Alif duduk di meja kerjanya, memandang tumpukan dokumen di depannya. Di sekelilingnya, kantor itu tampak begitu tenang, tapi pikirannya seperti badai. Ruangan itu selalu terasa seperti tempat perlindungan, namun hari ini ia tidak bisa menemukan ketenangan yang biasa ada di sana. Sesuatu terasa salah. Lagi.
Jam di dinding berdetak pelan, namun setiap suara jarum terasa seperti menggema di kepalanya. Alif memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang semakin menguasai dirinya. Pandangannya kabur, dan jantungnya berdetak kencang tanpa sebab yang jelas.
Tiba-tiba, segalanya berubah.
Ruangan itu mendadak terasa lebih sempit, dan dia merasakan hawa dingin menjalari kulitnya. Alif terdiam, seolah seseorang tengah mengawasinya dari balik bayangan. Dia pernah merasakan hal ini sebelumnya—perasaan yang datang begitu tiba-tiba, tak terjelaskan. Saat tubuhnya mematung, sosok lain muncul di benaknya.
Alfa.
Dia bisa merasakan kehadirannya—diri yang lebih kuat, lebih tegas, dan lebih dingin. Seolah ada seseorang yang menaruh tangan di pundaknya, memaksa dia mundur. Dalam hitungan detik, Alif tak lagi menjadi dirinya sendiri.
Alfa mengambil alih.
"Aku akan selesaikan ini," gumam Alfa, suaranya berbeda, lebih dalam, dan lebih tegas. Dia mengambil pena, dan mulai menandatangani dokumen-dokumen dengan presisi yang dingin. Mata Alif, sekarang mata Alfa, menyorot tajam, memeriksa setiap detail dengan kehati-hatian yang luar biasa. Dia mengerjakan segalanya tanpa keraguan, tanpa emosi.
Sementara itu, di suatu tempat di dalam dirinya, Alif hanya bisa melihat. Dia terkunci di sudut kecil kesadarannya, seperti penonton yang terjebak di balik cermin. Dia tahu bahwa ini bukan kali pertama Alfa muncul. Alfa selalu muncul saat ada tekanan, saat beban terlalu berat untuk dia tangani sendiri. Namun, setiap kali itu terjadi, Alif merasa sedikit lebih hilang, sedikit lebih jauh dari dirinya sendiri.
Ketika semuanya selesai, Alfa menghilang. Kesadaran Alif kembali, seperti lampu yang dinyalakan setelah kegelapan. Dia menatap tangannya yang kini memegang pena, dan seolah baru menyadari apa yang baru saja terjadi.
"Berapa lama tadi?" bisiknya pada dirinya sendiri, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Alif menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, hatinya masih berdebar, dan kepalanya penuh pertanyaan. Siapa dirinya sebenarnya? Apakah dia masih mengendalikan hidupnya, ataukah ada kekuatan lain yang memegang kendali?
Telepon di meja berdering, menghentikan aliran pikirannya. Dengan tangan gemetar, Alif mengangkat telepon.
"Alif?" Suara wanita di seberang terdengar lembut namun tegas. "Ini Dr. Amira. Apakah kamu masih bisa datang untuk sesi hari ini?"
Alif terdiam sejenak. Psikiater itu sudah menjadi bagian dari rutinitasnya selama beberapa bulan terakhir. Tapi, hari ini, dia merasa lebih enggan daripada sebelumnya. Dia tahu bahwa setiap sesi bersama Dr. Amira selalu membuka pintu-pintu yang tidak nyaman dalam dirinya, pintu-pintu yang lebih sering ingin dia tutup rapat-rapat.
Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia harus pergi. Mungkin karena di bawah semua kebingungannya, dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi melarikan diri dari apa yang terjadi dalam dirinya.
"Ya, saya akan datang," jawabnya akhirnya, suaranya terdengar lemah.
Dia menutup telepon dan berdiri, melihat bayangannya di cermin kecil di sudut meja. Apakah itu masih dirinya? Atau hanya cerminan dari sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak dia kenal?
---
Alif menatap cermin, merenungkan gambaran dirinya. Raut wajahnya tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menunjukkan jam tidur yang kurang. Diri yang tampaknya kuat dan berani di luar, namun rapuh di dalam. Dia meraih kunci mobilnya dan melangkah keluar dari kantor, berusaha menepis rasa cemas yang menyelimutinya.
Di perjalanan menuju klinik Dr. Amira, pikirannya terus berkelana. Setiap lampu lalu lintas seolah mengingatkan dia akan perjalanan yang harus ditempuh. Bagaimana jika sesi kali ini tidak seperti yang diharapkan? Bagaimana jika Dr. Amira mulai mempertanyakan siapa sebenarnya dirinya? Alif tidak ingin berbagi tentang Alfa, tentang kerapuhan yang ada dalam dirinya. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk terlihat normal.
