webnovel

Bab 3

Kehidupan Alif mulai terasa lebih stabil setelah beberapa sesi dengan Dr. Amira. Dia mulai menulis lebih banyak di jurnalnya, menuangkan pikiran dan perasaannya ke dalam kata-kata yang mungkin tidak bisa dia ungkapkan secara lisan. Namun, meskipun ada kemajuan, bayang-bayang ketakutan dan keraguan masih menghantuinya.

Suatu malam, saat Alif duduk di beranda rumahnya, angin malam berhembus lembut. Dia memandang langit yang dipenuhi bintang dan merasakan kerinduan yang mendalam akan kebahagiaan yang sederhana. Dia memikirkan masa kecilnya, saat dia dan temannya, Rina, sering bermain di taman dekat rumah. Rina selalu bisa membuatnya tertawa, menghapus semua rasa cemas yang mengganggu.

"Alif!" suara Alfa tiba-tiba memecah keheningan malam. "Kamu lagi memikirkan masa lalu ya?"

"Ya," jawab Alif, "Aku kangen sama Rina. Dia selalu bisa membuatku merasa nyaman."

"Rina? Kenapa kamu masih memikirkan dia?" Alfa berkata, sedikit sinis. "Dia tidak ada dalam hidupmu sekarang. Fokus saja pada diri kita."

Alif mendesah. "Aku tahu, tetapi Rina memiliki bagian penting dalam hidupku. Dia selalu mendukungku, bahkan ketika aku merasa terpuruk. Aku hanya… merindukannya."

"Merindukan? Apa itu membantu? Dia tidak akan kembali untuk menyelamatkanmu," Alfa menjawab, suaranya mencerminkan ketidakpedulian.

Tiba-tiba, suara derit pintu membuat Alif terjaga dari lamunan. Dia menoleh dan melihat sosok yang sangat dikenalnya—Rina. Dia berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak cerah dan senyumnya menawan.

"Alif! Kapan terakhir kali kita bertemu?" Rina berseru, melangkah masuk dan memeluknya erat.

Alif terkejut, hampir tidak percaya. "Rina! Apa kabar? Kenapa kamu datang?"

"Aku baru saja kembali dari luar kota dan ingin melihatmu. Sudah terlalu lama kita tidak berbicara. Bagaimana keadaanmu?" Rina menanyakan dengan perhatian yang tulus.

Alif merasa terharu. Semua ketakutannya seakan sirna seketika. "Aku… aku sedang berusaha. Ada banyak yang terjadi," katanya, berusaha menjelaskan tanpa membebani Rina dengan masalahnya.

"Berusaha? Seperti apa?" Rina bertanya, matanya menyelidik.

Alif merasa sedikit cemas, tetapi pada saat yang sama, kehadiran Rina membuatnya merasa aman. "Aku menjalani terapi. Sebenarnya, aku memiliki masalah dengan diriku sendiri. Kadang-kadang, ada bagian dari diriku yang berbeda, dan itu membuatku merasa bingung."

Rina mengangguk, mendengarkan dengan saksama. "Aku tahu kehidupan bisa sulit, tapi kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untuk mendukungmu."

Mendengar kata-kata itu, Alif merasa emosional. Dia tidak ingat kapan terakhir kali seseorang bersedia mendengarkan tanpa menghakimi. "Rina, aku merasa seperti aku berjuang melawan diriku sendiri. Kadang-kadang, aku tidak tahu siapa yang ada di dalam diriku," ungkap Alif dengan suara bergetar.

"Siapa yang ada di dalam dirimu?" Rina bertanya, tampak sangat ingin tahu.

"Ada bagian yang kuat, yang ingin melindungiku. Tapi kadang, dia juga membuatku merasa terjebak. Dia selalu ingin mengambil alih," jawab Alif, merasakan air mata menggenang di matanya.

Rina mendekat, menggenggam tangan Alif. "Kamu tidak perlu menghadapinya sendiri. Aku di sini untuk membantu. Mari kita berbicara lebih banyak tentang ini."

