"Aku juga bisa kok membantu mengurus perusahaan, menggantikan Mas Aruga, sayang. Dulu aku juga sering diajari Johan seluk beluk perusahaannya. Jadi, sekadar menggantikan Mas Ruga, aku sanggup."
Damn!
Aruga menoleh dan memicingkan mata dengan tatapan penuh kemarahan.
"Kau hanya akan membawa kehancuran bagi Damian, Mir!" seru Aruga marah.
"Tolong perhatikan dengan siapa kau bicara, Ga," sahut Damian.
"Kau hanya akan hancur karena wanita busuk ini, Dam!" seru Aruga frustasi.
Damian bangkit berdiri dan langsung menghampiri Aruga. Untuk pertama kalinya setelah dua puluh tahun lebih mereka bersahabat Damian mencengkeram pakaian Aruga dengan emosi. Namun, Aruga dengan sigap langsung menepiskan tangan Damian.
"Gara-gara wanita, Dam. Kau tidak ingat berapa puluh tahun kita bersahabat?! Sejak kecil, Damian!"
"Kau hanya cemburu karena dia mantan istrimu, kan?!"
"What the... aaarggh! Kau benar-benar sudah tidak waras. Kau pikir kenapa aku meninggalkan wanita murahan yang saat ini kau sebut istri ini, ha! Asal kau tau saja, dia tidak lebih dari ular beracun yang siap membawamu ke dalam kehancuran, Dam! Bahkan, dia dulu tega menghasutku untuk membunuh Arasy! Kau tau masih menjadi istriku saja dia sudah berani membiarkan laki-laki lain menjamah tubuhnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat dia bercinta dengan Johan. Tidak lebih dari wanita murahan!"
Pintu ruangan Damian yang sedikit terbuka dan juga teriakan Damian dan Aruga membuat karyawan yang ada di luar mendapatkan tontonan gratis. Mereka dengan rasa ingin tahu berusaha mendekat dan mengintip apa yang sedang terjadi di dalam. Alih-alih bekerja mereka malah sibuk saling berbisik dan berdesakan ingin melihat pertengkaran antara Damian dan Aruga.
"KAU INI BENAR-BENAR KETERLALUAN!" teriak Damian. Melihat pertengkaran antara Damian dan Aruga malah membuat Miranda suka, selama ini dia memang masih merasakan sakit hati karena diceraikan begitu saja oleh Aruga.
"Kalau aku memang sudah keterlaluan artinya kau setuju jika aku keluar dari sini."
"Baik,kalau itu memang maumu. Keluar sekarang, keluar!"
Aruga menyeringai, sebelum melangkah keluar ia mendekati Miranda.
"Kau bisa senang sekarang! Tapi, ingat aku tidak akan melepaskan dirimu jika sampai sahabatku sampai celaka!" katanya tajam sambil menunjuk ke wajah Miranda. Ingin rasanya Aruga menampar wajah wanita licik di hadapannya ini. Tapi, ia hanya bisa menahan emosinya.
Aruga pun segera melangkah keluar dan menabrak beberapa karyawan yang masih menguping. Melihat karyawan-karyawannya berkumpul di depan pintu membuat
Damian bertambah emosi.
"Jika kalian masih berada di depan pintu,artinya kalian sudah siap untuk ikut saya pecat! Kembali bekerja!" seru Damian dengan keras, lalu ia pun segera membanting pintu.
Miranda hanya duduk dengan santai melihat sikap Damian yang emosi. Perlahan,ia pun bangkit dan memeluk Damian dari belakang.
"Kau jangan khawatir, Mas. Aku akan selalu mendampingi dirimu. Mungkin, Aruga sudah lama menjadi sahabatmu, tapi aku akan menjadi istrimu sampai selamanya."
"Kau memang istri yang baik."
Miranda hanya tersenyum.
Sementara itu Aruga langsung berjalan menuju ke ruangannya dan mengemasi barang-barang pribadinya yang ada di ruangan itu.
"Pak, serius Bapak mau mengundurkan diri?" tanya sekretarisnya.
"Iya, kamu kerja yang betul ya meskipun saya sudah tidak di sini lagi."
"Duh, saya nggak yakin bakalan betah. Pak Damian itu tanpa Bapak pasti akan banyak marah-marah. Selama ini kan juga Bapak yang lebih banyak menangani urusan perusahaan."
"Iya betul, Pak. Apalagi sekarang ada nyonya besar itu. Duh, saya kayaknya bakalan cari kerja di tempat lain deh. Kalau diterima ya saya pindah," kata salah satu karyawan acounting.
