webnovel

Love Is in The Air

- When you raise both hands and pray, don't forget to say my name. The one you love and care the most. -

***

"Makanya, liat-liat dong kalo bawa motor! Untung masih dikasih umur panjang. Coba kalo gue tutup buku, mau lo nanggung siksa kubur gue?" sembur Anggita sengit pada pria yang tengah terduduk lesu di atas brankar.

Merasa bersalah, ia enggan membalas picingan mata wanita cantik itu. Sesekali matanya menyipit menahan nyeri dari memar di bahu kanannya. Ia tak kuasa menghindar ketika tadi melihat seekor anak kucing tiba-tiba menyeberangi jalan. Tidak mau anak kucing itu terluka, Andro banting setir. Hingga motornya menabrak pohon di pinggir jalan.

"Ah, nggak ada gunanya gue ngomel-ngomel sama lo. Buang energi gue aja! Dasar robot, ck!" Anggita mendecak sebal.

Diam-diam ia melirik pada Andro yang hanya mematung sejak lengan atasnya selesai diperban oleh perawat IGD. Sebenarnya, Anggita juga merasa bersalah. Pria itu juga terluka karena melindungi dirinya.

Setelah mereka terjatuh dari motor akibat menabrak pohon, tak lama kemudian salah satu batang pohon di atas Anggita berderit dan patah. Tapi Andro langsung sigap bergerak melingkupi Anggita dengan tubuhnya. Batang pohon lebar itu menimpa sepanjang bahu hingga lengannya.

Kaki kiri Andro terkilir tertimpa motor, sedangkan bahu hingga lengan kanannya memar tertimpa batang pohon. Sementara Anggita hanya menderita luka lecet di kaki. Jika dibandingkan dengan kondisi Andro, Anggita masih bisa dibilang sehat wal'afiat. Tapi entah kenapa dirinya justru merasa sebal mengetahui kondisinya yang malahan baik-baik saja.

Anggita tidak suka memiliki hutang budi dengan orang lain. Apalagi hutang nyawa. Jika tadi batang pohon itu terjatuh mengenai kepalanya, barangkali ia mengalami pendarahan, gegar otak, dan hal-hal mengerikan lainnya yang tak mampu ia bayangkan.

"Ok, let's go!" ajak Clint pada keduanya setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit.

Ia menolong Andro untuk duduk di kursi roda yang sudah disediakan oleh perawat, lalu mendorongnya untuk keluar menuju pintu lobi.

"You're ok, cutie?" tanya Clint pada Anggita yang sibuk mengalihkan perhatian pada sebuah permainan tebak gambar di ponselnya.

"Nggak usah lebay deh, Clint. Cuma luka lecet apa sakitnya, sih?" gumamnya tanpa menghiraukan tatapan tajam Andro.

"Bisa nggak kamu ngeliat muka orang yang sedang ngajak kamu bicara?" tembak Andro langsung, yang membuat Anggita otomatis memandangnya sebal.

"Bisa nggak lo nggak usah ceramah?"

"Nggak bisa," jawab Andro tegas dengan mata lurus ke depan. Sesuatu yang aneh dirasanya saat tatapan mereka bersirobok.

Anggita yang tadi berjalan bersisian dengannya, kini menghadang jalannya kursi roda dengan menahan kedua pegangan kursi. Badannya membungkuk tepat di depan wajah Andro. Clint menghentikan dorongannya.

"Hei, Android! Dengerin gue baik-baik." Andro mendongak menatapnya. "Cuma karena lo udah sok berlagak heroik, bukan berarti gue bakal kalem sama lo. Lo dan gue, tetap bakal jadi minyak dan air. Musuh bebuyutan sampai kapanpun."

Andro memalingkan wajahnya yang menyeringai sinis. Namun telunjuk Anggita membalikkan wajah itu untuk kembali menghadapnya.

"Satu lagi, gue bakal biayain semua biaya pengobatan lo sampai sembuh. Gue nggak sudi punya utang sama lo. Apalagi utang nyawa. Gue bakal bayar semuanya!"

Selama beberapa detik, Andro memberanikan diri membalas tatapan yang menantang dirinya itu tanpa berkedip. Jika saja Clint tidak

menginterupsi keduanya, mungkin Andro akan menyerah dari tatapan yang sedang mengintimidasi itu.

