"Bukankah kau mengawasiku sejak kejadian di ruang UKS saat itu? Sekarang kau pura-pura lupa siapa aku, cih."
"Baru sadar sudah mengoceh. Kenapa? Kau sangat ingin tahu siapa aku?"
"Sekarang tidak lagi. Tapi sepertinya Amy akan baik-baik saja jika ada kau. Aku adalah manusia paling beruntung." Alfa tersenyum. "Aku akan melindunginya dengan sisa tenaga yang aku punya. Aku pria yang bertanggung jawab, kau tahu itu kan?"
Rataka terdiam. Ia melihat senyum tulus Alfa yang memiliki sinar dan aura lebih indah dan murni dari dirinya sebelumnya. Ia tertegun melihatnya. Taka tahu kalau orang-orang seperti Alfa, Rowlett atau Amy sekalipun, hanyalah korban dari kekejaman dunia sekte itu. Fakta bahwa Alfa sangat terobsesi dengan Amy adalah karena ia ingin melindunginya, ia sangat menyayanginya sejak di panti asuhan. Amy adalah keluarga, sahabat, sekaligus satu-satunya yang ia punya sekarang, karena itulah ia bisa melakukan apapun, sekalipun jadi monster, jika untuk melindungi orang yang disayanginya.
Manusia rela berubah dan melakukan apapun tak peduli seburuk apa konsekuensinya. Itulah manusia, memiliki perasaan lemah teramat sangat, namun mereka tak bisa membendung itu. Mereka tak bisa melepaskannya, mereka kuat dengan perasaan itu namun juga menjadi lemah dan tak berdaya.
"Anak malang…" batin Rataka sembari menatap Alfa dengan prihatin dan pilu.
***
"Aku akan ke sana. Kau belum makan kan? Nanti kubelikan sesuatu agar kalian makan. Aku khawatir dengan kalian berdua."
"Terima kasih, Kak."
Alfa menutup ponselnya. Ia menyimpan ponselnya di saku celana, dan meletakkan kunci basemen di laci meja kecil itu.
Arvy mengambil jaket, kunci mobil dan dompet di kamarnya. Sebelum meninggalkan ruangan ia menutup dan merapikan tirai jendela.setelah di depan pintu ia berhenti dan berpikir sejenak.
"Apa kubawa saja ya kuncinya?"
Arvy kembali dan mengambil kunci basemen itu, lalu mengantonginya di kantung coat. Ia kemudian meninggalkan apartemen dan menuju ke rumah sakit. Ia mampir lebih dahulu ke rumah makan McDonald dan apotek, kemudian menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana ia melihat Dio duduk di ruang tunggu depan kamar inap Alfa, sedang Amy belum kembali.
"Dio!" panggil Arvy.
"Kak Arvy!" Dio berdiri. Tubuhnya lemah dan wajahnya pucat.
Arvy menatapnya dengan prihatin. "Kau baik-baik saja?"
"Em."
"Jangan memaksakan diri."
Mereka berdua duduk. Arvy membawa kantong berisi makanan dan menaruhnya di kursi.
"Amy dimana?"
"Masih di kamar mandi."
"Apa Alfa sudah boleh dijenguk?"
"Iya."
"Kenapa tidak masuk ke dalam? Dio kau benar-benar baik-baik saja? Wajahmu tidak berkata begitu, kau perlu istirahat."
"Ini tidak seberapa dibandingkan dengan beban yang dipikul Amy," sahut Dio sembari menundukkan kepala wajahnya lesu dan lelah.
Arvy memahaminya.
"Ah iya, aku beli obat suplemen untukmu. Aku tahu kondisimu pasti akan drop seperti ini." Arvy membuka tas makanan yang dibawanya namun tak menemukan obatnya. "Dimana ya? Sepertinya tadi kumasukkan ke sini?"
Arvy memeriksa di kantung coat nya dan ternyata obat suplemennya ada di sana. Namun ketika menarik kembali tangannya dari saku, bersamaan dengan itu kunci basemennya jatuh tepat di samping sepatu Dio. Arvy terkejut dan panik.
"Kunci?" Dio mengambilnya.
Arvy berusaha tenang.
"Bukankah apartemenmu menggunakan kunci monitor (memasukkan sandi)?"
"Oh itu," Arvy mencari alasan dengan gelagapan. "Monitornya rusak. Iya itu. Monitornya rusak."
"Benarkah?" Dio memberikan kunci itu pada Arvy. "Kau harus berhati-hati. Bisa-bisa ada pencuri masuk."
