webnovel

AGARTHA : Dua Cinta dan Putri Mahkota dari Barat

Rayana Victhoria Agartha dan Jonathan Andrean Aghanta adalah sepasang kekasih yang bekerja sebagai PCA (Police Case of Agent). Suatu hari, terdapat kasus pembunuhan berantai yang menyebabkan kegencaran di tengah perkotaan. Rayana dan Jonathan pun turun tangan untuk mencari pelaku menuju pinggiran kota di suatu daerah pedalaman yang tak terbaca oleh Maps. Hingga dimana mereka membuat suatu kesalahan yang membuat Rayana tersesat seorang diri di alam bak negeri dongeng. Ia berusaha keras mencari jalan keluar dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya yaitu dengan membaca buku pedoman dunia dua jalur yang berada di dalam istana. Banyaknya tragedy yang menunda Rayana untuk bisa kembali hingga beberapa kali hampir kehilangan nyawanya. Namun, kenyataan terkait hidupnya lah yang ternyata selama ini menyebabkan kekacauan antar dua lapisan bumi yang membuatnya sangat tertekan dan tak dapat kembali.

Hilya_lia · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
8 Chs

SI CEBOL ANEH

Cahaya yang begitu terang seakan mendobrak masuk memaksa kelopak mata terbuka menyapa dunia. Pun sang pemilik, masih menahan getir kepala yang berkedut tak karuan, seolah inti kepalanya sudah terajam beribu kali oleh benda tumpu yang begitu keras. Terpaksa mencengkram kuat kepalanya sebelum tergelinding memisah dari badan, kurang lebih itulah yang ditakuti gadis cantik itu sebelum kesadaran ia raup sepenuhnya.

Matanya mengerjap beberapa kali - mencoba terjaga. Sayup-sayup ia mendapatkan warna cerah dengan warna hijau segar mendominasi sekitar. Tubuhnya yang tak kalah sakit, mulai merasakan hal tak wajar di bawah tumpuan. Seperti hamparan benda menggelitik bercabang kecil sebagai alas. Ketika sepenuhnya tersadar, ia mendapati dirinya terkapar dengan kaus hitam, jaket hitam pekat, dan celana semata kaki, tepat seperti kostum yang ia kenakan di malam itu.

Hah? Malam itu? Tentu memori selintas membuatnya terperanjat dari baringnya. Mata yang terbuka lebar pun seketika meniti setiap sudut tempat itu. Aneh sungguh aneh. Entah bagaimana kegelapan berganti menjadi siang hari yang mendebarkan. Ahh bukan mendebarkan, tetapi sedikit membingungkan. Apakah aku benar-benar mati? Setidaknya itulah pertanyaan yang mewakili tatapannya pada dunia asing yang sedang berselimut kabut. Bukan hanya itu, bahkan tempat yang ia pijaki saat ini dipenuhi hamparan rumput hijau muda, serangga berbagai warna berterbangan di langit, cucuran air deras dari tebing tinggi, hingga jenis bunga yang bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya. Negeri dongeng? Mungkin itu adalah gambaran yang cukup mendetail untuk membayangkan betapa tidak nyatanya tempat ini.

"Aku ada dimana?" tentu pertanyaan itu muncul dikala mendapati diri sudah berada di tempat asing. Sama halnya ketika terbangun dari siuman dengan tubuh yang tiba-tiba sudah terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Bertanya-tanya bagaimana, mengapa, dan kapan ia sampai.

Namun, Rayana bukanlah gadis yang akan hanya terpaku pada pikiran yang tak berujung. Toh, sangat membuang waktu jika hanya berdiam diri, bergelut tanya dengan diri sendiri, sama sekali tidak membantu. Yang harus dilakukannya adalah segera bangkit dan mencari tahu yang sedang terjadi.

Baru saja hendak bangkit dengan bertumpuan pada lutut yang diberi tunjangan oleh satu tangan kanannya, ia dibuat terkejut karena luka yang sebelumnya menghiasi permukaan kulit, kini sudah menghilang tanpa jejak. Padahal ia sangat yakin, luka pada tubuhnya di malam itu cukup banyak hingga menutupi warna kulit asli. Ia terus-menerus membolak-balikkan lengannya usai menyingkap sedikit lengan jaket yang menutupi.

"Apa aku salah lihat? Atau memang sebenarnya aku sudah mati dan berada di surga?" sebenarnya sedari tersadar, entah bagaimana otak cerdasnya berpikiran bahwa ia sudah tidak berada di dunia yang sama dengan kekasihnya. Namun, ia ragu karena tanah yang sedang ia pijaki benar-benar tidak ada bedanya dengan di bumi. Bukan ingin membandingkan antara kehidupan satu dengan yang lain, hanya saja selama ini ia benar-benar mempercayai bahwa bentuk kehidupan selanjutnya itu berada tepat di langit ketujuh. Seperti beberapa drama dewa dewi yang telah ia tuntaskan beberapa minggu lalu, sebelum kekacauan datang di tengah perkotaan yang membuatnya tak sempat marathon, bahkan untuk bercengkrama dengan sang ibu melalui jejaring telepon.

