webnovel

Sang Wali dan Masa Lalu

Langit siang ini semakin mendung. Semendung suasana hati yang sedang mendongak menatapnya ke atas. Mood-nya yang tadi pagi setinggi semangat kemerdekaan pun runtuh. Seketika terhempas sapuan gelombang tsunami. Begitu kira-kira deskripsi lebay ala Amara.

Akankah ia batal menikah hari ini? Tidak ada yang tahu. Sudah dua jam ia menunggu dalam gelisah akan kedatangan sang mama yang berjanji akan mencari seseorang yang bisa menjadi wali nikahnya.

Yang lebih menyebalkannya lagi, bisa-bisanya mamanya gerak cepat mengurus undangan, kostum, gedung, dan tetek-bengek pernikahan lainnya, tapi tidak pernah memikirkan siapa yang akan menjadi walinya?

Yang benar saja. Apa mamanya lupa isi rukun dan syarat sah nikah? Bisa-bisanya tidak terpikirkan soal wali nikah.

Amara melirik pada Arga yang sedang duduk berdampingan dengan ayahnya. Tak enak hati membiarkan sang calon mertua duduk kepanasan menunggu lama. Sudah lima kali Amara memohon maaf pada Hardi. Masa iya dia harus kembali menyampaikan maaf untuk yang ke-enam kalinya? Mau dapat payung cantik?

"Ra, coba lo hubungi lagi Tante Retha," perintah seorang pria yang juga berdiri gelisah di belakangnya.

"Nggak diangkat, Adin. HP Pak Ganjar juga nggak aktif," jawab Amara sebal pada pria bernama Adin itu.

Adin adalah orang yang menggantikan posisi Amara di perusahaan, sekaligus sepupunya. Anak dari Pakde Risto, kakak Retha yang sudah lama meninggal.

Tadi pagi setelah menghubungi mamanya, Amara tak buang waktu lama untuk segera menghubungi Adin. Menurutnya sepupunya itu orang yang tepat untuk bertugas menjadi saksi dari pihaknya.

Sedangkan dari pihak Arga, Razi yang diminta untuk menjadi saksi. Pria itu tampaknya sedang asyik mengamati ruangan yang digunakan oleh para penghulu untuk menikahkan beberapa belas pasangan calon pengantin yang sudah rela mengantri sejak pagi.

"Lo tau kira-kira siapa yang diminta Tante Retha buat jadi wali?"

Amara mengangkat malas kedua bahunya sembari menghempas napas. Karena memang benar tidak tahu siapa. Di telepon, mamanya juga tidak memberitahu.

"Sori ya, Adin. Jadi nunggu lama, deh. Padahal lo harus segera ke rumah sakit. Kasian Lula baru lahiran, udah lo tinggalin aja." Amara memelas dengan kedua tangan menangkup.

"Nggak pa-pa, Ra. Santai aja. Ada mertua gue juga di sana. Lula juga ngerti."

Sepupunya ini memang orang paling santai sedunia. Hidupnya lempeng-lempeng saja kalau menurut Amara. Tidak ada masalah berat yang terlalu berarti yang menjadi beban hidupnya. Dengan kata lain, hidupnya jauh dari segala jenis genre drama. Tidak seperti Amara. Kebanyakan jalan cerita hidupnya tidak jauh berbeda dengan naskah sinetron yang tayang beratus-ratus episode.

"So? Gimana selama ini kerja dengan Arga?" Amara pikir akan lebih baik mengalihkan stres dari pikirannya dengan sedikit perbincangan.

"Bagus. Rancangannya juga oke," jawab Adin santai lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku di sisi-sisi celana panjangnya.

"No complaints, kan?"

"Nope."

"Syukur, deh. Kapan mulai bangun?"

"Lho, kok nanya gue? Itu sih tergantung lo." Adin mengangkat sebelah alis matanya.

"Kok tergantung gue? Maksud lo apaan?" tanya Amara mengernyit dahi bingung.

"Ya tergantung berapa lama lo mau honeymoon."

"Adiiiiiinnn!" Dengan cekatan kedua jarinya sudah mencubit kesal lengan sepupunya.

Adin meringis kesakitan lalu tertawa puas. Dari dulu memang terlalu mudah baginya untuk menjahili sepupunya yang satu ini. Tapi Amara tidak pernah bisa benar-benar marah pada Adin. Bagaimanapun Adin membuatnya kesal, tetap saja ujung-ujungnya Amara ikut tertawa.

