webnovel

AGARTHA : Dua Cinta dan Putri Mahkota dari Barat

Rayana Victhoria Agartha dan Jonathan Andrean Aghanta adalah sepasang kekasih yang bekerja sebagai PCA (Police Case of Agent). Suatu hari, terdapat kasus pembunuhan berantai yang menyebabkan kegencaran di tengah perkotaan. Rayana dan Jonathan pun turun tangan untuk mencari pelaku menuju pinggiran kota di suatu daerah pedalaman yang tak terbaca oleh Maps. Hingga dimana mereka membuat suatu kesalahan yang membuat Rayana tersesat seorang diri di alam bak negeri dongeng. Ia berusaha keras mencari jalan keluar dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya yaitu dengan membaca buku pedoman dunia dua jalur yang berada di dalam istana. Banyaknya tragedy yang menunda Rayana untuk bisa kembali hingga beberapa kali hampir kehilangan nyawanya. Namun, kenyataan terkait hidupnya lah yang ternyata selama ini menyebabkan kekacauan antar dua lapisan bumi yang membuatnya sangat tertekan dan tak dapat kembali.

Hilya_lia · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
8 Chs

PALANG KUNCI

Kekacauan yang terjadi beberapa saat lalu membuat seisi ruang rahasianya sangat berantakan. Mendongkol di tengah diam dengan kedua tangan mungil hijaunya mencoba memunguti perabotan di lantai. Sungguh, kekesalan yang ia rasakan kini bukan main. Kurang dari 2 jam dirinya bertemu dengan gadis pembuat onar di belakangnya itu, hidupnya seakan-akan dibuat tersiksa tanpa henti, ia tentu tak ingin lebih lama lagi membiarkan Rayana tetap disekitar, atau hidupnya akan berakhir tepat sebelum kedua matanya bisa melihat langsung Putri Mahkota menduduki Negeri Barat.

Sedangkan Rayana, kakinya hanya dapat berdiri di tempat. Tak dibiarkan bergerak barang selangkah pun oleh si hijau yang tengah sibuk bersimpuh mengumpulkan pecahan kendi memenuhi lantai. Sebenarnya ia begitu tak enak hati karena sudah membuat kekacauan. Tapi bukankah dirinya melakukan itu untuk mnyelamatkan sang pemilik rumah? Lalu salahnya dimana? Pun berulangkali percobaan untuk mencoba menawarkan bantuan, dalam hitungan detik ditolak begitu saja.

"Hmm" Rayana bergumam ragu. Mencoba mengajukan sebuah penawaran kembali pada sosok itu. "Aku tahu kau tidak menerima bantuan ku karena tidak ingin barang-barang mu rusak. Walaupun ….memang sudah rusak.." belum usai perkataannya keluar dari bibir merah muda itu, si kecil hijau lebih dulu menengok dengan wajah yang menurut Rayana begitu menyeramkan. Memicingkan kelopak mata dengan kedua obsidian yang dibuat setajam mungkin. Benar. Entah bagian kalimat mana lagi yang membuat dirinya kesal. Hanya saja, Rayana harus mencoba tetap tenang dikala kegencaran jantungnya yang mulai tak karuan karena aroma pengusiran sudah berada di ujung penciuman.

"Ekhm" lanjutnya membangun kepercayaan diri sebelum memulai kembali. "Intinya..aku sungguh minta maaf karena sudah membuat ruangan mu hancur berantakan seperti ini. Aku sudah tidak punya pilihan lain lagi. Kau terdengar begitu takut ketika berhadapan dengan mereka. Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, karena kau selalu mengatakan untuk menjelaskan semuanya nanti"

Seketika kedua tangannya yang sedari tadi sibuk menguleni lantai pun berhenti. Perlahan sosok hijau itu bangkit dari duduknya. Menghela nafas kasar yang terlihat dari pundak mungilnya sedang naik turun sebelum berbalik mendongak Rayana. Tatapannya tampak sedang mencurigai sesuatu. Sangat mengintimidasi.

"Ada apa dengan tatapan itu?" tanya Rayana bingung sembari menelan saliva kasar dalam diam. Entah mengapa ia merasa dirinya sudah melakukan kesalahan besar lebih dari menghancurkan perabotan.

