Snot dan Vista adalah saudara kembar. Mereka berdua membantu Mayor Dud yang merupakan pensiunan intel polisi. Mereka bertiga mendirikan biro detektif swasta bernama Detektif Topi Merah. Mereka selalu membantu memecahkan kasus-kasus sulit yang dihadapi polisi dalam menumpas kejahatan, mulai dari kasus-kasus yang masuk akal sampai kasus yang rumit dan misterius.
"Soerat ini adalah petoenjoek menoejoe harta Elang Laoet yang pernah jaya di Selat Malaka. Dinding bercat pelangi di siang bolong di Poelaoe Mati. Akoe minta minyak pembakar."
"Surat yang aneh," ujar Vista setelah membaca surat itu, "Bahasanya lucu." Malam itu Topi Merah kedatangan Pak Bo, yang menyatakan mendapat surat wasiat dari perompak. Surat dengan tulisan ejaan bahasa Indonesia lama. Pak Bo adalah mantan pemburu harta karun, teman akrab Mayor Dud. Katanya, surat wasiat itu ditemukan menempel di bagian dalam kerangka keris kuno yang dibelinya di pasar loak. "Ini petunjuk yang tidak main-main," kata Pak Bo. Dia mengajak Topi Merah memburu harta tersebut.
Tapi Mayor Dud ragu-ragu. "Mengapa kamu begitu yakin surat ini betul-betul petunjuk menuju harta karun?"
"Bukanlah di dalam kisah banyak diceritakan tentang perompak yang menyimpan harta jarahannya," jawab Pak Bo. Kertas kumal itu masih utuh, hanya berubah warna menjadi kekuningan. Selain sudah berumur lama juga terkena karat keris, mungkin. Snot dan Vista mengamati kertas yang dipegang Mayor Dud.
Mengapa disebut harta karun? Itu ada sejarahnya, malah diceritakan pula di kitab suci Al Qur'an. Khorun adalah salah satu umat Nabi Musa, ketika miskin dia minta didoakan oleh Nabi Musa agar kaya raya. Benar, Khorun jadi kaya raya, tapi setelah itu dia jadi kafir dan sangat pelit. Sampai akhirnya terjadi gempa bumi yang menelan semua hartanya, termasuk Khorun. Semenjak itu, bila orang menemukan harta benda di dalam tanah disebut harta karun, mungkin maksudnya harta milik si Khorun.
Vista tampaknya bingung tentang sesuatu hal, lalu dia bertanya, "Om, yang benar itu perampok atau perompak sih, kok huruf 'o'-nya dipindah?"
"Perompak itu bajak laut, orang yang melakukan kejahatan di laut. Sedangkan perampok adalah orang yang merampas harta benda orang di darat. Mereka sama-sama berbuat dengan kekerasan," jawab Pak Bo.
"Bila benar itu surat wasiat, kita bisa kaya raya," kata Snot.
"Itu harta haram," kata Mayor Dud. "Kalaupun ditemukan harus diserahkan kepada negara."
"Tapi yang menemukan dapat hadiah, kan?" tanya Snot. Mayor Dud tertawa.
"Om, tahu letak Pulau Mati?" tanya Vista.
"Mungkin di gugusan Kepulaun Seribu. Tapi kita harus melacaknya lebih lanjut, karena Indonesia memiliki lebih-kurang 13.000 pulau. Kalau kita datangi satu-persatu pasti makan waktu bertahun-tahun."
"Jangan ngelantur dong, Om. Masak mengecek pulau satu-satu. Kita cari tahu kepastian letak Pulau Mati!" seru Snot.
"Pulau Mati. Nama yang aneh," kata Vista.
"Mungkin yang dimaksud pulau tidak berpenghuni," kata Pak Bo.
"Mungkin sebelumnya pernah berpenghuni, setelah ditinggal penghuninya lalu disebut Pulau Mati!" seru Mayor Dud.
"Atau kena tsunami seperti Aceh," sambung Pak Bo. "Kata tsunami berasal dari Jepang. Kalian tahu apa artinya?" Snot dan Vista menggeleng. Pak Bo tertawa. "Tsunami berasal dari dua kata 'tsu' dan 'nami'. Tsu berarti teluk atau pelabuhan, sedangkan nami berarti gelombang besar. Yang dimaksud adalah gelombang besar yang menyapu daratan atau pulau, biasanya karena gempa bumi berskala besar yang terjadi di laut." Snot dan Vista mengangguk.
