Jumlahnya lumayan banyak dan berada di tas plastik hitam. Snot menemui Vista dan bertanya, "Kapan kamu mulai rajin mencuci panci, Vis?" Dipikirnya serbuk dan abu itu untuk menggosok pantat panci yang hitam terkena api. Vista tidak menjawab. Namun karena Snot terus mengejar dengan pertanyaan itu maka dijawabnya tapi dengan lumayan ketus, "Jangan ikut campur! Abu gosok dan serbuk batu bata adalah urusan saya!" Karena tidak berhasil mengorek keterangan dari Vista, Snot menanyakannya pada sang mama. Ternyata Vista hendak praktek membuat telur asin.
"Tapi tidak ada perintah guru untuk membuat telur asin!" seru Snot.
Mamanya tertawa dan berkata, "Lho, apakah itu tidak boleh kalau bukan tugas sekolah? Kamu tahu Vista suka sekali makan telur asin. Jika bisa membuat sendiri maka tidak usah membelinya di warung tegal. Kalau prakteknya sukses Vista akan menitipkan telurnya di kantin sekolah."
"Paling-paling juga habis dimakan sendiri," sungut Snot. Alah, pada dasarnya dia hanya iri saja karena kalah kreatif.
"Orangtua Dina memiliki beberapa warung tegal. Vista bisa juga menitipka telurnya di situ," kata Mama. "Dengan melakukan itu Vista sedang belajar wiraswasta."
Snot mengangguk-angguk, lalu mendekati Vista dan berkata, "Nanti saya dibagi serbuk batu bata dan abunya."
"Untuk apa?" tanya Vista.
Snot tertawa lalu berbisik, "Kamu membuat telur asin, kan? Nah, saya akan membuat telur manis dan telur asam. Bukankah belum pernah ada telur manis atau telur asam? Itu akan saya pelopori. Siapa tahu telur manis dan asam lebih laris di pasaran."
Vista terbengong-bengong mendengar penuturan Snot, lalu berseru, "Telur manis? Jangan ngawur. Telur itu amis, mana mungikin enak kalau rasanya manis. Sekalian saja kamu buat ikan manis untuk menandingi ika asin."
Snot tidak mau kalah, "Itu karena belum biasa saja. Kalau nanti sudah ada yang berasa manis maka orang juga akan biasa-biasa saja. Toh tinggal mengganti garam itu dengan gula, atau dengan asam biar menjadi kecut."
Ketika dua saudara itu masih berdebat terdengar dering telepon rumah, ternyata Mao Dud. "Siapa yang mau ikut nonton lelang lukisan?" Pak Rolet, seorang pemilik galeri lukisan besar di daerah Kemang, mengundang Mayor Dud untuk mengikuti lelang lukisan. Snot dan Vista senang-senang saja denga ajakan itu. Karena ajakan Mayor Dud sering berakhir di restoran. Pada hari lelang itu Mayor Dud mengajak Vista dan Snot ke galeri Pak Rolet. Acara lelang lukisan-lukisan kuno itu berjalan lancar sampai selesai. Harga lelang termahal jatuh pada sebuah lukisan tanaman terong dan pohonnya. Lukisan itu dibeli oleh Pak Alonso, seorang kolektor lukisan.
"Lukisan itu buatan Raden Saleh," kata satpam penjaga galeri. Mengomentari lukisan yang dibeli Pak Alonso.
Satpam yang lain menyanggah, "Kamu ngawur! Kata Pak Rolet lukisan itu lebih tua dari Raden Saleh. Kamu tahu Perang Diponegoro? Itu terjadi pada tahun 1825 – 1830."
Satpam pertama menukas, "Kalau begitu lukisan itu dibuat oleh kakeknya Raden Saleh?"
"Kamu itu bodoh amat. Memangnya pelukis itu harus keturunan pelukis juga? Kalau begitu kakek kita dulu juga satpam seperti kita?" kata satpam Kedu, bersungut-sungut. Satpam pertama tertawa terkekeh. Snot dan Vista yang menguping pembicaran itu menjadi tertawa geli. Hanya saja setelah acara lelang usai ada kegemparan di galeri itu. Ada perempuan tua datang sambil membawa lukisan seperti yang dibeli Pak Alonso.
"Lukisan yang dilelang tadi palsu. Inilah lukisan yang asli," kata Bu Ning, perempuan tua itu.