Aruga menatap karyawan-karyawan yang selama ini sudah bekerja sama dengannya. Ia merasa terharu sekali dengan perhatian mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini mereka lebih banyak bekerja dengan Aruga ketimbang Damian. Damian biasanya tau beres tanpa memikirkan ini dan itu. Ujung tombak perusahaan sebenarnya ada pada Aruga. Entah bagaimana jadinya jika Aruga tidak ada lagi, barangkali itu yang ada dalam pikiran mereka semua.
"Kita tetap bisa saling silaturahmi. Jika kalian ingin bercerita atau bertukar pikiran, nomor ponsel saya tetap sama. Saya pamit ya, tetap semangat meskipun saya tidak ada di sini lagi."
Aruga pun mengalami satu persatu karyawannya setelah itu ia langsung membawa barang-barangnya dan segera melangkah keluar dengan perasaan yang lega namun sekaligus juga merasa khawatir pada Damian.
**
"Jadi, kau sudah berhenti dari pekerjaanmu?" tanya Khanza.
"Betul, Bu. Saya tidak bisa bekerja lagi bersama Damian. Jika hanya menangani Damian yang plin plan saya masih bisa tahan. Tapi, saya tidak bisa bekerja sama juga dengan istrinya yang selalu mencampur adukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Apa lagi jika ini masalahnya dengan uang perusahaan. Lebih baik saya memakai uang tabungan yang ada untuk investasi di toko kita, Bu."
"Toko kita sudah cukup maju, nak. Kita kelola saja bersama-sama. Uangmu simpan saja, di deposito. Bunganya kan bisa disimpan untuk biaya anak-anak kalian nanti. Kalau hanya untuk kebutuhan kita dan juga biaya kuliah anak-anak sudah lebih dari cukup."
"Iya, Mas. Apa yang Ibu katakan itu benar. Kau tidak bekerja pun tidak masalah. Kita kelola saja toko kue kita. Toh, sekarang juga toko kita sudah memiliki beberapa cabang," kata Arasy.
"Bagaimana kalau kita berlibur bersama?"
"Anak-anak?"
"Tentu saja, kalau tidak salah minggu depan Calista dan juga Ratu dan Raja libur semester kan? Kita ke Singapura menjenguk Elena."
"Serius, Mas?" tanya Arasy.
"Tentu saja, aku sudah lama juga tidak mengajak Ibu liburan. Iya kan, Bu? Ibu juga pasti kangen pada Zalina."
Khanza tersenyum senang. Benar apa yang dikatakan oleh Aruga. Mereka sudah lama sekali tidak berlibur. Kalaupun mereka bepergian, Aruga jarang sekali bisa ikut bersama mereka. Damian sering sekali memberinya tugas yang membuat Aruga sibuk dan tidak bisa menemani keluarganya.
Rencana Aruga di sambut gembira oleh Ratu dan Calista. Tapi, tidak demikian Dominic dan Raja.
"Aku sama Kak Dom saja. Aku sudah punya rencana sendiri untuk liburan semesterku, Ma. Kalau Papa dan Mama mau ke Singapura ya tidak masalah. Aku ada acara pokoknya."
"Dia sedang jatuh cinta, Ma," celetuk Ratu.
"Heh, kau ini sembarangan," sahut Raja.
"Halah, nggak usah ngeles deh. Aku tau siapa yang sedang kau dekati. Anak dari fakultas ekonomi kan? Siapa ya namanya, ah ya Revalina. Iya kan?"
Raja langsung melotot pada adik kembarnya itu.
"Nggak udah di dengar, Pa. Aku ada acara lain tapi bukan dengan wanita. Nggak udah di dengar apa yang dikatakan Ratu."
"Apa sih salahnya bilang iya? Nggak rugi juga kok."
"Sudah, kalian ini! Usia kalian bukan lagi 5 tahun. Sebentar lagi, Mama dan Papa mungkin akan mendapatkan menantu, sudah bukan anak kecil lagi!" hardik Arasy kesal.
Raja dan Ratu pun langsung terdiam sambil mengerucutkan bibir mereka.
"Sudahlah, mereka jangan kau marahi terus menerus," kata Khanza.
"Ibu ini selalu saja membela Raja dan Ratu. Lihat kan mereka jadi manja," keluh Arasy.
"Jadi, kau benar-benar mau menghabiskan liburan di Jakarta saja. Apa kau tidak repot, Dom?" tanya Arasy.
"Dia kan sudah besar, Tante. Memang aku harus memasangkan popok kepadanya?" kekeh Dominic.
"Kalau Raja tidak ikut, apa saya boleh ikut, Om Aruga, tante Arasy?"
**