"Kamu yakin ini kunci menuju harta karun?" tanya Mayor Dud lagi.
"Yakin sekali. Lihatlah kalimat-kalimat di surat, itu kata-kata rahasia," kata Pak Bo.
Mereka membaca ulang surat dengan cermat. "Apa yang dimaksud kalimat 'saya minta minyak pembakar', apakah itu juga kata-kata rahasia?" tanya Snot.
"Mungkin," jawab Pak Bo.
"Bagaimana bila Mayor Dud mencari tahu di Markas Besar Kepolisian. Cari catatan tentang bajak laut yang bernama Elang Laut. Syukur-syukur bisa mendapat peta Pulau Mati," saran Pak Bo. Mayor Dud tidak bereaksi terhadap kata-kata temannya, malah asyik memandangi surat wasiat di tangannya.
Pet! Mati lampu, Snot dan Vista kebingungan. "Mati lampu, bagaimana ini? Ada lilin, Om?" tanya Snot.
"Kalian diam di tempat, biar saya yang mencarinya," kata Mayor Dud, lalu beranjak mencari lilin. Tidak ditemukan lilin sehingga dia menyalakan lampu minyak. Lampu dibawa ke ruang tamu. Mereka melihat surat itu lagi. "Lumayan, cukup terang." Hampir satu jam listrik padam, setelah menyala mereka beramai-ramai melihat surat itu lagi.
"Uh, tangan saya tadi basah kena minyak tanah. Surat wasiatnya jadi sedikit ternoda," keluh Mayor Dud. "Tapi tidak rusak, kok!"
"Lihat, di kertas yang terkena noda minyak! Ada garis samar-samar!" seru Vista saat melihat seleret tips garis di surat wasiat yang basah minyak.
Snot ikut memperhatikannya. "Coba, basahi semua permukaan kertas dengan minyak tanah! Siapa tahu itu gambar peta!" Pak Bo menyuruh Mayor Dud mengambil minyak tanah dan kapas, lalu pelan-pelan kapas dibasahi minyak dan dioles rata di kertas surat. Kertas surat menjadi agak transparan, mirip plastik. Tulisannya tidak hilang, dan di bawahnya muncul garis tipis peta laut dan pulau.
"Betul, kan? Saya yakin sekali ini peta harta karun!" seru Pak Bo.
"Kalimat sandi 'saya minta minyak pembakar' sudah terjawab, ternyata petunjuk untuk menemukan peta," kata Mayor Dud senang. Tampaknya dia sudah berubah pikiran, tak lagi sangsi. Kini dia sangat berminat memburu harta karun itu. "Kalau ketemu pasti kita terkenal, karena masuk koran dan televisi."
"Om mau jadi artis?" tanya Vista. Mayor Dud tertawa. Peta itu menunjukkan Pulau Mati berada di Laut Jawa, tepatnya sebelah utara Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah.
"Tinggal kita cari, betulkah dulu ada kelompok bajak laut bernama Elang Laut," kata Pak Bo, yang semakin yakin akan mendapatkan harta.
"Masih ada teka-teki lainnya, yaitu kalimat 'Tembok bersama pelangi di siang bolong'," kata Snot. "Tidak mungkin kalau tulisan itu hanya iseng belaka."
"Sandi yang ini tampaknya hanya bisa dipecahkan bila kita sudah sampai di Pulau Mati," kata Pak Bo. Hari-hari berikutnya Mayor Dud mencari informasi tentang Elang Laut ke Mabes Polri. Tapi informasi yang didapat membuat mereka patah semangat. Di sana tidak tercatat kelompok perompak bernama Elang Laut. "Mungkin hanya tidak tercatat saja, atau mereka belum pernah terendus aparat keamanan!" kata Pak Bo. "Coba tanya nama-nama bajak laut yang tercatat. Siapa tahu ada nama yang mirip."
Dengan ogah-ogahan Mayor Dud mengontak temannya lagi. Lalu coret-coret dengan pinsil di kertas. Lalu menyodorkannya kepada Pak Bo. Snot ikut membaca. "Ini dia, Rajawali Baruna!" seru Pak Bo ceria. "Saya yakin sekali ini kelompok perompak yang sama." Snot dan Vista terbengong-bengong memandangi Pak Bo yang ceria. "Kalian tahu artinya?" tanya Pak Bo, Snot dan Vista menggeleng. "Rajawali Baruna berarti Elang Laut, karena nama lain elang adalah rajawali! Sedangkan baruna berarti laut! Jelas itu nama yang sama." Pak Bo menari-nari senang. "Kita akan memiliki banyak harta, emas, intan, dan permata!"
