webnovel

Keluarga

"Apa?!" Amy berkacak pinggang dan berdiri di depan kakaknya sembari menggertakkan giginya. "Kapan aku menangis. Kau yang menangis!"

Dio tidak mau kalah. Dia maju ke depan dan membalas tatapan mata bak dipenuhi kilat itu.

"Kau tidak ingat kau menangis sampai sesak napas? Wah dasar."

"HA? Apanya sesak napas, jangan ngawur kau!"

"Bocah ini!"

Arvy dan Alfa saling melihat satu sama lain lalu tertawa pelan.

"Sepertinya aku akan tambah sakit melihat mereka berdua," kata Alfa.

"Yah begitulah." Arvy geleng geleng kepala. "Mau kunaikkan bantalnya?

Alfa mengangguk.

Arvy menekan tombol di samping bawah ranjang dan kasur bagian bantal naik seperempat. Sehingga Alfa bisa duduk namun berbaring nyaman. Ia mengeluarkan cemilan dari kantong makanan.

"Oh ya, kau sudah boleh makan sesuatu?" tanya Arvy.

"Ah itu ya," Dio menyela. "Alfa belum boleh makan sampai nanti sore. Ia harus puasa hari ini."

"Aku tadi terlalu bersemangat dan membawa banyak makanan." Arvy menyesal.

"Tidak apa-apa, Kak. Terima kasih sudah membawakannya untukku. Anggap aku sudah menerimanya."

"Kalau begitu biar aku saja yang makan," sela Amy, yang mengambil irisan buah di kotak yang dipegang Arvy. Ia duduk di kursi samping ranjang dan asyik memakan buah.

Arvy tersenyum melihat Amy sudah ceria seperti biasa.

"Bagaimana rasanya? Manis?" tanya Alfa.

Degh degh degh degh

Amy melihat mata Alfa, keduanya bertatapan, tapi Alfa terlihat seperti biasa.

"A…apanya yang manis!" Amy mengalihkan pandangannya. Ia memasukkan banyak buah ke mulutnya dengan gugup. "Dasar bodoh!"

"Astaga apa ini? Apa aku gugup? Tidak tidak, tidak mungkin. Dasar Alfa sialan!" batin Amy.

"Sepertinya kau menikmati buahnya, syukurlah." Alfa tersenyum lebar.

"Jangan senyum begitu dasar bodoh! Cih."

"Kenapa aku tidak boleh tersenyum?"

Arvy dan Dio saling melihat satu sama lain dan menyadari kondisi canggung keduanya.

"Katanya besok Alfa sudah bisa pulang. Aku harus menemui dokter siang ini," kata Dio tiba-tiba. Ia melirik Arvy. "Apa kau mau menemaniku ke ruangan dokter, Kak Arvy."

"Em. Ayo kalau begitu."

"Amy, kau tetap di sini temani temani Alfa."

"I..iya baiklah." Amy canggung.

Arvy dan Dio melangkah keluar dan meninggalkan ruangan. Kini suasana makin canggung karena hanya ada mereka berdua di dalam ruangan.

Amy menaruh kotak irisan buah di atas meja. Ia masih tidak berani menatap Alfa.

"Kau kenapa sebenarnya Amy?"

"Memangnya aku kenapa?"

"Benarkah kau menangis karena aku?"

"HA? Kau percaya kata kata si Dio sialan itu?!" Amy melipatkan lengannya di depan. Ia sebal dengan kakaknya sendiri yang ember.

"Amy."

"Apa?!"

Alfa tertawa kecil melihat reaksinya yang marah. Menurutnya itu malah terlihat lucu. Bibirnya manyun dan matanya melirik-lirik sebal.

"Lihat aku."

"Tidak mau." Amy masih membuang muka.

"Lihat mataku."

"Kenapa?!" Amy melihatnya karena kesal, namun ia terperanjat melihat tatapan matanya yang teduh. Rambutnya berponi dan hampir menutupi matanya.

"Apa Alfa selalu tampan seperti ini?" batin Amy. "Ah sial, aku berharap bisa melihat apa yang dipikirkannya."

"A..apa? Kenapa?"

"Terima kasih," kata Alfa tiba-tiba. "Dan juga aku minta maaf."

"Kenapa kau minta maaf. Jangan katakan itu."

"Mendekatlah."

"Eh?"

"Kemarilah."

Amy berdiri dari kursi dan mendekat ke Alfa dengan perlahan. Alfa meraih tubuhnya lalu memeluknya dengan tangan kanannya. Amy tertegun, sesaat kemudian ia tersenyum dan membalas pelukannya.

"Terima kasih sudah menangis untukku." Alfa berkaca-kaca.

"A..alfa.."

