Bab 3 : Sepupu yang skeptis
Di sebuah dojo..
"Hiiyaaaa.."
"Hait.. hait..."
Plok-plok-plok.
"Oke. Untuk latihan hari ini, sudah selesai ya. Kalian semua hebat."
"Terima kasih, sensei," ucap serempak para murid kelas karate Marigold.
"Terima kasih kembali."
Marigold mengambil handuk putih yang tergeletak di kursi tunggu di tepi matras. Disekanya keringat yang mengucur deras di leher dan dahinya. Udara siang ini terasa gerah dan pengap. Sejak pagi tadi, mendung gelap terlihat menggantung tebal di langit, tetapi hujan belum juga turun.
"Marigold," panggil seseorang yang masuk ke ruang berlatih, kemudian duduk di kursi dan mengipasi dirinya dengan selembar pamflet. Dia adalah Nina. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu adalah sepupu Marigold, putri pamannya. "Makan siang yuk. Aku lapar."
"Tunggu lima belas menit. Aku ingin mandi dulu. Gerah sekali. Seluruh tubuhku lengket," keluh Marigold sambil berlalu ke kamar mandi di belakang Dojo.
*****
Di restoran cepat saji.
"Apa kamu bertengkar lagi dengan bibi?" tanya Nina sambil menggigit kentang goreng yang sudah diberi sambal. Bibi yang dipanggil Nina adalah mama Marigold. "Tadi pagi papa cerita ke aku."
Marigold mengangkat bahu, acuh. "Kalau seminggu saja, mama belum merecoki diriku perihal menantu, suami, dan cucu, rasanya kurang komplit hidup mamaku tercinta itu."
"Masih belum ada kabar dari Nolan?"
Gerakan Marigold yang hendak menyuapkan sesendok nasi, terhenti di udara, di depan mulutnya yang terbuka. Nina melipat bibirnya ke dalam mulutnya, ketika melihat kesedihan serta kegalauan berkelebat di mata sepupunya itu.
"Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi, Nina. Dua minggu ini, aku terus menerus mengukur jalanan kota untuk menemukannya, namun sama sekali tidak terlihat sosoknya. Nolan hilang bak ditelan bumi," jawab Marigold muram, lalu melanjutkan makannya. "Aku lelah, Nina. Aku sudah menyerah mencarinya."
"Apa karena itu, kamu berniat mengikuti acara pemilihan ini?" cecar Nina yang menyodorkan kertas pamflet yang sudah sedikit kusut karena sempat dipakainya untuk mengipasi wajahnya yang gerah.
"Darimana kamu dapat pamflet itu?" sembur Marigold yang terkejut sambil merebut pamflet itu dari tangan Nina.
"Aku menemukannya terjatuh di depan meja resepsionis," jawab sepupunya sambil menyeruput soft drink miliknya yang berwarna merah menyala. Kemudian Nina mengedikkan dagunya ke arah pamflet itu. "Apa kamu serius ingin mengikuti acara pemilihan gadis untuk milyader itu?"
"Terpaksa," sahut Marigold lesu. "Mama sudah mendesakku hingga ke tembok, dan aku sama sekali tidak bisa berkutik. Jika sampai akhir tahun ini, aku tidak membawakan seorang menantu untuk mama tercinta, aku akan dinikahkan dengan Adam, anaknya Tante Sari."
Mata Nina membelak lebar. "Adam?! Adam yang playboy itu? Teman sekelas kita yang amit-amit itu?!" pekik Nina syok. Marigold dan Nina seumuran dan selalu satu kelas di setiap jenjang pendidikan, sepanjang umur mereka.
"Hm-hm," ucap Marigold sambil mengangguk mantap. "Aku tidak mungkin menikah dengan Adam, Nina. Kamu tahu sendiri, bahwa Adam itu musuh bebuyutanku sejak masih di sekolah dasar. Aku dan dia saling membenci. Lagipula yang paling menyebalkan adalah kelakuan Adam yang tidak jauh beda dengan playboy kelas kakap yang kerap gonta ganti pacar. Ck, padahal tampangnya hanya pas-pasan dan standar begitu, tapi lagaknya seolah dia pesohor dunia yang digilai para wanita," lanjut Marigold berapi-api.
