webnovel

Mengejarmu

Love is a promising future if you keep it close. Memories can not hurt if you keep it far.

By Author

***

Tak perlu waktu lama bagi Arga untuk mengetahui di mana keberadaan istrinya yang suka melarikan diri itu. Siang tadi Arga langsung membeli tiket penerbangan ke Bali. Bermaksud segera membujuk Amara untuk ikut pulang ke Jakarta bersamanya. Bagaimanapun juga Arga menyadari kesalahannya yang sudah tidak peka terhadap perasaan sang istri. Kata-kata Umi Nida terus terngiang di kepalanya. Tentang bagaimana rapuhnya perasaan seorang perempuan.

Itu juga yang menjadi alasan Arga dulu tidak mau terlibat perasaan yang lebih serius dengan setiap wanita yang dekat dengannya. Karena perasaan dan pikiran kaum hawa itu rumit dan kompleks. Belajar menjadi seorang paranormal seperti suruhan Razi pun tak mampu ia lakukan. Lagipula kenapa wanita harus seribet itu sih? Kalau iya bilang saja iya, kalau tidak bilang saja tidak. Nggak perlu dengan kode-kode atau membiarkan pria-pria tersesat dalam tebak-tebak buah manggis. Yang berujung pada drama sang wanita ngambek, marah-marah tidak jelas atau kabur-kaburan seperti sekarang ini.

Setelah diijinkan masuk oleh satpam yang berjaga di depan gerbang karena sudah mengenalnya, dengan segenap rasa gelisah, Arga menekan tombol bel di samping kanan pintu vila. Berharap jika yang membukakan pintu adalah satu-satunya orang yang diharapkannya.

"Mas Arga?"

Arga yang tengah menatap keset mendongak pada sosok yang membukakan pintu. Sedikit rasa kecewa membuatnya menarik kembali sudut bibirnya yang tadi tersenyum.

"Assalamu'alaikum, Gita."

"Walaikum salam. Pasti lagi nyari Mbak Mara," tebak Anggita santai dengan tangan bersidekap.

Merasa tidak pantas, Arga memalingkan wajahnya saat melihat baju yang tengah dikenakan adik iparnya itu. Tank-top dan short-pants denim. Menonjolkan setiap bagian yang disenangi indra penglihatan setiap kaum adam.

"Maaf, saya bisa ketemu dengan kakakmu?" tanya Arga dengan mata kembali menatap keset. Sikapnya ini membuat Anggita tersenyum usil.

"Ayo, masuk dulu." Anggita berjalan di depannya menuju ruang tamu. Sengaja melenggak-lenggokkan tubuh seksinya untuk memancing pria itu.

Arga? Hatinya beristighfar, tapak kakinya menelusuri lantai putih, sepasang matanya menatap langkahnya. Untung saja Arga benar-benar melihat Anggita sebagai seorang adik, sama seperti Sakya. Godaan Anggita tidak mempengaruhi otaknya sama sekali. Pikirannya sudah kenyang dengan suguhan yang seperti itu. Yang dilakukannya sekarang hanya menjaga pandangan untuk menghormati Anggita sebagai seorang wanita.

"Jadi, kakakmu benar ada di sini?" tanya Arga setelah mereka duduk berhadapan di sofa.

"Hmmm." Anggita tersenyum centil. Kakinya sengaja disilangkan untuk lebih menampakkan paha putih mulusnya.

Menghembus napas berat, Arga sekali lagi memohon. "Git, tolong. Saya butuh bicara dengan Amara."

Tanpa diduga oleh Arga, Anggita malah beranjak dari duduknya untuk pindah tepat di samping Arga. Terpikir olehnya untuk coba menggoda sang kakak ipar. Siapa tahu umpannya termakan, sama seperti kejadian Alvaro dulu. Sekali lagi, tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu kakak iparnya ini juga termasuk kaum laki-laki pada umumnya.

Telapak tangannya menempel lembut di pundak Arga. "Mas Arga dan Mbak Mara lagi ribut ya? Kenapa? Bisa kok cerita sama Gita."

Perlahan sentuhannya turun menelusuri otot-otot yang tersembunyi di balik lengan kemeja Arga, membuat Arga risih. Pria itu pun menjarak diri dengan menggeser tubuh menjauh.