"Palsu bagaimana? Ibu jangan mengada-ada seperti itu!" kata Pak Alonso. "Bukankah lukisan yang ada di galeri ini sudah diseleksi oleh kurator? Mana mungkin dia memilih lukisan palsu! Justru milik Ibu yang palsu!" Kurator adalah orang yang bertanggung jawab terhadap penyeleksian lukisan sekaligus penanggung jawab pameran lukisan. Dengan demikian kurator harus betul-betul ahli tentang lukisan, sehingga juga tahu mana-mana lukisan asli atau palsu.
Tentu saja Bung Mendo, kurator yang dibayar Pak Saleh, sangat tertampar dengan kejadian itu. Demi menjaga nama besar sebagai kurator dia bersikukuh kalau lukisan yang dibeli Pak Alonso itulah yang asli. Ketika dibandingkan kedua lukisan itu sama persis, seperti lukisan kembar. Sehingga sulit dibedakan mana yang asli dan yang palsu. Lukisan itu dibuat pada abad ke-17 oleh Raden Mas Gombret. Lukisan itu menggambarkan dua ekor sapi yang sedang makan jerami sambil rebahan di tanah. Di sampingnya ada gambar gerobaknya. Betul-betul lukisan realis yang hebat.
Meskipun terjadi keributan seperti itu tetapi pihak galeri meminta agar kasus itu tidak menjadi urusan polisi. Mereka akan menyelidiki sendiri mana lukisan yang asli atau palsu. Pak Rolet pun menyerahkan hal itu kepada Mayor Dud. "Tolong selidiki kasus ini," pinta Pak Rolet. Tentu saja Detektif Topi Merah tidak menolak permintaan itu.
Wah, bagaimana ini? Mayor Dud tidak begitu tahu akan seluk beluk lukisan, apalagi dengan Snot an Vista. Mereka hanya tahu lukisan itu bagus atau tidak, itu saja berdasar suka atau tidak suka terhadap lukisan itu. Kalau dihadapkan lukisan yang beraliran abstrak, lukisan yang seperti ngawur saja, mereka sama sekali tidak ngeh atau , malah pusing kepala. Untung saja Mayor Dud punya saudara sepupu yang pelukis, yaitu Mas Pedro yang memiliki sanggar lukis. Lebih beruntung lagi Mas Pedro ahli membuat lukisan tiruan.
"Saya membuat duplikat lukisan bila dipesan orang. Kalau tidak ada lukisan aslinya maka cukup dengan melihat foto lukisan aslinya," kata Mas Pedro, ketika Detektif Topi Merah datang ke sanggarnya dalam rangka minta petunjuk. "Misalnya ada yang ingin membeli lukisan karya Affandi tetapi uangnya tidak cukup, maka dia sudah puas bila hanya memiliki duplikatnya."
Snot heran dengan cerita Mas Pedro, lalu bertanya, "Kalau begitu Mas Pedro sering masuk penjara karena memalsukan lukisan?"
Mas Pedro tertawa, "Tidak pernah! Karena tidak ada yang dirugikan. Bukankah orang itu tahu kalau yang dibeli itu palsu, bukan asli. Sementara bagi pelukis yang lukisannya ditiru malah bangga, wah, gue sudah terkenal nih! Sampai ditiru-tiru orang. Tetapi untuk lukisan Pak Alonso dan Bu Ning itu sudah berbeda kasus, karena ada dua sertpikat. Jadi si pemalsu menyatakan seolah-olah lukisan itu asli."
Untuk mengamankan lukisan dari tindak pemalsuan para pelukis atau kolektor melengkapinya dengan sertipikat yang dikeluarkan oleh badan resmi. Tujuannya untuk menjamin keasliannya. Tetapi sertipikat lukisan sering juga dipalsukan, apalagi karya pelukis yang sudah meninggal. Untuk pelukis yang masih hidup sertipikat itu dibubuhi tanda tangannya. Bila pelukis itu sudah meninggal maka ahli warisnya yang bertanda tangan. Ada ahli waris yang bersekongkol dengan pelukis nakal yang meniru lukisan bapaknya, lalu menandatangai sertipikat untuk menyatakan bahwa lukisan itu benar-benar karya bapaknya. "Duit sering membutakan orang," kata Mas Pedro. "Tentu saja si ahli waris disuap uang."