"Ck, malang betul nasibmu, sepupuku."
Marigold menggeleng kuat-kuat. "Tidak. Aku akan benar-benar bernasib malang bin apes, jika aku menikah dengan si kakap itu," tukasnya sambil menggebrak meja. "Lebih baik aku menikah dengan milyader yang sudah pasti adalah pesohor dunia yang asli. Ditambah lagi, Maximilian Alexander adalah idolaku selama ini. Jadi kurasa.. itu adalah sebuah rencana yang sempurna."
"Tapi Marigold," protes Nina. "Si milyader itu juga pasti bukan laki-laki yang setia. Aku dengar dia sudah memiliki istri."
"Aku tahu itu. Tapi tidak masalah bagiku, jika dia sudah memiliki istri. Maximilian Alexander adalah idolaku. Berada di dekat laki-laki tampan dan seksi itu saja sudah menjadi membuatku bahagia."
"Tapi..," ucap Nina yang mencemaskan Marigold.
Marigold mengibaskan tangannya. "Jangan khawatirkan aku. Aku pasti bisa menang dan mendapatkan idolaku itu. Maximilian Alexander, milyader idolaku. Dan yang paling penting, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku."
Mendengar sesumbar Marigold, Nina bersedekap dan memandangi sepupunya dari atas hingga ke pinggang. Marigold adalah seorang gadis yang tomboi dan ceroboh, bukan seorang gadis cantik yang lembut dan anggun. Nina menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak.
"Apa?!" desak Marigold defensif.
"Aku tidak yakin, kamu akan mendapatkannya, Marigold. Dia seorang milyader, sayangku. Sudah pasti di sekelilingnya banyak wanita super cantik dan anggun. Kamu.. yakin bisa menandingi mereka semua?" tanya Nina dengan nada menyindir. "Seorang Nolan saja tidak bisa kamu pertahankan, apalagi si milyader itu."
Nolan adalah kekasih Marigold yang tidak diketahui keberadaannya, semenjak dua minggu yang lalu. Nolan adalah laki-laki pertama yang mempunya hubungan percintaan dengan Marigold hingga satu tahun lamanya. Namun.. tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Nolan menghilang tanpa kabar.
Marigold menyipitkan matanya, memandang sebal ke arah Nina yang meremehkannya. "Sialan kamu, Nina!"
"Aku hanya mengungkapkan fakta yang kejam, sepupuku sayang," papar Nina tegas. "Seorang Maximilian Alexander itu milyader tingkat dunia. Kekayaan melimpah tujuh turunan, perusahaannya ada dimana-mana, dan tentu saja wanita cantik selalu ada di dekatnya. Dia berpergian menggunakan helikopter pribadi, jet pribadi, yacht pribadi, mobil sport pribadi. Dia tidur di hotel pribadi, berlibur di pulau pribadi. Lalu kamu?!"
"Kenapa dengan A-KU?! Apa yang salah dengan A-KU?! Kenapa kamu jadi menyebalkan, Nina?" sembur Marigold jengkel.
"Kamu hanyalah gadis sederhana, Marigold. Tidak punya keahlian hebat selain karate. Hanya berpendidikan ala kadarnya. Harta pribadi hanya sepeda motor bekas. Lalu ditambah lagi, semuanya pada dirimu serba rata-rata."
"Rata-rata?" ulang Marigold emosi. "Bagian mana dari seorang Marigold yang RATA-RATA?!" desaknya penuh penekanan sambil menunjukan kepalan tangannya ke arah Nina yang meringis.
"Wajah rata-rata, ukuran dada dan pantat rata-rata, lekukan body pun juga rata-rata."
"Sialan kamu, Nina! Bicaramu semakin lama semakin tidak enak didengar," sungut Marigold seraya melemparkan tisu yang diremas ke arah sepupunya.
"Perbandingan kalian terlalu ekstrim, bagaikan bumi dan langit. Terlalu mustahil, Marigold."
"Heh, Cinderella dan sang pangeran pun juga bagaikan bumi dan langit. Tapi buktinya... mereka hidup bahagia selamanya."