"Saya cuma perlu ketemu dengan kakak kamu."

Tapi bukan Anggita namanya kalau mudah menyerah. Sekali lagi, ia mendekati pria itu. Kali ini suaranya sengaja dilembutkan, nyaris berbisik. "Mas, Gita pendengar yang baik lho. Gita juga siap kok meminjamkan bahu untuk Mas Arga bersandar."

Bukannya tergoda, Arga malah merasa jijik dengan sikap Anggita. Tidak ada bedanya dengan wanita-wanita gampangan yang dulu ia permainkan. Merasa gerah dengan sikap adik iparnya, Arga menegakkan badan berdiri.

"Gita, saya akan mengatakan ini sekali saja ke kamu. Saya maafkan sikap kamu kali ini. Tapi tidak lain kali. Saya menghormati kamu sebagai seorang wanita. Juga sebagai seorang adik. Dan kamu, harusnya kamu bisa menghormati diri kamu sendiri sebagai seorang wanita yang kesuciannya harus terjaga. Jangan merendahkan diri kamu sendiri dengan sikap seperti ini."

Syok! Anggita tercengang. Belum pernah ada pria yang menolaknya terang-terangan seperti ini. Godaannya selalu mampu menjebol pertahanan pria manapun yang ingin ia goda.

"Dan satu lagi. Hargai diri kamu sendiri dengan berpakaian yang pantas. Setiap jengkal kulit yang kamu pertontonkan di mata orang yang bukan mahrom kamu, akan menjadi perhitungan dosa dan azab yang akan Allah turunkan untuk kamu. Bahkan saya tidak yakin ibadah dan amal baik kamu selama ini bisa menyelamatkanmu dari jilatan api neraka."

Sesuatu di dalam dada Anggita terasa menghimpit. Kulitnya merinding. Hatinya bergetar. Perutnya ngilu. Kata-kata Arga membuatnya bergidik ngeri.

"Kalau memang Amara tidak ada di sini, saya permisi dulu. Assa-"

"Mbak Mara di Gianyar!" tukas Anggita cepat dengan mata memejam dan kedua telapak tangan terkepal. "Ada rumah kakek kami di sana. Mbak Mara biasanya kesana kalau sedang kabur dari masalah."

"Bisa saya minta alamatnya?"

"Sebentar." Buru-buru dan salah tingkah, Anggita mencari-cari kertas dan pulpen di laci meja buffet.

Kedua tangannya bergerak panik hingga beberapa kali ia menyenggol vas kecil diatas buffet. Untung saja tidak pecah. Setelah menemukan benda-benda yang dicarinya, Anggita menuliskan alamat rumah kakek mereka di Gianyar.

"Ini Mas." Dengan gugup Anggita menyerahkan secarik kertas dengan tulisannya, tanpa berani bertatap muka dengan pria itu.

"Terima kasih," balas Arga dingin. Namun lalu matanya menatap teduh pada wanita yang terlihat ketakutan di hadapannya itu.

"Gita, maaf ... saya tidak sedang menakut-menakuti kamu tadi. Kamu sekarang juga adik saya. Saya mengatakan itu karena rasa peduli saya sebagai seorang kakak. Apalagi, saat ini rumah ini tidak hanya dihuni oleh kamu. Ada penghuni non-mahrom lainnya yang juga tinggal di sini. Tidak pantas jika kamu mondar-mandir memamerkan aurat kamu demi memuaskan mata dan memancing syahwat orang lain."

Kepala Anggita yang sudah tertunduk semakin merunduk. Kedua matanya terpejam menahan malu. Baru kali ini ada orang lain yang peduli dengan penampilannya. Bahkan mamanya saja tidak pernah sama sekali menegurnya dengan model pakaian apapun yang ia kenakan. Saat ia berjemur di pantai hanya menggunakan dua utas kain untuk menutupi bagian intimnya saja, Retha tidak berkomentar apa-apa. Malah memuji lekuk tubuhnya sebagai body-goals.

"Iya Mas. Maaf," ucap Anggita lirih.

"Jangan minta maaf sama saya. Minta maaf sama Allah."