"Gita, please. He's hurted! Talk later!"

Anggita kembali menegakkan badan tanpa melepas tatapannya dari Andro. Sengaja, ingin menunjukkan betapa tingginya martabat dan harga dirinya.

"Let's go, Clint!" lanjutnya santai pada Clint.

Meski lisan Andro tidak mengucap sepatah kata pun, Anggita tahu pria itu sedang meghujamnya dengan beribu makian di kepala. Berusaha tidak kembali naik pitam, Anggita hanya tertawa sinis. Sedangkan Clint, hanya bisa geleng kepala melihat sikap Anggita. Menurutnya wanita ini masih saja bersikap kekanak-kanakan.

Senyum nakal terukir di bibir Clint. Lihat saja nanti, ada rencana yang sudah Clint pikirkan masak-masak untuk Anggita.

Setibanya di vila, kedatangan ketiganya sudah disambut oleh wajah panik Retha dan Hasan yang sibuk menenangkannya.

"Ya Tuhan, Gita! Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Retha segera menghambur pelukan pada putri bungsunya itu.

"Apa sih, Ma? Cuma kaki doang yang lecet," jawab Anggita sembari melepas rangkulan sang Mama.

"Hah? Serius?" Retha mencermati kondisi putrinya dari bawah kaki hingga atas kepalanya.

"Seriussss, Mama! Ini pasti kerjaan Clint, nih! Dia ngadu apa ke Mama?" sungut Anggita sebal. Kedua matanya tengah memicing tajam pada Clint yang sedang cengar-cengir tak jelas.

Sebelum menjawab pertanyaan Anggita, Retha memindai kondisi Andro yang tengah menyangga kakinya dengan bantuan kruk. Namun matanya tertuju pada sosok pria di belakang Retha. Tubuhnya membeku. Retha berjalan mendekati Andro yang tak bergeming itu.

"Kamu nggak apa-apa?"

Kaget dengan sapaan Retha, wajahnya beralih. "Saya baik," jawabnya dingin.

"Maaf, saya ke kamar dulu." Ia berjalan lurus melewati sosok pria yang juga kaget dengan kehadirannya itu.

"Ssst, Git! Bantuin itu! Tanggung jawab kamu." Retha mendorong halus punggung putrinya.

Tapi dasar Anggita, bukan menuruti, ia malah putar badan berjalan menuju kamarnya. Namun sayangnya Clint sudah berdiri menghadang tubuhnya.

"Hm, wanna go somewhere, doll?"

"Apaan sih lo, Clint? Minggir!" Anggita berusaha mendorong Clint untuk menjauh dari hadapannya. Namun sayangnya tubuh gempal Clint terlalu berat.

"No! Help him!" perintah Clint tegas padanya. Kalau Clint sudah berwajah garang seperti ini, Anggita tak berani melawan. Paling-paling hanya bersungut dalam hati.

Meski kesal, akhirnya ia memutar badan untuk menyusul langkah Andro yang berjalan tertatih. Tak sudi, terpaksa, Anggita memilih untuk mengawasi saja langkah pria itu dari belakang. Meninggalkan Clint yang tertawa geli, Retha yang memutar mata, dan Hasan yang masih terpaku kaku.

"Hm, good girl!" gumam Clint. "But cranky."

"How 're they doing?" tanya Retha pada Clint dengan mata tak lepas dari punggung Anggita.

"Looks like you're going to have another son in law."

"Heh???"

"You know what they said, true loves come from pure hates."

Hanya memutar bola mata, Retha enggan menanggapi ocehan melantur Clint. Sejak beberapa hari yang lalu, orang kepercayaannya itu hanya sibuk menceritakan hubungan kerja Anggita dan Andro yang memburuk. Namun Clint selalu meyakinkannya jika Anggita sebenarnya memiliki rasa terhadap Andro. Jadi apa yang dilakukan oleh putrinya itu hanyalah sebuah counter-attack, mekanisme pertahanan diri Anggita. Begitu menurut Clint. Retha sempat berpikir jika memang benar begitu, artinya ia harus menyelidiki lebih dalam siapa sebenarnya Andro.

"Em, anak-anak di mana? The children?" tanya Retha merubah arah pembicaraan.

"They went to Tabanan. You know, the rice field, Jati Leuwih."

