webnovel

AGARTHA : Dua Cinta dan Putri Mahkota dari Barat

Rayana Victhoria Agartha dan Jonathan Andrean Aghanta adalah sepasang kekasih yang bekerja sebagai PCA (Police Case of Agent). Suatu hari, terdapat kasus pembunuhan berantai yang menyebabkan kegencaran di tengah perkotaan. Rayana dan Jonathan pun turun tangan untuk mencari pelaku menuju pinggiran kota di suatu daerah pedalaman yang tak terbaca oleh Maps. Hingga dimana mereka membuat suatu kesalahan yang membuat Rayana tersesat seorang diri di alam bak negeri dongeng. Ia berusaha keras mencari jalan keluar dan satu-satunya cara untuk mengetahuinya yaitu dengan membaca buku pedoman dunia dua jalur yang berada di dalam istana. Banyaknya tragedy yang menunda Rayana untuk bisa kembali hingga beberapa kali hampir kehilangan nyawanya. Namun, kenyataan terkait hidupnya lah yang ternyata selama ini menyebabkan kekacauan antar dua lapisan bumi yang membuatnya sangat tertekan dan tak dapat kembali.

Hilya_lia · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
8 Chs

DEJAVU

"Pergilah. Ini bukan tempatmu" ucap sosok itu tanpa menghentikan jejakan kakinya, tidak memiliki niat samasekali untuk sekedar menoleh. Terus berjalan menyusuri setiap bongkahan tanaman dari sisi jalan. Memilah pucuk dedaunan yang entah akan dipergunakan untuk apa.

"Benar. Ini memang bukan tempatku. Maka dari itu aku bertanya. Jadi...bagaimana?" sebenarnya bukan niat Rayana untuk menganggu, namun untuk saat ini ia hanya menemukan sosok itu sebagai orang pertama yang dipercaya bisa membantu nya keluar dari tempat aneh ini. Firasat? Yahh bisa dikatakan seperti itu.

Setelah melontarkan pertanyaan, sosok tersebut rupanya masih tidak ingin beradu sapa dengan gadis pejuang itu. Semua fokusnya tertuju pada satu titik, yaitu nampan dengan isi helaian dedaunan. Namun, bukan Rayana namanya jika ia menyerah begitu saja. Gadis itu terus mencoba mendekat dan bersikap lembut. Dan rupanya mereka berdua memiliki persamaan. Keras kepala. Tidak ada yang mau mengalah.

Baiklah. Kurasa ini tidak akan berhasil. Mungkin si kecil hijau ini sedikit membutuhkan waktu untuk menjawab semua pertanyaan ku- batin Rayana. Jika harus memaksa, sosok bertubuh mungil itu tidak akan pernah bisa membantu, jadi ia memilih jalan perlahan tapi pasti.

"Kau sedang apa?" tanya Rayana yang tiba-tiba bersikap ingin tahu pada aktivitas sosok tersebut. Mencoba melakukan pendekatan agar lebih terbuka satu sama lain. Anggap saja sebagai peristiwa korban yang tengah tersiksa oleh sang orang tua, seperti kasus yang sering ia tangani sebelumnya. Menggunakan cara lembut dan sabar, akan sangat membantu dikala membutuhkan kesaksian dari batita terlampau trauma.

"....."

Sunyi. Hanya ada suara petikan batang dedaunan. Tidak ada timpal balik dari mulut mungil yang mulai mengerut itu. Sepertinya salah besar jika menyamakan suasana ini dengan kasus penyiksaan batita. Setidaknya batita akan memberikan titik balik respon untuknya dengan merengek atau sekedar memberikan penolakan, tetapi ini?

"Dedaunan sebanyak itu untuk apa? Hmm...Aku bisa membantumu. Daun seperti apa yang kau butuhkan? Seperti ini?" tangan gadis itu mulai aktif. Menunjuk beberapa helaian daun sembarang di sekitar sembari terus melanjutkan perjuangan menjinakkan sosok itu. "Atau seperti yang itu?" Rayana terus berlarian kesana kemari untuk membawa helaian daun dan ditunjukkan langsung pada sang pembutuh. Dan seperti yang sudah diduga, bukan hal yang mudah membujuk orang baru seperti itu. Entah bisa disebut sebagai orang atau tidak. Namun, yang pasti Rayana tidak ingin menyerah begitu saja.