"Ehem, ada apa ini?" Kedatangan sebuah suara mengusik ketegangan di antara keduanya. "Kenapa kalian berdua-duaan?"

"Android! Ssst!" bisik Anggita memberi isyarat pada Andro untuk tidak berkata apa-apa dengan matanya.

"Saya kesini mencari Amara." Arga menjawab tenang setelah menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana.

"Mbak Amara nggak ada di sini," timpal Andro ketus. Entah kenapa rasanya ia benci sekali melihat wajah Arga. Kakinya yang berjalan dengan bantuan kruk melangkah maju.

"Iya. Saya sudah tahu."

"Kalau sudah tau ngapain masih di sini?" Mata Andro yang melirik pada Anggita yang terlihat ketakutan, langsung menghakimi.

"Baru juga mau pergi," jawab Arga santai. "Terima kasih, Git. Saya permisi. Assalamu'alaikum."

Arga berjalan cepat menuju pintu depan. Meninggalkan Anggita yang masih merinding dan Andro yang menatapnya dengan mata mengilat amarah.

"Walaikum salam," jawab Anggita lirih. Masih dengan kepala menunduk malu.

Setelah punggung tegapnya menghilang di luar pintu, tatapan tajam Andro beralih pada Anggita yang sedang termenung.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Andro sedikit cemas. Hingga ia tak sadar melepas kruknya hingga jatuh ke lantai saat kedua tangannya meraih telapak tangan Anggita yang terasa dingin.

"Nggak pa-pa," jawab Anggita singkat. Ia membiarkan kedua tangannya digenggam hangat oleh Andro. Tak apa, karena Anggita sedang butuh pegangan demi menahan kedua lututnya yang melemas.

"Dia berbuat sesuatu sama kamu?"

Cepat Anggita menggeleng. Tanpa mampu dikendalikan, bulir air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja.

"Gita?"

Perlahan kepalanya terangkat. Sepasang bola mata cantiknya yang tengah berkaca-kaca menatap sendu pada Andro.

"Ndro, gue wanita murahan ya?"

"Hah?"

"Lo berpikiran begitu nggak soal gue?"

"Siapa yang bilang?" Andro mengernyit bingung.

"Nggak pa-pa. Udah lupain aja." Anggita mengangkat kedua bahunya. Tangannya melepas genggamannya lalu menyeka mata dengan lengannya. Membiarkan maskara dan eyeliner yang menghias matanya berantakan.

Tidak tahu mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja Andro mengangkat tangan kanannya untuk membantu Anggita mengusap air-air di wajahnya. Jari-jarinya menepis lembut.

"Aku nggak suka liat kamu sedih begini." Tanpa disadarinya, kata-kata itu begitu saja meluncur keluar dari mulut Andro

"Eh? Kenapa lo nggak suka?" Anggita menatap heran. Membuat Andro kembali tersadar dan menarik tangannya.

"Nggak apa-apa. Lupain aja." Lalu kembali meraih kruk-nya dan berjalan meninggalkan Anggita yang mengernyit bingung.

==========================

Amara kembali menatap puas pada hasil karyanya di atas kanvas. Bangga dengan coretan kuas yang dihasilkannya selama dua jam asyik bermain dengan cat akrilik. Melukis selalu menjadi pelampiasannya manakala pikirannya suntuk dan overload. Namun kegiatan itu tidak dilakukannya di sembarang tempat. Hanya di sini, di rumah kakek dari pihak Ganesha, ayahnya, tempatnya menumpahkan segala uneg-uneg di atas kanvas.

Menurut cerita kakeknya, rumah itu memiliki sejarah panjang dari pihak neneknya yang memang asli keturunan Bali. Rumah itu dulu menjadi sengketa di keluarga neneknya. Buyutnya berhutang banyak pada salah satu kerabatnya hingga harus menyerahkan tanah warisan, termasuk rumah itu yang berada di dalam kawasannya.

Cerita cinta kakek dan neneknya berawal dari sebuah cinta terlarang akibat perbedaan keyakinan yang menghalangi. Tapi kakeknya tak pantang menyerah. Ia bekerja keras hingga mampu membeli areal seluas 15 hektar itu dan menghadiahkannya pada buyutnya.

