webnovel

Air Mata Di Padang Bulan-Medan

Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "

Man_84 · Histoire
Pas assez d’évaluations
20 Chs

Masuk Pesantren

karena tadi malam hujan turun dengan lebatnya.

Membuat Sang Mentari terlambat terbit dari ufuk timur.

Kicauan burung di dahan pohon jambu yang melompat dari satu dahan ke dahan yang lain, menjadikan suasana pagi itu semakin syahdu.

Sekumpulan anak perempuan lagi berkumpul dan melompat di atas tali dengan bergantian.

Begitu juga dengan anak laki-laki yang lagi asik main kelereng di halaman.

Sekali-kali terdengar suara tawa dari mereka.

Terlihat juga para orang tua dengan anaknya berjalan seiringan dengan membawa map berwarna merah yang bertuliskan, "ijazah."

Rupanya anak-anak mereka baru selesai menamatkan pendidikannya di jenjang Sekolah Dasar.

Mereka pergi untuk mendaftar ke sekolah lanjutan yang di inginkan.

Berbeda halnya dengan Ahmad yang sedang duduk di atas rumah kayu berjenjang itu bersama kedua orang tuanya, dan ditemani seorang perempuan paruh baya yang dipanggil dengan sebutan. "Nantulang," sedang mengobrol dengan asiknya.

Nantulang adalah sebutan bagi isteri saudara laki-laki dari pihak Ibu).

Sepertinya pembicaraan mereka tampak serius.

" Kemana si Ahmad melanjutkan sekolahnya kak?"

Tanya Rahmah yang dipanggil dengan nantulang itu.

"Katanya mau ke Pesantren Dalan Lidang.

Jawab Ibu Ahmad.

Dalan Lidang adalah nama satu daerah di Kabupaten Mandailing Natal).

" Tapi....!"

Lanjutnya sambil melihat ke arah putranya.

"Kami tidak punya uang untuk membeli buku pelajarannya.

"Bajunya pun hanya satu yang berwarna putih, kain sarung semuanya sudah buruk, dan penuh dengan bekas jahitan, "tapi anakku ini sangat besar keinginannya untuk melanjutkan sekolahnya ke pesantren itu.

"Kalau masalah kitabnya, kakak nggak perlu risau memikirkannya, kitab-kitab anak saya yang baru naik ke kelas dua di pesantren masih ada di rumah, Ahmad boleh untuk memakainya.

Kata Rahmah menjelaskan.

Mendengar jawaban dari nantulang nya itu, kedua orang tua Ahmad merasa mendapatkan angin segar untuk membawa anak mereka mendaftar, ke salah satu pesantren kenamaan yang telah banyak mencetak para santri menjadi ulama di berbagai daerah, baik di dalam maupun di luar kota.

Juga sudah banyak memasuki berbagai Universitas ternama, baik di dalam maupun di luar negeri.

Keesokan harinya, Pak Ramli pergi mengantarkan anaknya Ahmad untuk belajar di pesantren terbesar sesudah Pesantren Musthofawiyyah Purba Baru di Kabupaten Mandailing Natal.

Di tengah perjalanan menuju ke pesantren yang terpaut 2 jam dari kampungnya, Ahmad tidak mengedipkan sedikitpun kedua matanya untuk tidur.

Dia melihat daratan yang begitu hijau, karena luasnya sawah yang berada di tepian jalan seperti tidak bertepi.

Perasaan Ahmad pun asyik masygul ketika memasuki Kabupaten Madina yang terkenal dengan kebersihan kotanya dan terkenal sebagai kota santri itu.

Kota Madina (Mandailing Natal), merupakan kota lahirnya para ulama-ulama tersohor, yang terkenal bukan saja di daerah itu, namun juga sampai ke seluruh penjuru Nusantara.

Syaikh Musthofa Husein adalah pendiri Pesantren Musthofawiyyah yang dibangun pada tahun 1912 M.

Beliau merupakan lulusan dari Mekkah, dengan segudang karomah nya.

Diantaranya adalah, pada zaman penjajahan kolonial Belanda, beliau menjadikan penglihatan pemberontak memandang jalan beraspal ibarat lautan, membuat mereka berenang di permukaan jalan yang tidak berair.

Sehingga rakyat Indonesia dapat dengan mudah mengalahkan mereka (Belanda).

Syaikh Abdul Halim, beliau merupakan menantu dari Syaikh Musthofa Husein, ia juga mempunyai ilmu agama yang mumpuni dengan sejumlah karomah, diantaranya...!

Pada suatu hari, Syaikh Abdul Halim hendak berangkat ke sawah bersama isterinya, dengan membawa bekal yang hanya cukup untuk mereka berdua.

Tak disangka seorang santri mendekati beliau seraya berkata," ayah, boleh saya ikut ke sawah bersama ayah?. "

Ayah merupakan panggilan santri kepada guru laki-laki di pesantren.