Rupanya aktifitas mencari dedaunan usai dalam belasan menit. Nampan yang dipergunakannya kini perlahan ia masukkan ke dalam tas dengan ukuran seperempat tubuhnya. Memastikan semua masuk dan mengeratkan tali pada bagian atas lubangan tas. Tampak bagaimana wujud benang jahit bermunculan pada serat-serat kain putih tulang dari luar. Sedikit acak-acakan, namun diam-diam Rayana menyimpan rasa kagum akan kreativitas yang ia tumpahkan ke dalamnya.

"Apa kau sudah selesai?" tidak ada jawaban. Ahh mungkin itu tidak perlu dipertanyakan. Lalu bergerak semakin dekat sebelum bertanya kembali. Menoleh dengan sedikit condong ke bawah agar bisa meraup tangkap ekspresi si kecil "Kau mau pulang?" ini sangat menjengkelkan, bertanya sendiri dan menjawab sendiri. Bagaimana lagi? Tidak ada satu makhluk pun yang berpihak padanya kini. Memutar bola mata lelah bersamaan helaan nafas ghaib, seolah melepaskan dongkolan yang memutar hati dan pikirannya. Lalu menarik sudut bibir lebar untuk mendapat keluasan hati lebih dari lalu.

"Hmm benar. Kau mau pulang. Apa kau butuh bantuan? Seperti…..membawakan tasmu? Atau menggendongmu? Aku bisa" bukannya mendapat jawaban dari ayoman, sosok itu malah melirik sinis dengan langkah yang tidak pernah berhenti. Pun ia mulai kesal karena merasa direndahkan akan perkataan Rayana yang ingin menggendongnya. Satu persamaan lain pun terdeteksi.

"Hahh akhirnya kau merespon perkataanku. Walaupun sedikit terlihat tidak menyenangkan" gadis cantik itu menghela nafas lelah dan tersenyum tenang karena mendapat sedikit timbal balik.

"Daripada mengikutiku. Lebih baik kau berbalik arah dan kembali ke tempat asalmu" ucap dingin sosok itu. Mungkin mulai risih karena Rayana yang terus-menerus mengekorinya.

"Andai kau tahu sudah berapa kali aku mengitari tempat ini" Rayana sudah terlalu letih. Berputar dan berkutat dengan rupa yang itu-itu saja. Sialan, demi monster gila buruk rupa malam itu, dibandingkan dengan ini pastinya akan lebih baik mengulang kejadian tadi malam, daripada harus berhadapan dengan si cebol hijau mengesalkan.

"Bisakah kau membantuku? Aku sungguh harus kembali sekarang juga. Lagipula tidak ada ruginya untukmu memberitahuku" nada suaranya mulai meninggi, benar-benar tidak ada kesabaran yang tersisa. Menyadari akan hal itu, si mungil segera menghentikan langkah kakinya. Berbalik secara perlahan setelah menarik dan menghembuskan nafas kasar.

"Dan tidak ada untungnya bagiku untuk memberitahumu" matanya membulat memberi peringatan, karena Rayana dua kali lebih tinggi darinya, dongakannya tampak seperti melihat hamparan langit tak terbatas.

"Kau tidak lelah?" tanya Rayana spontan, dan hanya mendapat raut tanya dari wajah menua itu.

"Dongakanmu membuatku merasa seperti T-Rex. Sepertinya lehermu sudah terbiasa melihat ke atas" lanjut gadis itu terus terang. Saking terus terangnya, wajah sosok itu mulai memerah. Bukan karena terpesona atau semacamnya, hanya ada kesal karena perkataan gadis tinggi yang dihadapannya kini.

"Hei gadis raksasa. Aku tidak tahu kau benar-benar membutuhkan bantuan ku atau tidak. aku juga tidak perduli sama sekali. Namun sepertinya kau tidak sadar bahwa sedari tadi kau menghina tinggi badan ku"

"Hahh? Aku? Menghina tinggi badanmu? Kapan?" dengan tidak tahu diri, Rayana menggiring telunjuk ke arah wajahnya. Merasa tidak bersalah akan ucapan yang ia lontarkan baru saja. Lagipula bukankah itu sebuah realita?-pikirnya.