Membuat keluarga sang nenek terenyuh hingga akhirnya merestui hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan. Kini tanah luas itu sudah digunakan untuk bertani sayur-mayur. Menyisakan sebuah rumah yang kini sedang ditempatinya.

Rumah itu memang sudah tua. Namun pondasi dan struktur bangunannya sangat kuat. Dan Amara sangat suka dengan arsitektur rumah itu yang menonjolkan persatuan budaya Bali dan Yogyakarta. Mewakili cinta perbedaan keyakinan dan suku dari kakek dan neneknya. Tata letaknya mengikuti zonasi bangunan tempat tinggal di Bali pada umumnya yang menerapkan filosofi Tri-Angga. Dengan memisahkan ruangan yang disebur sebagai bagian kepala, bagian badan, dan bagian paling rendah. Bahkan pengaturan sudut-sudutnya pun masih mengikuti kosala kosali, semacam kepercayaan orang Bali terhadap sudut-sudut rumah yang dianggap suci.

Amara bangkit membopong kanvasnya yang sudah mengering. Meletakkan lukisan itu di sebuah ruangan yang memang ia gunakan untuk menyimpan hasil karyanya.

Satu, dua, tiga, empat, lima ... Amara menghitung berapa banyak lukisan yang berderet rapi di ruangan itu. Dua puluh. Ada dua puluh lukisan. Artinya sudah dua puluh kali ia melarikan diri dari kenyataan.

Amara menghempas tubuhnya pada kursi goyang di tengah ruangan itu. Menikmati kesendirian di tengah derit kayu yang menjadi irama bagi telinganya. Penglihatannya meniti satu persatu gambar yang sudah dibuatnya. Kebanyakan dari gambar itu memiliki seorang gadis kecil sebagai karakter utama dalam kanvas. Ada yang tengah berlari tertawa riang. Ada yang menengadah menatap langit kosong tanpa bintang. Ada yang berlari di antara ladang jagung. Dan kali ini, gambar yang ia buat adalah seorang gadis kecil tengah berjalan menenteng ember kecil di pantai.

Kenangan terindah dalam hidupnya. Saat Mama, Ayah, dirinya yang masih TK dan Anggita yang masih bayi tengah berlibur ke pantai Wawaran di Pacitan. Ia ingat sekali, pada saat itu selama berbulan-bulan rengekannya untuk minta dibelikan mainan oleh Ayahnya, sama sekali tidak dituruti. Hingga Amara sering ngambek dan melarikan diri ke rumah tetangga. Ternyata, Ayahnya sedang berusaha keras mengumpulkan uang demi acara berlibur mereka waktu itu. Ayahnya pernah berjanji pada Amara akan mengajaknya liburan dengan menaiki pesawat, karena Amara kecil memang belum pernah naik pesawat saat itu. Dan harga tiket pesawat saat itu tidaklah murah.

Hari itu adalah kenangan terindah dalam hidup Amara. Saat dirinya untuk pertama kali merasakan terbang bebas melayang di langit. Meskipun mereka hanya duduk di kelas ekonomi yang terasa sesak bagai berada dalam bis Kopaja, Amara bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah Mama dan Ayahnya.

Mamanya yang repot menyuapi Anggita dengan bubur bayi, dan Ayahnya yang mendongengkannya cerita Putri Syahrazade, yang menjadi awal-mulanya Amara menyukai kisah-kisah dari negeri seribu satu malam. Amara mendengarkan dengan seksama di antara keriuhan bising mesin pesawat sambil mengunyah pelan permen jelly-nya satu-persatu hingga habis.

Setelah pesawat mendarat di Yogyakarta, mereka tidak langsung berkendara menuju Pacitan. Salah seorang kerabat Ayahnya menjemput mereka dan mengijinkan mereka bermalam di rumahnya di Wonosari. Esoknya, mereka diajak mengunjungi salah satu air terjun di Gunung Kidul. Amara kecil menikmati sensasi percikan air terjun untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Hanya ia dan Ayahnya yang bermain di sana. Sementara Mamanya dan Anggita tinggal di rumah Wonosari karena hari itu Anggita sedang diare.

