Zalina dan Arjuna bergegas keluar dari kamar mereka dan melihat Darmi asisten rumah tangga mereka tampak panik.
"Ada apa, mbak?" tanya Zalina.
"Non Elena, Bu."
"Elena kenapa?"
"Tadi, saya mengantarkan susu ke kamarnya, ketika saya buka Non Elena tak sadarkan diri di kamar mandi."
Arjuna yang melihat Elena tergeletak di lantai kamar mandi, bergegas menggendong Elena.
"Kita bawa ke rumah sakit, sayang," katanya pada Zalina. Zalina segera menyambar kunci mobil dan keluar rumah. Untunglah ia dan Arjuna belum memakai pakaian tidur, sehingga tidak perlu berlama-lama mengganti pakaian mereka.
"Ambilkan tas saya di kamar juga ponsel saya, cepat, Mbak," kata Zalina pada Darmi.
Darmi setengh berlari langsung membawakan tas milik Zalina.
"Jaga anak-anak. Beritahukan kepada Miss Jane untuk mengontrol anak-anak. Saya ke rumah sakit sekarang," kata Zalina.
"Baik, Bu."
Arjuna mengemudi dengan kecepatan tinggi, sementara Zalina menjaga Elena. Sesampainya di rumah sakit Elena pun segera di tangani oleh tim medis. Zalina pun bergegas menelepon Arasy untuk mengabarkan kondisi Elena. Tentu saja Arasy merasa khawatir bukan main.
"Mbak Arasy dan Ibu menitipkan salam untukmu. Mereka lusa jadi berangkat, begitu juga Dody. Dia menginap di rumah kita sejak kemarin, dan dia terdengar sangat panik mendengar kondisi Elena."
"Kasian Elena," kata Arjuna.
"Baru saja kita membicarakannya tadi."
"Dia benar-benar terluka lahir dan batin, Mas. Seandainya ia tidak hamil, barangkali dia bisa lebih tegar. Hanya trauma yang harus ia atasi. Tapi, kehamilannya membuat Elena benar-benar drop dan tidak dapat berpikir dengan jernih."
"Bagi Elena, masa depannya sudah hancur. Padahal, itu tidak benar. Dia masih memiliki banyak kesempatan dalam hidupnya. Dia masih sangat muda," ujar Arjuna.
"Jika ada yang harus disalahkan, Damian lah orangnya. Tidak ada seorang ayah yang tega menyakiti putri kandungnya sendiri sampai seperti ini. Tidak punya otak, entah disimpan di mana otaknya itu hingga tega mengusir anak sendiri. Anak perempuan pula," gerutu Zalina kesal.
"Tidak ada gunanya, mencari siapa yang salah dan siapa yang benar sekarang ini, sayang."
Zalina terdiam, ia langsung mengembuskan napas panjang berkali-kali. Apa yang dikatakan oleh Arjuna benar. Tidak ada gunanya mencari siapa yang salah saat ini.Toh, waktu juga tidak dapat diputar kembali.
Setelah menunggu beberapa lama, dokter yang merawat Elena pun keluar.
"Bagaimana dengan kondisi putri kami?" tanya Zalina.
"Dia baik-baik saja. Bayi dalam kandungannya pun baik-baik saja. Tapi, kondisinya sangat lemah dan tidak stabil. Harus bedrest di rumah sakit ini selama beberapa hari sambil kami pantau. Terlambat sedikit saja tadi, akibatnya fatal."
"Baiklah dokter, terima kasih banyak," kata Zalina.
"Kami akan memindahkan ke kamar perawatan."
"Baik, dokter."
Arjuna pun segera ke ruang administrasi untuk menyelesaikan administrasi awal rumah sakit. Ia meminta Elena supaya dirawat di kamar VIP agar ia bisa lebih nyaman.
"Sayang, apa kau mau aku mengambilkan perlengkapanmu di rumah?" tanya Arjuna.
"Nanti saja, Mas. Jangan ke mana-mana dulu, aku perlu kau menemaniku di sini, Mas. Tunggu sampai Elena sadar," kata Zalina.
"Baiklah," jawab Arjuna.
Ia langsung menggenggam tangan Zalina dengan erat. Ia melihat wajah Zalina sudah pucat dan tampak jelas kecemasan di wajah cantik itu.
"Sabar, sayang."
"Iya, Mas."
"Elena akan baik-baik saja."
Tak lama kemudian, tampak tangan Elena bergerak perlahan. Zalina dan Arjuna langsung menghampiri ranjangnya dengan cepat.
"El, apa yang kau rasakan, nak?" tanya Zalina.
"Aku di mana ini, Mami. Kepalaku rasanya sakit sekali, perutku juga kram."