Sesampainya di klinik, Alif menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Ruangan tunggu dipenuhi aroma harum dari lilin aromaterapi yang menyala di sudut. Beberapa pasien menunggu, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Alif bisa merasakan ketegangan di udara, seperti listrik yang mengalir, menambah kecemasan dalam hatinya.
"Alif?" Suara lembut Dr. Amira memecah keheningan. Wanita itu berdiri di pintu ruangannya, mengenakan blazer biru tua yang rapi. Meskipun dia profesional, Alif bisa melihat kesedihan di matanya, seolah dia membawa beban berat yang tak terlihat.
"Ya, saya di sini," jawab Alif, berusaha tersenyum meski sulit.
Sesi dimulai, dan Alif duduk di kursi empuk di depan Dr. Amira. Ruangan itu terasa aman, namun Alif tahu bahwa di sinilah semua pertahanan emosionalnya akan diuji.
"Bagaimana kabarmu, Alif?" tanya Dr. Amira, mengamati wajahnya dengan saksama.
"Baik," jawab Alif, meski dia tahu itu bohong.
"Baik" tidak pernah menjadi jawaban yang jujur. Dia tahu bahwa Dr. Amira bisa membaca bahasa tubuhnya, dan matanya menunjukkan ketidaknyamanan yang mendalam.
"Aku merasa ada yang berbeda. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu," lanjutnya dengan lembut.
Alif merasakan kepanikan merayap di benaknya. Di satu sisi, dia ingin bercerita, tetapi di sisi lain, ketakutan menyergapnya. Takut akan reaksi Dr. Amira, takut jika dia tidak akan dipahami.
"Aku… terkadang merasa seperti ada yang lain di dalam diriku," katanya pelan, menghindari tatapan Dr. Amira. "Seolah-olah ada bagian dari diriku yang aku tidak kenal."
Dr. Amira mengangguk, wajahnya menunjukkan pemahaman. "Ini mungkin bagian dari proses penyembuhanmu. Apakah kamu ingat saat-saat ketika itu terjadi?"
Alif menelan ludah. Dia bisa merasakan kenangan-kenangan itu muncul di benaknya—kenangan yang terlupakan, trauma yang ingin dia sembunyikan. "Kadang-kadang, aku bisa kehilangan kendali," ujarnya, suaranya bergetar. "Seperti ada yang lain yang mengambil alih."
"Siapa yang mengambil alih itu?" Dr. Amira bertanya dengan lembut.
"Alfa," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Dr. Amira mencatat di buku catatannya. "Apa yang kau ketahui tentang Alfa?"
Alif merasakan kepalanya berputar. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. "Dia… berbeda. Dia lebih berani, lebih tegas. Saat dia muncul, aku merasa tidak bisa mengendalikan apa pun."
"Bagaimana rasanya saat Alfa mengambil alih?" Dr. Amira bertanya, matanya berkilau dengan ketertarikan yang tulus.
Alif menggigit bibir bawahnya, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Aku merasa tidak ada di sana. Seolah-olah aku hanya menonton dari kejauhan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa."
Dr. Amira menatapnya dengan penuh perhatian. "Ini bisa jadi tanda bahwa kau sedang berjuang dengan emosi dan pengalaman yang belum sepenuhnya kau hadapi. Mungkin Alfa adalah cara otakmu melindungi dirimu."
Alif merasa seolah-olah ada yang bergetar di dalam dirinya. Kata-kata Dr. Amira menggugah sesuatu yang telah terpendam lama. "Tapi aku tidak ingin hidup seperti ini," ucapnya, suaranya penuh kerinduan akan kehidupan yang normal.
"Berarti kita harus bekerja sama untuk memahami semua ini," kata Dr. Amira dengan tegas. "Setiap kepribadian memiliki cerita. Dan dengan memahami cerita-cerita itu, kita bisa membantu kamu menemukan kembali dirimu."
Mata Alif mulai berkaca-kaca. Dalam hatinya, ada harapan baru yang muncul. Mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan jalan untuk bersatu kembali dengan semua pecahan jiwa yang ada dalam dirinya.
Sesi berlanjut dengan pembicaraan yang mendalam, dan untuk pertama kalinya, Alif merasa bahwa dia tidak sendirian. Di balik dinding-dinding ketidakpastian, ada cahaya yang mulai menerangi jalannya, mengingatkannya bahwa setiap bayangan yang ada dalam dirinya memiliki makna, dan mungkin, suatu hari, dia bisa mengerti semuanya.
---