"Bagaimana dengan lukisan karya RM Gombret? Bagaimana si pemalsu bisa membuat agar kanvas menjadi kuno sehingga setara dengan usia kanvas lukisan asli?" tanya Mayor Dud.
Mas Pedro tertawa dan menjawab, "Itu mudah. Bila meniru lukisan kuno saya memakai kanvas yang sudah direndam tinner atau cara lainnya. Bahkan saya pernah merendam kanvas di comberan. Tak jarang saya berburu lukisan-lukisan kuno di pasar loak, hanya untuk mengincar kanvas tuanya saja."
"Tentu saja sangat mahal lukisan tua atau kuno itu," seru Vista.
"Tidak semua lukisan kuno dihargai mahal, nona manis," kata Mas Pedro. Malah Mas Pedro juga menunjukkan beberapa karung goni tua untuk dibuat kanvas. Tetapi untuk merubah goni menjadi kanvas ada trik tersendiri. Dan itu dirahasiakannya, sumpah. Tentang lukisan palsunya Mas Pedro punya cerita. Dia pernah mengecoh kurator ternama di negeri ini. "Saya meniru karya pelukis terkenal. Lalu dua lukisan saya bawa pada kurator yang sedang mengadakan seminar. Kurator itu saya suruh memilih yang asli. Dengan penuh percaya diri kurator itu memilih satu dan menuliskan cek pembayaran kepada saya. Setelah cek itu di tangan saya maka saya buka rahasia mana yang asli dan yang palsu. Kurator itu sangat malu. Meskipun begitu lukisan yang asli saya berikan kepada dia," kata Mas Pedro, bangga. "Itu saya lakukan karena dia itu kurator yang sombong. Seolah hanya dirinya saja yang ahli lukisan! Biar kapok saja."
Mayor Dud menyela, "Jadi bagaimana kami bisa tahu kalau itu palsu atau asli?"
Mas Pedro tidak segera menjawab. Setelah menyeruput kopi barulah menjawab, "Kalau lukisan kuno, seperti milik RM Gombret itu lebih mudah."
"Lukisan tua lebih mudah?" tanya Snot. "Bagaimana caranya?"
"Dicek di laboratorium," kata Mas Pedro.
Mayor Dud tertawa, "Memangnya kita akan periksa darah?"
"Memang seperti periksa darah," kata Mas Pedro. "Darah lukisan adalah cat, dan itu bisa dideteksi karena cat lukis mengandung unsur logam. Kita melacak kandungan logamnya sehingga akan ketahuan umur lukisan itu. Logam masa silam dan sekarang ada bedanya. Saya lupa, alat pendeteksi itu sudah ada. Tapi hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Mungin hanya galeri-galeri yang berkelas saja yang memilikinya."
"Jadi kurator seperti Bung Mendo belum memiliknya?" tanya Mayor Dud.
"Tapi dia bisa meminjam pada galeri. Dan itu bukan hal yang sulit bagi kurator karena mereka selalu berhubungan baik dengan piha geleri," kata Mas Pedro.
Vista angkat bicara, "Bukankah kuno dan tidaknya lukisan bisa dilihat dari bingkainya? Lukisan tua pasti bingkainya juga tua."
Mas Pedro menjawab, "Tidak bisa begitu. Kanvas lukisan bisa dilepas dari bingkai sehingga bisa digulung seperti kain. Dengan begitu bingkai bisa berganti-ganti." Vista jadi tersenyum kecut mendengar penjelasan itu.
****
Tetapi setelah diuji dengan alat itu ternyata lukisan yang dimiliki Pak Alonso dan Bu Ning sama-sama memiliki kandungan logam yang berusia sama. "Bagaimana bisa begitu? Tentu salah satu harus ada yang asli. Tidak mungkin dua-duanya asli atau dua-duanya palsu," sungut Mayor Dud.
"Bagaimana kalau dua-duanya palsu, atau malah dua-duanya asli?" kata Vista. "Bisa saja kalau pelukisnya iseng, membuat lukisan kembar."
"Huh, kamu jangan menambah pusing kepala saya," kata Mayor Dud. "Di mana Snot?"
