webnovel

Indonesia Paska Pandemi

Dunia terasa kosong, bangunan tampak tak berpenghuni, kota tampak tua, usang dan sepi. Sebenarnya ini yang Ajeng inginkan beberapa tahun sebelumnya, dunia dan manusianya yang tak kenal istrirahat itu menurut Ajeng terlalu memuakkan, menyebalkan jika melihat manusia mengejar sesuatu yang tak pernah cukup, seharusnya Ajeng senang melihat keadaan saat ini, sebenarnya tapi ada perasaan kosong yang menghampirinya, ternyata dunia tanpa orang lain tidaklah semenyenangkan yang dia pikir. Ajeng yang sejak kecil telah hidup di panti asuhan memanglah anak yang penyendiri, tak senang dengan keramaian dan itu bertahan hingga saat ia dipaksa untuk bertahan hidup di tengah kesunyian kota, tak ada gunanya jadi penyendiri di dunia yang hanya berisikan dirinya. Ajeng selalu merasa benci dengan dunia, dengan manusia-manusia yang ia temui selama ia hidup, menurutnya hidup di dunia memang tak punya makna, hanya membuang-buang tenaga, apalagi jika dirinya harus bertemu orang lain dan berpura-pura baik dengan bertegur sapa.

Tapi ketika dunia yang seluas ini hanya berisikan dirinya seorang, Ajeng merasa hampa dan putus asa. Kematian ada di mana-mana, di sepanjang jalan kota yang ia lalui, kemarin kota ini ramai sekali, keramaian itulah yang membuat ia ingin menyendiri, tapi jika kota telah sesepi ini, untuk apa lagi ia menyendiri? Menyendiri tak lagi mengasikkan, ia merindukan kesibukan kota yang kemarin ia benci. Ada perasaan takut yang membuatnya mulai berjongkok di samping bangunan tua yang hampir runtuh dan telah berlumut, tak terasa matanya mulai dibanjiri rasa putus asa, menyesal tidak menikmati hidup dengan banyaknya ragam manusia, Ajeng terus terseduh. Awalnya hanya terdengar tarikan ingus yang pelan, seketika Ajeng tak tahan lagi ia menangis meraung dan terus menutup matanya, mencoba bermohon pada Tuhan ketika membuka telapak tangan dunia kembali seperti semula. Ajeng tetap menangis sejadi-jadinya, bahunya terguncang dan matanya memerah, tak dipedulikan lagi ingus dan air mata yang membasahi wajahnya.

"Kenapa dari sekian banyak manusia, kenapa harus gue?" teriaknya disela-sela tangis.

"Mungkin karena Tuhan pikir kita kuat kak".

Mendengar jawaban itu, Ajeng langsung mengangkat wajahnya, dia mendengar dengan jelas suara itu, tidak mungkin itu hanyalah halusinasinya saja, dengan jelas dia mendengar sahutan itu. Ajeng berdiri dengan sigap, berkeliling mencari sumber suara,

"Siapa? Siapa di sana?" tanyanya tanpa arah dan seperti orang kehilangan arah.

"Tolong jawab, siapa di sana?" sahutnya lagi sambil terus menangis,

"Aku yakin, aku yakin tadi itu suara orang bukan halusinasiku. Itu jelas jelas suara orang, plisss kamu siapa? Aku nggak ada niat jahat, kalau kamu dengar aku tolong jawab aku. Aku Ajeng, kamu siapa?" Ajeng terus mencari dengan linglung, berputar tak tentu arah di liriknya semua lorong kota dan dibukanya semua mobil yang terparkir di samping jalan raya, tak ada siapapun. "Pandemi sialannnn," teriaknya lagi sembari menendang apa saja yang berada dekat dengan kakinya. Itulah saat di mana Ajeng bertemu dengan Bhatari, gadis kecil berumur 16 tahun, yang menghampirinya sembari membawa dua cup mie instan hangat di tangannya, tepat saat dirinya selesai menendang sebotol kaleng minuman bersoda yang berada di samping kakinya sembari memaki.

Ajeng mengekor dari belakang, di depannya Bhatari berjalan pelan, keduanya sama-sama memegang cup mie instan. Di selidikinya tubuh Bhatari yang kecil dan ceking sama seperti dirinya, anak kecil itu membuat Ajeng merasa malu pada dirinya sendiri, anak sekecil itu, kenapa bisa hidup sendirian dan terlihat baik-baik saja? Orang tuanya ke mana? Apakah sudah meninggal?

"Kita sudah sampai" ujar Bhatari berbalik menatap Ajeng,

"Tadaa, ini rumah aku kak".

"Ini semua kamu yang buat?" merasa binggung menatap pelataran rumah pohon yang dipenuhi dengan sayur-sayuran dan dapur hidup.

Ajeng seketika menutup mulutnya,

"I can't believe that, kamu yang buat ini semua? Seriusan?"

Bhatari menjawab dengan tersenyum dan mengangguk,

"Nggak mewah tapi minimal aku bisa janjiin kakak tempat tinggal dan bahan makanan untuk beberapa tahun kedepan".