"Tolong ya sepupuku yang keras kepala. Tolong dipisahkan antara dongeng dan kenyataan."
Marigold menudingkan jari telunjuknya ke arah Nina. "Nina, jika kamu mengkritikku habis-habisan seperti ini, apa kamu punya solusi brilian untuk memecahkan masalahku, hah?"
Terdiam. Nina terdiam, kehilangan kata-kata.
"Eng, sewa pacar.. mungkin?"
"Ide bagus," sahut Marigold sinis. "Apa kamu sudah lupa kejadian waktu kita lulus SMU?"
Nina hanya meringis mengingat kejadian memalukan itu. Mama Marigold selalu mendesak tanpa ampun pada putrinya agar selalu memiliki pacar, seperti kebanyakan gadis di sekolah mereka. Hei, Marigold bukannya gadis yang tidak laku. Tetapi, hubungan percintaan Marigold selalu tidak berhasil. Paling lama.. hanya bertahan tiga bulan, Marigold berstatus kekasih seseorang.
Dan karena sudah tidak ada lagi laki-laki seumuran dengan Marigold yang mau berkencan dengannya, maka Marigold menyewa pacar untuk mengelabuhi mamanya. Namun sialnya, itu pun juga gagal.
Ternyata, pria yang menjadi pacar sewaan Marigold, tidak lain tidak bukan adalah kakak laki-laki dari teman sekelas mereka, Alana. Dan semuanya terbongkar saat kelulusan sekolah menengah atas. Brengsek! Marigold menjadi bulan-bulanan sepanjang waktu, oleh teman-temannya.
"Kalau kamu lupa, aku akan mengingatkanmu. Menyewa pacar sewaktu kita SMU juga adalah ide brilian darimu kan?"
"Maaf."
"Sudah, lupakan. Yang penting saat ini, aku akan tetap pada pendirianku. Mengikuti pemilihan para gadis untuk Maximilian."
Nina menghela nafas panjang. "Baiklah. Aku akan mendukungmu."
"Bagus," sahut Marigold bersemangat. "Sekarang waktunya kita pergi untuk melakukan langkah pertama."
"Kemana?"
"Ke laboratorium. Aku membutuhkan surat keterangan yang menyatakan bahwa aku masih perawan."
Bersambung...
*****
Bab 4 : Laboratorium
Pukul 12.30, Marigold mendorong pintu kaca laboratorium medis. Alisnya mencuat ke atas, melihat antrian yang cukup banyak. Dengan linglung karena mengamati para gadis cantik yang duduk berjejer disana, Marigold mendatangi meja registrasi.
"Apa mereka semua punya tujuan yang sama denganku?" gumam Marigold sambil menggaruk pelipisnya.
"Selamat datang. Silakan duduk."
"Permisi mbak," sapa Marigold sambil menarik kursi di meja registrasi. "Aku mau.."
"Mau tes keperawanan?"
"Loh kok tahu?" seru Marigold keras, lalu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Mbak nya kok bisa tahu?" ulangnya dengan suara berbisik.
"Coba lihat ke belakang," tunjuk petugas registrasi ke belakang punggung Marigold.
"Apa?" Marigold bergeser di kursinya dan menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan si resepsionis.
"Mereka semua sedang mengantri melakukan tes keperawanan seperti anda. Sejak pagi tadi, banyak gadis yang mengantri di laboratorium ini. Acara pemilihan gadis milyader itu benar-benar terkenal."
Marigold berdecak tidak suka, menyadari di depan mata tentang semua lawannya. Benar dugaannya. Kemudian Marigold berbalik dan menghadap si mbak register yang tersenyum menyebalkan.
"Mbak tidak ikut tes sekalian?" sindir Marigold dengan wajah cemberut.
"Ikut dong," sahut petugas registrasi itu yang malu-malu menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinga. Lalu jarinya menunjuk ke arah tanda pengenal nama yang disematkan di seragam kerjanya. "Lihat namaku juga memiliki identitas bunga kan?"
Marigold memicingkan mata untuk membaca tanda pengenal. "Bunga Lestari. Identitas nama bunga," kata Marigold ketus sambil mengangguk. Bahkan petugas laboratorium pun menjadi rivalnya. Hebat.