Ya, di manakah Snot? Dia sedang berdebat dengan teman-temannya. Apa yang diperdebatkan? Bengkel ketok magic! Nama itu begitu terkesan seram karena ada kata 'magic'-nya. Gara-gara nama yang aneh itulah Titro mengatakan kalau bengkel ketok magic dibantu setan untuk membetulkan bodi mobil yang penyok. Bodi mobil yang mengalami kerusakan parah, bila dibawa ke ketok magic bisa pulih seperti semula. "Bengkel ketok magic itu dibantu tuyul atau genderuwo yang dipelihara pemilik bengkel," kata Tirto. "Oleh karena itu bengkel ketok magic tertutup untuk umum, dengan pagar yang tinggi."
Snot menyangkal, "Mana ada bengkel terbuka untuk umum. Tentu saja hanya orang yang membetulkan mobil saja yang datang ke situ. Kalau terbuka untuk umum maka onderdil mobilnya bisa dimaling."
"Maksud saya bukan begitu! Bengkel ketok magic itu bekerja secara misterius," tukas Tirto. "Saya pernah mengintip, ternyata mobil yang digarap selalu dikerudungi mantel warna hitam. Bila tidak, maka tuyulnya tidak mau bekerja."
Agib yang dari tadi diam ikut menyangkal Tirto, "Kamu Tir, suka mengada-ada! Kurasa bukan itu alasan ditutup terpal hitam. Bengkel ketok magic biasanya tidak ada atap sehingga mobil harus ditutup plastik agar tidak kehujanan atau kepanasan! Kalau pun mantel berwarna hitam, ya hanya kebetulan saja."
Ketika sampai di kantor Detektif Topi Merah, perihal bengkel ketok magic itu diceritakan kepada Mayor Dud. "Apa betul kalau bengkel ketok magic dikerjakan oleh tuyul atau sebangsanya, Om?" tanya Snot.
Vista yang mendengar pertanyaan Snot tertawa terbahak-bahak. "Kalau kamu menyelinap ke bengkel itu maka akan ada tuyul di sana!" kata Vista. "Apalagi kalau kamu digundul."
"Hus, jangan berisik!" seru Mayor Dud. Si Kumis Delapan sedang memikirkan kasus lukisan RM Gombret. Tapi kalau pertanyaan itu tidak dijawab tuntas maka Snot tidak bisa diandalkan untuk membuka tabir lukisan palsu itu. Mayor Dud lalu menelepon Pak Ronde pemilik bengkel ketok magic. Mayor Dud pernah membawa mobilnya ke bengkelnya karena penyok ditabrak mobil lain dari belakang.
"Suruh saja mereka ke sini," kata Pak Ronde. Bengkel ketok magic Pak Ronde berada di daerah Rawasari. Berada di tepi jalan bypass jurusan Cawang-Tanjung Priok.
"Ini bengkel ketok magic saya," kata Pak Ronde ketika Snot dan teman-temannya datang.
"Mengapa dipagari tinggi-tinggi dengan seng, Pak?" tanya Snot, sambil melirik Agib.
"Mana ada di Jakarta tempat usaha yang tidak berpagar tinggi? Demi keamanan saja. Kalau saya punya banyak duit maka sudah dipagar tembok," jawab Pak Ronde sambil tertawa, memamerkan barisan giginya yang terkena nikotin.
Mendengar jawaban itu Tirto mengangkat bahu. Anak itu masih belum percaya sehingga mengajukan pertanyaan, "Bagaimana dengan mobil yang ditutupi mantel hitam? Bukankah itu untuk memanggil setan?"
Pak Ronde terbelakak, "Memanggil setan? Kok seram amat! Itu hanya agar tidak kehujanan atau kepanasan. Cat mobil kalau kehujanan catnya akan memudar. Apalagi air hujan di wilayah Jakarta, karena polusi udara, sudah mengandung zat asam yang akan mengakibatkan karat."
Tirto belum puas, "Bagaimana dengan bodi mobil yang penyok-penyok lalu bisa kembali utuh?"
"Kami memakai alat semacam vacuum untuk penyedot bagian-bagian yang penyok. Sehingga yang penyok bisa dipulihkan seperti semula," jawab Pak Ronde.
Tirto menjadi nyengir, "He-he...., saya pikir karena bantuan setan."
Pak Ronde tertawa dan berkata, "Memang pada saat awal-awal muncul bengkel ketok magic, isu seperti itu dihembuskan oleh bengkel lain. Biasa saingan bisnis. Dipikirnya dengan isu itu pemilik mobil yang penyok enggan mendatangi bengkel kami."