"Lagi. Haha" tawanya getir sebelum melanjutkan "Kesadaran dan wajah tanpa dosa itu membuatku mendidih"

"Hei kau bisa tertawa rupanya" tunjuknya dengan sedikit terkejut karena melihat sunggingan tawa sosok itu. Pun sosok yang tertangkap detail senyum, hanya mengeratkan rahang kuat. Tak habis pikir bagaimana ia bisa bertemu dengan monster merepotkan seperti Rayana.

"AKU…TIDAK...PERNAH…TERTAWA" tegasnya disetiap kata. Klarifikasi yang begitu singkat. Pun arti dibalik tawanya hanya karena kesal, bukan karena bahagia.

"Kau memang tertawa barusan. Aku masih bisa melihatmu dengan jelas walau tinggi kita jauh berbeda"

Mulai lagi. Sosok itu segera mengalihkan pandangan. Menahan amarah pada gadis baru ditemuinya beberapa menit lalu. Berharap ia dapat melenyapkannya seperti halnya goresan luka yang mampu ia obati dalam waktu sekejap. Sungguh hari yang sial.

Kaki mungilnya kembali mengambil langkah cepat. Sungguh tak ingin ia perdulikan gadis dengan tinggi jauh berbeda dengannya itu. Dia gadis aneh.

Begitupun dengan Rayana, ia tidak perduli jika si mungil itu mengabaikannya. Mengekori hingga mendapat informasi adalah hal terpenting. Ia tidak bisa meninggalkan kekasihnya sendiri merajang bahaya di luar sana. Misi darinya pun belum bisa ia laksanakan karena kehilangan alat penghubung ke pusat. Mungkin akan membutuhkan waktu lama, namun ia sangat berharap petugas pusat akan menemani orang terkasihnya yang sedang diburu oleh sekumpulan pembunuh kejam itu. Kepala ia tundukan lagi. Memantau si patua mungil keras kepala itu. Rayana berpikir keras, bagaimana caranya agar dia mau membantu.

Sibuk dengan pemikirannya yang rumit, hingga tanpa sadar ia sampai pada kerumunan banyak orang. Obsidian cokelat terang itu mengitari seluruh pemandangan yang terpampang jelas dihadapannya. Ternyata yang menyerupai si mungil itu memiliki jumlah yang lumayan banyak. Entah dari segi tubuh, bentuk kepala, dan penampilan yang hanya bisa dilihat di tempat ini. Mereka terlihat seperti boneka. Bahkan hidup berkumpul dengan para manusia. Pun tak tahu masih disebut manusia atau tidak. Seperti peri? Mungkin sebutan ini bisa lebih mendekati. Mereka memiliki tanduk di ujung kepala, hingga mengenakan dress selutut dengan kain persegi yang diikatnya pada bagian pinggang.

"Lihat" sosok itu menggiring pandang dengan ujung dagu, memperlihatkan penduduk yang begitu ramai memilah berbagai macam barang dagang yang tersedia. Iya, rupanya di depan sana terdapat sebuah pasar. Area jual beli yang begitu bersih dan tertata. Ditambah penduduk yang begitu damai ketika saling beradu sapa dan tanya akan barang belanjaan yang sudah meringkuk cantik dalam keranjang. "Kau tidak akan bisa hidup disini"

Rayana mengerutkan kening, terheran dengan ucapan sosok yang tak dapat ia maknai dengan sembarang. Memang benar bahwa Rayana tidak memiliki niat sama sekali untuk tetap tinggal, namun entah mengapa perkataan itu seperti sebuah tantangan baginya.

"Kenapa? Apa karena aku tidak memiliki tanduk? Atau telinga yang tidak memanjang seperti kalian? Ahhh apa karena aku tidak berwarna hijau sepertimu?"

Demi ramuan kelopak lily yang terbakar habis, wanita di depannya ini sudah menciptakan pening berkelanjutan pada otak kecil hijaunya. Mengulangi ribuan kata yang mengarah bahwa memang dirinya tampak seperti lumut pudar berjalan. Bukannya tak ingin sadar akan bentuk tubuh sendiri, pun ia memiliki cermin yang bisa digunakan untuk menangkap gambar diri, namun gadis dengan pakaian aneh bersamaan rambut lurus panjang yang diikat tinggi ini sangat ringan bibir. Membuatnya kesal dan yakin dalam membulatkan tekad untuk tidak ikut campur dengan masalahnya. Persetan dengan rayuan yang ia lontarkkan selama perjalanan.

