webnovel

SUARA HATI

"Ngapain kalian datang jemput aku?! Bukannya kalian nggak peduli sama aku?" kata Elena dengan sinis. Zalina dan Arjuna saling berpandangan, tapi mereka memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Elena. Zalina merasa tidak baik membahas hal ini di depan Jimmy.

"Jim, Om antar ke mana, ni? Pulang, atau kembali ke tempat kerja?"

"Ke tempat kerja saja, Om. Tadi, saya hanya izin karena Elena di seret oleh Ibu Atikah."

"Baiklah kalau begitu, terimakasih banyak ya nak Jimmy," kata Zalina.

"Sama-sama Tante."

Sampai di parkiran tempat Jimmy bekerja, hampir saja Elena ikut turun. Namun, Zalina dengan cepat mencekal tangan Elena.

"Kakak ikut Mami pulang," kata Zalina tegas sambil menatap Elena dengan tajam. Elena pun hanya diam dan menurut pada Zalina.

Tiba di rumah, Zalina menunggu Elena turun dari mobil, kemudian ia menggandeng Elena. Calista yang mendengar suara mobil, langsung membuka pintu.

"Kakak tunggu di ruang tamu?" tanya Zalina.

"Iya, Mami."

"Kak, bawa kak Elena ke kamar kakak. Nggak ada ribut-ribut, kalian langsung tidur. Kak El, besok Mami dan Papi mau bicara, sekarang istirahat saja," kata Zalina dengan tegas.

Calista langsung menarik tangan Elena tanpa membantah ucapan Zalina. Zalina sendiri langsung mengikuti kedua gadis kembar itu sampai ke kamar. Setelah memastikan keduanya langsung beristirahat, barulah ia kembali ke kamarnya sendiri.

"Astagfirullah, rasanya aku ingin mencubit mulut Ibu Atikah tadi, menyebalkan sekali. Dia pikir, aku harus mengikuti jejaknya aktif di sosial media, pamer foto ini dan itu. Ya ampun, kalau tidak ingat ada pasalnya sudah aku jambak kondenya yang setinggi monas itu tadi," gerutu Zalina. Arjuna hanya tertawa geli melihat Zalina yang tampak kesal sambil mengerucutkan bibirnya.

"Sabar sayang," kata Arjuna.

"Seenaknya saja ia menghinaku, mengatakan aku ini hanya bisa ke salon. Sekalipun aku ke salon, tidak meminta uangnya juga."

"Iya sayang, sini aku peluk saja, supaya kau tenang," kata Arjuna sambil merengkuh Zalina ke dalam pelukannya. Zalina hanya tersenyum dan dengan manja ia pun mendekat dan membiarkan Arjuna memeluknya dengan hangat.

**

Seperti biasa sehabis mandi dan solat subuh berjamaah, Arjuna akan memeriksa email dan jadwalnya hariannya, sementara Zalina turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dapur, Laela dan Sutinah sedang mempersiapkan bahan makanan yang di minta Zalina di malam hari. Zalina biasa mencatat apa saja yang harus Sutinah persiapkan di pagi hari setelah makan malam. Jadi, ia tidak perlu repot lagi di pagi hari dan tinggal memasak saja.

"Mbak, tolong buah-buahannya di tambah lagi, ada Elena. Dia paling suka apel hijau, jadi tolong di cuci dan kupas kulitnya, ya. Elena biasanya suka apel hijau," kata Zalina pada Sutinah.

Tanpa sengaja, Elena yang tadinya hendak ke dapur mengambil air minum mendengar perkataan Zalina. Ia tidak menyangka sama sekali jika Zalina masih mengingat apa saja makanan kesukaannya. Tanpa terasa air matanya menetes, tangisnya pecah dan ia pun segera menghambur ke dalam pelukan Zalina membuat wanita cantik itu terkejut.

"Loh, ini kenapa? Kakak kenapa, sayang?" tanya Zalina sambil memeluk Elena.

"Mami, maaf," kata Elena dengan suara bergetar.

"Mbak, tolong teruskan, ya."

Zalina pun memapah Elena dan membawa ke kamarnya. Arjuna yang baru saja selesai memeriksa pekerjaannya mengerutkan dahi saat melihat Zalina membawa Elena yang sedang menangis ke dalam kamar mereka.

"Kenapa Elena, Lin?" tanya Arjuna. Zalina memberi isyarat lewat lirikan matanya, Arjuna pun mengangguk.

