Zalina menatap Calista yang baru saja datang dengan dahi yang berkerut.
"Ada apa, sayang?" tanyanya.
"Dia sudah tidak waras lagi, Mami."
"Dia? Siapa?"
"Damian."
"Kak..."
"Aku tidak akan pernah sudi memanggilnya Daddy lagi seumur hidupku, Mami. Dia bukan siapa-siapa lagi. Bukan Daddyku, bukan orang tuaku lagi," ujar Calista dengan suara bergetar menahan air mata dan emosi.
Elena hanya melongo melihat adik bungsunya itu, sementara Arjuna yang baru saja datang menatap Calista dengan bingung.
"Kakak kenapa?" tanya Arjuna.
"Papi, boleh aku peluk Papi sebentar saja, supaya aku tau kalau aku masih mempunyai sosok seorang ayah yang menyayangi putrinya?"
Arjuna hanya mengangguk dan Calista pun berlari ke dalam pelukan Arjuna kemudian menangis terisak- isak.
Zalina yakin pasti sudah terjadi sesuatu. Ia sangat mengenal putrinya itu. Meski ketika kecil sangat manja, tapi Calista tidak pernah menangis sampai terisak begini. Semakin bertambah besar ia justru tumbuh menjadi seorang anak yang mandiri dan begitu berani. Elena yang menjadi panik melihat adiknya itu hanya mampu bersandar dalam pelukan Zalina.
Setelah beberapa saat, Calista pun mengangkat wajahnya dan menghapus air matanya.
"Saat aku datang, ia sedang bertengkar dengan Mami Mey. Dan, kalian tau apa yang ia katakan? 'Aku tidak punya anak, mereka. bertiga bukan anak-anakku.' Bahkan dia tega menuduh Mommy berselingkuh di belakangnya. Karena itu almarhum grandma membenci Mommy. Padahal kita semua tau apa yang sebenarmya terjadi. Dia berusaha mencari pembelaan. Mulai detik ini juga, aku tidak akan pernah sudi lagi untuk menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Aku juga tidak sudi lagi memanggilnya Daddy," kata Calista.
Arjuna menghela napas, dalam hati ia merasa geram luar biasa. Lelaki macam apa yang tega berbuat seperti itu, ayah macam apa yang tega menyakiti hati putrinya sendiri. Seorang ayah itu seharusnya bisa melindungi dan menjaga, bukannya seperti ini. Perlahan, Arjuna membelai kepala Calista.
"Kalian punya Papi dan Mami. Kami orangtua kalian juga. Jika dia tidak mau mengakui kalian sebagai anaknya, kami yang akan mengakui kalian sebagai anak-anak kami," kata Arjuna dengan tegas.
"Kakak, juga setelah sehat tidak perlu kembali ke sana. Rumah Papi dan Mami cukup untuk kalian. Jangan meminta apa-apa lagi terkecuali Daddy kalian yang memberi. Jika tidak, minta pada Mami dan Papi. Kami. Masih sanggup membiayai pendidikan kalian berdua," lanjut Arjuna.
"Terima kasih, Papi," ucap Calista penuh haru.
"Iya, sudahlah kak, jangan menangis lagi."
"Iya, kak. Masih ada Papi dan Mami yang sayang pada kalian. Kalian juga masih ada Oma dan Opa. Masih ada Om Deny dan Tante Dyah. Masih ada aunty Riris juga kan. Sudahlah, simpan air mata kalian untuk hal yang jauh lebih penting. Tapi, Mami minta tetaplah doakan Daddy kalian. Ingat baik-baik,nak. Bagaimana pun beliau tetap Daddy kalian. Orang yang mengadzankan kalian ketika bayi. Tanpa dia, kalian tidak akan pernah ada, nak," kata Zalina dengan lembut.
Calista bangkit dan menghampiri Zalina kemudian memeluknya dengan sangat erat.
"Terima kasih selalu ada untuk kami, Mami," bisiknya lirih sambil kembali terisak. Zalina hanya mampu memeluk Calista erat, ia mencintai keduanya, Elena dan Calista.
"Kalian ini anak-anaknya Mami. Dan, Mami pernah berjanji kan akan selalu ada untuk kalian. Mami tidak akan pernah mengingkari janji Mami."