Dan suara tawanya yang renyah, membuat sepasang mata yang tadi mulai menutup, kini kembali terbuka lebar. Kantuknya tiba-tiba hilang saat menyaksikan tawa tulus Amara. Ia pun menyungging senyum.

"Sssttt ... Ra, diliatin calon suami tuh. Behave, dong!" Sepasang mata Adin melirik ke arah jam 9. Arah di mana Arga yang sedang duduk, memperhatikannya sambil tersenyum.

Bibir Amara kembali menutup. Lalu membalas yang memandang dengan sebuah senyum tipis. Ah, saling membalas dengan senyum. Betapa indahnya hidup ini. Jika saja semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan sebuah senyuman seperti ini.

"Ra, aku coba cek ke dalam dulu ya. Mastiin nomor antrian kamu nggak diserobot orang." Adin berujar lalu membalik badan.

"Amaraaaa!"

Amara menoleh ke arah suara melengking yang memanggilnya. Lalu melihat sang mama tengah berlari kecil bertelanjang kaki, tergopoh-gopoh sambil menenteng sepatu high-heels-nya.

"Maaf, Sayang. Mama telat." Gelung rambutnya terlepas di bahu. Napasnya saling memburu ketika kedua tangannya sudah melingkar di pundak Amara.

"Tadi ma ... macet banget. Mama ... lari-lari kesini dari ... lampu merah di perempatan." Kalimatnya terpenggal di antara napasnya yang ngos-ngosan.

"Mama sendiri?" tanya Amara melongo.

"Ya lari sendiri. Pak Ganjar ... sama Om kamu ... masih di jalan." Retha berusaha mengatur napasnya.

"Ya ampun, Ma. Kenapa Mama nggak angkat telpon trus kabari aku?"

"Gimana caranya Mama angkat telepon sambil jogging siang hari?" tanya Retha balik, sedikit sewot.

Amara memutar mata malas. Lalu segera menuntun mamanya yang terlihat lemas untuk duduk di bangku panjang yang berseberangan dengan Arga. Retha menganggukkan kepala sekali pada Arga.

"Mama bilang bawa Om siapa tadi?" tanya Amara begitu dilihat mamanya mulai bernapas teratur.

"Om Krishna."

Tertegun. Saat nama itu disebut.

"Om Krishna?" ulangnya lirih. Lalu kepalanya menunduk sendu.

"Udah, Sayang. Yang terjadi di masa lalu biarlah ada di masa lalu. Nggak usah diingat-ingat lagi. Belajar memaafkan ya?"

Perlahan Amara mengangkat wajah sendunya. Nggak usah diingat lagi? Bagaimana mungkin? Gara-gara adik ayahnya itu, ayahnya harus meninggal.

Amara masih ingat malam itu. Bagaimana ia menembus hujan di malam hari, demi mengetuk pintu rumah Krishna untuk sudi mendonorkan darah bagi ayahnya. Karena hanya mengandalkan darah Amara saja tidak cukup. Saat itu ayahnya sangat membutuhkan banyak kantong darah untuk transfusi pasca operasi besar.

Tapi omnya yang memang terkenal sombong itu, menolak dengan angkuh. Malah melampiaskan seluruh amarahnya pada Amara. Ditambah lagi Wanda, istri dari Krishna mengusirnya kasar. Andai saja malam itu Krishna bersedia, mungkin akan lain ceritanya. Bisa jadi ayahnya masih hidup hingga saat ini dan mendampinginya di hari pernikahan.

"Tapi, Ma ..." Amara tak kuasa membendung tangisnya. Ludah yang ditelannya terasa asin.

Retha menarik kepala Amara untuk masuk ke pelukannya. Sebelah tangannya mengusap punggung sang putri pelan.

Nyaman. Itulah yang Amara rasakan. Itulah yang selama ini Amara rindukan. Rengkuhan seperti ini. Dari orang-orang yang menyayanginya. Amara terlalu lelah menahan semua rasa sakit sendirian.

Tangisnya tumpah. Kedua tangannya melingkar di pinggang mamanya. Wajahnya semakin menyuruk ke dalam, bagai seorang bayi yang sedang mencari perlindungan di dada ibunya.

"Maafin Mama ya, Sayang. Membiarkan kamu berjuang sendirian selama ini." Retha mengecup lama dahi sang putri.