"Huh, itu harus diserahkan kepada negara!" sergah Mayor Dud.
"Baik, itu tidak masalah bagiku," kata Pak Bo. Dia memang sudah kaya raya. Tapi dia senang sekali berpetualang memburu harta karun. Teka-teki harta karun warisan perompak Elang Laut sangat menantang jiwanya lagi.
****
Si Janggut Hitam adalah perompak legendaris dunia yang berasal dari Kepulauan Karibia di Samudera Pasifik pada abad ke-18. Janggut Hitam bersama anak buahnya melakukan penghadangan kapal-kapal dagang yang berlayar dari Amerika dan Eropa atau sebaliknya. Pada mulanya mereka hanya mempertahankan pulau-pulau mereka dari ancaman pelaut Eropa yang saat itu sedang bergiat menjajah negeri-negeri lain. Hanya saja dalam perkembangannya mereka mengincar kapal yang memuat barang-barang berharga. Merampas muatannya dan tidak segan membunuh awak kapalnya.
Mengapa kapal bajak laut selalu memakai bendera yang bergambar tengkorak dan tulang bersialng? Karena untuk menakut-nakuti calon korbannya. Biar seram gitu lho. Bendera baja laut seperti itu disebut Jolly Rouge dan selalu berwarna merah. Karena arti jolly rogue sendiri adalah merah dalam bahasa Perancis.
Janggut Hitam dan komplotannya menjadi buronan angkatan laut banyak negara Eropa. Namun yang berhasil menangkapnya adalah angkatan laut Inggris. Pimpinan garong laut itu dihukum mati dan kepalanya dipenggal dan dipasang di cucuran kapal, yaitu tiang bagian dek kapal sebagai peringatan kepada bajak laut lainnya. Apakah setelah itu tidak ada bajak laut lagi? Sampai sekarang bajak laut tetaplah ada, malah semakin canggih. Pelayaran di Selat Malaka sampai saat ini selalu dihantu aksi bajak laut. Mereka mengincar sasaran di selat yang paling ramai di dunia.
****
"Kalian sedang libur sekolah, kan? Kita berangkat besok. Bilang ke orangtua, kalau kalian sedang berlibur bersama Mayor Dud dan Pak Bo," ujar Pak Bo. Karena pergi bersama Mayor Dud, orangtua mereka tidak keberatan. Ternyata Pak Bo mencarter helikopter dan dipiloti sendiri. Mereka menuju arah Jawa Tengah. "Saya dulu pernah jadi pilot helikopter di perusahaan minyak lepas pantai," kata Pak Bo. Tentu saja itu membuat Snot dan Vista kagum, dan baru kali ini pula mereka naik helikopter. Mereka menginap di Semarang. Keesokan harinya mereka berangkat lagi degan heli ke laut. Dari ketinggian mereka melihat Laut Jawa.
"Itu Pulau Karimunjawa, kita lebih ke utara lagi," kata Mayor Dud.
"Mungkin itu Pulau Mati!" seru Snot, ketika melihat pulau kecil tanpa penghuni, terlihat bekas bangunan yang porak poranda. Snot sempat melihat ada pantulan cahaya dari pulau itu.
"Kita lihat dulu, apakah ada tempat untuk mendaratkan helikopter," kata Pak Bo. Helikopter melakukan manuver mengelilingi pulau kecil tersebut. Ternyata ada tempat yang cukup lapang, dengan hati-hati Pak Bo mendaratkan helikopter. Mereka turun dengan penuh harapan sekaligus deg-degan.
"Ada bangunan kuno," kata Vista.
"Mungin dulu dijadikan tempat tempat petinggi Belanda berlibur. Bangunannya bergaya Eropa," kata Mayor Dud.
"Saya tadi melihat pantulan cahaya dari pulau ini, jangan-jangan itu hartanya," kata Snot.
"Saya juga melihatnya," kata Pak Bo.
"Tidak mungkin, kalau hartanya terlihat pasti sudah diambil orang. Saya rasa pulau ini juga pernah disinggahi orang. Bukan kita saja," kata Mayor Dud. Mereka mengelilingi pulau, hanya ada puluhan pohon kelapa. Beberapa buah kelapa yang terbenam di pasir mulai tumbuh. Mereka mendekati bangunan.