Retha manggut-manggut dengan membentuk huruf O di mulut.

"Ratna thought it would be a nice vacation for them."

"Hm, you talk a lot with her, do you?" Retha berseloroh, menyikut lengan Clint. Namun Clint tidak membantah, hanya mengeluarkan gelak tawanya yang membahana.

Retha ikut tertawa, tapi tidak Hasan. Sejak tadi pria itu benar-benar diam di tempat. Sesekali dengan tatapan kosong.

Membuat Retha semakin curiga. Sejak melihat reaksi Hasan dan Andro saat pertama kali mereka bersitatap tadi. Apakah mereka saling mengenal? Tapi kenapa mereka diam saja? Apalagi Hasan yang sejak tadi hanya mematung dan melamun.

"Mas, kamu kenapa?" tanyanya pada Hasan akhirnya setelah Clint pamit pulang. Kini mereka berdua sedang menyesap kopi dalam heningnya sore, ditemani suara jangkrik di taman.

"Nggak apa-apa."

Retha tahu pria itu tidak jujur. Ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. Sejak ia bertemu Andro, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Bahkan sekarang pun ia enggan menjawab pertanyaan Retha. Tak seperti biasanya.

Sementara Andro, merasa sangat terusik dengan kehadiran Anggita yang ikut masuk ke dalam kamarnya. Apalagi sekarang wanita itu menjelajahi barang-barang pribadi Andro dengan matanya.

"Kamu silahkan keluar," ucap Andro tegas.

"Emang kenapa? Ini kan rumah Mama gue." Anggita membalas acuh sembari memandang salah satu foto yang terpajang di atas meja.

"Tugasmu hanya memastikan aku selamat sampai di kamar. Dan tugasmu sudah selesai. Kamu bisa laporan pada Ibu Retha."

Anggita mengalihkan matanya, memandang sengit pada Andro.

"Hei, gue nemenin lo ke kamar bukan karena suruhan Mama. Tapi karena gue nggak mau berutang budi sama lo!"

"Anggap semua impas. Aku tidak akan meminta imbalan apapun."

"Eh Robot, dengerin gue ya. Semua akan impas, kalo gue yang bilang impas. Bukan lo!"

"Terserah kamu. Sekarang tolong keluar. Saya mau istirahat."

Bukannya menuruti permintaan Andro, Anggita justru mendudukkan diri di sampingnya. Kedua tangannya menopang dagu dari atas paha. Sepasang matanya menatap Andro intens.

"Lo kenapa sih, bawaannya galak melulu kalo sama gue? Tapi giliran sama Mbak Mara, maniiiissss banget. Emangnya gue kalah cantik gitu dari kakak gue?"

"Bagus kalo kamu nyadar. Jauh lebih cantik kakakmu."

"Mukanya?"

"Hatinya."

Anggita terdiam. Badannya yang tadi setengah membungkuk, kini menegak.

"Mbak Amara hatinya baik, jiwanya tulus, pikirannya cerdas. Tipe idaman semua pria."

"Termasuk kamu?"

"Aku juga pria."

"Tapi cengeng, melankolis, dan sentimentil. Kayak cewek!" cemooh Anggita seraya menjulurkan lidah. "Jadi elo, bukan tipenya dia."

"Nggak penting. Selama saya masih berteman dengannya, itu saja sudah cukup."

"Tuh kan, melankolis banget lo."

Andro terkesiap saat Anggita menepuk punggung belakangnya pelan. "Dude, gue kasitau ya. Cewek itu suka cowok yang bisa membuat dirinya merasa aman dan nyaman. Bukan membuat pikirannya khawatir setiap saat."

"Contohnya nih, nyambung waktu diajak ngobrol. Malah omongannya bikin adem hati. Bisa diandalkan setiap waktu. Punya wibawa. Omongannya bisa dipercay—"

"Jadi kamu suka tipe-tipe 'Pak Ustadz'?

"Lho, kok gue sih? Gue ngomongin mayoritas kaum hawa pada umumnya, lho."

Tak sadar, Andro tertawa kecil. Dan ini kali pertamanya, Anggita melihat tawanya. Ternyata cakep juga.

"Kamu pikir semua wanita sama? Karakternya saja beda-beda."