Pemandangan mengharukan yang tak luput dari pengawasan Arga. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi. Penasaran? Tentu saja. Tapi Arga tahu diri, tahu tempat, dan tahu waktu. Bukan sekarang.

"Ma ... kenapa harus Om Krishna?" Amara perlahan melepas tubuhnya.

Retha membuang napas pelan. "Sayang, Om Krishna itu orang yang paling memungkinkan untuk jadi wali kamu. Kami sudah bicara tadi. Nanti Mama jelaskan semua sama kamu dan Anggita. Yang penting sekarang, nikahin kamu dulu." Retha mencubit gemas ujung hidung Amara.

Mau tak mau, Amara tertawa. Jari-jarinya sibuk mengusap jejak-jejak air di wajah. Diambilnya kotak cermin dan bungkus tisu dari dalam tote-bag merah kesayangannya. Amara membenahi bagian riasan yang luntur.

Benar kata mamanya, urusannya dengan Om Krishna bicarakan saja nanti. Sekarang, dia mau nikah. Mau nikah, lho!

"Dania ..."

Amara mengalihkan matanya dari cermin pada sosok pria yang sedang duduk di atas kursi roda. Pak Ganjar mendorongnya dari belakang.

Cepat-cepat ia kembalikan cermin ke tempatnya semula lalu berdiri menghampiri laki-laki berjenggot putih itu. Rambut di kepalanya hampir botak. Wajahnya sangat tirus. Tubuhnya kurus. Tulang belulang terlihat menyembul jelas dari balik kulit putihnya. Pria ini terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya.

"Om Krishna?"

Pria itu tersenyum. Tulus. Berbeda dari yang terakhir Amara lihat malam itu. Ya, hanya hujan di malam itu yang menjadi saksi pertemuan terakhir mereka. Bahkan di hari pemakaman ayahnya, Krishna tidak datang. Dan setelah itu, tidak pernah sekalipun mereka bertemu.

"Kamu ... tidak keberatan Om yang jadi wali kamu?" tanya Krishna segan dengan suara lirih. Wajahnya memancarkan kesedihan.

Amara menggeleng pelan. Tapi hatinya menjerit tidak ingin dinikahkan oleh pria yang menyebabkan ayahnya meninggal.

Bibir lelaki tua itu bergetar. Rahangnya pun demikian. Tetesan air mata mulai mengaliri pipinya. Ia berusaha mengangkat tangan kurusnya untuk menyeka pipinya yang basah.

"Assalamu'alaikum, Om." Arga sudah berjongkok di depan kursi roda. "Saya Arga, orang yang ingin menikahi keponakan Om." Kedua tangannya merengkuh telapak kanan Krishna. Kulit pria tua itu terasa dingin.

"Wa'alaikum salam. Syukurlah. Sepertinya kamu orang yang baik. Saya Krishna, adik dari ayahnya Dania," sambut Krishna dengan senyum haru.

Meskipun fisiknya melemah, penglihatannya masih berfungsi normal. Krishna dapat mengamati dengan jelas wajah tampan Arga. Sebagai sesama kaum adam, Krishna tahu benar bagaimana tipikal laki-laki brengsek dan laki-laki sejati. Dan di sebagian besar fase hidupnya, Krisna termasuk dalam kategori brengsek.

"Om sedang sakit?" tanya Arga lembut.

"Alhamdulillah cukup sehat untuk menikahkan kalian," jawabnya diiringi tawa lepas.

"Kris?"

"Hardi?"

Tanpa disangka kedua paruh baya itu saling memeluk setelah Hardi menghampiri. Terlihat bagai dua sahabat yang telah lama tidak bertemu.

"Kamu sakit, Kris?" tembak Hardi setelah melepas pelukan rindunya.

"Alhamdulillah, sedang proses recovery. Mohon do'amu, Har."

"Setelah ini, nanti kita cerita-cerita ya." Hardi merangkul sahabat lamanya itu.

"Ayah kenal dengan Om Krishna?" tanya Arga setengah kaget.

"Hahaha ... kami ini, sahabat sejak SMP. Tapi sudah beberapa tahun ini nggak ketemu. Mana istrimu, Kris?" tanya Hardi ketika ia mengambil alih untuk mendorong kursi roda itu.

