webnovel

Chapter 31

"Kau menghancurkan semua rencanaku, Gary!" Yuri terlihat mencurahkan segala amarahnya dengan melemparkan barang-barang di sekitarnya.

"Tenangkan dirimu, Yuri," ujar Gary berusaha menenangkan wanita itu. Mereka saat ini sedang berada di apartemennya. Semenjak wanita itu diusir secara tidak terhormat oleh suaminya sendiri, emosinya benar-benar tidak stabil.

"Tenang? Setelah apa yang sudah kau lakukan, kau menyuruhku untuk tenang?" Yuri memandang Gary tidak percaya. "Gara-gara kau, aku kehilangan orang yang yang kucintai!"

Gary terdiam di tempatnya. Ia tahu Yuri sangat mencintai Justin, namun ketika wanita itu selalu mengungkapkan perasaannya, Gary merasa dadanya teremas sakit. Ia memang belum lama mengenal Yuri, ia pun menjadi penjaganya baru sekitar enam bulanan. Tapi Gary tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika Yuri mendekati tipikal wanita idamannya.

Mungkin sulit bagi Gary untuk bisa memiliki hati Yuri sepenuhnya, jika bukan karena insiden itu, Gary juga tidak akan bisa sedekat ini dengan Yuri.

Setiap kali Yuri merasa kesepian, Gary selalu berada di sisinya. Ia selalu berusaha menyenangkan wanita itu dengan cara apapun. Meski dengan kenyataan jika hatinya bukanlah miliknya.

"Yuri, aku begini demi kebaikanmu dan anak kita."

"Anak kita?" Yuri melirik perutnya yang mulai membesar. Tangannya tanpa sadar mengusap perutnya, wajahnya terlihat sendu. Namun di luar dugaan tiba-tiba ia berjalan menuju ke dapur dan mengambil pisau yang ada disana.

"Aku akan membunuhnya! Jika dia tidak ada, Justin pasti akan menerimaku lagi," katanya sambil mengarahkan pisau itu ke perutnya. Gary yang melihat itupun segera menahannya.

"Yuri, kau gila ya? Setidak sukanya kau padaku, dia berhak untuk hidup!"

"Lepaskan aku! Kau tuli ya?!"

Terjadi adegan tarik menarik pisau, Gary berusaha menjauhkan pisau itu dari Yuri, sementara Yuri berusaha menikam perutnya sendiri dengan pisau itu.

Hingga akhirnya pertikaian itu dimenangkan oleh Gary. Pisau terpelanting jatuh, Gary segera menendangnya ke segala arah menjauhkannya dari jangkauan Yuri.

"Sadarlah! Bukan hanya anak itu yang akan kehilangan kesempatan hidupnya, tapi kau juga bisa meninggal karena kebodohanmu sendiri!" Gary membentak Yuri. Wanita itu menangis, Gary menghela nafas dan menarik Yuri ke dalam pelukannya.

"Aku mencintainya, Gary! Aku tidak bisa hidup tanpanya!! Kau tidak akan mengerti apa yang aku rasakan," ucap Yuri sambil menangis sesenggukan.

"Aku tahu, aku tahu bagaimana rasanya ketika kau mencintai seseorang." Gary menjawab curahan hati Yuri. Karena saat ini ia juga merasakannya. Gary mencintai Yuri, namun sayangnya wanita itu tidak melihat ketulusan dan keseriusannya. Ya, itu menyakitkan.

Cukup lama mereka berada di posisi itu, Gary berusaha menenangkan Yuri. Namun karena Yuri sedang mengandung, Gary berusaha menghiburnya. Ia tidak mau wanita itu terlalu stress hingga mengganggu kandungannya.

"Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia, Yuri," kata Gary berbisik. "Tapi untuk saat ini, fokuslah pada anak yang ada di dalam kandunganmu. Dia berhak merasakan kehidupan di dunia ini. Sama seperti kita."

Yuri melepaskan pelukan Gary, ia memandang pria itu, lalu beralih ke perutnya.

"Maafkan mama, nak. Mama janji akan menjagamu sampai nanti."

Hati Gary menghangat, pria itu merasa terharu dengan perilaku Yuri yang berbicara dengan anak yang berada di kandungannya.

Melihat Yuri memperlakukan kandungannya dengan baik, membuat Gary tidak membutuhkan apapun selain melihat wanita itu bahagia. Itulah janjinya.

****

"Nanti jangan lupa ya?" Noe mengatakan itu pada Yuta. Pria itu mengangguk.

"Iya, aku tidak akan lupa," jawabnya. Mereka pun berpisah, namun bertepatan dengan itu Mary muncul dan berpapasan dengan Yuta.