"Bagaimana mereka dulu membawa bahan bangunan ke sini?" celetuk Vista.
"Tentu saja dengan kapal, bukanlah Belanda saat itu sangat berkuasa? Mereka bisa mengerahkan pribumi untuk mengerjakan semua keinginannya. Termasuk membangun gedung di pulau ini," kata Pak Bo. Bangunan itu sudah tidak beratap, mungkin pernah ada badai besar yang menghancurkannya. Temboknya yang kokoh keropos di sana-sini.
"Lihat, tampaknya mereka juga membuat kolam," kata Vista. "Di dasar kolam mati ada cerminnya."
Snot melompat turun ke kolam itu dan mengamati cermin yang miring mengarah ke dinding bangunan. Snot mencoba mengambil cermin itu, tidak bisa, ternyata cermin itu terpatri kuat dengan dasar kolam. "Di semen. Jadi cermin ini yang memantulkan cahaya."
"Saya rasa juga begitu," kata Pak Bo.
"Mengapa mereka membangun kolam di pulau yang dikepung laut seperti ini?" tanya Vista.
"Untuk menampung air tawar atau air hujan sebagai air minum," kata Mayor Dud.
"Bagaimana dengan petunjuk harta karun?" tanya Snot.
Pak Bo mengambil surat wasiat perompak dan membacanya. "Tembok bersama pelangi di siang bolong. Apa artinya, ya?"
"Kita menunggu hujan, siapa tahu ada pelangi," kata Vista. "Tapi berapa hari kita berada di sini, dan tidak ada tanda-tanda akan turun hujan."
"Tembok bersama pelangi di siang bolong, teka-teki yang aneh," gumam Mayor Dud. "Padahal tidak akan pernah ada pelangi tanpa hujan."
"Ya, di sini tertulis siang bolong. Berarti cuaca terang benderang," kata Pak Bo. "Kita cari, siapa tahu ada sisi dinding bangunan yang dicat warna pelangi." Dengan bersemangat mereka menyusuri dinding bangunan untuk menemukan tanda warna pelangi. Tidak ditemukan apa pun, hanya beberapa bekas sarang burung walet. Pencarian itu juga susah, karena lumut telah menutupi permukaan dinding. Pak Bo dan Mayor Dud mengerok lumut. "Siapa tahu cat itu tertutup lumut. Bukankah surat wasiat itu sudah sangat tua," kata Pak Bo. Tapi tidak ditemukan. Bahkan sampai menjelang malam mereka tidak menemukan petunjuk.
Mereka bermalam di pulau. Mayor Dud sempat memancing ikan dan mendapat beberapa ikan. "Ayo kita bakar, bukankah ada beberapa daun kelapa kering di dekat bangunan?" ujar Pak Bo. Lalu mereka membuat api unggun dari daun dan pelepah kelapa kering. Ikan matang dan mereka memakannya.
"Tidak asin, kurang asyik," kata Vista. "Bawa garam tidak, Pak?"
"Tidak sempat, non!" kata Pak Bo, tertawa.
"Ikanmu dicelup ke air laut saja, biar asin. Sebetulnya kita bisa membuat garam sendiri," kata Snot.
"Saya tidak percaya kamu bisa membuat garam," sergah Vista.
"Gampang, tinggal ambil air laut lalu kita jemur. Besok saya buktikan. Bahwa saya bisa membuat garam seperti orang Madura!" seru Snot. "Di heli saya lihat ada ember kecil."
"Ember itu untuk jaga-jaga bila kalian mabuk udara," kata Mayor Dud, sambil tertawa. Mereka tidur sambil duduk di helikopter, dininabobokan irama deburan ombak. Snot mula-mula tidak bisa tidur, tapi akhirnya lelap. Malah kalau tidak dibangunkan Vista mungkin molor sampai siang.
"Ayo tukang garam, bangun!" canda Vista. "Buktikan kata-katamu kalau kamu bisa membuat garam!"
"Baik, bos!" kata Snot, sambil mengunyah roti. Ketika rotinya habis dia mengambil ember kecil dan terengah-engah mengangkati air laut ke kolam. Setelah dirasa cukup, Vista dan Snot menunggui kolam itu. Matahari bersinar cerah dan membakar badan mereka. Mayor Dud dan Pak Bo sibuk menelusuri dinding bangunan sambil mengorek lumut, mencari tanda pelangi.