Malam itu, Alif dan Rina berbincang dengan mendalam, berbagi cerita dan kenangan yang sudah lama terpendam. Rina selalu menjadi sosok yang ceria dan positif, dan kehadirannya membawa kembali sinar kebahagiaan ke dalam hidup Alif. Dia merasa seolah-olah kembali ke masa-masa ketika hidup terasa lebih sederhana dan cerah.

"Aku ingat saat kita berdua berjanji untuk tidak pernah saling meninggalkan. Kita selalu bisa saling mendukung, bukan?" Rina berkata, matanya berbinar dengan nostalgia.

"Ya, aku ingat," jawab Alif, senyumnya mengembang. "Aku merasa sangat beruntung memiliki kamu dalam hidupku."

Namun, saat kehangatan malam mulai menguap, bayangan Alfa kembali muncul dalam benaknya. Alif merasa bingung antara perasaan senang yang ditawarkan Rina dan keraguan yang ditimbulkan Alfa. "Tapi, Rina, ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Terkadang, aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang tidak bisa aku kendalikan," ungkapnya, menyadari bahwa ini adalah langkah berani untuk berbagi dengan Rina.

Rina mengerutkan dahi, tampak serius. "Bagian apa itu?"

Alif meragukan kata-katanya. Dia tidak ingin Rina merasa tertekan atau bingung. Namun, saat melihat mata Rina yang penuh perhatian, dia merasa terdorong untuk berbagi. "Dia… dia bernama Alfa. Dia muncul ketika aku merasa terancam, dan kadang-kadang, aku merasa seperti dia mengendalikan semua keputusan dalam hidupku."

Rina menatapnya dengan intens. "Alfa? Sepertinya itu bagian dari dirimu yang ingin melindungi kamu. Tetapi, kamu juga perlu memahami bahwa kamu berhak atas semua perasaan yang ada di dalam dirimu, baik itu kuat maupun rapuh."

"Bagaimana bisa aku berbicara dengannya?" Alif bertanya, bingung. "Aku ingin bisa mengontrol hidupku sendiri."

"Cobalah untuk berbicara dengan Alfa. Ajak dia untuk berdiskusi, bukan berkonflik. Mungkin dia hanya ingin melindungimu. Ingat, kamu memiliki kekuatan untuk mengatur hidupmu sendiri," Rina menjelaskan, suaranya penuh semangat.

Alif mengangguk, merasa terinspirasi oleh kata-kata Rina. Dia tahu bahwa berbicara dengan Alfa bukanlah hal yang mudah, tetapi jika dia bisa melakukannya dengan cara yang lebih terbuka dan saling menghormati, mungkin mereka bisa menemukan jalan keluar dari kebingungan ini.

"Mungkin kamu bisa membantuku berlatih," Alif berkata dengan penuh harapan. "Aku ingin belajar berbicara dengan Alfa seperti yang kamu sarankan."

"Pasti! Kita bisa melakukan ini bersama. Apa pun yang kamu butuhkan, aku akan ada di sini untuk mendukungmu," Rina menjawab, menyemangati Alif.

Malam itu berlanjut dengan tawa dan kenangan indah. Alif merasa seperti kembali ke masa lalu, merasakan kehangatan yang selama ini hilang. Rina mengingatkan dia tentang arti persahabatan sejati, di mana setiap orang saling mendukung tanpa syarat. Alif berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berjuang demi kebahagiaan dan untuk menemukan cara berkomunikasi dengan Alfa.

Ketika Rina pamit pulang, Alif merasa hatinya penuh. Dia menyadari bahwa memiliki seseorang yang peduli dan mau mendengarkan adalah anugerah yang sangat berharga. Dia berharap, dengan dukungan Rina, dia bisa lebih memahami dan berkomunikasi dengan Alfa.

Di malam hari, saat Alif berbaring di tempat tidurnya, dia merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. "Alfa," dia memanggil, suara lembutnya menggema dalam pikirannya. "Aku ingin berbicara."

---

Sejak malam itu, Alif merasa lebih berani untuk berbicara dengan Alfa. Dia tahu prosesnya tidak akan mudah, tetapi dia merasa siap untuk menghadapi tantangan itu. Dia ingin menjadi utuh, menggabungkan semua bagian dari dirinya, tanpa merasa terjebak atau kehilangan kendali.