"Boleh, tapi jangan bawa temanmu ya?"

Jawab beliau.

Kemudian Syaikh yang berperawakan kecil itu melanjutkan perjalanannya ke sawah.

Tidak lama berselang waktu, setelah mereka sampai di sawah, datanglah santri tadi, namun dia tidak datang sendirian, akan tetapi membawa serta temannya yang berjumlah lebih dari 9 orang.

Umak pun mulai menampakkan wajah kebingungan, karena hanya masak 2 tekong beras, beliau khawatir akan malu, kalau nasi yang ditanak tidak cukup untuk memberikan kenyang orang sebanyak itu.

Umak adalah panggilan santri-santriwati kepada isteri dari ayah guru mereka di pesantren itu.

Setelah sampainya di sawah, tanpa berlama-lama, semua santri yang datang langsung turun ke sawah untuk mencangkul dan membajak.

Setelah 2 jam mereka bekerja, ayah guru Abdul Halim menyuruh mereka agar naik ke permukaan sawah untuk beristirahat dan makan siang.

Kebetulan beras yang ditanak itupun sudah masak dan siap untuk dinikmati.

Isteri beliau sudah mulai gelisah, takut kalau-kalau semua santri itu tidak bisa untuk makan bersama.

Melihat keraguan di wajah isterinya, tuan Syaikh Abdul Halim menawarkan diri untuk menyendok nasi ke setiap piring yang disodorkan kepadanya.

Isterinya yang sudah terdiam, seakan-akan hilang rasa percaya dirinya hanya menganggukkan kepala.

Namun, memang di luar nalar manusia biasa, beras yang 2 tekong itu dapat memberikan rasa kenyang kepada semua orang yang berada di sana, bahkan masih banyak tersisa.

Salah seorang dari santri berkata,

"Selesai makan, tidak sempurna rasanya kalau tidak ada pisang sebagai cuci mulut nya."

Mendengar ucapan itu, beliau langsung membuka ikat pinggangnya, dari situ keluarlah pisang, sehingga semua santri kagum bercampur heran.

Syaikh Abdul Wahab merupakan pendiri Pesantren "Darul Ulum, "yang terletak di daerah Muara Mais, Kabupaten Madina.

Beliau adalah alumni dari Pesantren Musthofawiyyah sebelum melanjutkan pendidikannya ke Mekkah.

Ketika beliau hendak pergi mandi ke sungai, di tengah jalan bertemu dengan seorang bapak membawa jala di tangannya.

Bapak itu berkata, "Tuan,"

Istriku lagi hamil, dia kepingin makan ikan mas, tapi saya tidak memiliki uang untuk membelinya.

Kemudian Syaikh Abdul Wahab berkata, "lemparkan jalamu ke air itu,"

Sambil telunjuknya mengisyaratkan ke sebuah parit yang berukuran kecil.

"Bukankah parit ini tidak ada ikannya tuan?."jawab si bapak.

Memang airnya jernih, sehingga tampak tidak ada seekor ikan pun di dalamnya.

"Lemparkan sajalah,"ulang beliau meyakinkan.

Kemudian bapak itu mengembangkan jalanya.

Ketika ditarik ke atas permukaan, ternyata ada seekor ikan mas yang berukuran besar tersangkut di benang jalanya.

"Maa syaa Allah, sungguh kejadian yang luar biasa.

Syaikh Abdul Fattah juga merupakan lulusan dari Pesantren Musthofawiyyah, diantara karomahnya, bahwa beliau sholat 5 waktunya di Mekkah.

Beliau tidak pernah sholat di masjid yang dekat dengan rumahnya, sehingga masyarakat di sekitarnya memandang beliau dengan sinis dan sebelah mata.

Seorang dari mereka berkata,

"Masa' seorang ustadz tidak pernah sholat di masjid yang dekat dengan tempat tinggalnya, ustadz apa itu namanya.

Ketika beliau sholat zuhur di Makkah, datang seorang perempuan menghampiri beliau,

"Bapak tinggal dimana, kok setiap hari saya melihat bapak sholat 5 waktunya di sini?.

Kemudian beliau menjawab,

"saya tinggal di Indonesia buk.

"Apakah yang diucapkan bapak ini benar ya?"

Gumam wanita itu di dalam hati.

Untuk menguji kebenaran tentang apa yang disebutkan beliau, maka wanita itu memesan sekarung buah nangka muda agar dibawakan untuknya, karena sudah lama dia tidak memakan gulai nangka.

"In Syaa Allah buk,"

jawab Syaikh itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali beliau meminta isterinya untuk mengambilkan buah nangka muda serta membungkusnya, agar dimasukkan ke dalam karung.

Setelah buah nangka itu dibungkus, lalu beliau membawanya ke dalam kamar pribadinya yang tidak boleh seorang pun masuk kecuali dirinya.