"Kau ada di rumah sakit, nak. Bagaimana kau bisa jatuh di kamar mandi seperti tadi?" tanya Zalina.
"Kepalaku mendadak sakit, Mami. Aku pusing dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi."
"Mami cemas sekali, El."
Zalina membelai wajah Elena perlahan.
"Aku mau pulang saja, Mami. Rasanya aku takut jika berada di sini."
"Tapi, dokter mengatakan kau harus di sini dulu untuk bed rest, sayang."
"Aku mohon,Mami."
"Biar aku bicara dengan dokter, sayang. Kalian tunggu di sini," kaata Arjuna.
Arjuna segera melangkah pergi dan menemui dokter, sementara Zalina menunggu bersama Elena. Tak lama kemudian, dokter pun masuk ke kamar bersama Arjuna dengan wajah yang cukup serius.
"Anda tidak boleh pulang dulu,kondisi anda dan juga janin anda cukup lemah. Jadi, kami sarankan untuk tinggal selama seminggu paling tidak."
"Saya tidak mau, dokter. Saya tidak akan bisa beristirahat dengan tenang di sini," jawab Elena.
"Dokter, saya bisa bicara di luar sebentar saja?" tanya Zalina.
Dengan wajah yang bingung, dokter pun menuruti permintaan Zalina
"Dok, putri saya korban pelecehan. Jadi, kehamilannya ini bukan karena pernikahan yang sah. Pelakunya saat ini sudah diadili dan mendapatkan hukuman di Indonesia. Saya membawa putri saya ke Singapura supaya psikisnya membaik. Dia masih dalam perawatan seorang psikiater juga. Jadi, jika saya membawanya pulang, bisakan mendapatkan perawatan di rumah? Tidak masalah jika kami harus membayar jasa seorang perawat, dokter. Saya mohon pengertian dan kerjasamanya," kata Zalina.
Dokter muda berwajah tampan itu menghela napas panjang.
"Ah, kasian sekali. Baiklah, begini saja, pasien boleh dibawa pulang. Tapi, mungkin selama kurang lebih dua minggu benar-benar bed rest ya. Kalau memang Ibu dan keluarga mau, saya merekomendasikan jasa seorang perawat dari rumah sakit ini. Ibu bisa langsung berdiskusi dengan pihak rumah sakit. Mari, saya antar," katanya dengan ramah.
Zalina mengangguk dan segera mengikuti langkah sangat dokter muda dengan perasaan bersyukur. Setelah bicara dan tentu saja menandatangani beberapa prosedur, Elena pun diperkenankan untuk dibawa pulang dengan menggunakan ambulance karena Elena memang tidak boleh banyak bergerak dulu.
Zalina langsung menelepon Darmi untuk membersihkan kamar Elena dan menyiapkan segala sesuatunya. Seorang perawat bernama Grace ikut bersama mereka. Dialah yang akan merawat Elena nanti.
"Non Elena tidak apa-apa , Bu?" tanya Darmi saat mereka sampai.
"Tidak, Mbak. Oya, ini suster Grace yang akan merawat Non Elena ya. Siapkan kamar di samping kamar Non Elena ya. Supaya suster Grace tidak repot jika Elena butuh sesuatu."
"Baik, Bu."
Elena tampak lebih nyaman berada di kamarnya sendiri. Dia pun bisa langsung tertidur pulas, membuat Zalina pun bisa bernapas dengan lega.
"Kondisinya bagaimana, suster?" tanya Zalina.
"Sementara masih tetap harus diinfus ya, Bu. Saya sudah memasang kateter juga supaya nona Elena tidak perlu berjalan ke kamar mandi sendiri. Ibu jangan khawatir, saya akan menjaganya dengan baik. Dan, menurut saya jadwal untuk bertemu dengan psikiater nya bisa dimundurkan jika ada jadwal minggu ini ya, Bu. Kita fokus dulu pada kesehatan tubuhnya. Minggu depan baru kita bisa mengatur jadwal kembali dengan psikiaternya. Ibu tenang saja,saya sudah pernah membantu pasien dengan kondisi yang sama dengan Nona Elena. Bahkan jauh lebih parah. Saat ini yang dibutuhkan adalah suport dari keluarganya, terutama kedua orangtuanya."
"Lusa saudara kembarnya akan datang dari Indonesia, mungkin akan membantu memberi suport baginya."
"Betul, Bu. Yang jelas, nona Elena tidak boleh banyak sendiri. Harus selalu ada yang menemani dan mengajaknya bicara."
"Saya sudah melakukan hal itu, suster. Tapi, empat bulan ini belum ada kemajuan yang berarti."
"Trauma, Bu. Yang namanya trauma tidak akan mudah untuk hilang begitu saja. Kita harus jauh lebih bersabar menghadapinya."