webnovel

Mantan Pacar

"Let the wind blows with the past

Let the rain do take the rest

If you hear the thunder, stay awake

Cause life is for real, not a fake."

-by author-

===================================

Amara membenahi rok plisket yang dikenakannya. Lalu ke lengan kemejanya yang berkerut. Semuanya harus rapi. Kesan pertama itu penting bagi seorang Amara. Apalagi saat ini. Salah satu detik-detik mendebarkan dalam hidupnya. Bertemu calon mertua yang namanya sudah melegenda di dunia arsitektur.

Mungkin akan lebih mudah bagi Amara untuk mengatasi rasa gugup jika saja ikut Arga menemaninya duduk di ruang tamu yang cukup besar itu. Sudah beberapa kali kepalanya diarahkan melongok ke ruangan sebelah untuk mencari-cari sosok itu. Padahal baru lima menit Arga meninggalkannya sendiri setelah berkata akan memanggil Ayahnya. Tadi sang asisten rumah tangga yang membukakan pintu rumah. Ibu-ibu paruh baya itu menyebutkan jika Hardi sedang beristirahat di kamarnya.

"Siapa kamu?" Sebuah suara mengejutkan datang dari arah pintu rumah.

Seketika Amara mengarahkan wajahnya pada seorang wanita berpakaian seksi yang berdiri di depan pintu. Rambutnya dicat setengah pirang. Stilleto ber-glitter yang dikenakannya meruncing tajam menekan lantai. Bak seorang model, wanita itu berjalan menghampirinya.

"Saya Amara," jawab Amara tersenyum berusaha ramah. Bahkan ikut berdiri dan menyodorkan tangan kanannya.

"Ooh, jadi kamu yang mau nikah sama Arga. Saya Aletta, ibunya Arga." Tanpa menyambut uluran tangan itu, Aletta memutar malas kedua bola matanya.

"Ooh." Amara menurunkan tangannya, masih dengan sopan. "Assalamu'alaikum, Tante Aletta."

Bukannya menjawab salam, Aletta justru membelalak marah. "Tante, tante! Saya itu masih muda! Paling cuma beda berapa tahun sama kamu. Seenaknya aja manggil 'tante'. Nggak liat apa muka masih kenceng begini!"

Biasa aja kali, Bu! Nggak usah nge-gas! Rutuk Amara hanya dalam hati namun dengan wajah masih tetap menahan senyum.

"Maaf." Dan Amara pun pusing sendiri harus memanggilnya dengan sebutan apa.

Yang lebih menjengkelkan lagi, kenapa Arga tidak pernah menceritakan tentang keberadaan si 'muka-plastik' menyebalkan ini.

Aaah! Julukan yang pas, 'muka-plastik'! Pasti wajahnya penuh dengan lumeran plastik ember bekas, botol minum, kresek sampah sehingga menjadi kencang begitu.

"Mana Arga?" tanyanya galak sembari merapikan penampilannya. Termasuk rambut pirangnya yang sudah diikal di bagian bawah.

"Lagi di dalam."

Tanpa basa-basi, Aletta begitu saja meninggalkan Amara dengan mengulas senyum mengerikan.

Dasar dedemit! Kesal Amara dalam hati.

Sepertinya ia butuh banyak penjelasan dari Arga tentang makhluk astral ini. Tebakan Amara, pasti ibu tiri yang katanya lebih kejam dari ibu-kota. Tapi benar-benar tidak masuk di nalar Amara, kenapa bisa seorang Hardiyanto Soenyoto menikahi seorang titisan siluman yang mirip dengan tokoh-tokoh antagonis yang umumnya ditampilkan dalam sinetron?

"Amara." Akhirnya ... suara merdu itu. Amara bergerak menghampiri.

"Ini Ayahku." Arga terlihat merangkul pundak Ayahnya.

"Assalamu'alaikum, Pak Hardi. Saya Amara."

"Silahkan duduk, Amara. Anggap saja rumah sendiri," sambut Hardi ramah. Berbeda sekali dengan sambutan sang istri yang persis Medusa. Dan tentu saja, sang Medusa ikut dengan mereka.

"Oh ya, Amara belum dibuatin minum, ya? Si Mbok gimana, sih. Mau minum apa, Amara?"

Syok! Si 'muka-plastik' yang tadi sangat galak tiba-tiba beramah-tamah penuh senyum? Menawarkannya minum juga?