**
"Katakan sekali lagi, Mas," kata Liemey. Selama ini rasanya sudah cukup ia bersabar dengan segala yang sudah Damian lakukan. Tapi, sekarang ini Damian sudah keterlaluan. Rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk dibiarkan. Urusan hatinya, tidak masalah. Tapi, Liemey tidak bisa membiarkan Damian terus menerus menyakiti anak-anaknya. Meski bukan anak kandung, tapi sejak awal menikah, Liemey sudah menganggap anak-anaknya Damian itu anaknya sendiri. Dan, sebagai ibu ia tidak rela jika anak-anaknya tersakiti.
"Aku talak dirimu jika kau berani keluar dari pintu itu dan menemui anak kurang ajar itu!" seru Damian.
Liemey berjalan mendekati Damian.
"KALAU BEGITU, TALAK SAJA! AKU TIDAK TAKUT BERPISAH DENGANMU!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Liemey pun meneruskan langkahnya dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia bergegas ke rumah sakit untuk menjenguk Elena. Dia tidak peduli lagi jika Damian anak menceraikannya.
Melihat istrinya dengan berani menantangnya, Damian tidak tinggal diam. Ia pun bergegas mengambil kunci mobilnya dan menyusul sang istri.
"Wanita memang sama saja! Hanya Arista yang tidak pernah membantahku. Hanya dia wanita yang bisa mengerti diriku. Yang lain tidak! Termasuk dia, istri kurang ajar, istri durhaka!" seru Damian kesal sambil mengemudikan mobilnya.
Liemey yang mengetahui bahwa Damian mengejarnya sengaja menambah kecepatan mobilnya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan keselamatannya terlebih dengan suaminya itu. Untung saja, ponselnya rusak sehingga Damian tidak bisa meneleponnya.
Melihat istrinya menambah kecepatan mobilnya Damian makin merasa tertantang, ia pun segera menginjak gas dan berusaha untuk mengejar. Liemey yang merasa kesal dan juga sakit hati dengan sikap suaminya benar-benar tak peduli saat mendengar suara klakson Damian yang berbunyi terus menerus. Damian berusaha untuk menyalip mobil yang di kendarai Liemey. Namun Liemey dengan sengaja menghalangi mobil Damian. Karena sering memperhatikan ke belakang, Liemey kurang fokus ke depan, sehingga ia pun tidak sadar bahwa mobilnya sedikit keluar jalur dan melawan arus. Dan, Liemey tidak bisa menguasai stir saat ada truk yang melaju dari arah depan dengan kecepatan tinggi. Merasa panik, kaki Liemey tanpa sengaja menekan pedal gas lebih dalam, dan akhirnya bruaaaak...kecelakaan pun tidak dapat dihindari.
Damian hanya bisa melongo melihat bagaimana mobil istrinya menabrak truk dengan kencang. Ia langsung menepi dan keluar dari mobilnya. Jalanan pun macet seketika. Orang-orang yang ada di sekeliling tempat kejadian langsung berlari dan mencoba menolong. Saking kencangnya mobil Liemey pun terbalik, membuat orang yang hendak menolong kesusahan untuk mengeluarkannya.
Damian benar-benar merasa seluruh tubuhnya melemah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa akibatnya akan seperti ini. Tak lama beberapa mobil polisi dan ambulance pun datang. "Dia, korban kecelakaan itu istri saya, tolong," katanya kepada petugas medis.
"Bapak bisa mengikuti ambulance ke rumah sakit jika Bapak membawa kendaraan. Apa Bapak bisa mengemudi dalam kondisi seperti ini? Jika tidak, biar anggota kami membantu," kata salah seorang anggota kepolisian.
"Itu, saya parkir mobil saya di sana, Bapak bisa membantu saya?"
Seorang Polisi pun dengan sigap membantu Damian dan langsung mengikuti Ambulance yang berjalan di depan mereka. Damian tak bisa berkata apapun lagi, ia merasakan napasnya sesak. Ia merasa takut, "Jangan lagi, Tuhan," gumam Damian lirih, dia pun mulai menangis sedih.