Anggita kembali menopang dagu. Kali ini sambil tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Imut sekali. Membuat Andro sedikit salah tingkah.

"Ehm, kenapa kamu cengar-cengir begitu?"

"Ketawa lagi, dong!"

"Hah?"

"Ayo, ketawa lagi."

Andro malah mengatupkan bibirnya lebih rapat. Matanya tak sadar menghindar.

"Lo kalo ketawa ganteng, tau! Lebih enak diliat jadinya. Mata gue jadi nggak sepet liat muka kulkas lo tiap hari."

"Sebaiknya kamu keluar sekarang." Andro kembali pada sikap dinginnya.

"Kenapa? Malu ya lo? Salting?" goda Anggita lagi. Wajahnya justru sengaja didekatkan pada Andro yang tengah memalingkan pandangan. Andro menutup kedua matanya rapat-rapat. Berharap wanita itu segera menghilang dari kamarnya.

"Tolong, keluar."

"Ih, nggak asik banget deh lo!" Anggita bangkit berdiri dengan wajah sebal.

"Gue males tau di luar. Ada om Hasan."

Andro membuka mata lebar saat mendengar nama itu. Wajahnya kembali diputar menatap Anggita.

"Om Hasan? Pria tadi?"

"Iya, yang tadi datang sama Mama."

"Siapa dia?" tanya Andro cepat.

"Rekan bisnisnya Mama." Anggita kembali duduk karena Andro tiba-tiba tertarik meneruskan percakapan. "Tadinya mau dijodohin sama Mbak Mara. Tapi Mbak Mara nggak mau. Ya jelaslah, si om-om tuir itu kan expert banget. Lima kali jadi duda. Sedangkan kakak gue masih perawan tung-tung."

Tidak menanggapi penjelasan Anggita, Andro terlihat melamun. Menatap kosong pada lantai marmer di kakinya.

"Kenapa lo?" tanya Anggita bingung.

Andro masih tak menjawab. Sibuk menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh. Kedua tangannya mengepal erat.

Tak beda halnya dengan Hasan. Pria itu juga sedang menatap hampa di taman vila. Tatapannya tertuju pada langit senja di Bali.

"Kamu kenal sama Andro?" tanya Retha akhirnya, membunuh rasa penasaran. Seperti yang diduganya, Hasan memalingkan wajah seketika saat mendengar nama itu disebut.

"Ooh, namanya Andro."

Retha yang sudah tak sabar, menyimpan cangkir yang baru saja disesapnya di atas meja.

"Ada apa sih antara kamu sama dia? Kalian saling mengenal, kan?"

Hasan masih enggan memutar wajahnya. Matanya menatap sendu.

"Mas, kalo kamu nggak mau jujur sama aku, gimana aku bisa bantu kamu?"

"Mas —"

"Assalamu'alaikum. Eeh, ada Bu Retha rupanya."

Retha langsung membalik wajah menghadap wanita yang tiba-tiba muncul di belakang punggungnya. Diikuti oleh Hasan yang melakukan hal yang sama.

"Walaikum salam. Bu Ratna baru pulang?" Retha berdiri lalu bersentuhan pipi kanan-kiri dengan Ratna.

Hasan yang tiba-tiba panik, berusaha menutup wajah menghindar. Namun sayangnya telat. Ratna terburu menyadari sosoknya.

"Mas Hasan?"

===========================

"Ok, Clint. Thanks!" Amara menutup sambungan telepon.

"Jadi gimana kondisi Gita?" tanya Arga yang sedang sibuk merancang gambar di laptop yang bertengger di atas pangkuannya.

"Alhamdulillah baik. Untung aja ada Mas Andro yang nyelamatin dia. Coba kalo nggak, bisa parah kondisinya."

"Alhamdulillah. Mama kamu sampai khawatir begitu tadi."

"Nah iya, makanya. Clint juga kurang kerjaan. Biasanya dia nggak bakal nelpon Mama kalo urusannya nggak urgent. Tumben amat masalah begini doang dia ngasih kabar."

"Hm."

"Untung kita kehabisan tiket. Coba kalo beneran nyusul kesana, terus ternyata dia nggak kenapa-kenapa kayak gini, jadi buang-buang duit kan?"

"Ya nggak juga, sih. Kamu kan juga bisa melepas kangen sama Gita."

