Sulit bagi Shirin untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ketika ia mengambil alih tubuh Kiana, efek pengendalian diri mulai melemah, dan keinginan yang terkekang mulai terlepas. Dalam sekejap, Shirin tanpa kesulitan menghabisi para pemburu bayaran itu. Sementara keinginan membunuhnya terpenuhi dan membawa kegembiraan naluriah, ada bagian dari dirinya yang merasa takut dan hampa.
Kesenangan dari membunuh terasa seperti racun manis yang terus-menerus membuatnya larut. Namun, kesadarannya tak sepenuhnya hilang; ia tahu betul apa yang telah ia lakukan. Shirin menyadari bahwa suatu hari nanti, ia mungkin akan tenggelam sepenuhnya dalam kebahagiaan destruktif itu, dan pada saat itu tiba, mungkin tidak ada lagi tempat di dunia ini untuknya. Bahkan Kiana, sosok yang berharga baginya, mungkin takkan mampu menerima Shirin yang sepenuhnya jahat.
Shirin menggenggam segenggam salju dan menekannya di wajahnya, memaksa dirinya untuk tetap tenang. Di tengah hamparan tubuh tak bernyawa, satu-satunya yang masih bisa memberinya penghiburan adalah keberadaan Kiana. Seandainya, suatu hari nanti, Kiana tak bisa menerimanya, maka hidup Shirin akan terasa seperti kehilangan segala arti.
Namun, Shirin tak ingin selamanya hanya menjadi bayangan Kiana. Ia tidak ingin bersembunyi dalam kegelapan, berada di sudut-sudut kehidupan Kiana tanpa pernah dikenali. Ia berharap, suatu hari nanti, ia bisa berdiri tepat di hadapan Kiana dan diterima. Mungkin suatu hari nanti, saat Kiana cukup dewasa, dia akan memahami sisi gelap dalam dirinya dan bisa memeluknya dengan tulus.
Setelah mengatur emosinya, Shirin menunduk pada tubuh Eva yang telah tak bernyawa dan mencari obat penawar yang disiapkan untuk membangunkan Kiana dari pengaruh obat tidur. Dia menelan dua pil sekaligus untuk memastikan efeknya lebih cepat terasa, lalu mengaktifkan kekuatan yang tersisa untuk memanggil sekelompok Honkai Beast. Ia mengarahkan makhluk-makhluk itu untuk perlahan mendekat ke arahnya, agar bisa menjadi bagian dari skenario yang telah ia rencanakan. Setelah memastikan semua sudah sesuai, Shirin melangkah ke posisi yang tepat, menyiapkan satu kekuatan terakhir.
"Duar!"
Tangki bensin di mobil mereka terbuka oleh kekuatan Shirin, dan percikan energi Honkai menyambar ke dalamnya. Dalam sekejap, mobil meledak, menjadi bola api besar yang membumbung ke langit, memecah kesunyian malam.
___
"Kiana! Cepat bangun, kita harus pergi dari sini... Kiana!"
Ledakan keras itu membangunkan Kiana dari pingsannya, lalu sebuah suara yang familiar terdengar dalam pikirannya. Ketika Kiana membuka mata, ia terkejut melihat wajah yang sangat mirip dengan dirinya sendiri, memanggil namanya dengan nada cemas.
Kiana masih sedikit kebingungan, pengaruh obat penenang masih terasa. Namun, ia mencoba fokus dan bertanya, "Siapa kamu? Mengapa kamu sangat mirip denganku? Apa yang terjadi barusan?"
"Aku adalah Shirin, kamu bisa menganggapku sebagai bagian lain dari dirimu," jawab Shirin dengan nada mendesak. "Tapi sekarang kita harus cepat pergi dari sini. Masih ada Honkai Beast yang berkeliaran di sekitar sini. Mobil kita tadi diserang oleh seekor Honkai Beast raksasa, dan para pemburu bayaran itu bertempur melawannya."
Kiana mendengarkan penjelasan Shirin dengan cermat. "Saat kamu tidak sadarkan diri, aku terpaksa mengendalikan tubuhmu dan bertarung bersama mereka," lanjut Shirin, mencoba membangun cerita yang terlihat masuk akal. "Sayangnya, kekuatanku terlalu lemah saat itu, dan aku tak berhasil menyelamatkan mereka."