"Kakak, sayang. Coba sini liat Mami, kakak kenapa?" tanya Zalina. Elena menggelengkan kepala dan menangis makin keras dalam pelukan Zalina. Melihat Elena menangis seperti itu, tentu membuat Zalina merasa sedih.

"Kak, soal kejadian semalam, Mami dan Papi tidak marah. Kami hanya sedikit merasa kecewa. Kenapa sih, Kak? Kenapa kakak harus menghabiskan waktu di tempat seperti itu untuk melepaskan kekesalan kakak? Mami tau, kakak sering sekali mabuk dan pada akhirnya Calista yang membawa kakak pulang. Apa kakak tidak kasihan pada Mami Mey? Baiklah, jangan merasa kasian pada Mami Mey atau Daddy. Kasian pada diri kakak sendiri. Bagaimana jika semalam tidak ada Jimmy di sana? Bagaimana seandainya hal yang jauh lebih buruk terjadi pada Kakak? Kami orang tua mungkin akan merasa malu. Tapi, itu tidak sebanding dengan apa yang kakak rasakan. Kakak sendiri yang akan rugi dan menyesal nantinya," kata Zalina dengan lembut.

Elena mengangkat wajahnya dan menatap Zalina. Ia mencari sorot kemarahan di mata Mami angkatnya itu, tapi ia sama sekali tidak menemukannya. Justru ia menemukan tatapan penuh cinta di mata Zalina.

"Mami masih mencintai aku?" tanya Elena lirih di sela isaknya.

"Astagfirullah, kak. Kenapa tanya kaya gitu, sih? Kau ini anaknya Mami dan Papi, bagaimana bisa kau bertanya seperti itu?" kata Zalina.

"Aku pikir Mami dan Papi tidak lagi mencintaiku."

"Kak, Papi dan Mami selama ini tidak pernah membedakan kasih sayang kami kepadamu, kepada Calista, atau kepada Krisna dan Arlina. Juga kepada Kak Dom. Kalian semua adalah anak- anak kami," kata Arjuna dengan tegas.

"Betul itu, Kak. Hanya karena kakak tidak lahir dari rahim Mami lantas kami membedakan kasih sayang. Semua sama, anak-anak kami," ujar Zalina.

Elena kembali memeluk Zalina. "Maafkan aku, Mami, Papi," ujarnya lirih.

"Sudahlah, kak. Sekarang, kakak tau di mana letak kesalahan kakak. Jangan di ulangi lagi," kata Zalina.

"Iya, Mami."

"Ya sudah, sekarang kakak mandi, kita sarapan sama-sama, ya. Misalkan kakak mau tinggal di sini, Papi dan Mami juga nggak keberatan. Rumah ini selalu terbuka untuk Kakak, ya."

Elena tampan berbinar-binar, "Serius, Mami?" tanya Elena. Zalina mengangguk, "Iya, sayang. Sekarang mandi dulu." Elena pun mengangguk dan bergegas keluar kamar. Arjuna menepuk bahu Zalina dengan lembut. "Apa yang kau lakukan sudah benar. Tapi, kau tetap harus memberi kabar pada Damian dan Mey. Sekalipun Elena sudah bisa menentukan sendiri pilihan hidupnya, bukan berarti dia boleh seenaknya tanpa permisi kepada Damian dan Mey. Mereka tetap orangtuanya juga," kata Arjuna.

"Iya, Mas. Aku mengerti, aku akan mampir ke rumah Damian nanti untuk bicara dengan Liemey."

**

Pagi itu mereka sarapan pagi bersama dengan senang. Hanya Elena yang masih terlihat sungkan, sudah lama ia tidak menikmati suasana hangat penuh kebersamaan di meja makan. Ia ingat, dulu saat ia masih kecil dan baru tinggal bersama Zalina. Ia, Dominic dan Calista selalu saling bertukar cerita, selalu saling mencintai dan menyayangi. Bahkan, ia ingat saat dulu ia dan Dominic memutuskan untuk tinggal bersama Dominic, Zalina pulang dengan menahan tangis. Elena menyesal sudah membuat air mata Zalina jatuh hari itu.

"Kak, kenapa malah ngelamun sih? Makan dong," tegur Zalina dengan lembut.

"Iya, Mami ini kak El makan, kok," jawab Elena.

"Mami,aku di antar Papi?" tanya Arlina.

"Iya seperti biasa kan searah juga ke kantor Papi,nanti Mami yang jemput, ya," jawab Zarlina.

Tiba-tiba saja, suasana yang hangat itu harus terganggu dengan suara teriakan yang berasal dari luar.

"ELENA...!!!"

**