"Baiklah, silakan isi formulir ini berdasarkan kartu tanda pengenal," kata petugas bernama Bunga itu sambil menyodorkan selembar kertas penuh pertanyaan.
Dua menit kemudian, Marigold menyerahkan formulir itu dan menantikan dirinya akan masuk dalam nomer antrian yang entah ke berapa. Sambil menunggu, Marigold memainkan pulpen yang tadi dipakainya menulis.
"Totalnya sekian, mbak," kata petugas itu sambil menyodorkan selembar kwitansi.
Marigold terkesiap melihat jumlah nominal yang tertera di kwitansi itu. "Tidak salah ini?! Kenapa mahal sekali?!"
"Memang segitu harganya."
"Benarkah?" seru Marigold syok sambil menatap nanar pada angka yang tertera di kwitansi itu. "Laboratorium ini tidak melakukan up harga kan? Tidak mengambil keuntungan lebih, hanya karena ada acara ini?"
Petugas registrasi tersenyum dan menjawab dengan diplomatis. "Kualitas kami sebanding dengan harga."
"Ck, apa maksudnya itu? Sama sekali tidak menjawab pertanyaan," gerutu Marigold sambil mengeluarkan dompetnya.
"Saya terima uang nya dan ini kwintansinya. Silakan nomer antrian anda. Silakan duduk disana untuk menunggu panggilan," kata petugas registrasi dengan nada datar sambil memberikan selembar kartu nomer antrian.
Marigold kembali mengeluh. Yang benar saja, dirinya mendapatkan nomer antrian 200. "Mbak, sekarang antrian nomer berapa?"
"Itu, lihat sendiri di layar kaca."
Marigold mendongakkan kepala dan menatap horor. "Ya amplopku.. baru nomer 104? Kapan selesainya ini?"
"Anda adalah pasien terakhir yang kami terima hari ini. Oya, satu lagi. Ngomong-ngomong, nama anda yang adalah Marigold, apakah mempunyai arti nama bunga? Kok saya tidak pernah mendengar sebelumnya ya?"
"Tanya saja sama mbah gogle. Disana lengkap penjelasannya," jawab Marigold ketus sambil berdiri dan pergi dari meja tempat registrasi.
Marigold yang sudah sebal karena antrian yang banyak, serta harus membayar uang tes keperawanan yang cukup mahal, kini ditambah lagi dengan si mbak mengomentari namanya. Well, nama Marigold adalah pemberian orang tuanya yang ahli botani. Nama Marigold memang sedikit unik dan spesial. Belum lagi, Nina, sepupunya yang tidak mau menemaninya ke laboratorium, dengan alasan capek. Terpaksa, Marigold mengantarkannya kembali dojo dengan sepeda motornya.
Marigold berjalan menyusuri lorong ruang tunggu untuk mencari kursi yang kosong. Yes, ada satu di ujung sana. Dipercepatnya langkahnya agar kursi itu tidak ambil orang lain. Akan tetapi, langkahnya terhenti di depan seseorang yang duduk tepat di sebelah kursi yang kosong.
"Alana?" ucap Marigold terperanjat mendapati seseorang yang dikenalnya, duduk antri di kursi tunggu. "Sedang apa kamu disini?"
"Marigold?" ucap gadis yang dipanggil Marigold dengan nama Alana. Alana adalah temannya yang berasal dari kota yang sama dengan Marigold. Selain itu, Alana juga merupakan satu teman sekolah.
Marigold duduk di kursi yang kosong, tepat di sebelah Alana. "Apa.. kamu juga ikut tes keperawanan untuk acara pemilihan gadis milyader?"
Alana mengibaskan rambut panjangnya ke belakang bahunya. "Tentu saja. Gadis secantik aku, Alana Jasmine, tentu saja harus berpasangan dengan seorang Maximilian Alexander, milyader yang terkenal tampan," ujarnya sombong. Lalu memandang Marigold dari atas ke bawah dan mencibirnya. "Dan kamu?! Jangan katakan padaku, bahwa kamu juga ingin mengikuti tes dan pemilihan itu."