"Eh, nggak usah. Terima kasih," balas Amara dengan senyum aneh.

"Tenang saja, di sini ada berbagai jenis minuman. Mau sirup? Orange juice? Coffee latte? Caramel milk tea? Atau ... kamu penggemarnya air putih?" Aletta tersenyum manis.

"Terima kasih, tidak usah. Saya sudah minum banyak tadi."

"Nggak sopan lhooo, menolak tawaran tuan rumah. Sirup aja yang simpel?" Aletta memaksa.

"I—iya, boleh."

"Oke. Sebentar, ya. Silahkan ngobrol-ngobrol dulu." Aletta segera meninggalkan ruang tamu.

Diam-diam Amara memperhatikan sikap gelisah Arga saat memandang sang ibu tiri, yang membuatnya semakin curiga.

"Nak Amara pasti capek. Dari Bali langsung kesini."

"Eh, eng—enggak kok, Pak. Tadi juga sudah tidur di pesawat." Kebohongan Amara itu disambut sebuah tawa kecil oleh Arga.

"Tetap saja, pasti capek. Di sana juga ada kerjaan, kan. Arga sudah cerita kok, soal proyek panti asuhan yang sedang kamu kerjakan."

"Biasa aja kok, Pak. Pak Hardi gimana kabarnya? Sehat?"

"Alhamdulillah. Paling juga pegal linu, penyakitnya orang-orang seumuran saya."

"Ehem, Yah. Sebenarnya, Arga dan Amara sudah menentukan tanggal pernikahan," sela Arga cepat di tengah-tengah obrolan pembuka. Sebelum wanita yang paling dibencinya kembali bergabung dengan mereka.

"Oh ya? Kapan?"

"Tiga minggu dari sekarang." Jawaban Arga

"Hahahaha ... tipikal kamu sekali, Ga. Selalu menyegerakan segala sesuatunya." Tawa Hardi terdengar membahana hingga terdengar oleh sepasang telinga yang diam-diam menyimak di ruang sebelah.

"Segala sesuatu yang baik memang harus disegerakan, Yah."

"Ya, ya, ya ... Ayah mengerti. Di mana tempatnya?" Hardi menoleh ke arah sang calon menantu.

"Jak—"

"Bali. Di Bali, Pak." Amara menyanggah cepat.

"Amara?"

"Saya sudah memutuskan di Bali."

"Ooh, tidak masalah buat saya. Tapi, kenapa harus jauh-jauh di sana?" tanya Hardi tenang sambil memperhatikan raut wajah Arga yang terlihat terkejut.

"Karena saya ingin teman-teman kecil saya ikut hadir."

"Teman-teman kecil?"

"Anak-anak panti, Yah." Arga menjawab disertai helaan napas.

"Ooh. Iya juga sih, daripada mereka yang repot terbang kesini," balas Hardi dengan kepala mengangguk-angguk.

"Maaf kalau ini semua terkesan mendadak, Pak."

"Amara, panggil saya Ayah." Sebuah senyuman lebar mengiringi kalimat Hardi.

"Em ... i—iya, Ay—"

"Maaf yaaa, minumannya lama." Tiba-tiba Aletta keluar dengan kedua tangan membawa nampan berisi empat gelas air sirup berwarna hijau lalu meletakkan satu-persatu gelas di atas meja.

Kehadirannya mengejutkan dan membungkam semua percakapan.

"Terima kasih," balas Amara kaku.

"Ayo, diminum." Aletta menawarkan setelah memilih posisi duduk di sebelah Arga.

Sikap Aletta terlihat tidak pantas di mata Amara. Apalagi saat ia bergeser mendekati Arga.

"Kok kamu kurusan, Sayang? Nggak ada yang masakin, ya?"

Tangan berkuku lancip itu naik menyentuh pucuk kepala Arga. Mengelusnya bak seorang anak kecil. Arga yang terlihat tidak nyaman, berusaha menepis tangan itu.

"Letta, Arga bukan anak kecil lagi, lho." Hardi tertawa kecil.

Terlihat tidak masalah baginya saat melihat sang istri menyentuh anak lelakinya.

Tetapi berbeda dengan Amara. Ia melihatnya sebagai sebuah masalah.

"Ayah, maaf sepertinya kami harus segera pamit. Banyak yang harus kami urus." Amara segera berdiri dengan senyum kaku di wajah.

"Ayo, diminum dulu, Amara." Hardi menunjuk pada gelas sirup di atas meja.