Ketika pagi tiba, Alif bangun dengan perasaan optimis. Dia bersiap-siap untuk kembali ke sesi dengan Dr. Amira, membawa semangat dan harapan yang baru. Dia ingin membagikan kemajuan yang telah dia buat, serta momen-momen indah bersama Rina yang memberinya kekuatan.

Saat sesi dimulai, Alif menceritakan tentang pertemuannya dengan Rina, bagaimana mereka berbicara tentang Alfa, dan bagaimana Rina memberinya dorongan untuk berkomunikasi dengan bagian dari dirinya yang selalu merasa dominan.

Dr. Amira tersenyum. "Itu adalah langkah besar, Alif. Membangun komunikasi adalah proses penting dalam memahami dirimu. Dan memiliki dukungan dari temanmu seperti Rina adalah hal yang sangat berharga."

"Ya, aku merasa beruntung. Aku ingin melakukan semua ini dengan baik," kata Alif, merasakan ketegangan di dalam dirinya mulai mereda.

"Bagus. Mari kita coba sesi ini dengan berbicara langsung dengan Alfa. Aku ingin kamu mencoba berbicara dengan dia, seolah-olah dia ada di sini. Apa yang ingin kamu katakan?" Dr. Amira mendorongnya.

Alif menutup matanya sejenak, mengumpulkan semua keberaniannya. "Alfa," dia memulai, suaranya tenang, tetapi bergetar di ujung. "Aku ingin berbicara denganmu. Aku tahu kamu ada di sini dan mungkin kamu merasa perlu melindungiku. Tapi aku ingin kita berbicara satu sama lain. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan dan apa yang membuatmu berbuat seperti ini."

Setelah beberapa detik hening, suara dalam pikirannya yang lembut dan tegas itu mulai menjawab. "Alif, kamu tidak mengerti. Aku ada di sini untuk melindungimu dari semua rasa sakit dan kesedihan yang mengancammu. Kamu tidak bisa mengandalkan orang lain. Mereka akan meninggalkanmu ketika kamu paling membutuhkannya," jawab Alfa, suaranya menyentuh hatinya dengan ketidakpastian.

"Aku mengerti bahwa kamu ingin melindungiku, tetapi kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan. Rina ada di sini, dan dia peduli padaku. Dia tidak akan pergi kemana-mana, tidak seperti yang kamu katakan," Alif bersikeras, berusaha menyuarakan keyakinan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

"Dia tidak tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Dia tidak memahami betapa berbahayanya kita. Kita adalah satu, dan tanpa aku, kamu akan kehilangan kendali," Alfa menjawab dengan nada yang lebih keras, menciptakan ketegangan di dalam benak Alif.

Dr. Amira memperhatikan interaksi ini dengan penuh perhatian. "Alif, bagaimana perasaanmu mendengar apa yang dikatakan Alfa?"

"Saya merasa… terjebak," Alif menjawab, perasaannya bercampur aduk. "Dia berkata benar dalam satu hal; dia ingin melindungi saya. Tapi, kadang-kadang, saya merasa seperti dia adalah musuh saya. Saya tidak ingin hidup dalam ketakutan lagi."

"Jadi, bagaimana jika kita memberi Alfa kesempatan untuk berbicara lagi? Mungkin kita bisa menggali lebih dalam tentang apa yang dia inginkan," saran Dr. Amira dengan lembut.

Alif mengangguk. "Baiklah. Alfa, aku ingin tahu, apa sebenarnya yang kamu takutkan?" tanyanya, dengan hati yang bergetar.

"Aku takut kehilanganmu," jawab Alfa, suara dalam pikirannya itu mulai melembut. "Aku telah ada bersamamu selama ini. Saat kamu mengalami sakit dan kesedihan, aku selalu ada untuk menjaga agar kamu tidak hancur. Tanpaku, kamu akan terjebak dalam kegelapan yang dalam."

"Jadi, kamu menganggap bahwa menjadi keras dan mengontrol semua keputusan adalah cara untuk menjaga diriku?" Alif bertanya, mencoba memahami logika Alfa.

