webnovel

Air Mata Di Padang Bulan-Medan

Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "

Man_84 · Histoire
Pas assez d’évaluations
20 Chs

Berkirim Surat

Semenjak perkenalannya dengan Latifah, Ahmadpun mulai mendapatkan semangat hidup, seakan-akan seorang yang sakit mendapatkan gizi dan asupan vitamin dari seorang dokter.

    Semenjak perkenalannya dengan gadis itu, Ahmad mulai sering berada di pintu gerbang asrama putri seperti yang dilakukan teman-temannya, hanya sekedar bisa menatap bidadari ma'had, sekalipun sepintas, cukuplah dan merupakan kepuasan batin tersendiri dalam diri mereka.

    Dengan perasaan yang bercampur takut, Ahmad mendekati sebuah pagar yang terbuat dari seng setinggi 1.5 meter, seraya mendekatkan matanya ke satu lobang kecil bekas pakuan.

    Matanya tertuju ke seorang gadis yang berdiri dekat pintu gerbang.

"Maryam...!" Panggil Ahmad.

    Kemudian wanita yang bernama Maryam itu mencari dari mana datangnya sumber suara itu.

    "Maryam....!" Sebut Ahmad mengulangi panggilannya. "

Maryampun datang ke arah sumbernya suara itu.

    "Siapakah dibalik?"

Tanya Maryam penasaran.

    "Saya... Ahmad.

Jawab pemuda itu dengan suara yang terkesan berbisik.

"Ahmad yang kemarin berbicara dengan Latifah kah?.

Tanya Maryam penasaran.

" Ia... "

Jawab Ahmad.

    "Ada apa ya akhi ?.

Tanya Maryam, ingin tau....

   "Saya ingin memberikan ini kepada latifah,"sambil memberikan sebuah kertas dari celah-celah pagar seng itu.

"Saya mohon pamit ya ukhti....

"Assalamu'alaikum warohmatullohi waborakatuh.

    Kata Ahmad sambil memutar balik tubuhnya.

    "Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh.

Jawab Maryam sambil melangkah mencari Latifah untuk memberikan sepucuk surat itu kepadanya.

    Dengan hati-hati sekali, Latifah membuka lipatan demi lipatan surat itu.

"Gemetar rasanya tangan saya menuliskan surat ini, itu tampak dari tulisannya yang tidak bagus, karena penanya tidak mau berdiri lurus dan menari-nari di atas kertas yang suci ini untuk menyusun sebuah kata. "

    Namun saya hanya ingin mengungkapkan isi hati saya melalui sehelai kertas ini....

    Latifah....

Sebuah nama yang indah bagi pemiliknya, sudikah saudari menyambut tangan saya untuk menjadi teman saudari?.

    Seorang anak laki-laki yang suka bermenung dan menyendiri, seorang anak laki-laki yang terlahir dari keluarga miskin dan melarat ini, anak laki-laki yang tumbuh besar dengan siraman air mata.

   Saudari....! Entah kenapa saya menyampaikan tangisan hati saya ini kepada anti?

Namun saya hanya mengikuti kata hati saya untuk menumpahkan perasaan hati ini kepada anti....

    Semoga saudari mau berteman dengan seorang anak yang menggantungkan pengharapan kepada saudari. "

    " Ahmad. "

Air mata pun bercucuran dari mata yang indah dan berbulu lentik itu, sebuah surat yang singkat, namun sangat dalam isinya, sehingga dapat merobek hati setiap orang yang membacanya.

   Sebuah perasaan jujur yang lahir dari hati seorang anak muda, yang sedari kecilnya sudah banyak menelan asam garam kehidupan.

   Gadis itu langsung melipat kembali surat yang kecil itu, sembari menghapus air mata yang mengalir deras di wajah cantiknya, dia perbaiki kembali jilbab berwarna merah penutup kepala dan berusaha menyembunyikan kesedihan yang dialaminya.

    Keesokan harinya Latifah memanggil Shobir yang kebetulan lewat di depan asrama putri dan menitipkan sepucuk surat kepadanya.

"Saudara...Surat saudara sudah saya Terima, sangat halus bahasanya, sehingga saya malu karena tidak sanggup menyusun kata-kata seindah itu.

    Sebuah perasaan yang datang dari hati yang bersih dan suci.