Tanpa menjawab, Krishna hanya menoleh ke samping lalu tersenyum pedih. Amara menebak, sepertinya yang namanya keberuntungan sudah tidak ada dalam hidup omnya ini. Amara mendecak sinis.

Dari arah depan, Adin yang didampingi oleh Razi, berlari kecil menghampiri mereka. "Ra, giliran kamu sekarang. Yuk!"

Amara yang berjalan paling depan sempat menoleh sesaat ke belakang. Dilihatnya Arga sedang berbisik dengan omnya, lalu Hardi tertawa terbahak-bahak. Wajahnya kembali meniti jalan di depannya.

Mereka berjalan cepat memasuki ruangan yang di dalamnya sudah duduk seorang penghulu dan beberapa orang petugas KUA lainnya. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah pelaminan kecil sederhana. Biasanya pasangan yang sudah sah setelah mengucap ijab kabul, dapat menggunakan fasilitas itu untuk berfoto atau sungkeman dengan para orangtua. Seperti yang terlihat saat ini, pelaminan itu masih digunakan sepasang pengantin yang tengah berfoto dengan orangtua mereka.

Agak sedikit gaduh. Tapi tidak mengganggu khidmatnya prosesi ijab kabul yang akan dijalani oleh Arga dan Amara.

Mereka sudah bersiap diri dan menempati posisi masing-masing, dengan jantung yang saling berdegup kencang. Tertunduk dan gugup. Bahkan, sebelum penghulu menyampaikan sedikit wejangannya, Retha sudah terlebih dahulu meneteskan air mata.

"Sayang, dzikir dalam hati," bisik Retha lirih di telinga Amara.

Amara mengangguk pelan. Kepalanya semakin merunduk. Meskipun ditahan kuat, air matanya tetap mengalir tanpa pamrih.

"Bismillah ..." Krishna mengawali.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Arga Pramoedya bin Muhammad Azhar dengan ananda Dania Amara Rielta binti Ganesha Rizaldi, dengan mas kawin satu unit rumah dibayar tunai."

Rumah? Amara tersentak.

"Saya terima nikah dan kawinnya Dania Amara Rielta binti Ganesha Rizaldi dengan mas kawin tersebut tunai."

"Alhamdulillaaah." Serempak semua mengucap syukur. Dengan kalimat satu tarikan napas, Arga sudah resmi menjadi suami sah dari Amara.

Amara yang duduk di sampingnya tak kuasa sesenggukan. Tangisnya pecah. Mengakibatkan setiap tatap mata di sana terpusat padanya.

"Ooo, mungkin dia dipaksa nikah."

"Mungkin dia dijodohkan padahal nggak cinta."

"Ya ampuuun, udah syukur dapet suami ganteng gitu, malah mewek."

Kalau Amara masih menjadi Amara yang dulu, ia akan berprasangka buruk menebak isi pikiran orang lain terhadap dirinya. Seperti pada kalimat-kalimat di atas. Berhubung Amara sudah berubah, tidak ada lagi kalimat-kalimat negatif yang mengotori pikirannya.

Amara sedang menangis bahagia sekaligus sedih. Bahagia, karena Arga sang pria impian telah menjadi suaminya. Sedih, karena malah pembunuh ayahnya yang menjadi walinya. Andai saja Amara bisa menolak ... Tapi Amara sedang tidak punya pilihan.

"Ssshhh ... ssshhh, sudah Sayang. Masa nangis terus? Bahagia, dong." Retha sudah mendekapnya erat. Kedua tangannya sibuk mengusap punggung Amara.

Amara mengangguk cepat. Mulai menarik dan menghembuskan napas secara teratur. Meskipun suara sengguknya masih terdengar di sela-sela tarikan napas.

Sang penghulu meminta Amara untuk menyalami pria yang kini sudah menjadi suaminya. Kepalanya yang menunduk perlahan terangkat. Badannya memutar ke samping untuk berhadapan dengan Arga.

Sekarang matanya menangkap wajah Arga yang dihiasi senyuman yang meneduhkan hatinya.

Amara mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan sang suami. Kepalanya menunduk untuk mengecup sekilas punggung tangan itu.

Saat Amara mengangkat kepala, giliran Arga yang menundukkan kepala lalu gantian mencium punggung tangan Amara. Lalu kepalanya terangkat mengecup dahi Amara lebih lama.

Amara terkesiap dan tak siap. Kedua matanya mengerjap-ngerjap merasakan sensasi yang berbeda.