"Kangen apaan? Aku lebih kangen suamiku daripada dia," sindir Amara. Sengaja.

"Ooh." Sayangnya tidak berhasil menyita perhatian Arga yang masih saja sibuk menggulir kursor.

"Iiih, rese' deh!" rutuk Amara sebal dengan bibir manyun.

"Siapa yang rese'? Ya kan nggak jadi, kok kamu masih cemberut begitu? Hm?" balas Arga tanpa sama sekali mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.

"Kamu tuh, nyebelin! Aku lagi ngomong, lho! Tapi dari tadi kerjaan melulu yang kamu urusin. Perhatian dikit kek, sama istrinya."

Arga yang mulai terusik, akhirnya menyimpan pekerjaannya sekaligus menyingkirkan laptopnya. Sang istri yang duduk cemberut melipat tangan di sampingnya, segera ia rangkul dari belakang.

"Kamu kenapa, Sayang? Ngambek terus seharian ini. Tadi pagi masalah roti bakar yang gosong Tadi siang masalah tumbler yang hilang. Yang sekarang, gara-gara aku atau Gita?"

Amara melepas kedua tangan suaminya yang melingkari pinggangnya lalu bangkit menghentak kaki dengan sebal. "Semuanya!"

Arga mengangkat sebelah alisnya saat tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Hm, kayaknya sebentar lagi aku libur dapat jatah ya?"

"Jatah apaan?" sahut Amara masih dengan intonasi tak bersahabat.

"Jatah bikin anak."

Karena sebal dan malu, Amara meraih bantalan kursi lalu melempar mengenai tubuh suaminya. Arga yang tidak merasa kesakitan, hanya tertawa gemas melihat aksi istrinya lalu menarik tangannya untuk kembali duduk. Kali ini di pangkuannya.

"Sepertinya ada yang butuh diedukasi, nih."

"Apaan sih kamu? Emangnya aku anak TK!"

Arga yang terlihat sabar, mengulurkan tangan untuk membelai rambut halus Amara. "Sayang, kalau sama suami tercinta jangan galak-galak. Meskipun kamu lagi PMS, ditahan amarahnya. Apalagi sama suami. Mau jadi istri sholehah, kan?"

Malu mengakui, Amara memainkan kancing kerah kemeja Arga untuk menyembunyikan wajahnya yang tengah memerah semu. "Ya kamu, sih. Nyebelin!"

"Sebel apa makin sayang?" goda Arga lembut.

"Iih, mulai deh! Kamu kalo kayak gini bikin aku jadi mati gaya, tau nggak." Amara mencubit gemas kedua sisi pipi suaminya. Mudah sekali ia mengalami yang namanya mood-swing. Mudah sekali hatinya diluluhkan. Mungkin memang benar kata Arga, lagi masa PMS. Meskipun Amara sedikit yakin, perubahan mood-nya bukan gara-gara penyambutan tamu bulanannya.

"Kalau mati gaya, kamunya nggak bisa diapa-apain ya?" Arga balas mencubit pucuk hidung Amara.

Daripada situasi semakin 'memanas' dan dirinya terpancing, lebih baik Amara menyudahi adegan mesra ini dengan kembali berdiri dari atas pangkuan suaminya.

"Udah ah, lanjutin aja tuh kerjaan kamu. Nanti jadi nggak fokus."

"Tadi aku tinggal kerja, kamu ngambek. Fokusnya beralih sebentar saja nggak masalah."

"Jangan dong. Kamu kan harus cari nafkah. Barangkali kamu lupa, aku sudah jadi pengangguran, lho."

Enggan kembali membuka laptop, Arga justru kembali mendekati Amara, merangkul pinggangnya. "Malah lebih enak begini, kan. Kalau aku berangkat, ada yang melepas. Kalau aku pulang, ada yang menyambut. Aku juga makin semangat cari duitnya."

"Hm, jadi semangat cari duitnya kalo akunya nggak ikutan kerja? Gitu? Padahal aku rencana mau kerja lagi."

Arga menghela napas pelan lalu melepas kedua tangannya. "Memangnya kenapa kamu harus kerja lagi?"

