di dalam ruangan yang berukuran sejengkal itu.

    Kemudian tangannya membuka tutup kaleng bekas yang bermerek kapal api, ternyata beras sudah habis karena sudah lebih dari 2 bulan, orang tuanya tidak mengirimkan belanja dan uang untuknya.

    Santri yang biasa memakai kain sarung itu langsung bergegas untuk pergi ke sawah yang tidak jauh dari lokasi pesantrennya, bertepatan pula lagi musim panen.

    Ahmad lalu menawarkan jasa tenaganya kepada para petani untuk mendapatkan sedikit rupiah, dengan memikul padi yang sudah dimasukkan ke dalam karung, untuk diantar ke rumah mereka.

   Waktu Sholat Zhuhur pun tiba, maka Ahmad bergegas pulang ke pondoknya dengan mengantongi sejumlah rupiah dan seikat sayuran yang ia petik di tepi sawah milik petani yang ditolongnya.

           🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