"Jangan-janagan kita salah pulau," gerutu Mayor Dud.
"Tidak, hanya pulau ini yang ada di sebelah utara Pulau Karimunjawa," kata Pak Bo. "Apa kita mulai menggali saja?"
"Menggali bagaimana? Menggali pulau seluas ini maksudmu?" tanya Mayor Dud. "Berapa bulan selesainya!"
Pak Bo tidak mengomentari kata-kata Mayor Dud. "Di mana anak-anak?" tanya Pak Bo kemudian
"Biarkan saja mereka asyik bermain. Hitung-hitung mengajak mereka berlibur di pulau terpencil," kata Mayor Dud, masih kecut, kecewa karena harta itu tidak kunjung ditemukan. Vista dan Snot masih berada di dekat kolam, Vista tidak sabar ingin melihat garam buatan Snot.
"Kamu tadi terlalu banyak mengisi airnya, maka tidak cepat kering," gerutu Vista.
"Memang diperlukan kesabaran untuk membuat garam," kata Snot. Toh, meskipun sinar matahari makin terik tapi belum ada tanda-tanda air kolam mengering. Snot rebahan menatap dinding bangunan, matanya terbelalak ketika melihat warna pelangi di dinding dekat kolam. "Lihat, ada pelangi!" seru Snot, dan buru-buru bangun dari tidur-tidurannya. Vista melihat arah yang ditunjuk Snot. Benar, ada warna pelangi di dinding bangunan. Tidak seberapa besar, tapi betul-betul pelangi. Panjang pelangi hanya sejengkal tangan.
"Ada pelangi!" teriak Vista kepada Pak Bo dan Mayor Dud yang sedang rebahan di pasir.
"Betulkah?" teriak Pak Bo. Mayor Dud dan Pak Bo lalu berlari-lari menuju kolam.
"Ada pelangi di dinding! Lihat itu!" kata Snot.
Pak Bo dan Mayor Dud terkesima, "Ya Allah, betul sekali!" teriak Pak Bo, sambil berjumpalitan senang.
"He jangan gembira dulu!" seru Mayor Dud, mengingatkan. "Memangnya kita akan mengambil pelanginya?"
"Tentu saja tidak, mana bisa pelangi diambil!" kata Pak Bo. "Tapi ini petunjuk nyata!"
"Mengapa bisa ada pelangi di dinding ini, bukankah kemarin tidak ada?" tanya Snot.
"Saya tahu, ini gara-gara ulahmu," kata Mayor Dud.
"Ulah saya?" tanya Snot, penuh tanda tanya.
"Betul! Apakah kamu belum tahu bagaimana pelangi terbentuk di langit?" tanya Mayor Dud, lalu menjawabnya sendiri. "Pelangi terbentuk gara-gara sinar matahari yang dipantulkan titik-titik air hujan. Sehingga pelangi hanya muncul bila ada hujan atau awan tipis."
"Bagaimana dengan pelangi ini, kan, di sini tidak ada hujan?" tanya Vista.
Mayor Dud tertawa. "Pelangi di dinding ini gara-gara sinar matahari yang dipantulkan cermin yang ada di dasar kolam," kata Mayor Dud.
"Dari kemarin cermin itu sudah ada di situ, kok kemarin tidak ada pelangi?" kata Snot, masih belum puas dengan keterangan Mayor Dud.
"Sebab kolam ini belum kamu isi air!" seru Mayor Dud. "Harus ada air yang menutupi cermin, baru terbentuk pelangi."
"Jadi kita bisa membuat pelangi buatan?" tanya Vista.
"Gampang sekali, isi ember dengan air jernih dan letakkan cermin di dalam air. Hadapkan cermin pada sinar matahari, pantulkan di benda. Terbentuklah pelangi," kata Pak Bo. "Saat SMP dulu pernah diajari sama guru, tapi kami lupa. Untung ada kalian."
"Kenapa pelangi di langit berbentuk lengkung?" tanya Snot.
