webnovel

Let It Be The Past

- The past is over. So, hand it over to the diary. And get over it! -

-Author-

***

"Ini dokumennya."

Sepasang bola mata Arletta menyapu ketikan pada beberapa lembar kertas putih yang baru saja disodorkan padanya. Surat perceraiannya dengan Hardi.

"Kenapa?" tanyanya usai membaca lalu berkaca-kaca. Kepalanya kembali mendongak pada pria tua di depannya.

Hardi yang sejak awal kedatangannya hanya berdiri, akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Arletta.

"Saya mau bantu melepaskan bebanmu satu-persatu," ucap Hardi lembut.

"Dengan bercerai?" Arletta menatap sendu.

Perlahan Hardi menarik dalam napas lalu membuangnya. "Ta ... jika motif kamu menikah dengan saya hanya untuk mendapatkan Arga, kamu nggak akan bisa. Dan nggak akan pernah bisa. Kamu juga tahu itu. Arga juga sudah bahagia dengan pilihannya. Kamu harus legowo."

"Kamu nggak ngerti, Mas. Nggak akan pernah ngerti!" Arletta mengisak tidak terima.

"Kamu pikir saya nggak pernah jatuh cinta? Hm?"

Arletta memalingkan wajah. Malas jika lagi-lagi harus

"Ta, saya juga tahu bagaimana rasanya patah hati. Ditinggalkan oleh orang yang sangat kita cintai.  Saya tahu betul rasanya," lanjut Hardi lirih. Membuat Arletta kembali menoleh padanya.

"Mbak Hilda?"

Tertunduk, ia mengangguk pelan. "Saya akan selalu mencintai Hilda selamanya. Maafkan saya tidak bisa menjadi suami seutuhnya untuk kamu selama ini."

Arletta menatap sendu. Tanpa diberitahupun, Arletta sepenuhnya mengerti jika Hardi memang tidak pernah memiliki rasa padanya. Pernikahan mereka murni hanya bentuk tanggung jawab Hardi padanya selepas insiden yang sama sekali tak mereka ingat kejadiannya. Cinta tidak pernah hadir di hati mereka.

Sesekali di rumah, Arletta mendapatkan pemandangan Hardi yang sedang meratapi foto mendiang istrinya. Di rumah itu, foto-foto Hilda masih terpajang rapi. Meskipun Arletta sudah menjadi istri kedua Hardi, tidak sekalipun ia pernah meminta agar gambar-gambar istri pertamanya itu disingkirkan. Karena Arletta memang tidak pernah peduli.

"Aku tahu, Mas. Kamu cinta banget sama Mbak Hilda."

Hardi melepas napas beratnya. "Memang nggak mudah, Ta. Saya membuang waktu bertahun-tahun hanya untuk berduka. Terlalu larut dalam kesedihan. Saya egois saat itu. Melupakan Arga yang juga kehilangan bundanya. Saya tahu dia sedih. Dan caranya melampiaskan kesedihan, beda dengan saya."

"Dan aku hanyalah salah satu objek pelampiasannya," lanjut Arletta berat, menyambung cerita suaminya.

Meskipun menyedihkan, Hardi mengangguk setuju. Hardi tahu semenjak Hilda sakit, Arga belajar menjadi pria matang. Ia menunjukkan dedikasinya terhadap perusahaan. Tapi setelah Hilda meninggal, Arga sama terpuruknya dengan Hardi. Ia juga berduka. Yang tidak pernah Hardi sangka adalah bahwa Arga akan kembali pada kebiasaan lamanya. Clubbing dan mempermainkan wanita.

Beberapa hari yang lalu, anak dan ayah angkat ini kembali bertemu untuk membicarakan masa lalu yang tidak pernah tuntas. Arga menceritakan semuanya. Sudah tidak ada lagi rahasia di antara mereka. Bahkan soal Arletta. Karena itulah Hardi akhirnya memutuskan untuk bercerai.

"Ta, kamu juga tahu kan cinta itu tidak bisa dipaksakan?" Tangannya terulur menyentuh punggung Arletta.

"Tapi aku yakin, Mas. Arga pasti masih mencintai aku."

Hardi kembali melepas napas panjang. "Ta, berhenti menipu diri sendiri. Belajar mengikhlaskan hati kamu."

