webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
155 Chs

Meminta Maaf

Tepat saat waktu menunjukkan pukul 1 siang, semua calon siswa kelas 1 SMA itu berdiri dari duduk mereka dan merapihkan barisan seperti semula. Ricky baru kembali dari toilet sekitar 10 menit yang lalu ketika ia tidak mendengar suara Aurel melalui pengeras suara itu.

"Baiklah, sekali lagi selamat kepada kalian yang sudah melewati masa-masa MOS tiga hari ini yang begitu menyenangkan!" Jo mengakhiri pidato singkatnya dengan sahutan yang meriah. Auranya terlihat berbeda dari sebelumnya. Terlihat lebih hangat dan friendly.

(Cih, menyenangkan? Untuk kalian sih iya,) batin Ricky. Hatinya tidak sebaik dengan teman-temannya yang sudah bernapas lega karena telah melewati MOS yang menegangkan itu. Malah semakin memburuk saat ia melihat sosok kakaknya sedang berdiri tak jauh dari sudut lapangan sekolah. Ia terlihat sedang memberi senyuman, tetapi tidak digubris oleh Si Adik yang hanya membuang muka darinya.

"Saya, Joseph Triadi Baskoro, selaku Ketua Pelaksana MOS, ingin meminta maaf kalau ada sifat-sifat saya juga panitia-panitia yang kurang mengenakkan di mata adik-adik sekalian," kata Jo. "Yak, ini sudah saatnya. Kalian siap-siap ya. Pas sudah hitungan ke-3, kalian lempar nametag kalian tinggi-tinggi sebagai tanda kalau kalian sudah menjadi siswa resmi kelas 10 SMAN 2 Cakrawala."

"1... 2... 3!!"

Duaarr!!

Confetti meledak begitu saja tepat saat hitungan ketiga itu, disusul dengan nametag-nametag yang berterbangan dan diputarkannya musik remix yang membuat siapa saja bergoyang mendengarnya karena alunan musiknya yang asik.

Aurel cepat-cepat meraih ponsel di sakunya dan mengambil momen-momen berharga yang mungkin saja tidak terjadi dua kali dalam hidupnya. Ia mendekati Ricky beberapa langkah untuk mengambil lebih jelas senyuman-senyuman riangnya karena terbawa suasana itu.

"Kiki! Lihat ke kamera dong!" Aurel setengah berteriak untuk memanggilnya di tengah hingar-bingar. Merasa Ricky masih tidak menoleh ke arahnya, ia pun mencoba memanggilnya lagi dengan panggilan yang berbeda. "Ricky! Lihat ke kamera HP kakak!" panggilnya lagi.

Sebenarnya Ricky sudah mendengar panggilan Aurel yang pertama. Namun, ia berpura-pura tidak mendengarnya. Saat ekor matanya melihat Aurel akan menghampirinya, cepat-cepat Ricky merangkul Yoga yang asik berjoget tidak jelas di belakangnya dan membawanya semakin masuk ke dalam keramaian itu.

"Yahh...," keluh Aurel. "Biarlah. Setidaknya aku sudah dapat foto banyak." Aurel mengedikkan bahu sambil melihat beberapa hasil foto yang ia dapat. Sesekali ia senyum-senyum sendiri karena melihat betapa bagusnya foto-foto yang ia dapat itu. "Boleh juga nih, aku jadi fotografer." Ia memuji diri sendiri. Namun, tiba-tiba saja senyuman itu memudar cepat saat layar ponselnya menampilkan nama klien yang belakangan ini sedikit menganggunya. Aurel pun segera mencari tempat yang agak sepi dan mengangkat panggilan masuk itu.

***

"Ayo masuk mobil, Kiki. Kita pulang."

Ricky masih terdiam tepat di sebelah mobil beetle putih yang sudah dimasuki oleh Aurel itu.

"Kiki?" Aurel menurunkan jendela mobilnya itu dan melihat ekspresi Ricky yang tidak biasanya itu. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut.

"Lu ngepain, sih, cerita tentang gue di depan semua orang?!" hardik Ricky. Ia menumpahkan seluruh kekesalannya di parkiran yang sedang sepi itu.

Aurel tersentak saat mendengar hardikan keras dan serius dari adiknya yang baru pertama kali ia dengar dalam hidupnya itu. "A-aku gak cerita semua kok," gugupnya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap.

Ricky memutar bola matanya. "Bohong," timpalnya, "Kalau gue sampai gak punya temen dan dibully gara-gara lu, gue mau pindah sekolah dan lu gak boleh datang ke sekolah gue!" ancam Ricky. Ricky pun beralik badan dan menjauh dari parkiran itu sambil berkata, "Gue mau pulang sendiri aja."

Aurel terdiam sesaat karena cukup syok. Ia tidak tahu apa yang salah darinya sampai-sampai Ricky tidak menggunakan aku-kamu untuk berbicara dengannya. Baru pertama kali Aurel melihat wajah kesal Ricky sampai merah padam dengan kedua alis bertaut dalam. Satu-satunya ekspresi yang membuat hati kecil Aurel terisak. Ia ingin sekali mengejarnya dan bertanya kenapa ia bisa sangat marah padanya. Namun, tuntutan waktu untuk segera bertemu dengan kliennya yang sempat ia undur-undur itu, membuatnya harus bergegas cepat. Ia pun segera melajukan mobilnya keluar dari gerbang sekolah dengan perasaan kacau.