"Seorang wanita itu menggunakan senjata yang sangat kuat dan berhasil membantuku membunuh makhluk itu," tambah Shirin, membuat cerita terdengar lebih meyakinkan. "Namun, serangan terakhir dari makhluk itu memicu ledakan di mobil, dan aku hanya sempat membawa tubuhmu menjauh dari sana."
Kiana terdiam, merasa kehilangan. Meski mereka baru bertemu sebentar, para pemburu bayaran itu telah mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya. Perasaan bersalah muncul di hatinya, tapi dia berusaha tegar dan bertanya pada Shirin, "Bolehkah aku kembali melihat mereka sekali lagi?"
Shirin sudah memperkirakan reaksi Kiana, namun ia tak khawatir ceritanya terbongkar. Bekas pertarungan mereka memang nyata, dan tubuh para pemburu bayaran itu juga benar-benar tergeletak di sana. Satu-satunya orang yang bisa mengungkap kebenaran, Eva, sudah ia lenyapkan.
"Tentu saja, tapi ingat, kita harus segera meninggalkan tempat ini setelah itu," jawab Shirin. "Aku bisa merasakan masih ada Honkai Beast di sekitar sini."
Kiana mengangguk dan berjalan menuju sumber cahaya api di kejauhan. Di sana, terlihat jelas sebuah mobil yang telah hangus terbakar.
Semakin dekat, ia bisa melihat seekor Honkai Beast raksasa tergeletak di tanah, tubuhnya memiliki lubang besar di area intinya. Di sekitar bangkai makhluk itu dan reruntuhan mobil, terbaring beberapa mayat manusia. Beberapa tubuh terlihat parah tercemar energi Honkai, wajah mereka mengeras dengan ekspresi ngeri, sementara yang lainnya hangus terbakar.
Kiana menunduk hormat kepada tubuh-tubuh itu, merasa bahwa mereka telah menjadi penyelamatnya dalam perjuangan terakhir mereka. Bagi Kiana, mereka adalah pahlawan yang telah mengorbankan diri demi dirinya.
Di sisi lain, Shirin mengikuti Kiana dari dekat dan memperhatikan semua ini dengan perasaan campur aduk. Menurutnya, para pemburu bayaran itu hanyalah orang-orang yang semula ingin memperalat Kiana dan akhirnya menjadi korban dalam rencana balas dendamnya. Namun, melihat Kiana yang memperlakukan mereka sebagai pahlawan membuatnya merenung. Shirin tahu, inilah hasil yang ia rencanakan sendiri, meski ada sesuatu yang menusuk hati kecilnya. Akankah ia mengatakan yang sebenarnya pada Kiana? Itu hanya akan membuatnya terlihat sebagai monster pembunuh.
Shirin merasa, pada usia ini, Kiana belum siap untuk mengetahui sisi gelap dunia ini. Jika dia menceritakan semuanya, ada kemungkinan Kiana akan mulai menyimpan kebencian terhadap dunia, lalu perlahan-lahan mengadopsi pola pikir Shirin sendiri. Itulah yang paling Shirin hindari—Kiana adalah sosok murni yang membawa harapan bagi dirinya. Dia berharap Kiana bisa memaafkannya suatu hari nanti, saat dia siap menerima kebenaran tentang kegelapan dunia.
"Kiana, kita harus pergi sekarang," kata Shirin sambil memperhatikan situasi sekitar. Suara ranting patah dan daun-daun yang bergesekan di kejauhan mengisyaratkan adanya makhluk lain yang mendekat.
"Baik," jawab Kiana singkat, kemudian berbalik dan pergi. Shirin melayang di hadapannya, memberikan arah keluar dari hutan itu menuju desa terdekat.
"Kiana, apa rencanamu setelah kembali ke desa?" tanya Shirin setelah beberapa saat, memecah keheningan di antara mereka.
"Aku akan ke desa dan mencari Paman Thomas," jawab Kiana, "Ayah sering bertransaksi dengannya untuk menukar uang. Dia pernah bilang kalau aku kesulitan, aku bisa mencari bantuan pada Paman Thomas. Mungkin dia bisa membantuku mengumpulkan orang untuk melawan Honkai Beast ini."
Shirin menduga bahwa Thomas adalah kepala desa atau orang penting di sana, dan rencana Kiana tampak cocok dengan tujuannya sendiri.
"Baiklah, aku akan mendukungmu," balas Shirin, melanjutkan perjalanannya dengan Kiana.