"Ya, aku berusaha mengendalikan situasi agar tidak ada yang menyakitimu. Orang lain tidak dapat dipercaya," Alfa menjawab, tetapi ada keraguan yang mulai muncul di suaranya.

"Namun, aku merasa tertekan olehmu," Alif menjelaskan, berusaha menemukan titik keseimbangan antara memahami dan mengungkapkan perasaannya. "Kamu membuatku merasa bahwa aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Aku ingin mengambil risiko dan merasakan kehidupan yang lebih penuh."

Dr. Amira tersenyum. "Itulah langkah besar, Alif. Menghadapi ketakutan itu adalah cara kita bisa mulai meruntuhkan tembok yang menghalangi. Dan berbicara dengan Alfa dengan cara yang lebih terbuka adalah langkah yang luar biasa."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?" tanya Alif, mulai merasakan kelegaan yang mendalam saat berbagi perasaannya.

"Lanjutkan untuk berbicara dengan Alfa. Cobalah untuk menemukan kompromi. Mungkin ada cara untuk bekerja sama dan saling mendukung tanpa saling mengendalikan," Dr. Amira memberikan saran.

Dengan semangat baru, Alif melanjutkan dialognya. "Alfa, aku mengerti bahwa kamu merasa perlu melindungiku, tetapi aku ingin kita bekerja sama. Bagaimana jika kita tidak berkonflik dan mulai mencari cara yang lebih sehat untuk menjaga diriku?"

Setelah beberapa saat hening, Alfa akhirnya menjawab, "Aku ingin melindungimu, tetapi jika itu membuatmu menderita, mungkin aku bisa mencoba memahami sudut pandangmu."

"Terima kasih, Alfa. Aku percaya kita bisa belajar bersama. Aku tidak ingin terus merasakan perasaan ini sendirian," Alif merasa terharu, harapan baru mengisi hatinya.

Dr. Amira menepuk tangan Alif. "Bagus sekali! Ini adalah langkah pertama menuju kesembuhan yang lebih dalam. Merasa terhubung dengan semua bagian dirimu adalah bagian penting dari perjalanan ini."

Mereka melanjutkan sesi itu, dan Alif merasa lebih ringan setelah mengungkapkan perasaannya. Dia tahu bahwa ini baru permulaan, tetapi berbicara dengan Alfa membantunya melihat kemungkinan untuk menemukan jalan menuju kesembuhan.

---

Beberapa hari berlalu, dan Alif mulai merasakan perubahan positif. Dia merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi kehidupan sehari-harinya. Rina sering menemuinya, menghabiskan waktu bersama, berbagi tawa, dan membicarakan mimpi dan harapan mereka. Alif merasa ada kehangatan yang mengisi kembali hidupnya, sesuatu yang telah lama hilang.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman, Rina berusaha menggali lebih dalam tentang perjalanan Alif. "Alif, bagaimana dengan sesi terakhirmu? Apa yang kamu pelajari?" tanyanya dengan penuh perhatian.

"Saya berbicara dengan Alfa. Dia adalah bagian dari diriku yang selalu ingin melindungiku, tetapi kami juga belajar untuk tidak saling mengendalikan. Rasanya sangat membebaskan," jawab Alif, tersenyum.

"Itu luar biasa! Saya bangga padamu, Alif. Setiap langkah kecil itu penting," Rina menjawab, mengusap bahu Alif dengan lembut.

Malam itu, ketika bintang-bintang berkilau di langit, Alif merasakan momen yang sangat berarti. Dia merasa dikelilingi oleh dukungan dan cinta. Namun, dalam pikirannya, ada perasaan gelisah yang tidak bisa dihindari. Dia menyadari bahwa meskipun sudah ada kemajuan, perjalanan ini tidak akan mudah.

Tiba-tiba, Rina beralih ke topik yang lebih serius. "Alif, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Apa pun yang terjadi, aku akan mendukungmu."

Alif menatap Rina, hatinya terasa hangat. "Terima kasih, Rina. Aku sangat menghargai itu. Terkadang, aku merasa seperti beban. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani karena semua ini."