"Habis namanya seram, sih," ujar Agib. "Mengapa dinamakan seperti itu, Pak?"
"Itu hanya sekedar brand atau merk dagang saja. Biar orang tertarik. Dengan nama ketok magic seolah kami penyihir yang bisa menyihir mobil rusaknya agar menjadi seperti semula. Padahal kami kerjakan dengan alat vacuum," kata pak Ronde.
Ketika Snot kembali dari bengkel ketok magic sudah dihadang Mayor Dud. "Bagaimana sudah puas dengan bengkel magicnya?"
"Sudah! Tirto memang bohong," jawab Snot.
Mayor Dud tersenyum dan berkata, "Oke sekarang pecahkan teka-teki lukisan palsu itu. Hasil uji cat menunjukkan kandungan logam pada abad yang sama."
Snot teringat sesuatu, lalu berata, "Pemalsu ini belajar pada pemalsu lukisan di luar negeri. Saya pernah melihat tayangan televisi tentang sepuluh penipu hebat di dunia. Salah satunya pemalsu lukisan itu."
"Bagaimana modus operandinya?" tanya Mayor Dud, tidak sabar. Snot menerangkan pelukis itu menggerus lonceng gereja yang sama tuanya dengan lukisan yang dipalsu. Gerusan logam itu dicampurkan pada cat lukisnya. Semua terkecoh, termasuk laboratorium dan alat pendeteksi logam cat.
"Jadi si pemalsu juga melihat tayangan itu?" tanya Vista. "Dasar tidak kreatif!"
"Tidak kreatif saja membuat kita pusing, apalagi kalau kreatif," kata Mayor Dud.
"Bagaiamana cara menggerus logam ya?" bisik Vista, "Bukankah keras sekali?"
Snot segera menjawab, "Tentu saja tidak semudah kamu meggerus isi lubang hidungmu."
Vista tidak suka dengan kata-kata Snot, "Jangan ngomong jorok."
"Dia menggergaji logam dengan gergaji besi. Bubuk logam itulah yang dicampurkan pada catnya," kata Mayor Dud.
Snot berkata, "Kita harus ke Mas Pedro lagi." Begitu sampai di sanggar Mas Pedro, Snot bertanya, "Siapa pemalsu lukisan paling hebat saat ini, Mas?"
"Tapi kamu tidak menuduh saya, kan?" tanya Om Pedro, balik bertanya.
"Saya bukan menuduh. Hanya ingin tahu pelukis yang bisa membuat lukisan palsu sedemikian hebatnya," kata Snot.
Om Pedro berkata, "Hanya ada satu orang saja. Dia Pak Koljeng, tinggal di Surabaya." Mendapat nama itu segera saja Mayor Dud mengambil laptop dan memburu nama itu di situs Google. Ternyata Koljeng selain pelukis juga seorang ahli keris. Teka-teki lukisan palsu sudah mulai ada titik terang.
Detektif Topi Merah pergi ke Surabaya mencari Pak Koljeng. Ternyata pemalsu lukisan ampuh itu sudah tua. Rambut panjangnya sudah memutih semua. Pak Koljeng mengiyakan kalau dia memalsu lukisan RM Gombret. Tetapi dia tidak tahu-menahu tentang sertipikat ganda.
"Aku melukisnya tiga puluh tahun yang lalu. Aku juga iseng menggergaji keris tua lalu serbuknya saya aduk bersama cat. Aku tahu cat lukisan mengandung logam. Lukisan itu pesanan orang Jakarta. Kolektor amatir itu membawa aslinya ke sini untuk saya buat tiruannya. Soal sertipikat yang kembar? Aku bukan ahli menjiplak sertipikat," kata Pak Koljeng sambil tertawa.
Mayor Dud berkata, "Sekarang ada dua pihak yang masing-masing mengaku sebagai pemilik yang asli."
Pak Koljeng tertawa lagi dan berkata, "Gampang saja, karena aku menekan ibu jari tangan kiriku di pojokan atas kiri lukisan yang kubuat saat catnya masih agak basah. Dari situ akan ketahuan mana yang asli dan yang palsu. Itu saya rahasiakan, tapi biar tidak ribut maka saya buka saja."