"Karena bumi berbentuk bulat," kata Pak Bo. "Ayo, sekarang kita serbu harta karunnya!" Mereka lalu menggali tanah di bawah tanda pelangi dengan peralatan seadanya. Setelah kedalaman satu meter lebih, mereka menemukan sebuah kotak besi yang sudah berkarat, dengan kunci besi besar dan berkarat pula. Mereka gembira sekaligus penasaran, apakah betul isinya harta karun? Bagaimana kalau isinya hanya kelereng? Dengan susah payah mereka mengangkat kotak besi ke atas.
"Bagaimana sekarang, kita buka paksa?" tanya Pak Bo.
"Jangan! Kita tunggu aparat datang ke sini," kata Mayor Dud. Dia menghubungi Polda Jawa Tengah dan beberapa media massa, menceritakan penemuan sekaligus memberi petunjuk keberadaan mereka. Beberapa jam kemudian ada helikopter dan kapal patroli yang mendekati Pulau Mati. Polisi dan wartawan berhamburan dari helikopter dan kapal patroli. Kotak besi dibuka paksa. Betul-betul harta karun, beruapa emas batangan. Harta karun dibawa ke kapal patroli. Setelah itu, mereka bersama-sama meninggalkan Pulau Mati dan menuju Semarang. Penemuan itu diteliti, ternyata emas murni.
"Kalian hebat, bisa menemukan harta karun yang sudah lama terpendam," puji pimpinan polisi kepada rombongan Mayor Dud.
"Dua bocah ini yang menemukan, Pak!" kata Pak Bo, sambil menunjuk Snot dan Vista. "Tanpa mereka berdua, paling-paling kami hanya mendapat buah kelapa kering."
"Apakah kalian ini Topi Merah?" tanya pimpinan polisi. "Saya sering mendengar Topi Merah membantu polisi."
"Benar, Pak!" kata Pak Bo. "Mereka bertiga ini Detektof Topi Merah."
"Hebat sekali, katanya kalian berdua kakak beradik. Mana yang kakak dan mana adiknya, saya ingin tahu?"
"Mereka saudara kembar, Pak," jawab Mayor Dud. Polisi tertawa. Ketika media elektronik hendak mensyuting mereka, Mayor Dud mengajak menghindar.
"Katanya ingin terkenal," kata Snot.
Di tempat sepi. "Stt, bila masuk televisi Topi Merah akan dikenali banyak orang. Bukankah kita sudah berjanji keberadaan Topi Merah dirahasiakan, kecuali kepada pihak yang berkepentingan," kata Mayor Dud, menjelaskan. Vista dan Snot tertawa.
"Wah, tidak bisa jadi bintang sinetronlah kita!" sungut Vista.
Mereka menginap lagi di Semarang, dan mereka menjadi tamu istimewa Kapolda Jawa Tengah. Ketika di dalam helikopter menuju Jakarta, Pak Bo bertanya, "Siapa yang punya ide mengisi air kolam?"
"Saya!" jawab Vista cepat. "Saya minta diberi tahu cara membuat garam!"
"Tapi yang mengisi air saya!" kata Snot. "Berarti saya yang bisa membuka petunjuk itu!"
"Tapi tanpa ide saya, mana mungkin kamu mengisi air!" ejek Vista.
"Ah, yang punya ide Mayor Dud. Bukankah dia yang memancing ikan, sehingga kamu minta garam," kata Pak Bo, sambil tertawa. "Kalian itu tim, jadi harus saling membantu!"
"Yang punya ide, ya, si perompak itu. Coba tanpa surat wasiatnya, kita tidak akan pernah pergi ke Pulau Mati," kata Mayor Dud.
"Kira-kira kita akan dapat hadiah apa, ya?" tanya Vista, sambil terpejam matanya membayangkan hadiah yang bakal diterima.
"Perjalanan kita inilah hadiahnya, karena sewa helikopter pulang-pergi sudah diganti pihak kepolisian. Jadi, jalan-jalan kita ini gratis!" kata Pak Bo sambil tertawa. Snot dan Vista tertawa. Sampai di rumah Papa Vista dan Mama Snot terkejut, karena kedua anak kembar mereka buru-buru membawa ember plastik besar ke halaman rumah. Mengisi air dan menaruh cermin di dalamnya.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Mama Snot, penasaran.
"Biar muncul pelangi di rumah kita, Ma!" jawab Vista, dengan hati berbunga.
"Ya!" sambung Snot. "Pelangi-pelangi alangkah indahmu...!"
Papa Vista dan Mama Snot tertawa, "Asal jangan terus rebutan pelangi saja!" celetuk Mama Snot. (*)