Tak lama kemudian, beliau pun sudah berada di Makkah.

Sesuai dengan perjanjian, perempuan itu sudah menunggu beliau di tempat yang disepakati.

Kemudian laki-laki bermata cekung itu memberikan sekarung buah nangka kepada si ibu.

Semakin bertambah lah keyakinan wanita itu bahwa beliau sholat 5 waktunya di Makkah, itu dapat dilihat dari buah nangka yang masih menetes getahnya, menandakan bahwa buah yang banyak getah itu baru saja di petik.

Ketika liburan, si ibu pulang ke kampung halamannya, dan dia berniat untuk berziarah ke rumah Syaikh itu.

Setelah hari yang direncanakan tiba, perempuan itu pun datang ke rumah beliau.

Sesampainya wanita itu di rumah Syaikh Abdul Fattah, ia pun bertanya tentang keberadaan beliau kepada si isteri.

Setelah menunggu lama, isteri beliau mencoba mengetuk pintu, akan tetapi tidak ada sahutan dari dalam kamar.

Ketika pintu kamar nya dibuka, terlihat beliau lagi duduk ifthirash. Duduk tasyahud awal, dengan sebuah tasbih yang terurai di jemarinya, menandakan beliau baru selesai menunaikan sholat Sunat Dhuha.

Ketika disentuh, alangkah terkejutnya si isteri melihat tubuh suaminya jatuh dengan lunglai dan lemahnya, rupanya beliau sudah meninggal dunia.

Mendengar kabar meninggalnya Syaikh Abdul Fattah, masyarakat setempat tidak mau datang menjenguk dan mengurusi jenazahnya.

Setelah wanita yang berlibur ke kampung halamannya itu menceritakan dengan panjang lebar, bahwa beliau sholat 5 waktunya di Makkah, barulah masyarakat setempat berebut dan berlomba-lomba untuk memandikan jenazahnya.

Begitu juga dengan Syaikh Abdul Qodir Al Mandiliy, Syaikh Ibrahim Jannun, dan beberapa Syaikh lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya.

Mobil L 300 berwarna putih bernomor polisi BB 5561DH mulai memasuki gapura yang bertuliskan,

"Selamat Datang Di Pesantren Ma'had Darul Ikhlash. "

Dan langsung melewati pintu gerbang berwarna coklat yang dijaga seorang security, menunjukkan bahwa sekolah itu memiliki peraturan yang sangat kokoh untuk mendidik para santrinya.

Mobil pun berjalan dengan perlahan ke dalam lokasi fatayat.

Fatayat adalah panggilan untuk santri perempuan.

Nampak lah bangunan yang membentuk leter "U."

Dengan cat berwarna putih yang melekat di permukaan dinding, dan atapnya yang berwarna hijau.

Di depan kelas, di bawah pepohonan mangga, banyak terlihat para santriwati lagi menghafalkan pelajaran.

Tanpa sengaja, Ahmad menangkap sedikit syair yang diucapkan dan disenandungkan fatayat itu:

" Kalaamuna lafzhun mufiidun kastaqim. "

" Wasmun wa fi'lun tsumma harfunil kalim. "

Tak lama kemudian, mobil mulai berhenti di depan kantor yang penuh dengan kitab-kitab klasik di dalamnya.

Ahmad dan Ayahnya pun masuk ke ruangan itu.

Setelah menyelesaikan administrasi dengan pihak pesantren, anak laki- laki itu berjalan melewati sebuah gerbang, maka nampak lah sederetan pondok-pondok kecil berbaris di tepi jalan, yang dibangun di atas bebatuan.

Rupanya pondok kecil yang berukuran 2X3 meter itu adalah tempat untuk Pokir.

Pokir adalah panggilan untuk semua santri laki- laki di pesantren.

" Ya,"karena pesantren itu tidak menggabungkan antara laki- laki dan perempuan dalam satu kelasnya.

Dari jalan, terlihat sepintas kegiatan yang dilakukan para santri laki- laki di dalam pondok.

Ada yang sedang masak, ada yang lagi melaksanakan sholat Sunat Dhuha dan ada yang lagi membaca Al Qur'an serta menghafalkannya.

Sungguh pandangan yang sangat menyejukkan kata Ahmad dalam hati.

"Ahmad,"sebut seseorang yang memanggil nya dari belakang.

Dia menoleh sambil mencari darimana sumber suara itu berasal.

Ahmad melihat seorang santri laki-laki yang sudah setahun mondok di pesantren itu berdiri dengan melambaikan tangan kepadanya.

"Shobir,"kata Ahmad.

Ternyata yang memanggil namanya adalah Shobir, teman sekampungnya sewaktu dulu mereka sama-sama mengaji di tempat Kiyai Kholid.

Shobir mengajak Ahmad dan Ayahnya untuk istirahat di pondoknya.

🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