"Lima menit. Tetap seperti ini lima menit saja. Aku benar-benar merindukanmu. Aku takut tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut kau akan membenciku."

"Kenapa aku membencimu. Kenapa kau minta maaf. Jangan katakan hal semacam itu."

"Aku…" Alfa berhenti. Ia tidak sanggup mengakuinya.

"Aku sudah memata-mataimu selama ini. Aku telah dikutuk dengan mantra budak dan harus menuruti sekte sialan itu." Alfa hanya bisa mengatakannya dalam hati.

"Kau harus mengatakan kalau kau kesulitan. Kenapa kau menanggungnya semuanya sendirian? Kau kira kau ini pahlawan? dasar bodoh." sela Amy. Ia juga berkaca-kaca.

Alfa melepaskan pelukannya. Ia tersenyum sembari menatap Amy.

"Terima kasih, Ama…maksudku Amy."

"Panggil Amanda juga tidak apa-apa."

Mereka berdua melempar senyum satu sama lain.

Sementara itu Dio dan Arvy baru keluar dari ruangan dokter dan menuju ke ruangan Alfa.

"Besok sudah bisa pulang. Aku akan membawa baju ganti untuk Alfa," kata Dio.

"Kau yakin baik-baik saja? Mau kutemani ke apartemen Alfa?"

"Tidak perlu, Kak. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

"Woi, siapa saja pasti akan tahu kalau kau tidak baik-baik saja. Wajahmu pucat tahu!"

"Benarkah? Baiklah setelah ini aku janji akan istirahat."

"Kau minta izin dari rumah sakit?"

"Iya."

"Besok pagi-pagi kutemani saja ke apartemen Alfa untuk mengambil baju."

"Kau ngeyel sekali. Iya iya kalau begitu." Dio tersenyum. "Oh ya, bagaimana dengan bar mu?"

"Aku punya banyak karyawan. Tidak perlu khawatir dengan itu."

"Aku tidak percaya Alfa tidak sadarkan diri selama satu minggu. Rasanya sangat lama sekali."

"Iya kau benar."

"Aku khawatir dengan Amy. Dia terlihat sakit kemarin."

"Adikmu benar-benar gadis yang kuat. Dia melupakan semua masalahnya dan hanya fokus pada pengobatan Alfa. Dia bahkan tidak memikirkan apa yang sudah terjadi." Arvy mengingat kejadian di bar-nya saat ia hampir menyerang Amy kemarin kemarin.

"Eh? Apa maksudnya?"

"Itu…" Arvy lupa kalau Dio tidak tahu apa-apa tentang masalah itu. Ia menepuk jidatnya sendiri dalam hati. "Tidak apa-apa. Maksudku Amy anak yang kuat."

"Iya kan? Aku juga berpikir begitu. Aku tidak tahu jika aku kehilangan orang kau sukai, mungkin aku juga akan menggila seperti itu."

Dio kembali mengingat saat Alfa tiba-tiba keluar dari ruangan setelah diberi CPR, keadaannya yang pucat dan lemah namun ia masih sempat sempatnya mengatakan rindu pada Amy. Benar-benar kekuatan yang luar biasa. Saat mereka berdua berpelukan, Dio terkejut sekaligus lega namun juga takut. Mereka berdua notabenenya lebih dekat lebih dulu di panti asuhan dari pada Amy dengan dirinya. Tanpa sadar Dio melamun membayangkannya.

"Dio!"

"Eh?"

"Kupanggil dari tadi malah melamun. Tuh kan, kau sepertinya butuh istirahat segera."

"Tidak kok." Dio mengengeh.

***

Pagi harinya.

Dio dan Arvy menuju apartemen Alfa, mereka berhenti di depan pintu dan memasukkan kata sandi di monitor.

"Kau tahu berapa passwordnya?" tanya Arvy.

"Emm kenapa aku tidak kepikiran tanya ya kemarin?' Dio garuk garuk kepala.

"Astaga. Serius kau melakukan ini?" Arvy geleng geleng kepala.

"Sebentar sebentar, aku akan menelepon Amy."

Sementara Amy tidur di sofa di ruang rawat Alfa. Alfa sendiri masih tidur. Ponsel Amy berdering. Ia mengangkatnya dengan malas sembari menguap lebar.

"Halo." Amy masih mengantuk dan memejamkan matanya.

"Kau tahu password apartemen Alfa?"

"Dio?"

"Iya ini aku kakakmu. Cepatlah bangun."

Amy mengecek jam di ponselnya.

"Sepagi ini? Ahh…" Amy menguap lebar.

"Cepat beritahu berapa password Apartemennya."

"Hari ulang tahunku."

"HA?"

Chapitre suivant