Tanpa diminta, air matanya jatuh sendiri. Arletta tak kuasa menahan titik-titik air kembali mengaliri wajahnya. "Aku terlalu cinta sama Arga, Mas. Sampai-sampai aku nggak tahan dengan sakitnya."

Hardi yang terenyuh, bergerak mendekat untuk menenangkan Arletta dengan rangkulannya. "Ada satu hal yang Arga ajarkan pada saya setelah dia belajar agama. Katanya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Rasa berlebih yang kamu punya untuk Arga, pada akhirnya menjadi racun untuk jiwa kamu. Kamu harus mulai menangkal racun-racun itu."

"Gimana caranya, Mas? Gimana? Aku ... a—ku tersik—sa." Arletta menangis sesenggukan. Sesekali kalimatnya terpenggal. "Sa—sakit, Masss!"

"Sakiiittt!"

Hardi memeluknya erat, sangat erat. Didasari oleh rasa iba yang mendalam, ia menangkup kepala Arletta untuk bersandar di dadanya.

"Iya, saya tahu. Semua bentuk patah hati itu menyakitkan."

"Ban—tu saya, Mass. To—long."

"Ta ... mulai hari ini, kamu sholat ya. Jangan lupa, kamu punya Allah. Cuma Allah yang bisa menolong kamu saat ini."

Sontak Arletta melepas pelukannya. Matanya menatap dalam pada sepasang mata sayu di depannya. "Sholat?"

Hardi tersenyum lembut. Wajah itu mengingatkan Arletta pada ayahnya yang sudah lama tiada. "Itu juga yang diajarkan Arga pada saya. Mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa."

"Tap–i ... aku eng—gak tau gima—na ..." Arletta berusaha mengatur napas agar sengguknya hilang.

Hardi mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas kerjanya. Sebenarnya, ada alasan khusus kenapa ia sengaja menyempatkan diri bertandang ke LP setelah meeting di kantor. Bukan sekedar memberikan surat cerai.

"Ini, ada titipan dari Arga."

Arletta yang sedang sibuk menyeka wajah basahnya, mengarahkan matanya membaca tulisan di sampul depan buku itu.

"Tata cara sholat dan do'a?"

Tanpa menunggu sambutan tangan Arletta yang masih tercenung, Hardi meletakkan buku itu di atas pangkuannya.

"Kamu bisa pelajari buku ini. Kalau kamu bersungguh-sungguh, saya yakin Allah akan membantu semua masalah kamu."

Entah kenapa bulu kuduknya merinding menatap buku di pangkuannya. Sholat? Berdo'a saja ia tak pernah. Arletta bukan seorang atheis. Tapi ia tidak pernah menyertakan Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Arletta merasa hidup terlalu mudah untuknya. Semua mengalir seperti air. Tidak ada masalah berat yang berarti dalam hidupnya, hingga akhirnya tanpa sadar ia terjatuh ke dalam palung besar bernama 'patah hati' dan tersesat di dalamnya. Berkali-kali ia meneriakkan nama Arga, mengemis untuk diselamatkan. Tapi tangan pria itu tak pernah terulur untuknya. Arletta justru terperosok jauh lebih dalam, hingga ke dasar.

Jadi, seharusnya ia meminta pertolongan Tuhan? Tapi, apa iya Tuhan berkenan menolongnya? Dosanya kan banyak sekali. Ditambah lagi, ia sudah menghilangkan tiga nyawa tak berdosa akibat keegoisannya.

Arletta tertawa miris. Tawanya menyedihkan. Hanya gara-gara pasal patah hati, ia bahkan tak peduli dengan raga orang lain. Terutama ketika beberapa hari yang lalu ia dipertemukan dengan istri salah satu supir truk, korban tabrakannya. Wanita berjilbab sederhana dengan wajah tirus yang sedang hamil tujuh bulan, anak kedua. Anak pertamanya baru saja berusia dua tahun. Wanita itu bercerita jika suaminya juga menjadi pengurus masjid di desanya.

Lihat saja betapa jahatnya Arletta yang telah membunuh supir truk yang ternyata juga seorang marbot masjid. Dan meninggalkan seorang balita dan istri yang tengah hamil tua.