"Terima kasih, Yah. Tapi saya tidak haus."

Dengan wajah melengos dan bola mata memutar, Aletta menyindirnya. "Nggak sopan banget sih jadi tamu."

Kesal dengan komentar sinis itu, Arga bangkit mendekati Amara.

"Arga!" Aletta melotot.

"Amara benar, Yah. Masih banyak hal yang harus kami kerjakan. Pernikahan kami sudah dekat."

Merasa kecewa karena baru sesaat bertemu dengan sang putra, Hardi terpaksa mengangguk mengiyakan. Di sampingnya berdiri Aletta dengan wajah setengah murka.

=============================

"Kenapa kamu bilang kita nikah di Bali?" Arga langsung menegur Amara begitu mobil berjalan.

"Kenapa kamu nggak cerita punya ibu tiri wanita penggoda?" balas Amara lebih sengit.

"Amara ..."

Tak menggubris namanya dipanggil, Amara membuang wajah menatap jendela.

"Dia istri Ayahku."

"Dia juga suka kamu!"

"Hm ... cemburu, toh."

"Kenapa? Nggak boleh?" tantang Amara kesal.

"Amara, Amara. Kita ke KUA sekarang saja, deh." Arga yang langsung tertawa, malah menggodanya.

Tapi lagi-lagi, Amara tak menggubrisnya. Ia kembali menatap jendela untuk meredam emosi.

"Huffth ..." Amara menghela napas sebelum merendahkan suara. "Aku aja sampai bingung mau panggil dia dengan sebutan apa. Dipanggil 'Tante' nggak mau. Dipanggil nama doang, nggak sopan. Ck!"

Arga memajukan badan lalu tangan kanannya terangkat menepuk bahu Pak Ganjar, supir yang bekerja di rumah Retha.

"Pak, kita mampir ke restoran terdekat ya."

"Baik, Pak." Pak Ganjar melirik pada spion depan, berusaha menahan senyumnya saat melihat wajah putri majikannya itu cemberut kesal akibat cemburu.

"Kita makan dulu ya, aku lapar."

"Terserah!"

Tidak sampai lima menit, Pak Ganjar menghentikan mobil di sebuah restoran padang yang cukup besar.

"Di sini, Pak?" tanya Pak Ganjar tanpa berani menoleh ke jok belakang. Aura di sana masih mengerikan.

"Pas banget! Saya lagi ingin makan banyak. Ayo Pak, ikut makan juga!" ajak Arga pada Pak Ganjar bersemangat.

Tapi tidak begitu halnya dengan Amara yang masih betah membuang muka. "Aku nggak lapar! Kamu aja makan sama Pak Ganjar."

"Lho, tadi kamu bilang terserah."

"Ya terserah. Kamu mau makan kek, minum kek, tidur kek, ngapain kek. Terserah kamu! Terserah aku juga dong kalo aku nggak lapar." Amara menjawab sewot.

Lagi-lagi sikap calon istrinya hanya bisa membuatnya istighfar dalam hati. Kenapa begitu sulit menjinakkan makhluk ciptaan Allah yang berfisik sempurna itu?

"Ya sudah kalau kamu nggak mau ikut. Berarti aku harus cari waktu lain untuk cerita."

Seperti yang diduga Arga, Amara akan terpancing dengan komentarnya. Saat itu juga Amara membalikkan wajah untuk menatapnya.

"Cerita apa?"

"Hm, lupa ya? Ya sudah." Arga membalas santai lalu sengaja menutup pintu mobil.

Menjinakkan seorang Amara memang sulit. Tapi memancing rasa penasaran wanita itu, semudah memancing kucing dengan ikan.

Tidak sampai sedetik, Amara ikut keluar dari mobil. Rasa penasarannya mengalahkan gengsinya.

"Hei, jawab aku! Maksud kamu cerita apa?" Amara berusaha berjalan cepat menghampiri Arga yang sudah berdiri di pintu masuk restoran.

"Sssttt! Bisa nggak ngomongnya nanti?"

Amara yang seketika sadar jika suaranya tadi setengah berteriak, langsung menjaga sikap. Ia berjalan cepat mendahului langkah Arga. Lalu berbelok ke arah kasir untuk bertanya pada petugas di sana.

"Mbak, bisa saya pakai meeting roomnya?"

"Untuk kapan, Bu?"

"Sekarang. Saya mau makan di sana sekarang."