"Alif, kita adalah teman. Ketika kita berbagi beban, itu hanya membuat kita lebih kuat. Ingat, kamu tidak sendirian," jawab Rina, matanya bersinar dengan ketulusan.

Seiring malam semakin larut, Alif merasakan ketegangan dalam dirinya mulai menghilang. Rina memberinya dorongan untuk terus maju, dan itu memberinya kepercayaan diri yang baru. Namun, di dalam pikirannya, Alfa masih ada, menunggu untuk dibicarakan lebih jauh.

Dalam perjalanannya, Alif menyadari bahwa dia harus menemukan cara untuk mengintegrasikan semua bagiannya—termasuk Alfa—agar dia bisa hidup dengan utuh dan damai. Dia tahu, ke depan, dia akan menghadapi tantangan lain, tetapi sekarang dia tidak merasa sendirian.

---

Saat Alif pulang, dia melihat langit malam yang berbintang. Dalam hatinya, dia berdoa agar bisa terus melangkah maju, menjaga semua bagian dari dirinya—baik yang kuat maupun yang lemah—agar bisa hidup dalam harmoni.

Di dalam diri Alif, dia merasakan semangat yang baru. Dia tidak ingin terus-menerus terjebak dalam ketakutan dan kebingungan. Dia ingin menemukan cara untuk berdamai dengan semua bagian dari dirinya, termasuk Alfa, yang selama ini menjadi penghalang sekaligus pelindung.

Keesokan harinya, saat Alif bersiap untuk sesi berikutnya dengan Dr. Amira, dia membawa harapan yang baru. Dia ingin berbagi tentang kemajuan yang dia buat dan bagaimana hubungannya dengan Alfa mulai membaik. Dia berharap bisa lebih memahami dan mengatasi ketakutannya.

Selama sesi itu, Alif berusaha lebih terbuka, menceritakan semua interaksinya dengan Alfa dan bagaimana dia berusaha menjalin komunikasi yang lebih baik. Dr. Amira sangat mendukungnya dan memberikan strategi untuk memperkuat hubungan itu.

"Menciptakan komunikasi yang sehat dengan semua bagian dirimu adalah langkah yang luar biasa, Alif. Ini bisa membuka banyak kemungkinan baru untukmu," Dr. Amira menjelaskan, mendorongnya untuk terus melanjutkan.

Setelah sesi, Alif merasa lebih optimis. Dia bertekad untuk terus bekerja sama dengan Alfa dan menemukan keseimbangan yang lebih baik di dalam dirinya. Dia tahu perjalanan ini akan panjang, tetapi dia tidak akan menyerah.

Di luar ruangan, Alif merasakan sinar matahari yang hangat menyentuh kulitnya. Dia tersenyum, siap untuk menghadapi hari-harinya dengan keberanian dan harapan baru. Dalam hatinya, dia percaya bahwa semua bagian dari dirinya—baik yang terang maupun yang gelap—akan dapat bersatu dan menemukan cara untuk hidup berdampingan.

---

Dengan semua perasaan dan harapan dalam hati, Alif merasa lebih kuat. Dia ingin melanjutkan perjalanan ini dengan percaya diri dan keberanian. Dengan setiap langkah yang diambil, dia mulai memahami bahwa setiap bagian dari dirinya memiliki perannya masing-masing. Alfa bukan hanya bagian yang menakutkan, tetapi juga bagian yang melindunginya dari rasa sakit.

Hari-hari berikutnya diisi dengan sesi terapi yang mendalam dan refleksi yang jujur. Alif mulai menjalani kegiatan yang selama ini dihindarinya, seperti berkumpul dengan teman-teman dan menikmati waktu di luar rumah. Rina selalu ada di sisinya, mendukung dan memberinya semangat untuk melangkah maju. Mereka berbagi tawa dan cerita, menciptakan kenangan baru yang indah.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, ketegangan di dalam dirinya tetap ada. Alfa masih berbicara dalam pikirannya, kadang-kadang mengingatkan Alif akan bahaya yang mengintai. Ketakutan itu menjadi semakin terasa saat Alif menghadapi situasi-situasi tertentu. Misalnya, saat dia bertemu dengan teman-teman lama yang tidak tahu tentang perjuangannya.