Amara ingat, tangan kecilnya selalu digenggam erat oleh sang Ayah. Tak pernah lepas. Ayahnya sangat melindunginya, seperti tak rela jika putrinya itu terpeleset atau terjatuh di antara batu-batu yang licin.

"Dania, Ayah janji. Ayah akan selalu

menjadi pelindungmu. Ayah akan menjadi sumber kebahagiaanmu. Ayah tidak akan pernah mengecewakanmu. Dania permatanya Ayah yang tak ternilai harganya."

"Ayah ..."

Baby I'm falling head over heels

Looking for ways to let you know just how I feel

I wish I was holding you by my side

I wouldn't change a thing 'cause finally it's real

I'm trying to hold back, you oughta know that

You're the one that's on my mind

Falling too fast deeply in love

Finding the magic in the colors of you

You're the right time at the right moment

You're the sunlight, keeps my heart going

...

Lantunan nada dering memancing alam bawah sadar Amara yang tadi terjun ke alam mimpi sesaat. Mimpi. Cuma mimpi.

Amara yang sudah membuka mata, meraih ponsel di saku celananya.

"Assalamu'alaikum. Ada apa, Git?" tanya Amara dengan suara paraunya setelah melekatkan ponsel di telinga kanannya.

"Walaikum salam. Mbak, laki lo tadi kesini nyariin."

Amara yang masih setengah sadar terkesiap, lalu menegakkan tubuhnya. "Arga?"

"Ya iyalah dia. Emangnya lo punya laki yang lain?"

"Trus trus?"

"Ya gue bilang ke dia kalo lo nggak di sini."

Amara menghela napas lega.

"Tapi gue kasitau kalo lo di Gianyar."

"Hah???" Napasnya kembali tertahan.

"Gue nggak tega Mbak, sama laki lo. Dia beneran keliatan panik banget nyariin lo."

Amara kembali menghempas tubuhnya ke atas kursi goyang lalu berujar lemah, "Lo melanggar perjanjian, Git."

"Perjanjian apa?"

"Lo nggak boleh ngasihtau tempat persembunyian gue ini ke siapapun, atau saham lo di perusahaan jadi milik gue. Masih ingat?"

Anggita berdecih. "Ya'elah, masih diinget aja. Itu perjanjian umurnya udah setua perjanjian Linggajati. Udah expired!"

"Usia kita nggak setua itu, Git. Gue bikin perjanjian itu karena lo seenaknya bocorin keberadaan gue ke Alvaro dulu."

"Ya lo aja yang dari dulu suka lari dari kenyataan. Padahal segala sesuatunya akan lebih gampang diselesaikan kalo lo lebih berani."

"He'em. Ada yang lupa kayaknya kemarin abis minggat dari rumah karena ngambek."

Anggita hanya menahan senyum sambil terkekeh pelan.

"Udah ah. Gue cuma mau ngabarin itu doang ke lo."

Kembali Amara menghembus napas lelah. "Any advice for me?"

"Lah, itu laki lo. Kenapa minta masukan sama gue? Gue belum pernah nikah."

"Gue masih belum siap buat bicara sama Arga, Git."

"Siap nggak siap, lo harus siap. Resiko lo sebagai seorang istri. Gue cuma pesan satu ke lo, jangan sia-siain suami lo. Dia laki-laki sejati. Beda kelas sama Alvaro."

"Sok tau lo," cibir Amara dengan kedua bola mata memutar.

"Kalo gue jadi lo, laki-laki kayak dia bakal gue museumin. Gue kekep di kamar."

"Apaan sih lo! Udah ah, makin lama omongan lo makin ngaco."

Tanpa basa-basi, Amara segera mengakhiri panggilan. Hatinya kembali gelisah, resah, bergetar lemah.

Hari semakin malam dan Amara kerap bolak-balik menyibak tirai untuk menatap keluar jendela. Beberapa kali Amara mengecek layar ponselnya. Tidak ada notifikasi apapun selain dari Mamanya yang mengabari sedang berada di Bali juga.