"Darimana kau mengetahui tentang daun Pheorcenix?" tanya yang terdengar tenang namun penuh penghakiman.

"Ohh. Aku melihatnya dari buku tebal berwarna cokelat di dalam lemari itu" satu tangan ia angkat sepantar bahu, menunjukkan letak lemari penyimpanan buku mini di sudut ruangan yang tak sengaja ia buka beberapa saat lalu.

"Kau membongkar berangkas ku?" tanya si hijau tak percaya. Ternyata bukan hanya mengacaukan rumahnya, gadis raksasa di hadapannya itu sudah berani membuka berbagai macam barang miliknya tanpa izin. Benar-benar lancang.

"Tidak. Aku hanya sedikit melihat isinya. Apa maksudmu membongkar?" ucapan si hijau sedikit melebih-lebihkan. Membuka barang tanpa seizin pemilik memang salah. Tapi itu semua ia lakukan untuk menyelamatkan keadaan. Bahkan jika hendak memecahkan kasus darurat, penggeledahan sudah menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Apalagi mengingat kasus beberapa saat lalu.

Kakinya perlahan melangkah santai mengitari ruangan yang masih terlihat kacau. Meninggalkan si kecil hijau dengan pendirian tatap melebihi impostor. Membidik sebuah kursi memuat seorangan sebelum mendaratkan bokongnya tepat di atas permukaan. Menghela nafas lega sembari menyenderkan punggungnya di sanggahan kursi kayu cokelat tua.

"Berhentilah marah-marah, hm?" pandangan ia tolehkan pada sosok yang masih berdiri memantau. Namun, rupanya sosok itu tidak setuju dengan perkataan Rayana. Terdiam memandangi begitu dalam. Membuat dirinya sedikit canggung untuk membentuk suasana yang lebih bersahabat. Lalu dengan perasaan gusar, tubuhnya kembali ia tegakkan dengan bantuan tumpu telapak tangan pada ujung gagang kursi.

"Baiklah. Aku tahu, aku sudah salah karena menghancurkan ruanganmu ini. Aku sudah minta maaf bukan? Tapi coba kau pikir lagi" ucapnya tampak sedikit bersemangat, mencoba memberi penjelasan yang sedikit masuk akal guna mereda amarah sang pemilik rumah."Jika aku tidak melakukannya, entah masalah apa yang akan dibuat oleh para gerombolan preman itu padamu. Memangnya kau memiliki cara lain?"

"Mereka mengejarmu. Bukan aku" sontak sosok itu dengan sedikit kemarahan yang semakin memanas.

"Sebentar" Rayana segera bangkit dari duduknya. "Memangnya salah ku dimana? Aku rasa…aku tidak pernah melakukan apapun yang memancing keributan atau kemarahan. Justru kau yang lebih dulu melihat mereka dan meminta ku melarikan diri seperti seorang pengecut. Hah..aku bahkan tidak ingin mengingatnya kembali. Begitu memalukan" keluhnya dengan berkacak pinggang. Sungguh peristiwa yang membuat harga diri sebagai pemegang gelar wakil inspektur terinjak-injak sampai ke dasar lantai.

"Dan seharusnya aku membiarkan mereka menangkapmu" ketus sosok itu. Rayana hanya terdiam, tertohok mendengar pernyataan rujukan betapa tidak diterimanya ia oleh si sosok hijau. Tergurat siratan kecewa pada raut wajahnya, menyimpul menjadi satu melalui tekanan genggam jari jemari. Rayana sama sekali tidak menyalahkan siapapun, karena dengan tersesatnya pada tempat ini merupakan kesalahan penuh dirinya. Lalu kesalahan itu semakin melebar kian menarik seseorang tak bersalah masuk ke dalam kebingungannya, bahkan membuat kekacauan.

Suasana menghening. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Lemparan pandang tak menentu arah memicu sunyi kian membisu. Tak ada suara desisan, kicauan, bahkan gemerisikan angin yang melintas. Hingga dimana kedua obsidian Rayana perlahan terangkat memandang si hijau yang berniat duduk kembali membereskan kepingan kendi di lantai kayu miliknya.