Arga tersenyum padanya. "Assalamu'alaikum, jodohku."

"Wa'alaikum salam, imamku."

==============================

Amara tersenyum pada pria yang duduk di sebelahnya. Sejak memasuki mobil ini, tangannya tak lepas dari genggaman pria itu, sepanjang perjalanan pulang ke rumah mamanya.

Mobil berhenti di depan pintu masuk. Arga menoleh sambil tersenyum padanya.

"Mau sampai kapan?" tanya Amara geli.

"Hm?" Arga mengerut dahi karena tidak mengerti.

"Nih?" Amara mengangkat kedua tangan mereka yang saling bertautan.

Arga kembali membalas dengan senyuman tanpa sama sekali melepas genggamannya. Tangan kanannya membuka pintu mobil lalu melangkah keluar sembari menarik Amara.

"Serius ini nggak mau dilepas?" tanya Amara lagi menunjuk pada tangan kanannya.

Tanpa menjawab, Arga malah menariknya untuk langsung masuk ke dalam rumah. Di depan mereka, Retha, Krishna dan Hardi sudah berjalan mendahului.

Dari KUA, Adin langsung pergi menuju rumah sakit untuk mendampingi istrinya yang baru saja melahirkan. Sedangkan Razi langsung balik ke kantornya.

Arga, Amara, Retha, Krishna, dan Hardi berkumpul di ruang tamu untuk bincang-bincang lepas. Beberapa kali pasangan pengantin baru itu menjadi bahan ejekan karena tangan Arga yang masih betah nempel di tangan istrinya. Bahkan kini jemari keduanya saling bertautan. Amara mulai risih. Tapi Arga mulai ketagihan.

"Duuuh, senangnya yang masih anget-anget suam kuku. Jadi inget masa muda," sindir Retha sambil menautkan jari-jemarinya sendiri.

"Memangnya kamu nggak niat nikah lagi, Ta?" tanya Krishna padanya. Suaranya mulai parau.

"Ya ampun, Kris. Aku sudah peyot, lagian bentar lagi menyandang status eyang. Masa iya kawin lagi?" Meskipun Retha menjawab gurau, tidak ada yang tahu di kepalanya sedang terlintas wajah Hasan.

"Eyang?" tanya Amara kaget.

"Iyalah. Bentar lagi kan mau punya cucu dari kalian."

"Uhuk, uhuk!" Arga tersedak ludahnya sendiri. Tidak lama.

Amara tersenyum geli, sementara Retha dan Hardi tertawa lepas.

"Emm, Arga ... boleh Om pinjam Dani sebentar? Ada yang perlu Om bicarakan."

Tawa di wajah Retha segera pudar. Matanya melirik serius pada Krishna. Tapi Krishna justru balas menatap teduh. Dan Amara menatap tegang.

"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu. Lagipula ada rapat di kantor." Sadar diri bahwa akan ada pembicaraan serius, Hardi bangkit untuk pamit.

"Eh, buru-buru, Pak Hardi?" Retha berbasa-basi karena merasa tak enak.

"Iya. Rapatnya sudah dimulai dari tadi. Saya nyusul saja, ngasih arahan sebentar," jawab Hardi santai.

"Ati-ati, Yah. Terima kasih banyak." Akhirnya Arga melepas genggamannya lalu mendekat untuk menyalami ayah angkatnya itu.

Amara bernapas lega lalu memijat jari-jarinya yang mulai kesemutan. Kalau tidak harus berpamitan, pasti Arga masih enggan melepas tangannya. Tidak disangka, posesif juga pria itu.

Setelah tangannya lemas, Amara juga menyalami ayah mertuanya.

Setelah mengantar kepergian Hardi hingga pintu depan, Retha juga meninggalkan mereka bertiga dengan alasan mau mengawasi hidangan yang sedang disiapkan oleh para pelayan.

Hanya alasan. Seumur-umur, Retha tidak pernah peduli dengan apa saja makanan yang tersedia di rumah itu. Karena ia sangat jarang makan di rumah. Retha hanya perlu menyingkir sejenak untuk memberi waktu bagi Krishna.

Dengan masih didampingi oleh Arga, Amara duduk berhadapan dengan Krishna. Matanya beralih menatap sang suami. Lebih baik meneduhkan hati dengan memandang wajah tampan suaminya, daripada memandang wajah omnya yang membuat panas hati.