"Untuk berapa orang ya, Bu?"

"Dua."

Sang petugas kasir menatap aneh. "Cuma berdua, Bu?"

"Iya. Kenapa? Nggak boleh?" tanya Amara tak sabar.

"Amara, ngapain pakai meeting room?" Arga yang sudah mendekatinya bertanya bingung.

"Kamu bilang mau cerita."

"Ya kenapa harus di meeting room? Di meja biasa juga bisa."

"Nggak bisa. Siapa tahu aku jadi meledak karena dengar cerita kamu? Masa iya dilihatin orang-orang?" Amara menunjuk ke sekitarnya.

Sadar kalau pelanggan di depannya itu berpotensi membuat keributan, sang petugas kasir langsung menjawab, "Silahkan pakai meeting room-nya, Bu. Kebetulan lagi kosong."

Seorang pelayan menunjukkan pada mereka arah menuju meeting room di lantai dua. Sedangkan Pak Ganjar makan di meja pelanggan biasa.

Di lantai dua, keduanya masuk ke dalam sebuah ruang kaca kotak yang dilengkapi sebuah layar LCD, meja panjang di tengah-tengah ruangan dengan kursi-kursi di sisi-sisinya.

Amara sengaja memilih duduk berseberangan dengan Arga. Lebih mudah baginya untuk memperhatikan Arga yang nantinya akan bercerita entah apa.

"Mau pesan minum apa, Mas, Mbak?" tanya pelayan tersebut.

"Jus Alpukat."

"Jeruk hangat."

Sepeninggal sang pelayan dari ruangan itu, Amara benar-benar memusatkan perhatiannya pada Arga yang tengah meneliti sekeliling ruangan itu dengan matanya.

"Jadi, kamu mau cerita apa?" tembak Amara tak sabar.

"Ceritanya selesai makan, ya. Aku lapar beneran."

Amara mendengus kesal.

Arga memang benar-benar lapar. Suara dari perut keroncongannya jelas terdengar di dalam ruangan besar itu. Tak lama kemudian, datang dua orang pelayan yang membawakan dua piring nasi dan beberapa piring dengan isian berbagai lauk khas ranah minang, dan Arga langsung saja menyerbu. Menyendok beberapa jenis lauk ke dalam piring nasinya.

Berbeda dengan Arga, Amara hanya mengambil sepotong daging rendang saja. Lauk padang kesukaannya. Namun kali ini, rendang yang biasanya menggiurkan, tidak terlalu menggugah seleranya. Amara memotong malas daging bagian sengkel itu.

Gelagat Amara ini tentu saja tidak luput dari perhatian Arga yang memang sangat menikmati seluruh hidangan di atas meja.

"Kamu nggak suka masakan padang?"

"Suka. Tapi jadi nggak suka." Amara menjawab malas.

"Maksudnya?"

Amara meletakkan sendok garpu di kedua tangannya. Kedua matanya menatap tajam. "Kamu tau kan, aku paling nggak suka dibikin penasaran."

Arga membalasnya dengan kekehan pelan, lalu kembali lanjut menyuap nasi.

"Mendingan kamu cepetan selesai makan, deh. Aku lagi nggak selera." Amara menyilangkan kedua tangannya di depan. Membiarkan begitu saja piringnya yang masih penuh berisi makanan.

"Amara ... kamu tahu kan tidak boleh membuang-buang makanan? Mubazir. Lagipula, banyak orang lain yang tidak seberuntung ki—"

"Udah, udah! Nggak usah ceramah lagi!" Amara melambaikan tangan kanannya lalu kembali meraih sendok dan garpu. Dengan cepat menyuap rendang dan nasi ke dalam mulutnya.

Sikap labilnya ini justru membuat Arga tersenyum. Begitu mudahnya seorang Amara memakan umpan.

"Dihabiskan dulu makanannya. Aku janji. Begitu makanan habis, aku akan ceritakan semua yang kamu mau tahu."

"Termasuk soal ibu tiri kamu?"

"Semuanya, Amara."

Dengan penuh semangat sambil memegang janji sang calon suami, Amara cepat-cepat menghabiskan makanannya.

Sayangnya, tidak demikian dengan Arga. Pria itu terus-menerus menambah lauk ke dalam piringnya. Seperti sedang mengulur waktu.

"Ehm, kata Rasul harus berhenti sebelum kenyang, lho," sindir Amara dengan nada mengejek.