Ahhh bergumam tentang jejaring telepon, kini Rayana teringat akan misinya yang harus memberi kabar para team. Dengan cepat, kedua tangan cantik itu begitu lihai merogoh saku celana dan kantung jaket yang dikenakan. Terlampau gusar ketika ia benar-benar tidak menemukan alat komunikasi genggam sebelum kembali mengingat sepenuhnya peristiwa mengerikan di malam itu.

"Hah" Rayana menghela nafas kelewat frustasi. Badannya melemah di kala rasa sakit itu kembali terasa. Luka fisik memang sudah menghilang, akan tetapi memori selalu membawa kembali asa yang begitu mengerikan. "Bagaimana aku bisa melupakannya" tangannya memiijat pelipis begitu lesu sebelum kembali bergumam lebih jauh."Entah bagaimana keadaan mereka sekarang"

Gadis itu tentu khawatir bukan main, masih tergambar jelas bagaimana malam itu menjadi saksi saat manusia setengah monster menyerang tanpa ampun. Entah bagaimana kabar inspektur sekaligus pria yang dicintainya itu sekarang. Bahkan kini ia tidak tahu sedang berada dimana. Bodoh, sangat bodoh. Mengapa harus memejamkan mata waktu itu? Kini semuanya tampak membingungkan.

Kaki nya mulai melangkah mencoba mencari jalan keluar, atau minimal bisa membawa dirinya kembali pada padang rumput seperti sebelumnya. Dan sial, tempat ini terlalu sunyi untuk dapat menemukan seseorang yang bisa ditanyai.

"Sekarang aku percaya tempat ini bukan surga" Memangnya surga mana yang berisikian hanya dirinya seorang? Bukankah katanya sekelompok bidadari akan berkumpul dengan para penghuninya (?). Entah bagaimana drama surga dan kehidupan setelah mati selalu mengisi kepala gadis cantik itu. Seperti masih kurang yakin akan dirinya bertapak di bumi, walau sedari tadi ia hanya membual tentang bagaimana surga yang memiliki tanah sebagai dasar.

Sudah lebih dari 30 menit ia menghabiskan waktu berjalan menyusuri luasnya lembah, alih-alih menemukan jalan keluar, Rayana malah dibuat tersesat. Kakinya sudah mulai lelah. Pun energinya sudah mulai terkuras habis karena pikiran yang meronta dan hati yang terbakar-mendongkol kesal akibat waktu yang terbuang habis tak terbayar. Air mukanya sudah tidak dapat dikondisikan, tampak linglung dengan cucuran keringat yang mulai membasahi pelipis. Hingga beberapa saat kemudian, jaring rungu menangkap sebuah desisan dari gesekan dedaunan kecil. Ya Tuhan! Inikah yang dinamakan usaha tidak mengkhianati hasil? Setidaknya begitulah penggambaran dari air muka sumringah yang dipamerkan Rayana saat ini. Begitu senang, setidaknya ada makhluk hidup berkeliaran yang pastinya manusia bisa hidup disini.

Kaki nya berjalan dua kali lebih cepat dari sebelumnya, bersamaan dengan lompatan kecil karena terdapat beberapa lubangan kecil sepanjang perjalanan. Matanya terus menyisir jauh beserta semak-semak yang tentunya tidak bisa dilewati begitu saja. Hingga tak lama kemudian, Rayana menemukan seseorang tengah berada di antara tanaman liar di depan sana. Melihat hal itu, kakinya seketika menarik rem. Sepertinya bukan pilihan yang bagus jika ia tiba-tiba mendekat tanpa perhitungan. Tidak, maksud gadis itu, di depan memang ada seseorang, namun entah mengapa bahagia yang datang beberapa saat lalu kini terhempas jauh.

Ukuran tubuh yang begitu pendek(?). Sepengetahuannya, di Negara yang ia tinggali tidak ada seorang pun penduduk yang memiliki tubuh cebol seperti itu. Tidak, Rayana tidak ada niat sama sekali ingin membandingkan ukuran tubuh manusia, namun kali ini ia benar-benar terasa kehilangan otaknya. Bukan, sepertinya dia sudah kehilangan penglihatannya. Entah yang di depan sana manusia atau hewan, namun gerak-gerik dan tubuh tegaknya sangat bisa diyakini bahwa itu memang manusia. Memangnya hewan apa yang mampu berdiri tegak dengan tangan lihai memetik tanaman sekitar dengan jari-jemarinya. Tentu hewan tidak memiliki akal dan tidak bisa melakukan itu semua. Benar bukan?

"Hijau?" kali ini Rayana dibuat bingung setengah mati. Tak percaya bahwa apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Manusia kecil dengan tubuh diselimuti warna hijau muda kusam. Apa itu masuk akal? Bahkan Rayana pun menyebut dirinya bodoh hanya karena penglihatan yang mungkin saja melenceng. Mengejap beberapa kali guna meraup pandangan lebih jelas, mungkin memang obsidiannya lah yang kabur karena terlalu lelah, terlebih lagi bahwa memang sebelumnya kepalanya bak diputar mengelilingi isi bumi. Pusing tak karuan. Namun, setelah mengejap dan kucekan beberapa kali pada kedua matanya, memang benar apa yang dilihatnya sedari awal.