Yang lebih luar biasa lagi, wanita itu menggenggam erat kedua tangan Arletta. Mengucapkan jika ia ikhlas dengan takdir Illahi. Dan ia juga  memaafkan Arletta. Lalu meninggalkan Arletta dengan sebuah ruang hampa di relung hatinya. Seolah Arletta tidak bisa melawan ketika takdir menampar kesadarannya bolak - balik. Ia diam saja, ketika mertua dari wanita itu menjambak kuat rambutnya hingga ia jatuh terpelanting.

"Letta?" Suara lembut itu menyadarkannya.

Wajahnya kembali bertemu pandang dengan suaminya. Menatap serius pada wajah uzur itu.

"Baik, Mas. Akan aku coba. Aku sudah muak dengan semua rasa ini."

============================

Sudah lima menit Amara berdiri kaku di pinggir jalan itu. Bibirnya membuka. Sesekali mengerjapkan matanya tidak percaya. Menatap pemandangan di depannya dengan rasa campur-aduk. Ternyata ini mas kawin yang diberikan oleh Arga untuknya.

Sebuah rumah tua rusak dua lantai dengan pagar berkarat dipenuhi tanaman sulur. Halaman depannya penuh dengan semak belukar. Tak terawat sama sekali. Genteng di bagian depannya tidak lengkap, beberapa bagian bolong tidak tertutup. Cat di dinding luar bagian depan rumah mengelupas dan berlumut. Beberapa bingkai jendela lepas, memberi akses untuk melihat kondisi di dalam rumah yang tidak jauh berbeda. Pintu depannya? Untung saja masih dalam kondisi lumayan. Terbuat dari kayu jati yang dipenuhi ukiran di atasnya. Bagian tengah hingga belakang rumah sudah hancur lebur. Puing-puing kayu gosong bertebaran di mana-mana. Hanya bagian depan saja yang masih terselamatkan. Sepertinya sisa-sisa kebakaran.

"Kamu suka tempatnya?" tanya Arga santai dengan punggung bersandar pada mobil. Kedua tangannya terlipat di depan.

Amara membalik kepala perlahan ke belakang dengan mulut menganga. "Kamu ... serius?"

Dengan senyum ringan, Arga mengangguk mantap.

"Ta—tapi ..."

"Kamu bebas merancang untuk renovasinya. Tapi ..." Arga melangkah maju mendekati Amara. "... aku ingin bentuknya tetap seperti ini."

Telapak tangannya disatukan dengan tangan Amara. Hangat.

"Kenapa sih kamu beli rumah rusak ini? Kayak nggak ada pilihan yang lebih baik." Amara memajukan bibirnya kecewa.

Berlawanan dengan reaksi Amara, Arga justru menatap rumah itu dengan pandangan berkaca-kaca. "Kamu tahu nggak? Ini rumah pertamaku."

"Hah?" Amara menatap kaget.

"Waktu itu, hampir tengah malam. Kami berempat sedang tidur. Aku terbangun karena mendengar suara batuk Saki. Saat aku keluar kamar, rumah sudah dipenuhi asap. Aku bergegas mengeluarkan Saki dari kamar, lalu menggedor kamar orangtuaku. Papa membawa kami ke jalan. Lalu masuk lagi untuk menolong Mama. Di luar sudah ramai, dipenuhi warga yang juga menolong membawa air untuk memadamkan. Tiba-tiba ada suara ledakan dari belakang rumah. Papa keluar dengan punggung terbakar sambil menggendong Mama. Saat dibawa ke rumah sakit ..." Arga tidak melanjutkan karena setitik air mata jatuh di pipinya.

Amara melepaskan genggaman untuk mendekap erat Arga yang sedang berusaha mengurai sedihnya.

"Maaf ya, Ga. Aku nggak tau. Maaf," sesal Amara ikut sendu.

Arga menarik istrinya untuk masuk ke dalam dekapannya lebih dalam. Setitik nyeri kembali muncul di sudut hatinya.

"Aku baru ingat kejadian ini saat baru masuk SMA," lanjut Arga.

"Nggak sengaja, aku melewati jalanan ini waktu mau main ke rumah temanku."

Amara mendongakkan kepalanya yang masih berada dalam rangkulan sang suami. "Jadi ... waktu itu kamu hilang ingatan?"