"Tapi aku memang masih lapar," elak Arga sembari menyendok potongan kikil.

"Terus aja ngulur waktu. Biar tiba waktunya sholat. Terus dipending lagi ceritanya. Terus batal ceritanya. Terus—"

"Iya, iya. Aku beneran cerita. Nggak pending-pending."

Amara terus memperhatikan jalannya jarum detik di jam dinding.

Berharap Arga benar-benar menepati setiap ucapannya. Dengan sabar, Amara menunggu hingga pria itu menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Alhamdulillah." Arga meraih segelas jeruk hangat di sampingnya.

"Udah, kan? Masih ada 45 menit sebelum masuk waktu Ashar," tegas Amara sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

Arga yang baru saja menyesap minuman hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ketidak-sabaran wanita di depannya.

"Oke. Aku akan mulai cerita dengan masa laluku."

"Aku sudah tau masa lalu kamu. Bagian itu nggak usah diulang lagi."

"Bukan masa kecilku, Amara. Tapi masa ... remaja menuju dewasa."

"Oke." Amara memajukan tubuh kurusnya tegak. Kedua tangannya terlipat di atas meja bak seorang siswa yang sedang duduk rapi di kelas.

Melihat posisi Amara yang sudah benar-benar siap, Arga justru merasa gugup.

"Amara ..." Suaranya mulai meragu. "Aku ... bukan pria yang kamu sebut-sebut sebagai pria musholla. Aku tidak sebaik itu. Sama seperti kamu, masa laluku juga penuh masalah."

"Okay, i'm listening."

"Bisa dibilang kalau dulu aku anak manja. Merasa punya Ayah yang sanggup menopang gaya hidup seorang remaja yang mulai bertingkah. Aku membuang-buang uang Ayah begitu saja, tanpa beban. Clubbing, nonton midnight, balapan motor."

Amara yang serius menyimak, memilih untuk membiarkan Arga melanjutkan cerita. Sama seperti yang dilakukan Arga saat ia bercerita di pesawat.

"Termasuk gonta-ganti pacar. Saat itu, aku bahkan jauh dari Saki. Kami jarang bertemu. Saki tidak suka melihatku yang seperti itu. Berkali-kali Saki menegurku tapi ... yah, aku termasuk anak muda yang keras kepala."

"Keliatan kok," celetuk Amara tanpa sadar.

"Hm ..."

"Soriii, keceplosan." Amara menangkup kedua tangannya sambil meringis. "Lanjut."

"Amara ..." Arga menarik napas berkali-kali. Merasa berat untuk mengatakan yang selanjutnya. "Ada hal penting yang perlu kamu tahu."

"Oh ya? Apa tuh?"

Arga tidak langsung menjawab. Beberapa menit jeda berlangsung. Wajah seriusnya menatap permukaan meja.

"Amara, aku ... aku sudah tidak perjaka." Arga menunduk malu. "Maaf ..." Berkali-kali berusaha menelan ludah yang sesaat terasa pahit.

Sesak! Amara sesak seketika. Kalimat sederhana itu menyentil hatinya. Calon suaminya pernah tidur dengan wanita lain.

Hening sesaat. Tanpa terdengar komentar apapun dari wanita di hadapannya. Membuat Arga semakin merasa ciut untuk melanjutkan.

Ia mengusap-usap kasar rambutnya sendiri. Suasana semakin tegang. Padahal akan lebih mudah baginya untuk melanjutkan, jika saja Amara menunjukkan emosi liarnya, seperti biasanya.

"Kamu ... nggak mau komentar apa-apa?"

"Berapa kali?"

"Apa?"

Amara menelan ludahnya sebelum kembali mengulang pertanyaan. "Berapa kali kamu ... melakukan itu?"

Arga terdiam. Enggan menjawab.

"Ada yang hamil?" tanya Amara dengan suara lirih. Nyaris berbisik.

"Tentu saja tidak. Aku ... pakai pengaman."

Kini gantian Amara yang merunduk. Helaan napasnya begitu pelan.

"Amara, aku bersumpah! Aku tidak punya anak dengan wanita manapun."

Perlahan Amara mengangkat kepalanya yang terbalut hijab tosca. Sepasang mata jernihnya mulai berkaca-kaca.

"Amara ..."

Sontak Arga diselimuti rasa takut yang hebat. Ia membuat wanita itu menangis dengan ceritanya. Padahal ia belum sampai ke titik permasalahan. Rasa sesal pun muncul. Andai saja tadi ia benar-benar mengulur waktu. Bukan, bahkan seharusnya Arga tidak menceritakan apapun terkait masa lalunya.