"Pak Koljeng melukisnya tiga puluh tahun yang lalu?" tanya Vista. Pak Koljeng mengiyakan. "Jadi tidak ada hubungannya dengan tayangan televisi."
"Tayangan televisi apa?" tanya Pak Koljeng. Tapi Vista tidak menjawab, takut menyinggung perasaan Pak Koljeng. Pak Koljeng membubuhi ibu jari kirinya dengan cat lalu menekannya di kertas. "Ini kalia bawa, sebagai bukti pembanding!"
Setelah diperiksa ternyata lukisan RM Gombret yang dibeli Pak Alonso yang palsu. Di pojokan kiri atas ada cap jempol Pak Koljeng. Bagaimana dengan sertipikatnya? Susah dilacak karena lukisan itu sudah sering berganti-ganti kolektor. Pihak galeri mengaku bersalah lalu mengembalikan uang Pak Alonso. Lalu lukisan asli yang dimiliki Bu Ning dibeli Pak Alonso sesuai dengan harga lelang. Karena tidak menyangka mendapat rejeki besar, maka Bu Ning memberikan sebagian uangnya kepada galeri. "Kalau galeri ini tidak melelang lukisan palsu itu mana mungkin aku bertemu Pak Alonso," kata Bu Ning, gembira.
****
"Eh, kamu melihat tayangan pemalsuan lukisan itu kapan?" tanya Vista. "Sementara lukisan itu dibuat Pak Koljeng tiga puluh tahun lalu." Meskipun Pak Koljeng tidak terinspirasi oleh pemalsu lukisan yang ditayangkan televisi tetapi Snot sudah membantu memecahkan kasus lukisan palsu itu.
"Jangan-jangan malah pemalsu lukisan dari luar negeri itu murid Pak Koljeng," kata Snot, "Ngomong-ngomong bagaimana dengan telur asinmu, sudah jadi?"
"Sudah!" jawab Vista. Bagaimanakah cara membuat telur asin? Sederhana saja. Campur bubuk batu bata dan abu sekam dengan air garam sampai jadi larutan jenuh. Telur itik dicuci bersih dan dikeringkan lalu balut dengan adonan itu. Peram telur itu di adonan itu selama setengah bulan. Garam meresap menembus cangkang telur sehingga isinya menjadi asin. Setelah dibersihkan lalu direbus dan ditiriskan. Dengan diasinkan telur akan awet. Bisa tahan berbulan-bulan asal tidak pecah cangkangnya.
Vista teringat sesuatu lalu bertanya kepada Snot, "Bagaimana dengan telur manismu?"
Snot tertawa, "Belum jadi. Tapi saya akan membuat telur pedas saja."
"Dasar pembohong!" seru Vista. "Tapi ide membuat telur manis boleh juga. Bagaimana kalau kita coba?"
"Dulu saya sudah memberi resep kepadamu. Garamnya tinggal diganti gula. Kamu coba saja, nanti saya yang mencicipi," kata Snot.
Vista mencibirkan bibir, "Dasar pemalas!"
Mayor Dud datang sambil membawa dua telur ayam. "Mana telur yang matang? Kalau bisa jawab maka akan ada sate bebek datang ke kantor kita," tantang Mayor Dud.
Kedua anak itu bingung. Bagaimana membedakan telur matang dan telur mentah? "Yang ini!" seru Snot, sambil menunjuk salah satu telur.
Mayor Dud menggeleng, "Bukan itu, tetapi yang ini." Mayor Dud memutar telur-telur itu. "Yang berputar stabil dan lebih lama adalah yang matang." Mayor Dud memecah telur itu, benar sudah matang. "Bagaimana, kamu mau pecah yang satunya?"
Snot menggeleng. Kalau telur mentah itu pecah dia akan belepotan, takutnya lagi nanti disuruh ngepel. "Mengapa bisa seperti itu?" tanya Snot.
Mayor Dud menjelaskan, "Telur matang berputar stabil karena isinya sudah mengeras. Sementara telur mentah tidak bisa berputar karena cairan di dalamnya melawan arah putaran. Bukankah sifat cairan itu tidak stabil?" Wah, Snot dan Vista mendapat ilmu baru. Meskipun gagal menebak telur-telur itu tetapi sate bebek datang juga ke kantor Detektif Topi Merah. Horeee...!(*)