"Tidak, cuma bagian kebakaran itu saja. Sepertinya aku trauma, jadi berusaha menghapus memori waktu itu dari ingatan."

Sepasang mata bening Amara menatap dalam pada suaminya yang masih terpaku pada rumah itu. "Setelah kamu ingat, kamu gimana? Jadi depresi?"

"Aku sudah cerita kan bagian aku jadi anak nakal?" Kepala Arga tertunduk untuk membalas tatapan Amara.

"Tapi kan kamu bilang ... karena kamu waktu itu anak manja."

Arga terdiam sejenak. Memang benar waktu itu Arga belum jujur sepenuhnya pada Amara. Bukan tidak mau jujur, hanya saja waktu itu ia sedang tidak ingin diingatkan oleh mimpi buruk yang kerap menghantui tidurnya itu. Kejadian naas malam itu terus-menerus berulang menjadi bunga tidurnya. Dan anehnya, itu hanya terjadi pada dirinya saja, tidak dengan Sakya.

Sakya bahkan tidak ingat dengan jelas kejadian malam itu. Yang adiknya itu tahu, orangtua mereka meninggal dalam kebakaran. Itu saja.

"Jadi ... kamu doyan clubbing, minum-minum, perempuan ... itu cuma—"

"Pengalihan dari rasa sakit." Arga menghela napas berat. Sudah terlalu sering ia menyesali segala tindak-tanduk perbuatannya di masa lalu. "Aku tahu perbuatanku itu salah. Tapi waktu itu aku cuma remaja puber yang belum tahu caranya mengontrol emosi."

"Kamu nggak coba bicarakan masalah itu dengan ayah Hardi atau bunda Hilda?"

"Mereka terlalu sibuk dan aku ... aku terlalu 'sakit'."

Amara kembali mengeratkan pelukannya. Kedua tangannya sibuk mengusap punggung sang suami untuk menyalurkan kekuatan.

"Kamu tenang aja. Pokoknya, aku bakal bikin rumah ini jadi rumah impian kita."

Tersenyum ketika mendengar kalimat optimis itu, Arga menatap dalam pada sepasang mata jernih yang membuatnya jatuh cinta.

"Kita bikin sama-sama, ya."

Bukannya membalas senyum, Amara malah menarik diri keluar dari dekapan suaminya dengan wajah cemberut. "Nggak mau, ah! Aku mau bikin sendiri."

"Kok gitu?"

"Biar jadi hadiah dari aku buat kamu." Amara mesam-mesem dengan wajah memerah, bak remaja ABG yang sedang tersipu malu.

Andai saja mereka tidak sedang beredar di jalanan, pasti Arga akan menariknya masuk ke kamar saat ini. Hatinya sudah dibuat takluk oleh Amara. Entah sejak kapan, wanita sok tahu berpikiran rumit yang sejak awal sangat menjengkelkan, ternyata kini melekat erat di hatinya.

Memang benar pesan murobbi-nya waktu itu. Lebih indah berpacaran setelah halal. Tidak ada lagi was-was. Tidak ada lagi memendam rasa. Segala sesuatunya terasa nikmat dan indah.

Yang lebih penting lagi, meskipun Amara bukan Marisa, wanita sholehah yang hampir dinikahinya, tapi Amara adalah satu-satunya wanita yang pernah dikenalnya yang mau berubah menjadi lebih baik, bukan untuk Arga, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Berkembang untuk menjadi pribadi yang kuat.

Seperti adamantine, logam keras yang tidak akan lebur oleh deraan apapun. Tetap kuat dan kokoh. Begitulah Amara dimatanya.

"Eh, Ga ... hmmm, sebenarnya dari kemarin ada yang mau aku tanyain sama kamu. Ada yang bikin aku bingung," tanya Amara padanya begitu mereka sudah kembali masuk ke dalam mobil.

Arga yang tadi akan memutar kunci starter, mengurungkan niatnya. Tubuhnya memutar ke samping, menghadap sang istri.

"Kaaan, waktu di Bali itu ... kamu bilangnya ke Mama kalo ..." Amara tampak ragu-ragu untuk melanjutkan.

"Apa?" tanya Arga lembut. Membuat Amara kembali bertekad melanjutkan demi memuaskan rasa penasarannya.