"Woi, Dio. Khawatirkan saja kondisimu sekarang. Kau yakin mengkhawatirkanku dengan kondisimu saat ini?" Arvy kembali memasukkan kunci itu ke sakunya dan berdiri. "Ayo makan dulu ke kantin."
"Aku tidak nafsu makan."
"Apa tidak nafsu makan jadi alasan untuk tidak makan? Kalau begitu tidak usah hidup sekalian." Arvy memukul belakang kepala Dio pelan. "Turuti kata-kata kakakmu ini."
"Wah aku tidak percaya." Dio memegang kepalanya yang sakit. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"
"Kenapa? Mau marah? Marah saja."
Dio tertawa kecil melihat tingkah kekanak-kanakkan Arvy.
"Dasar, baru tertawa kau sekarang." Arvy tersenyum.
"Apa yang kalian bicarakan?" muncul Amy di belakang Arvy tiba-tiba.
"Bisakah kau tidak muncul tiba-tiba seperti hantu? Kau mengagetkanku tahu." Arvy protes.
"Apa itu yang kau bawa. Baunya enak, aku lapar, ayo makan," kata Amy singkat padat dan jelas. Ia berjalan mendahului keduanya ke menuju kantin.
Dio dan Arvy saling melempar senyum dan mengikuti ratu semata wayang mereka.
***
"Omong-omong berapa usiamu?" tanya Alfa pada Rataka.
"Dua puluh lima."
"Begitu ya."
"Ada zero zero nya di belakang."
"Ha?!"
"Bercanda."
"Sepertinya aku harus memikirkan banyak hal mulai sekarang."
"Memikirkan? Kau juga perlu action, jangan hanya memikirkannya."
Alfa tersenyum. "Baiklah."
"Setelah sembuh total nanti aku akan menemuimu lagi."
"Eh? Masih ada perlu lagi?"
"Ada yang perlu kutanyakan."
"Apa itu?"
"Roni dari panti asuhan Motherwood. Kau mengenalnya kan?"
"Roni?"
Rataka menoleh ke arah pintu. Ia merasakan Amy dan yang lainnya mendekat ke ruangan Alfa.
"Itu pikir nanti saja. Sepertinya kau kedatangan orang-orang penting."
"Em. Baiklah."
"Jangan memaksakan diri. Selain mengawasi Amy, aku memperhatikan banyak hal di sekitarnya. Beri tanda jika kau butuh bantuan. Namaku Rataka, ingat dengan baik."
"Rataka?" Alfa senang akhirnya mengetahui namanya. "Baiklah. Aku akan mengingatnya dengan baik."
Rataka keluar dari ruangan. Ia mampu mengetahui aura Amy meski dari jarak yang jauh. Mereka belum sampai di lorong itu. Namun Rataka aura aneh yang bersamanya.
"Ini bukan aura milik Dio. Siapa yang bersama mereka?" Rataka bertanya-tanya. Namun ia tak mencari tahunya lebih lanjut karena harus pergi.
Ia kembali ke bar-nya dan masuk ke ruangan dimana ia mengurung Rowlett. Rataka masuk ke dalam dan mengunci pintunya. Dirinya hanya berdiri di samping ranjang dan menatap wajah polos Rowlett yang tertidur panjang di ranjang. Rataka mengingat lagi kata-kata direktur Rossan yang ia ucapkan dengan nada marah kemarin.
"Kau mau membuat semua nyawa ditumbalkan! Kau mau membunuh kita semua huh!? Mantra penghubungmu bisa mengutuk siapa saja yang lemah dalam mimpi buruk, Taka. Sekalipun kau belum menggunakan kutukan penghancur. Kau tahu itu kan?!"
Rataka menatap telapak tangan kirinya. Ia diam dengan air muka datar, entah apa yang ia pikirkan.
***
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Dio.
Alfa terbaring di ranjang. Telapak tangan kirinya kini sudah tidak dibalut perban lagi. Wajahnya juga terlihat membaik dan agak cerah.
"Aku masih tidak percaya koma lama sekali," tawa renyahnya memenuhi ruangan VIP itu.
"Cih! Bisa-bisanya tertawa kau," sinis Amy. Ia menaruh bunga di meja samping.
"Jangan percaya kata-katanya. Dia menangis berhari-hari," olok Dio.
Arvy tersenyum sembari memegang alisnya. Ia melihat keduanya yang siap bertengkar. Sebentar lagi Dio dan Amy yang berpelukan pilu bak adik kakak, akan bertengkar layaknya macam dan singa.
"Apa?!" Amy berkacak pinggang dan berdiri di depan kakaknya sembari menggertakkan giginya. "Kapan aku menangis. Kau yang menangis!"