Marigold mengangkat bahu. Ejekan Alana membuat Marigold menjadi defensif. "Tidak ada salahnya untuk mencoba. Siapa tahu seorang Marigold Flora yang sederhana ini bisa mengalahkan dirimu yang... well.. entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikannya."
"Kurang ajar!" geram Alana yang marah karena Marigold menghinanya. "Kita sudah lama tidak bertemu, tapi mulutmu masih saja setajam silet."
"Asal kamu tahu, mulutku ini selalu diasah tiap pagi dan sore, untuk menangkis semua serangan dari orang-orangan sawah yang bodoh."
"Sialan kamu, Marigold!" desis Alana marah dengan tangan terkepal ke arah Marigold. "Aku ingin sekali menampar mulutmu yang lancang itu!"
"Hei Alana, itu nomermu sudah dipanggil," sela seorang gadis yang duduk di sebelah Alana yang sedang mengamuk.
"Bye-bye.. pergilah dengan tenang," ucap Marigold sambil tersenyum. "Aku akan berdoa sungguh-sungguh, supaya dokter yang memeriksamu, memiliki mata yang rabun, sehingga tidak bisa melihat apakah kamu masih perawan atau tidak."
"Dasar gadis kurang ajar!" jerit Alana yang sudah akan meledak kepalanya karena emosi tingkat tinggi.
"Sudah, Alana. Jangan dihiraukan lagi. Jika kamu tidak segera masuk, nanti nomer mu akan diloncati orang lain."
"Awas kamu, Marigold. Jangan sampai aku bertemu lagi denganmu. Aku akan melumatmu sampai habis," ancam marah Alana yang menudingkan jarinya pada Marigold sambil berdiri.
"Jangan suka marah-marah, Alana. Nanti cepat tua," balas Marigold datar. Alana yang diejek olehnya, ingin mendatanginya lagi dengan murka. Untung saja, temannya menariknya pergi, sehingga tidak terjadi perkelahian.
Sepeninggal Alana yang masuk untuk menjalani pemeriksaan, mata Marigold tertuju pada layar televisi besar yang tertempel di dinding. Disana, ada berita siaran langsung wawancara dengan milyader, Maximilian Alexander. Marigold langsung menajamkan pandangannya untuk memperhatikan wajah dan postur tubuh yang sempurna dari idolanya.
"Oh, gantengnya," bisik Marigold yang terpesona dengan gaya dingin seorang milyarder. Dingin, tanpa senyum di wajahnya serta bermata datar yang menyeramkan. Seorang Maximilian yang dingin sanggup membuat ayam jantan mengkerut ketakutan dan bertelur.
"Bagaimana perasaan anda, mengetahui bahwa acara yang akan anda selenggarakan, sungguh telah mengguncang dunia?" tanya reporter cantik sambil menyodorkan alat perekam. "Anda tahu, para gadis cantik telah berbondong-bondong untuk melakukan tes keperawanan sebagai syarat mengikuti acara pemilihan gadis bagi milyader."
"Aku senang acara ini mendapat sambutan yang meriah. Lakukan yang terbaik, girls. Kita akan segera bertemu," jawab sang milyader singkat lalu segera masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya.
Marigold tersenyum membayangkan dirinya bersanding dengan sang milyader. Itu sungguh mimpi yang menjadi kenyataan. Marigold menarik nafas panjang, lalu memejamkan mata. Tanpa sadar, dirinya yang lelah, tertidur lelap. Kemudian..
"Mbak.. mbak.. bangun. Sekarang giliran anda," panggil seseorang berjubah dokter sambil menggoncang pelan lengan Marigold.
"Hah?! Giliranku? Giliran apa?" tanya Marigold bingung karena terbangun dengan tiba-tiba.
"Tes keperawanan. Ayo cepat, mbak. Anda yang terakhir."
"Oh ya-ya.. Maaf, aku ketiduran ya," jawab Marigold yang buru-buru berdiri dan merapikan rambutnya.
"Silakan ikuti saya."
"Baiklah. Ayo, segera periksa aku, supaya aku bisa mendatangi pangeran impianku."
Bersambung...