Pria itu nampak terdiam, namun kemudian dia segera pergi dari sana setelah menyapanya dengan senyum. Mary kemudian menghampiri Noe.

"Hai, Mary," sapa Noe ketika melihat kedatangan Mary.

Sementara itu, Mary tersenyum menanggapi sapaan Noe, namun kemudian ekspresinya berubah serius.

"Sepertinya akhir-akhir ini kau sering sekali bersama Yuta sensei," kata Mary menegur Noe. Wanita itu nampak mengibaskan tangannya di udara menampik teguran Mary.

"Kau tahu, jika urusannya dengan Yuta sensei, berarti nilaiku sedang jeblok-jebloknya," jawabnya.

"Ah, begitukah?"

Noe mengangguk. "Oh iya, kemarin aku minta maaf tidak bisa pulang bersamamu."

"Tidak apa-apa," jawab Mary memaksakan senyumnya. Setiap kali mengingat kejadian kemarin, Mary selalu terngiang-ngiang Noe yang sudah berbohong padanya.

"Kemarin aku ada urusan dengan keluarga, jadi aku harus buru-buru," katanya. "Oh iya, kemarin kau ingin membicarakan sesuatu, kan?"

Mary memandang Noe yang berdiri di depannya. Wanita itu benar-benar tidak jujur padanya. Urusan keluarga? Sudah jelas-jelas dia kemarin berduaan dengan Yuta di perpustakaan. Mary jadi malas membicarakan hal yang ingin ia bahas serius dengan wanita itu mengenai permasalahan Miru yang menculiknya, dan juga kenyataan jika Miru adalah adik Noe.

Kepalanya menggeleng. "Tidak, kemarin aku hanya ingin mengajak pulang bersama saja. Tapi karena kau ada urusan, aku bisa apa? Karena sepertinya urusanmu lebih penting daripada aku," sindir Mary terselubung. Namun Mary tahu Noe tidak akan menyadarinya.

Sementara itu, ada perubahan ekspresi di wajah Noe. Mungkin karena wanita itu sudah berbohong, jadi dia sedikit merasa bersalah.

"Oh iya, aku ke kelas dulu ya," ujar Noe pamit pergi. Mary mengangguk.

"Nanti saat jam makan siang ke kantin bareng, oke?"

"Oke!"

Setelah berpisah, mereka memasuki kelas masing-masing. Karena Noe ganti jurusan, jadi mereka tidak bersama lagi.

Tidak terasa jam pelajaran pun selesai, setelah janjian dengan Noe tadi pagi, Mary bergegas menuju kantin untuk makan bersama dengan wanita itu.

Saat memasuki kantin, Noe sudah berada disana dan memberikan sinyal padanya jika wanita itu sudah menunggunya. Namun Mary nampak terkejut ketika mendapati Noe tidak sendirian di mejanya.

Setelah selesai mengantri mengambil bagian makanannya, Mary dengan enggan menuju ke meja dimana Noe berada.

"Hai, Mary," sapa orang yang bersama Noe setelah ia tiba di bangku itu. Mary hanya tersenyum sebagai tanggapan.

"Selamat siang, Yuta sensei," jawab Mary menyapa balik. Ya, orang yang bersama Noe adalah Yuta. Mary tidak menyangka Noe akan seberani ini berdekatan dengan Yuta disaat anak-anak lain tengah memusatkan perhatian mereka padanya.

"Aku sudah menunggumu dari tadi," kata Noe melanjutkan makan siangnya.

"Begitukah? Kelasku memang sedikit molor tadi."

"Wah, pasti dosennya tidak seperti Yuta sensei yang begitu pengertian dengan anak-anak, benarkan sensei?" tanya Noe dengan sorot mata penuh makna. Pada awalnya Yuta nampak tidak nyaman, namun kemudian ia hanya tersenyum sebagai tanggapan.

Disini Mary melihat sisi Noe yang lain, kenapa wanita itu jadi begini? Sepertinya dulu Noe tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada Yuta. Namun semakin kesini, ia makin menunjukkannya secara terang-terangan. Remidi? Omong kosong apa itu?

Panggg!

Tidak berapa lama ada seseorang yang meletakkan nampak makanannya di depan meja Mary yang masih kosong. Mary mengangkat wajahnya untuk melihat siapa orang itu. Namun setelah mengetahuinya ia tersenyum.

"Miru?"

Wanita itu balik tersenyum dan memandang ke arah Noe serta Yuta bergantian meski kedua orang itu terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya.

"Aku boleh bergabung, kan?" tanyanya.

Meski Mary tahu Yuta dan Noe seperti tidak menginginkannya, namun dengan yakin ia mengangguk.

"Tentu saja."