Sudah empat jam sejak Anggita mengabarinya tadi. Tapi sosok yang ditunggunya belum kunjung tiba. Jarak tempuh antara Sanur - Gianyar tidak memakan waktu selama itu. Beberapa kali nuraninya mengusik, menyuruhnya untuk menghubungi suaminya. Namun egonya terus mengelak, melarangnya untuk merendahkan harga diri sebagai seorang wanita. Pria-lah yang harus mengejar wanita dan meminta maaf terlebih dahulu. Tanpa harus menunggu diminta.

Namun sang nurani memerintahkannya untuk mengacuhkan sang ego. Lebih penting untuk memastikan keberadaan sang suami, ketimbang menuruti bisikan sang ego. Amara menepuk-nepuk ponselnya seiring pergulatan batin yang sedang dialaminya.

Dengan mantap Amara menekan akses panggilan cepat di ponselnya saat tiba-tiba sebuah pesan masuk terbaca di layar.

Arga:

Sayang, aku di depan pagar

Cepat-cepat Amara membuka pintu rumah lalu berlari ke pagar yang menjulang tinggi dan menggeser selotnya.

Sosok itu berdiri tegak dengan senyum menawannya, disertai tatapan lembut yang mampu menghangatkan jiwa Amara yang sempat dingin. Sebuket rangkaian bunga cantik tergenggam di depan dadanya.

"Assalamu'alaikum, istriku."

"Wa'alaikumussalam. Arga ..."

Sepasang suami-istri itu hanya berdiri terpaku di sana. Hingga sebuah mobil lewat dengan lampu sorot yang menyilaukan dua pasang mata yang sedang bertukar-pandang itu.

"Ayo masuk," tukas Amara dengan mata memicing sambil menarik lengan suaminya untuk ikut ke dalam, lalu kembali mengunci pagar.

"Ini, buat kamu."

Amara memandang bunga-bunga cantik itu lalu tersenyum tanpa sadar sambil meraihnya.

"Terima kasih." Wajahnya merona merah dengan senyum tertahan.

"Kamu sendirian di sini?" tanya Arga sambil berjalan sejajar dengan Amara memasuki rumah.

"Enggak. Ada Mbok Saras yang ngurus rumah."

Arga mengangguk lega. Setidaknya ada seorang wanita yang menemani istrinya, melihat lingkungan di sekitar rumah itu cukup gelap dan sepi. Tanpa permisi, Arga menggenggam tangan kiri istrinya yang tengah menganggur. Membuat Amara menoleh padanya.

"Sayang, aku minta maaf. Aku ..."

Amara yang masih terdiam, hanya menatap suaminya sambil menunggu kalimat itu dilanjutkan.

"Aku salah karena tidak peka sama perasaan kamu. Aku benar-benar minta maaf. Nggak seharusnya aku mempertemukan kamu dengan Marisa."

"Dan nggak seharusnya juga kamu kembali bertemu dengan Marisa," timpal Amara cepat. "Bukan cuma perasaanku Ga, perasaan Marisa juga pasti terluka."

"Aku tahu dia belum bisa melupakan kamu, Ga. Aku bisa lihat itu di matanya."

Arga menenggak ludah setelah mendudukkan diri di atas kursi jati dengan bantalan duduk. Amara ikut duduk di sampingnya. Genggaman tangan keduanya terlepas.

"Tapi Marisa tidak berkata begitu," elak Arga berusaha membela diri.

"Ya iyalah dia nggak ngomong. Itu sama saja dia mempermalukan diri sendiri. Baru aja kamu minta maaf karena udah nggak peka. Sekarang kamu ulangi lagi."

Lagi-lagi Arga menghela napasnya. Hari ini ia sudah cukup lelah. Keinginannya hanyalah bertemu istrinya untuk berdamai, bukan berdebat.

"Iya, maaf. Aku minta maaf sekali lagi. Aku nggak pintar membaca pikiran perempuan, Sayang. Makanya aku butuh kamu buat mengajari." Diusapnya lembut kepala sang istri yang tertutup bergo hitam.

Amara yang masih tertahan ego hanya menampilkan wajah kesalnya lalu bertanya dengan nada sebal, "kamu udah makan malam belum?"

"Sudah tadi di depan klinik."