"Emmm, waktu itu kamu bilang kan ... aku itu cewek pertama yang ..."

"Hm?"

"... ehm, yang nyium kamu." Amara memalingkan wajah merahnya.

"Hmmm." Arga melebarkan senyumnya. Gemas rasanya melihat tingkah malu-malu Amara. "Memang iya."

"Ta—tapi kan, kamu udah pernah ... ya—ehm, ya jadi—jadi waktu itu kamu bohong dong ke Mama." Amara kembali membuang wajah gugupnya ke luar jendela.

Aneh, meskipun mereka sudah resmi menjadi suami istri, kenapa tetap saja sulit bagi Amara untuk tidak bersikap canggung pada Arga. Rikuh. Apalagi jika membahas masalah yang satu itu. Padahal mereka juga sudah berkali-kali berhubungan intim.

"Aku nggak bohong, istriku yang cantik."

Rona-rona merah di pipi Amara semakin kentara. Mengalahkan warna tomat yang sudah ranum di pohon. Debaran di dada kirinya pun semakin kencang. Amara semakin bingung dengan reaksi yang muncul di tubuhnya setiap kali Arga membuat hatinya meleleh. Padahal mereka sudah menikah, tapi rasanya seperti anak remaja yang baru saja jatuh cinta. Berbunga-bunga. Bahkan tidak peduli kata-kata suaminya itu hanya sekedar rayuan receh atau benar tulus dari hati. Amara menikmati semua rasa itu.

"Y—ya gimana caranya? 'Begituan' tanpa—ehm, kissing?"

"Memang begitu," jawab Arga setengah menggumam. Agak malu sebenarnya untuk mengakui.

"Hah? Serius?" Kini Amara kembali menatap suaminya tak percaya.

"Serius, Sayang."

"Kenapa?" Amara menopang dagu di atas pahanya. Kakinya bersila di atas jok. Matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Kini giliran Arga yang memalingkan wajahnya. Menatap deretan tanaman di pinggir trotoar. Tubuhnya condong ke depan, bersangga pada kemudi. "Karena aku tidak mau jatuh cinta. Lagipula, berurusan dengan perasaan wanita itu rumit."

"Hah?"

Arga menghembus napas beratnya. Sebenarnya ia sudah lelah mengulik-balik ke masa lalu. Masa-masa kelam yang benar-benar ingin dikuburnya rapat-rapat. Tapi Arga sadar, wanita di sebelahnya ini berhak tahu segala rahasia di masa lalunya. Kalaupun nantinya reaksi Amara penuh dengan amarah, Arga ikhlas. Ia memang pantas mendapatkan hukuman dari dosanya di masa lalu.

"Dulu, aku itu cowok brengsek, bejat. Perempuan - perempuan yang pernah bersamaku itu hanya sebuah objek pelampiasan. Sama sekali tidak ada rasa yang terlibat waktu aku melakukannya dengan mereka."

"Ibu tiri kamu?"

"Termasuk dengan Letta. Kamu bisa tanya dia. Tapi aku nggak yakin dia akan menjawab jujur."

"Jadi kalian make-out tanpa ..."

"He'em. No kissing." Arga mengangguk singkat.

Amara menundukkan pandangan. Benar-benar tidak menyangka jika Arga benar-benar pria jahanam di masa-lalunya. Tapi Amara sadar. Ia tidak bisa menghakimi seseorang berdasarkan masa-lalunya. Semua orang pasti punya aib, cerita pahit yang tidak ingin dikenang. Termasuk Amara sendiri. Dan Arga yang sekarang, bukanlah Arga yang dulu. Sama seperti Amara yang sekarang, bukanlah Amara yang dulu berpikiran sempit.

"Kamu marah?"

Tertegun, Amara kembali mendongak menatapnya. "Kenapa harus marah?"

"Aku sudah bikin kamu kecewa." Arga menatap lurus pada jalanan yang masih lengang.

Amara melepas sabuk pengaman lalu beringsut memajukan wajahnya ke samping suaminya. "Kenapa aku harus kecewa?"

Suaranya dilembutkan saat melanjutkan, "I'm your first kiss, right?"