Sedangkan Rayana, ia masih menunggu jawaban. Menatap sosok mungil di depannya yang hanya memejamkan mata sejak detik lalu. "Kenapa diam saja?"

"Banyak alasan kau tidak bisa tinggal disini. Termasuk mulut tanpa rem itu" sinis sosok bersamaan memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Rayana. Memasang tatapan tajam hendak membuat Rayana mengerti bahwa tidak ada kata tolong menolong dengannya..

"Jadi masalahnya adalah mulutku? Baiklah baiklah, kalau begitu aku tidak akan banyak bicara. Aku janji" kedua jari telunjuk dan manis itu terangkat setinggi wajah. Membuat janji seakan rambut licin hitam tersentuh orange itu adalah taruhannya. Menunjukkan bagaimana ia sangat membutuhkan pertolongan.

Walaupun begitu, sosok itu benar-benar tidak mau diajak bekerjasama. "Tidak" tolaknya tanpa berpikir satu dua kali.

"Hahh kenapa lagi? Tidak. Maksudku, sebenarnya apa alasanmu benar-benar tidak ingin membantu ku? Coba kau pikirkan, aku tidak akan mengganggu mu terlalu lama jika memberitahu ku jalan keluar. Aku bisa saja meminta bantuan dari yang lain, tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Kau sasaran utama yang harus ku taklukkan saat ini" puluhan menit dengan bujukan-bujukan lembutnya tidak berhasil, pun kesabarannya tidak seluas sungai amazon dengan isian hewan buas nan jumbo di dalam, jadi untuk menunda keluh kesah lagi rasanya sudah tidak sanggup.

"Pergi dari sini" alih-alih menjelaskan, sosok mungil itu malah mengusirnya begitu tegas. Bahkan kedua obsidiannya memandang jauh di belakang punggung Rayana, terlihat khawatir dan terkejut dalam satu waktu.

"Kau mengusirku lagi" Rayana memutar bola matanya lelah. Sudah bosan dan mulai terbiasa dengan kata perintah yang didengarnya sedari tadi. Entah sudah ke berapa kalinya.

"SUDAH KU BILANG PERGI DARI SINI" sosok itu tiba-tiba berteriak dan dengan cepat menatap tepat pada kedua mata Rayana. Wajahnya terlampau serius, membuat gadis cantik itu terkejut kebingungan. Berdiri kaku di tempat. Memandang sosok yang berubah drastis secara tiba-tiba. Wajahnya mengatakan ada mara bahaya yang harus mereka hindari secepat mungkin. Menangkap hal tersebut, tentu saja jiwa detektif Rayana tak ingin menghalau begitu saja.

Bersamaan dengan itu, segerombolan lelaki bertubuh kekar dengan penampilan aneh terus mendekat ke arah mereka. Menatap curiga pada dua makhluk yang bertingkah aneh di ujung jalan pembatas antara lembah dan distrik perbelanjaan.

"Apa yang salah? Apa ada seseorang yang menakutimu?" tanya gadis dengan profesi sebagai wakil detektif itu. Baru saja hendak berniat memutar tubuh dan mengikuti arah pandang, si hijau lebih dulu menyela hingga membuatnya lupa akan niat awal.

"Bukan itu masalahnya"

"Lalu apa?"

"Aku akan menjelaskannya nanti"

"Tidak. Kau harus menjelaskannya sekarang atau semuanya akan tambah merumit nanti" dengan berbagai pengalaman yang sudah dilewati, tentu Rayana membawa prinsip untuk tidak menunda-nunda jika tidak ingin masalah bertambah besar.

"Hey, kalian yang disana" teriak seorang lelaki yang berada pada barisan terdepan pada gerombolan. Spontan Rayana berbalik menuju sumber suara, mendapati gerombolan pria kekar yang mengingatkannya pada kejadian di malam itu.

Mereka terlihat sama, namun juga berbeda. Apakah gerombolan seperti ini memiliki team yang tak terhitung jumlahnya?

"Dia siapa?" tanya Rayana tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya. Ingin memastikan sebenarnya ada apa dengan para gerombolan ini.

"Cepat. Pergi dari tempat ini" ucap sosok tegas. Ini lebih dari kata mengingatkan, seolah-olah dejavu sedang mengitari Rayana. Entah bagaimana kejadian ini sama persis dengan apa yang dilaluinya malam itu. Mulai dari adanya segerombolan bak preman, hingga perkataan yang membuatnya teringat akan sang kekasih-Jonathan.