Suatu malam, saat Alif dan Rina berkumpul dengan teman-teman mereka, suasana menjadi ceria. Namun, ketika teman-teman mulai berbicara tentang pengalaman hidup mereka, Alif merasakan jantungnya berdegup kencang. Ingatan tentang masa-masa sulitnya datang kembali. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk berpartisipasi dan ketakutan akan penilaian.

"Alif, kamu tampak jauh. Apa yang kamu pikirkan?" Rina bertanya, mencerminkan keprihatinan di wajahnya.

"Tidak ada, aku baik-baik saja," jawab Alif, meskipun hatinya bergetar.

Rina mengamatinya dengan seksama. "Kamu tidak bisa terus-menerus menyimpan semuanya. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, bicaralah. Aku di sini untuk mendengarkan."

Setelah berjuang dengan perasaannya, Alif akhirnya mengeluarkan suara. "Aku hanya merasa… tidak berharga. Semua orang memiliki kehidupan yang sempurna, sementara aku masih berjuang dengan diriku sendiri," katanya, suaranya bergetar.

Rina menggenggam tangan Alif dengan lembut. "Alif, kamu tidak sendiri. Setiap orang memiliki pertempuran mereka sendiri. Apa yang terlihat di luar mungkin tidak sama dengan apa yang mereka rasakan di dalam. Kamu adalah orang yang berharga, dan berjuang untuk kesehatan mentalmu menunjukkan kekuatan, bukan kelemahan."

Kata-kata Rina menyentuh hatinya, memberi cahaya baru pada pikirannya. Namun, Alfa masih berbisik di dalam kepalanya, meragukan kejujuran perasaannya. "Mereka tidak tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Mereka tidak akan menerima semua sisi dirimu."

Malam itu, saat Alif pulang, dia merasa bingung. Kenapa Alfa begitu menakutkan? Dia mulai berjanji untuk berbicara lebih dalam dengan Alfa di sesi terapi berikutnya. Dia ingin memahami kenapa ada perasaan ketidakberdayaan yang terus menghantuinya.

Di ruang terapis keesokan harinya, Alif memasuki sesi dengan tekad. "Dr. Amira, aku merasa ada bagian dari diriku yang belum sepenuhnya jujur," ujarnya, menatap penuh harapan.

"Apa maksudmu, Alif?" Dr. Amira menjawab, memperhatikan setiap detail ekspresi wajahnya.

"Aku ingin berbicara tentang Alfa lagi. Dia mengatakan bahwa orang lain tidak akan menerima aku jika mereka tahu siapa diriku yang sebenarnya. Tapi aku juga merasa butuh dia untuk melindungiku," ungkap Alif, perasaannya campur aduk.

"Cobalah untuk menggali lebih dalam. Apa yang kamu rasakan ketika Alfa mengatakan hal itu?" tanya Dr. Amira dengan sabar.

"Rasa takut," jawab Alif, menundukkan kepala. "Aku takut ditolak. Aku takut tidak ada yang mau menerima sisi gelapku."

"Rasa takut adalah hal yang wajar, Alif. Tapi ingatlah bahwa kita adalah gabungan dari semua bagian diri kita. Dan penting untuk memiliki kejujuran dengan diri sendiri," kata Dr. Amira dengan lembut. "Mungkin kamu bisa memberi Alfa kesempatan untuk berbicara dengan cara yang berbeda. Minta dia untuk menjelaskan ketakutannya."

Dengan napas dalam-dalam, Alif mencoba menghubungi Alfa. "Alfa, aku ingin tahu kenapa kamu merasa perlu melindungiku dengan cara ini. Apa yang sebenarnya kamu takutkan?"

"Ketidakpastian," jawab Alfa, suaranya mulai melembut. "Aku tidak ingin kamu mengalami rasa sakit lagi. Aku sudah melihat betapa menyakitkannya itu, dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi padamu."

"Aku mengerti. Tapi apakah kamu percaya aku bisa menghadapi rasa sakit itu dan tetap bertahan?" Alif bertanya, harapannya meningkat.