"Lanjutkan cerita kamu," gumam Amara sembari menahan emosi yang mulai bergejolak.

"Amara ..."

"Lanjutkan!" Suaranya membentak.

Berkali-kali Arga menghembus napas kasar. Lagi-lagi menyesali keputusannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Tidak bisa kembali menjadi beras. Yang bisa Arga lakukan hanyalah mengolah agar bubur itu tidak menyakitkan untuk ditelan.

"Saat aku baru kuliah, Bunda sakit. Kondisi kesehatannya terus menurun. Saat itulah aku mulai belajar dewasa. Tidak lagi bergaul bebas dengan teman-teman. Bahkan tidak berpacaran. Ayah juga sampai jatuh sakit karena harus membagi waktunya antara Bunda dan perusahaan. Akhirnya aku cuti kuliah untuk membantu Ayah mengurus perusahaan."

Amara mengusap sisa-sisa air matanya dengan punggung tangan. Emosinya mulai meredam.

Arga kembali ragu untuk melanjutkan. Karena bagian selanjutnya pasti akan kembali mengaduk emosi sang calon istri.

"Amara ... sebaiknya aku sudahi dulu ceritanya."

"Nggak. Aku mau dengar semuanya. Kamu sudah janji," sergah Amara bersikeras.

"Tapi—"

"Kamu janji!"

Lagi-lagi Arga menghembus napas kasar. Lupa kalau wanita ini adalah manusia paling keras kepala yang pernah ia kenal.

"Oke," lanjut Arga kesal. "Saat aku mulai bekerja, disitulah aku kenal dengan ... ibu tiriku."

"Si muka plastik."

"Aletta."

Amara mendengus sebal. "Siapa sih dia?"

"Sekretaris ayahku."

"Hubungannya dengan kamu?" tuntut Amara lebih rinci.

"Amara ..."

"Apa hubungan dia dengan kamu?"

Arga benar-benar malas menjawab bagian ini. Selain tidak ingin kembali memancing emosi Amara, semua cerita yang berhubungan dengan Aletta di masa lalu benar-benar membuatnya muak.

"Arga!"

Arga kembali menjambak rambutnya kesal. Andai Amara bukan calon istrinya, ia pasti sudah angkat kaki dari ruangan itu. Segenap amarah sudah memenuhi dadanya. Tidak pernah terpikir oleh Arga bahwa berkata jujur akan menjadi sesulit ini.

"Dia mantan pacarku."

Fixed! Seperti yang diduga oleh Amara. Aletta dan Arga pasti punya hubungan di masa lalu.

"Sesuai tebakanku."

"Tapi hubungan kami tidak lama, Amara. Dia tidak tulus. Dia hanya memanfaatkanku untuk mendekati Ayah," bantah Arga kesal.

"Nggak mungkin, Ga. Dia menyukai kamu, bukan Pak Hardi."

"Dia tidak pernah mencintai siapapun! Yang dia cintai cuma uang. Aku dan ayah cuma alat."

Tidak ingin berujung ribut, Amara memilih bungkam. Matanya terpejam guna meredam emosi. Ia tahu Arga berkata jujur. Namun tetap saja ia marah. Ibu tirinya adalah mantan pacarnya? Yang benar saja. Persis judul sinetron di siang hari.

"Amara, aku benar-benar membenci wanita itu. Dia adalah alasan utamaku keluar dari rumah dan tinggal dengan Mama Jihan."

Sesuatu di pikiran Amara mendesak untuk ditanyakan. Amara enggan, tapi ia harus bertanya. Demi kelangsungan hidupnya nanti.

"Kalian ... pernah ...?"

"Tidak, Amara. Aku tidak pernah tidur dengannya."

Amara menatapnya dalam. Mencari kejujuran pada sepasang bola mata yang sedang nanar.

"Kissing?"

Arga menggeram kasar. Tidak pernah Amara melihatnya semarah ini. Mungkin pertanyaannya tadi menyinggung. Tapi Amara masa bodoh. Dia harus tahu keseluruhan masa lalu Arga dan sang ibu tiri.

"Don't push me like this!"

"Kamu janji, Ga. Kamu akan menjawab semua pertanyaanku."

"Ya, aku pernah make-out dengannya seperti kamu dengan Alvaro!"

=============================