Ajeng menatap Bhatari aneh, tapi ia tak peduli dengan keanehan pada kalimat Bhatari, rasanya Bhatari mencoba meyakinkan dirinya untuk percaya,

"Kamu emang tau berkebun?"

"Otodidak, aku nemuin banyak kertas-kertas yang kasih informasi soal rumput yang bisa di makan, yang aku dapat itu yang aku tanam".

"Kamu nemuin itu di mana?".

"Kanyak kok kak, setiap jalan. Aku sering ketemu tempat yang banyak tumpukan kertasnya".

"Mungkin maksud kamu buku?"

"Aku nggak tau" balasnya menggaruk kepala.

"Terus di sini kamu sendirian?"

"Sejauh ini, kakak orang pertama yang aku temuin".

"Keluarga?" tanya Ajeng hati-hati.

"Nggak punya, mati karena pandemi".

"Kakak?" baliknya sembari bertanya.

"Nggak punya, nggak tau di mana. Dari kecil udah nggak punya".

Bhatari mengangguk-angguk kecil,

"Anggap aja rumah sendiri kak, aku Bhatari. Kalo kakak mau ngambil adik, aku bisa jadi keluarga kakak" ucapnya tersenyum.

Tanpa ragu Ajeng mengangguk, tak mengapa jika Bhatari terlalu misterius, berdua lebih baik daripada sendirian.

Malam ini Ajeng berbaring disamping Bhatari yang telah terlelap sejak tadi, dengkuran halus menyertai nafasnya yang berhembus pelan, Ajeng menatap Bhatari dalam, siapa sebenarnya Bhatari? Anak misterius yang tidak tau buku tapi tau membaca, anak kecil yang bisa bertahan di dunia yang kosong ini, punya rumah dan kebun pula. Ajeng yakin Bhatari tidak berasal dari Jakarta ataupun sekitaran Jawa, sangat jelas wajah orientalnya terlihat seperti memiliki darah Kalimantan. Jika benar Bhatari dari kalimantan, Ajeng tak habis pikir bagaimana bisa anak ini sampai ke Jakarta. Disimpannya rasa penasaran itu, Ajeng lalu membaringkan diri di tikar anyam bersama Bhatari. Mungkin saja tikar anyam itu juga buatan Bhatari, Ajeng tak ingin berpikir panjang lagi. Setelah sekian lama ia merasa sendirian, akhirnya ia menemukan sesorang. Saat ajeng lahir di tahun 2031, kota masih sibuk seperti sebelumnya, hanya saja ia selalu komplain mengenai masker yang harus selalu ia pakai, susah bernafas dan pengap. Tapi ibu panti selalu memberi nasehat dan ketika satu persatu teman sekawanannya yang juga malas menggunakan masker seperti dirinya meninggal Ajeng menjadi takut, selalu saja dilihatnya kabar duka di televisi, puluhan ribuan hingga ratusan orang meninggal. Para ahli bahkan kewalahan mencari cara untuk mengendalikan berkurangnya populasi manusia. Dunia selalu sibuk memberitakan kematian hingga Ajeng beranjak dewasa, hingga ia lulus sekolah menengah pertama, hampir semua teman-temannya telah tiada, ibu panti meninggal lebih dahulu karena batuk-batuk tanpa Ajeng tau jika ibu panti juga terinveksi virus, dan tersisalah Ajeng yang harus bertahan hidup sendirian, keahliannya merajut cukup untuk membeli nasi bungkus untuk seharinya. Ia lalu bergabung di rumah produksi yang ternyata juga sedang krisis ekonomi dan akhirnya dipecat, lelah akhirnya Ajeng mengabdikan diri menjadi voulenteer di salah satu komunitas, dia masih tetap penyendiri, semua dia lakukan hanya untuk makan. Komunitas itu mampu memberikan Ajeng tempat tinggal dan makanan sehari sekali cukup, tapi masih saja satu persatu kawannya meninggal, dan hanya dia yang tersisa. Lama kelamaan Ajeng mulai mengambil jalan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya yaitu mengambil obat-obatan dan makanan dari bekas rumah sakit ataupun super market, terdengar mudah tapi Ajeng hampir beberapa kali meregang nyawa, dan ya Ajeng tak tau lagi tahun berapa saat ini, kota telah berlumut, keropos dan tampak sendirian. Awalnya Ajeng optimis akan bertemu orang lain, ia terus menerus menyimpan bahan makanan dan berkeliling, berharap bisa menemukan orang lain yang mungkin saja bisa berbagi beban, nyatanya ia tidak menemukan apapun, tak ada lagi yang bisa dia ambil untuk makan dan datanglah Bhatari di sela-sela rasa putus asanya yang hampir mengisi semua bagian dari tubuhnya. Air matanya mengalir dari sudut mata, menemukan Bhatari adalah sesuatu yang tak pernah Ajeng bayangkan sebelumnya, ia seperti menemukan air di tengah gurun pasir yang begitu luas. Tanpa sadar tangannya lalu mengepal matanya tertutup, "Tuhan terima kasih," ucapnya berbisik pelan. Ia lalu memeluk lututnya dan mulai menutup mata dan terlelap.