"Di depan klinik?" tanya Amara kaget lalu matanya menemukan sebercak noda darah di kemeja suaminya.

"Kamu kenapa?" tanyanya terkejut sambil menunjuk noda merah di lengan baju Arga, yang membuat Arga langsung menoleh pada noda itu.

"Ooh ini, bukan darahku. Tadi di jalan aku melihat ada laki-laki yang terjatuh dari motor. Mungkin bannya slip karena jalanan licin setelah hujan. Taksi aku suruh berhenti, lalu aku bantu bawa laki-laki itu ke klinik terdekat."

Merasa lega, Amara mendesah. "Syukurlah. Aku pikir kamu yang kenapa-kenapa."

"Hm, ada yang khawatir."

"Ya iyalah aku khawatir. Nunggu kamu berjam-jam nggak nongol-nongol," sungut Amara sambil menyilang kedua tangannya di dada.

Membuat Arga mengerutkan dahi penuh tanya hingga ia memajukan wajahnya mendekati Amara.

"Gita yang ngabarin. Katanya kamu nyariin aku kesana," jawab Amara sebal sambil memalingkan wajah.

"Kok nggak nelpon? Setidaknya kamu bisa balas WA aku yang puluhan pesan itu." Arga ikutan menyilang kedua tangannya.

"Buat apa? Nanti kamu pikir aku udah nggak marah."

"Oooh, jadi masih marah?" goda Arga dengan senyum dikulum.

"Ya masihlah. Nggak segampang itu hatiku luluh, Fernando Jose."

"Namaku Arga Pramudya. Bukan Fernando Jose."

Enggan menanggapi, Amara hanya memutar bola mata. "Terus itu gimana mas-mas yang jatuh? Luka parah atau gimana?"

"Untungnya cuma luka di pergelangan tangan dan lengan kemejanya yang robek. Kepalanya sempat terantuk aspal, tapi sepertinya tidak apa-apa."

Kembali Amara menghela napas lega. "Syukurlah."

Bukannya Amara peduli dengan korban kecelakaan motor itu. Namun ia tidak mau suaminya jadi ikutan repot mengurusi orang asing. Arga dan hatinya yang tanpa pamrih, sepaket harga mati.

"Ya udah, mendingan kamu mandi bersih-bersih dulu. Ganti ba-" Kalimat Amara terhenti.

"Bentar-bentar." Sepasang bola mata Amara celingak-celinguk mencari sesuatu di sekitar Arga. "Kamu ... nggak bawa koper? Baju ganti?"

Arga tertawa pelan lalu kembali mengusap kepala istrinya. "Aku tinggal di hotel, Sayang."

Amara yang kembali merona malu, mengerutkan bibir. "Ooh."

"Makanya aku mau bawa kamu ikut balik ke hotel."

"Iiih, udah malam gini. Nggak liat apa di luar gelap kayak apa. Mana dingin. Lagian emangnya aku bilang setuju mau ikut balik sama kamu?" balas Amara sambil berdiri.

"Ya sudah, besok saja. Kamu mau kemana?" Arga menarik tangan istrinya yang sudah berjalan satu langkah, yang membuat Amara menoleh padanya.

"Ngubek-ngubek kamar Kakek. Kali aja ada baju yang bisa kamu pake. Kamu mandi, gih. Ada shower air panas kok. Tuh kamar mandinya," tunjuk Amara ke arah bangunan di luar yang tampak dari jendela.

"Makasih istriku." Lalu Arga mengecup punggung tangan istrinya. Membuat Amara tersenyum tipis.

Setelah Amara berlalu, Arga meraih ponselnya. Ia berniat mengabari Adin jika dirinya sekarang sedang berada di Bali. Jadi mungkin besok ia bisa mampir ke site kantor cabang yang dalam proses dibangun.

Drrrrrttt.

Ponsel Amara yang terletak di meja di depannya bergetar. Lampu layarnya menyala, menunjukkan notifikasi pesan masuk. Arga beranjak dari duduknya untuk melihat siapa orang yang mengirimi pesan untuk istrinya di larut malam begini.

Alvaro :

Ara, kamu masih di rumah kakekmu kan? Aku kesana ya.

---------------------------------------------------------