Melihat mobil beetle putih itu keluar dari lingkungan sekolahnya, Ricky menghela napas dan dihembuskan perlahan. Sekarang yang ia perlukan adalah ponselnya untuk mengirim pesan pada sopirnya yang akrab dipanggil Pak Udin, untuk menjemputnya di sekolah. Tak lama kemudian, pesan itu langsung di balas singkat dengan kata 'ya', tanda Pak Udin akan menjemputnya.

Saat Ricky berjalan menuju kantin, tiba-tiba ia bertemu Yoga yang sedang asik berbincang dengan tiga temannya. Ketiga laki-laki yang terlihat seumuran itu memandang Ricky beberapa saat sampai membuat perhatian Yoga juga teralihkan padanya.

"Lu kok gak pulang sama kakak lo, Rick?" heran Yoga saat melihat teman sebangkunya selama MOS itu masih berada di lingkungan sekolah.

Tanpa menjawab apa pun, Ricky langsung berjalan kembali menuju kantin. Ia tidak tahan dengan pandangan yang tidak bisa diartikan dari ketiga temannya Yoga itu, dan merutuki dirinya sendiri karena berhenti tanpa alasan di depan mereka.

"Woy, Rick!" Panggilan Yoga tidak digubris olehnya. "Eh gue ke sana dulu ya."

***

"Lo kenapa, deh?" tanya Yoga. Ia sudah berada di dekat Ricky yang sedang memesan minuman susu cokelat dingin.

"Kenapa apanya?" balas Ricky tidak acuh dan berpura-pura tidak tahu.

"Gak pulang sama kakak lu yang super cantik dan baik itu," kata Yoga.

"Dih, baik dari mananya?" timpal Ricky. Ia tidak bisa membantah kalau kakaknya memang cantik. "Menurut lu, membeberkan keburukan orang itu, baik?" Suaranya ia tinggikan.

"Keburukan orang?" bingung Yoga.

Ricky menerima pesanannya itu dan langsung menyedotnya untuk sedikit meredakan emosi. "Sekarang lu tau kan kalau gue itu suka biskuit bayi, otaku kelas kakap, sering lempar jam weker kalau susah dimatiin waktu gue mau tidur lagi dan pokoknya banyak hal negatif yang lebih parah dari itu deh," jelasnya.

"Lu suka makan biskuit bayi? Gak inget umur lu?" kaget Yoga sebelum ia tergelak membayangkan Ricky mengenakan pakaian bayi dan bersikap layaknya bayi sambil memakan biskuit bayi. "Gue kira lu suka pecel lele, kue bika ambon dan yaa, makanan orang biasa."

"Ya lu tahu dari Kak--Tunggu... jadi lu belum tau?!" Ricky tak kalah kaget dari Yoga yang masih berusaha menghentikan tawanya.

"Lu baru ngasih tau semuanya tadi," jawab Yoga sebelum ia memesan es jeruk pada penjual minuman dingin di kantin itu.

"Serius lu?" Ricky memastikan.

"Sumpah deh," Yoga menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk huruf 'V'

"Terus dia ngomong apa aja waktu itu?"

"Dia ngomongin tentang perjuangan lu masuk ke sini," kata Yoga sambil menerima pesanannya. "Gila, ternyata lu rajin belajar juga ya, padahal tampang lu males-malesan kayak gitu."

Ricky terdiam sesaat dengan ocehan itu. "Terus apa lagi?"

"Yaa dia cuman nyuruh berteman baik sama lu aja," jawab Yoga. "Lagian lu ngepain di toilet lama-lama? Kakak lu baik parah. Kenapa lu malah pergi waktu dia ngomong di depan?"

"Masa gue gak percaya sama lu," timpal Ricky. Ia tidak ingin ada orang tahu hal yang menurutnya privasi itu ke teman yang baru saja dikenalnya selama tiga hari.

"Hai Ricky!"

Saat Yoga ingin menyanggah ucapan terakhir Ricky itu, tiba-tiba saja ada dua siswi yang menyapanya.

"Calon juara satu diem aja nih. Oh ya kenalin. Gue Caca," kata gadis yang berambut ikal itu. Terlihat semakin ikal saat kedua ikatan kepangnya itu di lepas.

"Panggil gue Wina," kata gadis yang masih dikepang dua itu.

"Gue Yoga," sambarnya tiba-tiba. Sumringah lebar terukir di wajah polosnya.

"Ooh, hai Yoga," kata mereka hampir berbarengan. Hanya saja suara mereka sedikit menurun. Lalu mereka berbasa-basi dengannya mengenai, 'dijemput sama siapa?' 'gak bareng kakaknya?' dan 'kira-kira mau ikut ekskul apa.' Ketiga pertanyaan itu ditujukan untuk Ricky dan sesekal kepada Yoga.

"Kita duluan, ya." Caca melambai ke arah mereka berdua. Tidak. Lebih tepatnya ke arah Ricky yang daritadi masih diam saja, kalau Yoga tidak terlalu ge-er membalas lambaian mereka itu.

"Tuh, lihat, kan?" kata Yoga setelah kedua gadis itu menghilang dari pandangan. "Kalau kakak lu ngejelek-jelekin lu, gue gak yakin dua cewek cantik tadi bakal mau nyapa lu."

Tatapan Ricky menjadi sulit diartikan setelah ia percaya dengan perkataan Yoga itu. Sekarang ia merasa bersalah karena sudah berburuk sangka pada Aurel yang sudah bersikap baik padanya. Kalau istilah pribahasanya, bagai air susu dibalas air tuba.