"Bosen, Ga kalo nggak ada kegiatan. Kalo masalah uang, aku percaya kamu bisa menafkahi aku dengan cukup. Tapi kamu harus ingat, aku ini wanita yang terbiasa punya kesibukan, rutinitas. Aku nggak bisa lama-lama berdiam diri. Yang ada malah stres aku nanti."

Arga duduk di tepi ranjang dengan menebar senyum. Sebenarnya sejak awal mereka menikah, ada rencana yang sudah ia persiapkan untuk Amara.

"Sebenarnya, aku ada usulan buat mengisi waktu senggang kamu."

Amara yang terlihat penasaran, langsung mendudukkan diri di samping suaminya. "Apa? Apa?"

Tanpa ragu-ragu, Arga mengemukakan rencananya. "Bagaimana kalau kamu belajar mengaji, ikut kajian muslimah, bedah al-qur'an dan hadits, atau kegiatan keagamaan lainnya? Selain menambah ilmu agama, kamu mendapat pahala, jadi wanita sholehah, sekaligus bekal untuk jadi bidadari yang menanti aku di surga."

"Serius, Ga?" Tanpa disangka oleh Arga, ternyata Amara menyambut baik usulannya dengan kedua bola mata berbinar-binar. Namun hanya sekejap, wajah itu kembali murung. "Tapi ... belajarnya sama siapa? Aku kan nggak punya kenalan ustadzah."

Arga menangkup kedua pipi Amara dengan penuh kelembutan. "Aku kenal sama seseorang yang bisa jadi guru kamu. Besok mau aku kenalin sama orangnya?"

"Beneran?"

Pucuk hidungnya kembali dicubit gemas oleh Arga. "Nggak percayaan banget sih suami sendiri."

Amara yang merasa hidungnya memerah, menarik tangan itu untuk digenggamnya erat. "Bukan gitu. Abisnya kok bisa kamu punya kenalan ustadzah? Bukannya kamu belajar agama sama seorang murobbi yang juga laki-laki, ya?"

"Kenalan kan bisa dari mana saja. Yang penting kamunya juga serius mau belajar."

"Insyaa Allah. Aku juga mau jadi wanita yang lebih baik. Bukan buat kamu tapi, ya. Jangan ge-er!"

"Hm, terus buat siapa?"

"Ya buat diriku sendirilah. Buat bekal hari akhir aku. Buat ngimbangin dosa-dosa masa lalu. Biar nggak berat-berat amat siksa kuburnya. Ngeriii deh kalo ngebayangin." Amara bergidik, kedua bahunya gemetar.

"Alhamdulillah, istriku makin sholehah. Kalau begini kan hati abang jadi adem."

"Iiih, apaan sih kamu? Siapa juga yang mau manggil kamu 'abang'?" kekeh Amara geli.

"Hm, sepertinya ... aku belum dapat panggilan sayang dari kamu." Arga semakin mengeratkan rangkulannya. Menarik tubuh Amara untuk merapat padanya hingga wajah mereka berdekatan, dahi saling menempel, pucuk hidung saling bersentuhan.

"Kamu tau kan aku bukan cewek romantis."

"Bukan berarti nggak bisa." Deru napasnya semakin berat.

Amara meneguk ludah. Posisi ini nyaman, namun membuat degup jantungnya tidak karuan. Amara berusaha mengendalikan diri dengan memejamkan mata. Lebih baik tidak bertatapan langsung.

"Kamu maunya dipanggil apa? Sayang?" tanya Amara nyaris berbisik, menahan napas.

"Coba kamu panggil sekarang." Napas Arga semakin berat.

"Sayang?"

Arga lebih dahulu memajukan bibirnya. Menyentuh sang pemilik hatinya dengan penuh kelembutan dan cinta yang berlimpah. Sensasi rasa yang belum pernah Arga rasakan sebelumnya. Bahkan dengan semua wanita yang pernah singgah di masa lalunya. Dengan Marisa, ia hanya sebatas kagum dan tak lebih dari rasa segan. Teman dari masa kecilnya itu memang dulu selalu menemani hari-harinya, membuatnya nyaman. Namun bukan jatuh cinta. Rasanya berbeda dengan yang ia rasakan saat ini.

Arga takluk. Dalam hati, Arga mengaku. Ternyata Amara adalah wanita pertama yang ia cintai. Arga Pramudya jatuh cinta pada Dania Amara Rielta, cinta pertama dan terakhirnya.

***