"Apa itu benar orang?" ia bertanya pada diri untuk kesekian kali.

"Hahhh…tidak Rayana. Kau seorang anggota kepolisian. Kau harus segera keluar dari tempat ini" ia meyakinkan dirinya untuk pergi mendekat.

Dimulai dari mengambil langkah berani. Meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatir hal kecil, karena misi merupakan hal terpenting untuk dijalani, lebih dari apapun.

Jarak mereka mulai terkikis rapat. Tampak kesibukan sosok tersebut yang membawa wadah menyerupai sangkar burung ditangannya. Di atasnya terdapat beberapa helaian daun yang dipetik dari sekitaran. Membelakangi Rayana dan masih fokus memilah dedaunan dari tanaman liar.

"Hmmm …..permisi" sapa Rayana lembut. Mendengar suara Rayana, sosok itu seketika menghentikan aktivitasnya. Berdiri tegak dan perlahan mulai berbalik arah menghadap sumber suara. Ketika berbalik, Rayana malah dibuat terkejut hingga tanpa sadar mengambil beberapa langkah mundur. Matanya membulat menatap wajah sosok tersebut. Sosok yang pertama kali ia lihat dalam hidupnya. Tubuhnya hanya setinggi pinggang atau mungkin lebih pendek dari itu, kulit yang berwarna hijau muda sedikit kusam, kepala yang memiliki tanduk menyerupai terompet tipis, pakaian dengan jahitan tak beraturan berwarna abu seperti jubah, dan memiliki beberapa helai rambut berwarna putih sebagai hiasan kepala botaknya. Bayangkan saja betapa mengerikan bertatap tajam dengan makhluk itu.

Sosok tersebut tampak mendongak- memandangi Rayana dalam. Wajahnya menggambarkan bahwa dia benar-benar tidak perduli dengan kehadiran Rayana ataupun respon yang diberikan setelah melihat wujudnya. Dia hanya perduli dengan wadah dan kesibukannya pada tanaman liar disepanjang jalan. Sedangkan itu, Rayana terus sibuk bertarung dengan segala isi otaknya. Masih berusaha menyadarkan tangkap gambar makhluk aneh yang memenuhi kepala dan tatapnya. Hingga dimana ia menyadarkan diri akan tujuan awalnya, yaitu keluar dari tempat ini. Biar bagaimana pun, sepertinya makhluk itu bisa membantunya untuk terbebas dari alam lembab ini. Lalu dengan ragu yang masih bergejolak, Rayana memacu kedua kakinya untuk menyusul sosok yang sudah menghalau jauh dari berdirinya.

"P pe permisi. Sebentar. Aku hanya ingin bertanya" ucapnya sembari terus berjalan menyamakan langkah kakinya dengan sosok tersebut. Namun, ia benar-benar tak mendapat respon sama sekali. Tetap menutup rapat mulut mungilnya dan berjalan dengan pandangan lurus ke depan.

"Apa kau …tidak bisa berbicara?" karena bentuk fisiknya yang berbeda dengan manusia, Rayana pun berspekulasi bahwa memang sosok mungil itu berbicara dengan cara yang berbeda pula dengan manusia.

"Pergilah" ucap sosok itu singkat tanpa menghentikan langkahnya sama sekali.

"Tidak. Hmm maafkan aku telah mengganggu waktumu. Ta tapi…sepertinya aku tersesat. Aku ingin tahu bagaimana aku bisa kembali. dan…" belum usai Rayana menjelaskan, sosok tersebut lebih dulu angkat bicara.

"Tidak bisa" singkat padat dan…..tidak jelas.

"Apa?" entah dia menolak memberitahu jalan atau mungkin tidak ingin gadis itu mengajaknya berbicara.

Lantas sosok itu menghentikan langkah kakinya. Berputar arah dengan jari jemari kaki mungilnya agar berhadapan langsung dengan Rayana. Raut dan tatapnya terlampau serius hingga membuat Rayana tertegun dalam diam. Menelan salivanya kuat sembari menanti tanggapap apa yang hendak diberikan sosok itu. Pun suasana berganti genre menjadi horor. Dia begitu mungil. Namun, jika harus mengatakan dia lucu, mungkin perlu berpikir dua kali. Usianya bahkan terpaut jauh darinya. Setidaknya itulah yang terlihat dari tangkap pandang seorang Rayana yang menjadikan rambut putih sebagai titik acuan usia.

"Kau tak bisa pergi dari tempat ini" ucapnya datar.

Andai tempat ini merupakan dunia dongeng. Pasti akan sangat mudah menemukan akses untuk keluar masuk. Entah dari pintu ajaib atau lubang terowongan yang menetap pada satu tempat. Namun kenyataannya sangat berbeda. Dia bahkan tidak tahu bagaimana dirinya sampai pada tempat indah namun aneh ini.

***