Terpana dengan kalimat itu, Arga memutar wajah. Tanpa diduganya, Amara melancarkan serangan padanya. Kedua bibir itu bertemu. Saling meraba penuh kasih. Saling membalas penuh kelembutan.

"Ga ..." Dengan napas terengah-engah, Amara menarik wajahnya mundur. "Kenapa waktu itu ... kamu nggak nolak waktu aku—cium?"

"Sepertinya kamu sudah tahu jawabannya." Arga kembali menarik wajah Amara mendekat. Kembali memuaskan apa yang diinginkan oleh hati dan pikirannya.

Amara sadar, kebahagiaan itu sebuah pilihan dari hati. Jika ia tidak bahagia, maka hatinya salah. Hidup tidak akan pernah mudah. Akan selalu muncul masalah baru. Tapi masalah, membuat manusia menjadi lebih dewasa. Lebih matang. Lebih manusiawi.

Setidaknya begitu yang ia rasakan sekarang. Menjadi lebih dewasa berkat pria bernama Arga.

.

===========================

.

"Jadi, masalah Amara sudah beres kan? Kamu sudah nggak perlu aku atau pria lain untuk mengejar-ngejar anakmu itu?"

"Lega rasanya, Mas. Setidaknya Amara berhasil memenuhi janjinya." Retha menghela napas panjang.

"Bahkan melebihi ekspektasi. Dia sudah menikah sebelum pesta akhir tahun perusahaanmu." Pria gagah dengan brewok itu berdiri di sampingnya. Menemaninya menatap cakrawala di sore hari.

"Iya, aku benar-benar nggak nyangka." Retha terkekeh pelan.

"So, what about us?" Pria itu memajukan wajahnya. Mata sipitnya ingin lebih leluasa memandang wajah awet ayu itu.

"Mas Hasan ... kamu ingat kan, aku punya dua anak? Masih ada Anggita."

Hasan membuang napas beratnya. Lagi-lagi argumen Retha membuatnya kecewa. Wajahnya berpaling, lalu tubuhnya disandarkan pada jendela.

"Mas, aku nggak tahu bagaimana reaksi anak-anak nantinya. Dan aku terlalu takut untuk itu. Kami semua baru saja berdamai. Aku nggak mau—"

"Kamu selalu minta aku yang harus mengerti. Bagaimana denganku, Retha? Bagaimana dengan perasaanku? Apa kamu mengerti perasaanku?" tuntut Hasan mulai tak sabar.

"Tapi Mas ... anak-anakku tahu gimana masa lalu kamu, rekam jejak kamu. Kamu sudah menikah lima kali, Mas. Lima kali! Apa kamu pikir mereka mau begitu saja memberikan restu?"

Hasan menggeram gusar. Ingin menyangkal, tapi tidak bisa. Ucapan Retha itu benar. Bagaimana mungkin dengan mudahnya Amara dan Anggita akan memberikan restu padanya untuk menjadi ayah tiri mereka? Apalagi mengingat betapa ia sudah membuat Amara kesal setengah mati dengan kelakuannya yang bak buaya darat.

Namun setidaknya, Hasan mau berjuang. Apapun itu demi mendapatkan Retha, cinta pertama dan terakhirnya. Tapi tidak sama halnya dengan Retha. Wanita awet cantik ini terlihat lemah dan ragu dengan perasaannya. Membuat langkah Hasan acap kali terhambat.

"Retha," panggilnya dengan kedua tangan merengkuh pundak wanita itu. "Kamu cinta aku, kan?"

Cinta. Satu-satunya kata yang tak pernah lolos dari bibir Retha untuk dirinya. Tidak sekalipun.

"Mas, aku—"

"Tolong jangan beri aku alasan lagi. Jawab aku, Retha. Aku mohon, jawab jujur Retha."

Tepat saat hendak membuka mulut, ponselnya di atas meja bergetar. Alih-alih melanjutkan pembicaraan, Retha melangkah meraih ponselnya. Sebuah pesan masuk yang dibacanya, membuat kedua matanya membulat lebar. Tangannya gemetar, wajahnya memucat.

"Ada apa?" Hasan mendekatinya saat melihat wajah takut wanita itu. Menyingkirkan segenap ego yang tadi merasukinya.

"Mas, aku harus segera ke Bali. Clint bilang ... Gita kecelakaan."

===============================