"Dan ... Om mau cerita sama kamu." Krishna memberanikan diri untuk memulai.

Arga tahu persis istrinya yang sedang sibuk merapikan rambutnya ini, sedang menghindar untuk diajak bicara. Sehingga Arga menurunkan tangan Amara dari kepalanya dengan tatapan mata memintanya untuk menyimak kata-kata Krishna.

Amara berdecak kesal tapi menuruti. Wajahnya mencelos.

"Dan, Om mau menjelaskan kejadian malam itu." Krishna menghela napas pelan.

Meski malas mendengar, Amara berusaha menatap serius.

"Waktu itu ... Om sedang sakit. Leukimia."

Mata Amara melebar terkejut. Tangannya diremas erat oleh Arga.

"Om baru terima hasil dari rumah sakit hari itu juga. Om marah, nggak percaya. Tantemu jadi pelampiasan amarah Om." Krishna mengurut dahinya.

"Malam itu, kamu datang di waktu yang tidak tepat, Dan."

"Mungkin kalau Om masih sehat, Om akan pertimbangkan untuk donor darah buat ayahmu."

"Pertimbangkan? Cuma dipertimbangkan?" sengit Amara tidak percaya.

"Bu—bukan. Maksud Om —"

"Ck, pantes aja Om dikasih penyakit. Itu azab Allah buat manusia zolim seperti Om!" tuding Amara berani.

"Amara!" panggil Arga untuk menegurnya. Bagaimanapun juga, pria di hadapan mereka ini adalah orangtua yang harus dihormati.

Amara mendengkus kasar.

Dari samping tangga, Retha yang sejak awal menguping pembicaraan, meremas tangannya cemas.

"Iya, Om tahu. Selama ini Om bukan orang yang baik." Krishna mengakui tanpa berat hati.

"Kamu benar, Dan. Ini hukuman Allah buat Om. Maafin Om buat semua kesalahan Om selama ini. Untuk kejadian malam itu juga. Tidak seharusnya Om melampiaskan kemarahan Om ke kamu, ke Wanda ..." Air mata kembali menetes di wajahnya.

"Tante Wanda?"

Usai mengusap wajah basahnya, Krishna menghela napas panjang. "Kami sudah bercerai. Dia meninggalkan Om."

Amara terpaku. Ternyata nasib omnya tidak jauh beda dengan ayahnya. Sama-sama berstatus duda cerai pada akhirnya.

"Kenapa Om nggak dateng ke pemakaman Ayah? Kenapa?" tuntut Amara keras.

"Setelah bertengkar dengan tantemu, Om mabuk sampai pagi. Astaghfirullah." Krishna mengusap gusar wajahnya diiringi air matanya yang kembali jatuh.

"Om sadar, Dan. Om ini brengsek. Jahat. Zolim. Om nggak pantes menerima maaf kamu dan Gita."

Amara termangu. Ia ingat, Anggita-lah dulu yang paling marah saat ayah mereka meninggal. Di samping tangga, Retha menghembus napas panjang. Sepertinya ia punya PR berat untuk kembali bicara pada Anggita.

"Tapi, Om lega sudah cerita sama kamu. Om nggak tahu kapan ajal akan menjemput. Sebentar lagi mungkin giliran Om nyusul ayah kamu." Tangisnya makin merebak.

Beranjak dari posisinya, Arga berlutut di hadapan Krishna. Meninggalkan Amara yang tengah meremas bantal sofa.

"Om, kita cuma manusia biasa yang susah lepas dari bayang-bayang masa lalu. Penuh penyesalan. Tapi itu lebih baik. Artinya kita mau berubah," tutur Arga lembut.

Krishna kembali menyeka wajahnya dengan punggung tangan.

"Mungkin tidak sekarang, tapi tolong beri Amara waktu untuk memberi maafnya." Arga menolehkan kepala pada Amara yang masih membuang muka.

"Iya, Om tahu. Kita semua butuh waktu. Dan Om tahu, waktu Om semakin sempit." Krishna menundukkan kepalanya. Menatap teduh pada Amara yang tidak mau menatapnya.

"Om benar-benar minta maaf, Dani. Kalau waktu Om tidak cukup ... tolong, sampaikan juga maaf Om ke Gita."

================================

Pengumuman : Babang Arga yg ganteng maksimal udah sold out !!! 🥳🥳🥳