"Aku tidak akan mengganggu mu lagi. Akan ku usahakan untuk mencari jalan keluar sendiri. Terimakasih dan..maaf sudah membuat rumahmu seperti sarang lupus. Aku pergi dulu" dengan berat hati, Rayana melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Kali ini ia benar-benar harus mengandalkan diri sendiri, walau dengan dunia yang terlihat begitu asing, namun bagaimanapun, usaha untuk keluar harus benar-benar ia usahakan. Sudah terlalu lama dirinya meninggalkan Jonathan bertarung seorang diri dengan para pelaku liar. Entah bagaimana kabar sang kekasih kini. Mengingat bagaimana cairan merah terus mengalir pada permukaan wajah tegasnya.

Ketika hendak keluar melewati pintu, sudut matanya tak sengaja menangkap kerusakan pada lubangan dorongan kayu sebagai singgahan penguncian pintu. Beberapa paku yang menahan lubang ganjalan terbuka dan sebagian lagi sudah bengkok tak berfungsi. Sepertinya terjadi karena dorongan kuat para gerombolan yang memaksa masuk. Sungguh pembuat onar yang nyata.

Dengan cepat Rayana memasuki kembali rumah tersebut. Membuka beberapa laci untuk menemukan alat yang bisa digunakan untuk memperbaiki pintu tersebut. Setidaknya, sebelum benar-benar pergi, ia harus memperbaiki masalah yang terjadi karenanya. Sungguh egois jika membiarkan sosok itu memuat sendiri kekacauan. Usai membongkar jejeran lemari pada sisi tungku penghangat ruangan, ia menemukan sebuah palu kayu dengan beberapa buah paku yang dialasi kotak kayu seukuran kotak jam tangan.

Sedangkan sosok yang masih sibuk membersihkan ruangan rahasianya, mengerutkan kening ketika rungu sudah menangkap suara begitu berisik dari arah luar. Entah kekacauan apalagi yang terjadi setelah kepergian gadis itu. Terdengar seperti seseorang mencoba menghancurkan rumah kecil nan unik miliknya. Tentu merasa terganggu dan takut bangunan pelindungnya runtuh, ia dengan cepat menjajakan kaki pendeknya menuju sumber suara. Lalu betapa terkejutnya, kedua obsidian itu menemukan Rayana yang sedang bercangkung dengan tangan yang sudah menggenggam badan palu dan sisi tangan lainnya menahan paku pada dinding penutupan pintu.

Bukankah gadis itu sudah pergi? Sekarang apa yang dia perbuat pada pintu rumahku?

Berbagai pertanyaan muncul di kepala sang sosok, namun ia sama sekali tak beranjak dari berdirinya. Hendak memantau sendiri untuk menemukan sebuah jawaban.

Begitupun Rayana, ia tidak menyadari seseorang tengah menatap dirinya. Terlalu sibuk memaju mundurkan tangannya dengan kuat untuk membuat paku tertanam kokoh pada dinding tumpuan palang kunci kayu. Tangan putih cantiknya beberapa kali menggoyangkan penjangga, memastikan lubangan kunci kayu dorong sudah tidak goyah seperti sebelumnya.

"Sepertinya sudah terpasang dengan baik" gumamnya pada diri sendiri setelah selesai memperbaiki pintu. Lalu meletakkan pelan alat dan bahan di atas nakas sisi kanannya. Barulah kedua kakinya mengambil langkah untuk keluar dari rumah. Tinggal satu langkah untuk membuatnya benar-benar berada di luar rumah, namun tiba-tiba ia menangkap suara yang membuatnya mengurungkan niat.

"Tunggu" ucap sosok itu mencoba menghentikan langkah Rayana. "Aku akan membantumu"

Ucapan itu sontak membuat tubuh Rayana berbalik arah padanya dengan cepat. Menarik sudut bibir lebar kelewat senang mendengar ucapan yang dikeluarkan sosok itu.

Sepertinya dia tidak terlalu buruk untuk disebut sebagai manusia.

***