Sibuk dengan berbagai lintasan memori, sosok itu dengan cepat mengcengkram lengan Rayana kuat. Cukup dengan lamunan dan kembali pada kenyataan, itulah yang ada dibenaknya ketika memilih menyentuh gadis yang sedari awal tak ingin ia pedulikan itu.

"Jika kau tidak mengikuti ku sekarang, maka aku tak akan pernah mempertimbangkan untuk membantumu" ancaman yang membuat gadis itu seketika terdiam. Ia tidak mengerti mengapa sosok itu sangat takut pada sekumpulan gerombolan preman yang mendekat. Memutuskan untuk berpikir bahwa karena perbedaan ukuran tubuh yang membuatnya harus menghindar. Namun, suasananya terlampau jauh dari dugaan.

"Ancaman macam apa itu?" tanya Rayana tidak terima. Ia merasa harga dirinya sebagai detektif sedang terinjak. Baru kali pertama ia mendapat ancaman dengan wajah yang sangat percaya diri.

"Pikirkan itu. Ikut…atau tidak sama sekali" lalu tanpa aba-aba yang cukup, sosok mungil itu berlari dengan cepat. Meninggalkan Rayana dengan pilihan yang tidak memliki tenggat waktu. Dan karena gadis itu memang membutuhkan bantuannya, maka tentu saja ia harus mengikuti. Sialan, akhir-akhir ini mengapa semua orang begitu mudah menguasainya.

Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, ia segera berlari menyusul ketertinggalan dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Selama ini ia juga sudah terlatih untuk berlari dengan cepat. Jadi untuk mengejar si mungil itu tidak seberapa baginya.

"HEY" panggil lelaki berbadan kekar itu lagi. Namun seperti kesepakatan, Rayana hanya mengekori sosok itu tanpa menoleh ke belakang. Khawatir jika kehilangan jejak ketika sibuk berbalik.

"Kejar mereka. Cepat" dengan langkah yang lebar, segerombolan berbadan kekar itu berlari mengejar dua makhluk di depan.

"Hahhh aku tak mengerti semua ini. Biasanya aku mengejar, bukan yang dikejar" Rayana terus menggerutu sepanjang pelariannya. Merasa kesal karena harus kabur seperti orang bodoh. Ditambah lagi bahwa ia merasa tidak pernah berbuat salah sama sekali. Memang dunia yang aneh.

Semua penduduk yang sedang memilih barang dagangan disisi jalan pun dibuat ketakutan. Menyingkir dengan cepat sebelum mereka terlempar kasar oleh mereka para berbadan kekar. Suara teriakan dan tapakan kaki menjadi satu, menguasai antero pasar. Pun suasana berubah menjadi gaduh, padahal sebelumnya terasa tenang dan begitu damai.

Sementara itu, Rayana terus berlari dengan sesekali mengecek arah belakang. Memperhitungkan jarak tapakannya dengan para brandalan. Pun di depan, terlihat sosok mungil yang menuntun jalan. Entah kemana ia akan membawa kerumunan pelari marathon itu. Hingga tibalah pada satu lingkungan. Dimana berdirinya satu perumahan sederhana yang masih terbuat dari kayu, pohon yang sangat besar dan tinggi menjulang disisinya, dipagari dengan bongkahan kayu kokoh disekitarnya, hingga bunga-bunga yang sedang bermekaran rapi di halaman, menambah kesan fantasy pada pemandangan yang dilihatnya kini. Benar-benar seperti gambaran tempat tinggal para kurcaci pada kisah putri salju. Herannya tempat ini tidak pernah terekspos. Masih tidak percaya bahwa lingkungan ini berada pada Negara asalnya-Korea.

"Hey. Kenapa diam saja? Cepat masuk" teriak sosok mungil menyuruh Rayana yang masih sibuk memperhatikan pemandangan luar rumah.

"Cepat" perintah sosok itu sekali lagi. Memberikan isyarat agar Rayana bergerak lebih gesit. Setelah masuk dan memastikan segerombolan masih jauh, sosok itu segera menutup pintu.

Pakk pakk pakk

Hingga tiba-tiba suara ketukan kasar terdengar. Mencoba mendobrak pintu secara paksa.

"Buka pintu atau aku akan merusak tempat ini. BUKA SEKARANG"

***