"Aku… mungkin aku bisa mencoba," Alfa menjawab, suara di dalam kepalanya mulai terdengar lebih ragu-ragu. "Tapi aku ingin melindungimu dari semua bahaya."

"Dengan mengontrolku?" Alif menegaskan. "Aku tidak bisa menjalani hidup seperti itu. Kita harus belajar untuk saling percaya."

"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," Alfa berkata, kini dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku juga tidak ingin menjadi penghalang dalam hidupmu."

Dengan hati yang bergetar, Alif merasakan koneksi baru dengan Alfa. Dia tahu ini adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam dan lebih baik.

Di luar ruangan terapis, Alif merasa seolah bebannya sedikit lebih ringan. Dia menyadari bahwa mengatasi ketakutannya dan berkomunikasi dengan Alfa adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Dengan setiap interaksi, dia berharap bisa menemukan harmoni antara bagian-bagian dari dirinya.

Seminggu berlalu, dan setiap hari adalah langkah baru dalam perjalanan. Alif merasa lebih percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain, terutama Rina. Dia mulai berbagi lebih banyak tentang pengalamannya, dan Rina selalu siap mendengarkan. Dia merasakan cinta dan dukungan yang tulus, yang semakin memperkuat ikatan mereka.

Namun, di balik semua kemajuan ini, Alif tahu bahwa tantangan masih ada di depan. Saat menghadapi situasi sulit, dia sering kali merasakan perasaan cemas dan ragu. Tetapi, dia bertekad untuk tidak menyerah.

Suatu sore, saat Alif berjalan pulang dari terapi, dia melihat seorang wanita tua duduk sendirian di bangku taman. Wajahnya tampak sedih, dan Alif merasa dorongan untuk menghampirinya. Dia ingin berbagi sedikit kebaikan dan menghibur seseorang yang mungkin membutuhkan.

"Selamat sore, Nenek. Apakah semuanya baik-baik saja?" Alif bertanya dengan lembut.

Wanita itu menatapnya dengan mata penuh cerita. "Oh, anak muda, aku hanya merasa kesepian. Semua anak-anak sudah dewasa dan sibuk dengan hidup mereka," katanya, suaranya penuh kesedihan.

Alif merasa terhubung. "Kamu tidak sendirian, Nenek. Kadang kita semua merasa kesepian. Aku juga berjuang dengan perasaanku sendiri," ungkap Alif, berbagi sedikit dari dirinya.

Wanita itu tersenyum lembut. "Itu adalah kebaikanmu, nak. Terima kasih telah menyapa. Terkadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan."

Alif merasa hatinya tergerak. Dalam momen kecil ini, dia menyadari bahwa berbagi pengalaman, baik kebahagiaan maupun kesedihan, bisa menjadi jalan menuju penyembuhan. Dia merasa lebih terhubung dengan orang-orang di sekitarnya.

"Jika kamu ingin berbicara lebih banyak, aku akan ada di sini," kata Alif, menawarkan kehadirannya.

Kedua jiwa yang berbeda saling terhubung dalam keheningan. Alif merasakan kedamaian dan kehangatan dari momen itu, dan dia tahu bahwa setiap langkah yang dia ambil membawa makna baru ke dalam hidupnya.

Dengan semangat yang diperbarui, Alif kembali pulang dengan keyakinan baru. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk melanjutkan langkahnya, menjelajahi setiap sisi dari dirinya—baik yang terang maupun yang gelap—dan menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan semua bagian dari dirinya.

Malam itu, saat Alif berbaring di tempat tidurnya, dia merasa lebih tenang dari sebelumnya. Dia tahu bahwa Alfa akan selalu ada, tetapi kini dia bisa melihatnya sebagai pelindung dan teman, bukan musuh. Dengan napas dalam, dia memejamkan mata, berharap untuk mimpi yang lebih baik dan harapan yang lebih cerah untuk masa depan.

Alif menyadari bahwa dalam setiap perjuangan, ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan. Dan dengan keberanian serta dukungan yang dia terima, dia yakin bahwa setiap langkahnya adalah perjalanan menuju pemulihan dan penerimaan.

Chapitre suivant