Semoga saudara diberikan Allah kesabaran dan kekuatan untuk menyampaikan cita-cita saudara.

    "Latifah".

   Ketika berangkat mandi, Ahmad menyempatkan diri untuk menitipkan sepucuk surat yang ditulisnya malam itu kepada seorang santriwati, yang kebetulan melintas, yang dialamatkan untuk Latifah.

"Saudari....! lega rasanya perasaan ini, setelah mendapatkan balasan dari surat yang saya kirimkan kepada saudari, rupanya saudari mau menerima surat saya dan menerima keadaan saya, saudari tidak malu dan berani mengambil keputusan untuk mau berteman dengan orang yang hidupnya kurang beruntung ini.

    Semakin leluasa rasanya untuk menyampaikan perasaan dalam surat daripada berhadapan langsung, karena dengan menulis saya lebih kaya dengan kata-kata dan bebas untuk mengutarakan perasaan.

   Terkadang saya iri sama teman-teman, yang orang tua mereka datang mengantarkan perbekalan belanja sekali sebulan, mereka bisa melihat wajah orang tua mereka secara langsung dan bercengkrama dengannya, sementara saya sudah lama tidak dapat kiriman dan menatap wajah orang tua saya.

    Saya hanya bertahan hidup dan bersekolah di sini sambil bekerja kepada Pak Riswan, seorang petani yang rumahnya dekat dengan pesantren kita.

    Pagi-pagi sekali, selepas melaksanakan Sholat Subuh, saya langsung pergi ke kebun karetnya untuk menderes, ketika teman-teman masih bisa beristirahat sejenak setelah lelah menghafalkan 10 hadits dalam Kitab Abi Jamroh semalaman.

    Namun, saya maklum dengan kondisi kehidupan orang tua saya, yang bekerja sebagai buruh cuci di rumah salah seorang tetangga saya, jangankan mengirim uang dan melihat saya sekali sebulan, untuk makan sehari-hari saja mereka susah, terkadang yang membuat perasaan saya iba, mereka harus makan sisa sambal pemberian orang yang sudah 2 hari, bahkan pernah juga, terlihat di sambal itu gumpalan berwarna putih, di daging ikan yang sudah ditumbuhi jamur.

    Saudari....! Saya heran, kenapa saya terlalu terus terang untuk mengatakan keadaan saya kepada saudari?, seorang wanita yang baru saya kenal, tapi saya yakin....! Bahwa mata yang tulus itu tidak akan mengecewakan dan menyia-nyiakan kepercayaan saya.

    Saudari...Apa salah saya?, kenapa saya terlahir ke dunia ini dalam keadaan miskin dan penuh dengan penderitaan.?

    Salahkah saya yang membiarkan kedua orang tua saya dipekerjakan seperti seorang budak sebagai bayar sewa rumah yang mereka tempat?, salahkah saya belajar, sementara kedua orang tua saya harus menderita.?

   Maafkan saya apabila melibatkan mu tentang perasaan saya Latifah, maafkan saya....

    " Ahmad. "

Tak kuasa menahan air matanya yang hendak tumpah karena membaca surat yang berada di atas bantalnya itu, Latifah

pun mencoba untuk menenangkan hatinya sejenak dan membalas surat kiriman Ahmad.

  " Tak tahan rasanya saya membendung air mata membaca surat dari saudara yang menceritakan tentang Penanggungan hidup yang menimpa saudara.

    Begitu banyak dan peliknya masalah yang saudara alami, saya hanya berharap agar Allah SWT memberikan ketabahan untuk saudara begitu juga orang tua saudara.

    Jangan sempat kiranya saudara putus asa, saudara tidak ada salah apa-apa dalam hidup ini, semua ini merupakan ujian dari-Nya.

    Hapuslah air mata yang mengalir membasahi wajah saudara, hilangkan lah perasaan gundah gulana yang menyelimuti perasaan saudara.

    Sebagai seorang wanita yang lebih mengutamakan perasaannya, saya tidak begitu pandai menuliskan kata-kata yang begitu indah, sehingga membentuk kalimat-kalimat yang sangat menyentuh hati, sebagai tanda keikutsertaan saya merasakan apa yang saudara rasakan, akan tetapi saya siap untuk mendengarkan jeritan hati yang saudara curahkan....!

    " Latifah. "

              🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